6. HASIL
DAN
PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Biogeofisik Gugus Pulau Talise
Gugus Pulau Talise merupakan pulau kecil dengan luas pulau sekitar 20 km2 dan memiliki panjang pulau 6 (enam) km dari Utara ke Selatan dan lebar pulau sekitar 2 (dua) km dari Timur ke Barat. Koperberg (1928) dalam Effendi (1976) menyatakan bahwa berdasarkan bahan induk pembentukan dan jenis tanah, gugus Pulau Talise terdiri dari breksi dan konglomerat kasar berselingan dengan batu pasir halus hingga kasar. Bahan induk ini berwarna kelabu kecoklatan dan dikatakan bahwa batuan sedimen ini berumur Pliosen. Jenis tanahnya berupa aluvial organosol. Gugus pulau ini terdiri dari 2 pulau dimana satunya adalah Pulau Kinabuhutan yang mempunyai luas sekitar 60 ha atau 0,6 km2 dengan keadaan topografi yang datar dan bagian tertinggi mempunyai ketinggian sekitar 15 m. Pulau Talise sendiri merupakan suatu pulau dengan keadaan topografi yang berbukit dan memiliki ketinggian ± 400 m. Lokasi pemukiman menyebar di sekitar tepi pantai sedangkan daerah perkebunan serta hutan berada di belakang pemukiman sampai daerah bukit.
Pantai yang ada di gugus Pulau Talise bertipe pantai berpasir yang terdiri pantai berpasir kasar untuk pulau Talise sendiri dan pantai berpasir halus untuk pulau Kinabuhutan. Untuk pantai berpasir kasar memang ada juga sedikit kerikil dan batu. Panjang pantai mengikuti panjang garis pantai gugus Pulau Talise yaitu sekitar 6 km dan lebar pantai dari arah daratan ke arah laut mencapai 50-75 m serta kedalaman pantai yang memiliki terumbu karang sekitar 15-20 m. Kemiringan pantai dari landai sampai curam dengan substrat dasar dari pasir, kerikil dan sedikit bebatuan. Dasar dari perairan sekitar gugus Pulau Talise terdiri dari batu, pasir dan kerikil (Dishidros, 1986).
Pola arus di perairan Sulawesi Utara (Manado dan sekitarnya) secara umum sepanjang tahun bergerak dari arah Barat daya menuju ke Utara Timur laut (Wyrtki 1961). Arus yang bergerak dilokasi penelitian masih berada di bawah kecepatan 0,51 m.det-1, yaitu berkisar 13-30 cm.det-1 sampai 15-40 cm.det-1. Menurut Ditjen Pengairan (1996) arus secara dominan bergerak ke arah Timur dengan kecepatan maksimum 0,9 knot (1 knot = 0,51 m.det-1). Namun demikian
kondisi arus permukaan terkadang berubah menurut waktu, keadaan pasut maupun kondisi angin lokal. Berdasarkan kondisi pada saat penelitian, bahwa pda lokasi budidaya kerang mutiara, masih didominasi arus dari arah barat ke timur, sedangkan pengaruh arus dari arah yang lain masih kecil dan belum mempengaruhi aktivitas budidaya kerang mutiara.
Pasut di kawasan ini menurut Dishidros (2004) bertipe campuran yang dominan ke harian ganda. Pasut harian ganda atau semi diurnal tide adalah pasut dengan dua kali air pasang dan dua kali air surut yang tingginya berurutan masing-masing hampir sama dalam satu hari. Sedangkan pasut campuran (mixed tide mempunyai karakter dua kali air pasang dan dua kali air surut atau sekali air pasang dan sekali air surut.
Menurut Oldemann dan Sjarifuddin (1977) dalam peta agroklimat skala 1 : 1.000.000, wilayah ini termasuk pada tipe iklim B1 dimana terdapat 7 sampai 9 bulan basah dan kurang dari 2 bulan kering. Bulan basah menurut klasifikasi iklim ini apabila jumlah curah hujannya lebih besar dari 200 mm.bulan -1 sedangkan bulan kering bila jumlah curah hujannya kurang dari 100 mm.bulan-1. Curah hujan untuk tahun 2004 di gugus Pulau Talise adalah 1125 mm.th-1 sedangkan untuk harian selama tahun 2004 adalah 31.16 mm.hari-1. Untuk curah hujan bulanan pada tahun 2004 dibawah 100 mm.bulan-1, dan untuk mendapatkan hasil rata-rata curah hujan tahunan dan bulanan harus memiliki data series selama 10 tahun terakhir.
Nilai hasil pengukuran parameter kualitas perairan pantai Pulau Talise dan nilai baku mutu air laut menurut KepMen LH No. 51. Tahun 2004 tercantum dalam Tabel 18. Suhu perairan berkisar antara 28.5 0C dan 29 0C pada tiga lokasi pengambilan sampel air. Kondisi ini masih memperlihatkan keadaan yang normal atau bersifat alami bagi kehidupan biota laut ataupun untuk aktifitas wisata. Seperti tercantum dalam baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh pemerintah, suhu perairan alami yang baik untuk kehidupan organisma adalah 28 – 30 0C.
Parameter derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap kehidupan organisme, sehingga pH dapat digunakan untuk menyatakan baik atau buruknya suatu perairan. Menurut baku mutu, pH berkisar 7 – 8.5 dan pada pengukuran di lokasi berkisar antara 7.9 – 8.25. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi perairan
masih sangat normal karena tidak ada pengaruh masukan bahan organik dari daratan, kalaupun ada mungkin sangat kecil dan tidak terdeteksi. Bila ada bahan organik yang masuk dari daratan atau disumbangkan oleh kegiatan pemukiman (rumah tangga) akan dapat terlihat dari rendahnya pH.
Tabel 18. Data Hasil Pengukuran Kualitas Lingkungan Perairan gugus Pulau. Talise dan Baku Mutu Air Laut Kep. MenNeg. LH No. 51. 2004
Hasil
Parameter Tambun
A Talise B
Kinabuhutan C
Baku Mutu Biota Laut dan Wisata
Bahari Fisika Suhu (oC) Kecerahan Pasang surut Arus (cm.det-1) 29 15-20 Campuran ke
dominan harian ganda 13-30 29 15-20 Campuran ke dominan harian ganda 15-30 28,5 15-20 Campuran ke dominan harian ganda 15-40 28-30 / - >5 / > 6 - / - - / - Kimia pH Salinitas Oksigen terlarut (mg/l) Amonia (mg/l) Nitrat (mg/l) Phospat (mg/l) BOD 5 (mg/l) COD (mg/l) 8,25 32,8 3.48 0,02 0,99 0,05 1,58 15,4 8,10 32,4 3.15 0,02 0,92 0,06 1,17 20,80 7,9 30,6 2.80 0,02 1,44 0,08 0,58 12,7 7-8.5 / sama 33-34/ alami >5 / > 5 0.3 / - 0.008/ sama 0.015/ sama 20/10 - / - Biologi Kandungan klorofil-a µg/l Plankton : Phytoplankton Protozoa Zooplankton Benthos : Polychaeta 0,57 460 25 96 3 0,44 251 6 76 12 1,73 345 14 103 10 - / - - / tidak bloom Keterangan :
A adalah lokasi Tambun
B adalah lokasi HSI ( Perusahaan Budidaya Kerang Mutiara) C adalah lokasi bagian Utara P. Talise
Untuk plankton kepadatannya Individu / liter. Untuk benthos kepadatan dalam sedimen pasir Volume substrat : π r2 x tinggi sedimen pasir
3,14 x 3,52 cm (12,25) = 38,465 cm2
Kecerahan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi, artinya semakin tinggi kandungan padatan tersuspensi akan semakin rendah tingkat kecerahan dan akan semakin tinggi tingkat kekeruhan. Dari hasil pengukuran kecerahan berkisar 15 – 20 meter dan ini mencapai 75% dari kedalaman.
Untuk salinitas di lokasi berkisar antara 30.6 sampai 32.8 ppm, nilai ini tidak memperlihatkan variasi yang besar karena kadar tersebut merupakan kadar alami pada perairan laut. Hal ini berhubungan dengan sifat dari suatu pesisir yang dinamis karena dipengaruhi oleh adanya pasang surut. Bila dibandingkan dengan nilai baku mutu maka kadar salinitasnya masih berada pada kisaran yang alami. Nybakken (1992) menyatakan bahwa daerah pesisir (litoral) merupakan perairan yang dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu tinggi. Organisme yang hidup diperairan pesisir cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰.
Oksigen terlarut diperlukan oleh organisme perairan untuk pernapasan dan penguraian bahan-bahan organik. Nilai DO bisa dijadikan petunjuk untuk kegiatan hidup yang terjadi dalam suatu perairan. Kandungan oksigen terlarut di lokasi berkisar antara 3.48 mg.l-1 yang tertinggi dan 2.80 mg.l-1 yang terendah. Kadar oksigen terlarut dengan nilai terendah berada di lokasi C dibanding dua lokasi lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena lokasi tersebut merupakan daerah paling dekat pertemuannya antara Pulau Talise dan Pulau Kinabuhutan dimana terdapat ekosistem mangrove dengan kedalaman perairan yang cukup dangkal. Lokasi ini menjadi tempat dimana pemanfaatan oksigen cukup tinggi dari aktivitas hewan, tumbuhan ataupun bakteri untuk proses respirasi dan dekomposisi. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen terlarut dalam air.
Kebutuhan oksigen biokimia (BOD) adalah parameter yang menunjukkkan besarnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara kimia (Boyd, 1982). Selain itu nilai BOD dapat digunakan sebagai indikator adanya pencemaran dalam suatu perairan. Untuk indikator ini dikemukakan oleh Lee et al, (1978) dalam Buchari (1998) bahwa klasifikasi kualitas air berdasarkan besarnya nilai BOD adalah nilai ≤ 3.0 mg.l-1 tidak tercemar; 3.0-4,9 mg.-1 tercemar ringan; 5,0-15,0 mg.l-1 tercemar
sedang dan ≥ 15.0 mg.l-1 tercemar berat. Nilai BOD pada lokasi adalah 0,58 sampai 1,58 mg.l-1. Nilai ini memang masih lebih rendah dibanding baku mutu untuk biota laut, namun nilai ini menunjukkan indikator bahwa perairan belum terpengaruh dengan adanya pencemaran. Walaupun bernilai rendah untuk kepentingan biota laut sesuai dengan baku mutu namun lokasi B dengan BOD 1,17mg.l-1 di areal budidaya kerang mutiara belum menunjukkan adanya indikator penggunaan oksigen secara besar yang dapat menunjukkan indikator pencemaran. Hal ini ditunjukkan dengan tidak mengganggu produksi dari kerang mutiara itu sendiri. Selain BOD maka ada nilai COD atau kebutuhan oksigen kimia yaitu banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan yang terdapat dalam perairan. Nilai COD ini juga dapat memberi petunjuk banyaknya zat organik maupun anorganik di dalam perairan (Susilo, 2003) dan dapat menunjukkan tinggi rendahnya pencemaran. Nilai COD yang didapat di lokasi adalah terendah 12,7mg.l-1 di lokasi C dan tertinggi 20,8 mg.l-1 di lokasi B. Dalam baku mutu air laut untuk tahun 2004 tidak dicantumkan nilai COD namun menurut Kep. MenLH No.2 Th 1988 nilai COD < 30 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di sekitar gugus Pulau Talise masih belum menunjukkan adanya pencemaran yang melewati daya dukung yang menyebabkan gangguan terhadap ekosistem yang ada.
Senyawa ammonia (NH3-N) merupakan senyawa beracun bagi kehidupan biota laut. Ammonia dan nitrit dapat menjadi indikator adanya pencemaran terutama yang disebabkan oleh bahan organik. Salah satu yang menyebabkan adanya kedua senyawa ini di dalam air laut adalah terhambatnya proses dekomposisi bahan organik. Keberadannya sering berfluktuasi tergantung kadar oksigen terlarut selain itu juga pH dan suhu mempengaruhi. Kadar ammonia NH3-N di lokasi adalah 0.01mg.l-1 sampai 0.02 mg/l, sedangkan nitrat NO3-N berkisar antara 0.92 mg.l-1 pada lokasi B, 0.99 mg.l-1 pada lokasi A dan 1.44 mg.l -1 untuk lokasi C. Untuk ammonia nilainya lebih rendah dari baku mutu 0.3 mg.l-1, dan ini tentunya menunjukkan bahwa dengan kadar yang sangat rendah perairan tersebut belum menggambarkan adanya pencemaran. Dapat juga dikatakan bahwa proses dekomposisi berlangsung dengan baik sehingga tidak meninggalkan senyawa ammonia dengan nilai yang tinggi. Nilai baku mutu untuk nitrat adalah
0.008 mg.l-1, sehingga nilai yang ada di lokasi sudah lebih tinggi dari baku mutu air laut yang ada. Senyawa ammonia dengan bantuan bakteri nitrosomonas akan menjadi nitrit NO2-N dan nitrit dengan bantuan bakteri nitrobakter akan menjadi nitrat NO3-N (Saeni, 1989). Proses perubahan ini hanya dapat berjalan dalam keadaan aerobik, jika ada oksigen terlarut dalam air.
Nilai nitrat di lokasi yang lebih tinggi dari baku mutu yang ada dapat disebabkan oleh oksidasi ammonia yang tidak sempurna, nitrit yang terbentuk akan tinggi dengan kata lain terjadi penurunan nitrat. Senyawa fosfat adalah suatu zat hara yang dapat menunjukkan kesuburan perairan dan dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan hidup biota perairan. Fosfor tidak ditemukan dalam keadaan bebas di alam dan hampir selalu terjadi dalam kesatuan yang telah dioksidasi sepenuhnya sebagai fosfat. Kandungan fosfat di lokasi adalah 0.05; 0.06 dan 0.08 mg.l-1. Antara ketiga lokasi hanya berbeda sangat sedikit dan untuk lokasi C dengan nilai yang paling tinggi dimungkinkan karena dekat dengan pemukiman dan adanya hutan bakau. Senyawa fosfat dalam perairan dapat berasal dari sumber alami, buangan dan lapukan tumbuhan serta dari laut sendiri.
Salah satu pigmen fotosintesa yang penting untuk tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton adalah klorofil-a. Selain klorofil-a ada juga pigmen fotosintesa yang lain yaitu karoten dan xantofil. Namun demikian pigmen yang yang paling sering ditemukan dalam fitoplankton adalah klorofil-a (Parsons et al., 1984). Fitoplankton merupakan produser dimana dalam piramida trofik makanan berada paling bawah atau tingkat trofik pertama. Sebagai produser ketersediaannya sangat banyak dengan ukuran yang sangat kecil, semakin tinggi trofik akan terjadi pertambahan ukuran individu namun dengan jumlah yang semakin sedikit.
Berfungsinya fitoplankton sebagai produser maka dapat menentukan produktivitas perairan. Perkembangan fitoplankton ini tentunya sangat ditentukan oleh pigmen klorofil-a, sehingga dapat dikatakan konsentrasi klorofil-a ini dapat dijadikan penduga produktifitas primer perairan. Produktivitas primer perairan adalah kecepatan pembentukan bahan organik dalam proses fotosintesa dalam satu luasan atau volume tertentu dari perairan (Susilo, 1999). Nilai klorofil-a di lokasi penelitian adalah 0.57 µg.l-1 untuk lokasi A, 0.44 µg.l-1 untuk lokasi B dan 1.73
µg.l-1 untuk lokasi C. Hasil penelitian dari Susilo, (1999) di pantai Pandeglang produktifitas primer dengan nilai klorofil-a 0.665 µg.l-1 dan 0.384 µg.l-1 menghasilkan produktifitas primer sebesar 0.0403 gC.m-3/jam sedangkan nilai klorofil-a 1.761 µg.l menghasilkan 0.0391 gC.m-1 jam-1
Phytoplankton didominasi oleh Trichodesmium dengan jumlah individu pada masing-masing tempat A, B dan C adalah 258, 152 dan 120 individu, kemudian ada Pelagothrix dengan 38, 21 dan 27 individu dan Rhizosolenia dengan 24, 13 dan 75 individu, Chaetoceros dengan 12, 3 dan 40 individu sedangkan yang lainnya jumlah individu rata-rata di bawah 10. Untuk Protozoa pada masing-masing lokasi A, B dan C pada Globigerina adalah 9, 1, 1 individu dan Eutintinus 4, 2, 3 individu; Favella 3, 1, 4 individu; Codonelopsis 4, 1, 3 individu. Zooplankton didominasi oleh larva Acartia pada masing-masing lokasi sebanyak 18, 7, 7 individu dan Oncaea sebanyak 15, 15 dan 12 individu, sedangkan jenis yang lain hanya berjumlah dibawah sepuluh. Untuk benthos, jenis yang ditemukan pada semua lokasi adalah Nereis walaupun sangat sedikit, sedangkan untuk jenis Syllis, Protdrilus, Polygordius, Fabricia, Hesione dan Glicera hanya ditemukan pada satu atau dua lokasi.
6.2 Kondisi Wilayah Pesisir Gugus Pulau Talise
Wilayah pesisir khususnya pada lahan darat pulau Talise dapat digambarkan sebagai berikut untuk kondisi saat ini dengan mengadakan pengukuran pada tiga lokasi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat altimeter untuk mengukur ketinggian, abney hand level untuk mengukur kemiringan lahan serta pH meter untuk tanah. Keterangannya seperti Tabel 19 di bawah ini :
Tabel 19. Data Kemiringan Lahan Lokasi Kemiringan
Lahan
pH Tinggi Tanah Ket.
Tambun 150 6,4-6,6 ± 150m dpl Latosol Mente, kelapa PT. HSI 380-400 6,4 ± 300m dpl Latosol Hutan,padi
Ladang Talise 300-400 5,4-5,6 ± 350m dpl Latosol Hutan,
alang2, kelapa
Gugus Pulau Talise yang merupakan pulau berbukit dengan ketinggian mencapai 350 meter di permukaan laut dan kemiringan lahan dari 150 sampai 400. Pulau ini pada lahan darat selain menjadi tempat pemukiman juga ditumbuhi alang-alang, tanaman semusim seperti jambu mete, kelapa, juga terdapat hutan.
Menurut Sitorus (1990) untuk keperluan perencanaan penggunaan lahan hutan ada tiga faktor yang digunakan dalam proses evaluasi indeks lokasi yaitu lereng, erodibilitas tanah (nilai K) dan intensitas hujan pada lereng yang kurang dari 450. Lahan dengan lereng lebih besar dari 450 otomatis untuk hutan lindung.
Curah hujan bulanan untuk tahun 2004 pada stasiun Likupang (Talise) didapat 1126mm/thn. Sedangkan untuk jumlah hari hujan yaitu jumlah curah hujan bulanan dibagi jumlah hari bulan, didapat dalam setahun di pulau Talise ada 36,13 hari hujan. Untuk intensitas hujan yaitu jumlah curah hujan bulanan dalam setahun dibagi jumlah hari hujan dalam setahun didapat 31,16 mm/hari. Nilai ini menurut Sitorus (1990), masuk dalam dalam kelas tinggi.
Erodibilitas adalah kepekaan tanah terhadap daya menghancurkan dan menghanyutkan oleh curah hujan (Kartasapoetra,1991). Arsyad (2000) menyatakan bahwa erodibilitas tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi yang dinyatakan dalam indeks erodibilitas tanah (K). Dari data yang ada (Tabel 20), maka nilai rataan erodibilitas berada pada kisaran 0,236; 0,256 dan 0,261 yaitu untuk areal alang-alang, hutan serta tanaman semusim.
Tabel 20. Nilai Erodibilitas, Kelas Struktur Tanah dan Kelas Tekstur Tanah di Bawah Berbagai Vegetasi di Pulau Talise.
Vegetasi Nilai Erodibilitas Struktur Tanah Tekstur Tanah Alang-alang 1 Alang-alang 2 Alang-alang 3 Tanaman semusim1 Tanaman semusim2 Tanaman semusim3 Hutan 1 Hutan 2 Hutan 3 0,198 0,258 0,252 0,346 0,266 0,247 0,309 0,285 0,248 Granular halus Granular halus Granular halus Gumpal Granular sedang Granular sedang Gumpal Gumpal Granular sedang Lempung berliat Lempung berliat Lempung berliat Lempung berliat Liat Liat Liat Liat Liat Sumber : Ruth Semuel, ( 2004)
Nilai ini berbeda karena perbedaan kandungan bahan organik, dimana alang-alang memiliki kandungan bahan organik yang paling tinggi. Ini dimungkinkan karena tekstur tanahnya halus yang biasanya memiliki aerasi dan
suhu rata-rata yang lebih rendah sehingga dekomposisi bahan organik terhalang dan terjadi penimbunan bahan organik. Juga alang-alang memiliki perakaran yang tidak dalam dan bersifat musiman dan tiap tahun mati. Jaringan yang dibentuk pada musim tumbuh akan cepat membusuk dan tertimbun ke tanah sehingga memberikan sumbangan bahan organik yang cukup besar ke tanah.
Untuk vegetasi tanaman semusim dan hutan memiliki kandungan organik sedang karena kondisi kawasan sudah terganggu oleh kegiatan manusia yaitu penebangan liar yang berlebihan. Hal ini mengurangi penutupan tajuk serta penutupan lantai hutan akibatnya penyediaan bahan organik menjadi rendah dan tanah akan terkena cahaya matahari langsung dan bila turun hujan lebat, tanah akan mendapat atau terkena pukulan air hujan. Keadaan ini akan menghanyutkan bahan organik tanah dan erosipun terjadi. Perencanaan penggunaan lahan hutan dapat diklasifikasikan 3 fungsi yaitu hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan lindung (Tabel 21).
Tabel 21. Klasifikasi Fungsional Hutan berdasarkan Indeks Lokasi
Indeks Lokasi Klasifikasi Fungsional
0 – 124 Hutan Produksi
125 – 174 Hutan Produksi Terbatas
≥ 175 Hutan Lindung
Sumber : Departemen Pertanian (1981) dalam Sitorus (1990).
Untuk itu, ada tiga faktor yang digunakan dalam proses evaluasi bonita atau indeks lokasi yaitu lereng, erodibilitas tanah dan intensitas hujan pada lereng yang kurang dari 45 %. Kelerengan terdiri dari lima kelas yaitu : I = 0-3%, II = 4-8%, III = 9-15%, IV = 16-25% dan V = 26-45%. Kelas erodibilitas tanah didasarkan pada sifat-sifat fisik tanah yang terukur terdiri dari lima kelas yaitu : I = tidak peka terhadap erosi, II = kurang peka terhadap erosi, III = agak peka terhadap erosi, IV = peka terhadap erosi dan V = sangat peka terhadap erosi. Intensitas hujan dihitung sebagai curah hujan tahunan rata-rata (mm) dibagi dengan hari hujan total dalam satu tahun. Ada lima kelas juga yaitu : I = 0-13,6 mm/hari sangat rendah, II = 13,7-20,3 mm/hari rendah, III = 20,4-27 mm/hari sedang, IV = 28-34,7 mm/hari tinggi dan V ≥ 34,8 mm/hari sangat tinggi. Kepentingan relatip dari masing-masing faktor dilihat dari nilai perbandingannya
Lokasi lahan darat di PT. HSI dan Dusun Talise memiliki kelas V untuk lereng sedangkan Dusun Tambun tergolong dalam kelas III untuk kelerengan. Kelas untuk faktor erodibilitas, semua tergolong dalam kelas III sedangkan untuk curah hujan tergolong kelas IV. Sehingga indeks lokasi atau indeks bonita untuk lokasi PT. HSI dan Dusun Talise (5x20)+(3x15)+(4x10) = 185, sedangkan untuk Dusun Tambun (3x20)+(3x15)+(4x10) = 145.
Hasil jumlah perhitungan faktor kelerengan, erodibilitas tanah dan intensitas hujan, maka lokasi tanaman semusim dan hutan yang berada di PT HSI dan Talise didapat nilai indeks 185 yang berarti masuk klasifikasi hutan lindung berdasarkan tabel di atas. Untuk lokasi Tambun dengan vegetasi alang-alang memiliki nilai indeks 145 yang berarti masuk klasifikasi hutan produksi terbatas. 6.3 Realitas Sumberdaya Pesisir Gugus Pulau Talise
A. Mangrove
Keberadaan sumberdaya perairan gugus Pulau Talise tidak terlepas dari tiga sumberdaya yaitu mangrove, terumbu karang dan ikan. Masih ada sumberdaya yang lain seperti lamun ataupun sumberdaya yang lain tetapi lebih difokuskan pada tiga sumberdaya tersebut di atas. Tabel 22 di bawah ini menjelaskan mengenai struktur vegetasi mangrove yang ada.
Tabel 22. Struktur Vegetasi Mangrove di Pulau Talise
Koordinat Kerapatan Rata-rata Rata-rata Jumlah Indeks Jenis
Lokasi LU BT Individu Jenis Lingkar Tinggi Anakan Keanekaragaman Dominan
/ 100m2 / 100m2 Pohon (cm) Pohon (m) / 100m2 (H')
Aerbanua 10 50’ 25” 1250 3’ 35” 11 2 41.25 6.75 35 0.57 Rhizophora mucronata Kinabahutan 10 50’ 10” 1250 5’ 33” 27 7 57.83 7.28 17 0.72 Rhizophora mucronata
Sonneratia caseolaris
Ceriops tagal
Bruguiera gymnorrhiza
Tambun 10 48’ 50” 1250 3’ 49” 8 3 45.13 4.35 25 0.67 Rhizophora mucronata
Sonneratia caseolaris
Bruguiera gymnorrhiza
Talise 10 50’ 5” 1250 4’ 57” 12 3 48.67 5.36 24 0.75 Rhizophora mucronata
Mangrove yang ada di gugus Pulau Talise terdiri dari dua famili yaitu Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhyza, Ceriops tagal), Sonneratiaceae (Sonneratia caseolaris). Empat species ini menyebar di beberapa lokasi yang memiliki areal mangrove di Pulau Talise. Jenis mangrove di Pulau Talise memang termasuk sedikit bila dibandingkan dengan jenis mangrove yang ada di Pulau Mantehage (Taman Nasional Laut Bunaken) yang memiliki 24 jenis (Lalamentik dkk, 1997). Lokasi mangrove di Pulau Talise memiliki substrat lempung-berpasir, dan untuk lokasi Aerbanua, Tambun, Talise, mangrove terdapat pada bagian depan pemukiman, sedangkan di lokasi Kinabuhutan berada pada bagian belakang pemukiman penduduk. Pada lokasi Kinabuhutan juga ditemukan banyak areal bekas penebangan pohon bakau, menunjukkan banyak lahan kosong bekas tumbuh mangrove dan menjadi tidak produktif. Hal ini menyebabkan Pulau Kinabuhutan yang datar, bila terjadi musim barat dan selatan dimana curah hujan tinggi akan tergenang dengan masuknya air laut ke daerah pemukiman.
Lokasi Aerbanua dengan keanekaragaman yang paling rendah dibanding tiga lokasi yang lain, seperti ditunjukkan pada tabel di atas, disebabkan karena berhadapan langsung dengan laut bebas dan hanya didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Sedangkan untuk tiga lokasi lainnya agak terlindung areal mangrovenya pada bagian dalam pulau, juga substrat dasarnya mendukung untuk pertumbuhan sehingga lebih tinggi keanekaragamannya dan ditemukan beberapa jenis tumbuhan. Ketebalan mangrove untuk lokasi Aerbanua, Talise dan Tambun sekitar 25 sampai 75 meter sedangkan untuk lokasi Kinabuhutan sampai 100 meter. Luas areal mangrove yang ada di gugus Pulau Talise tidak lebih dari 100 ha (menurut Kusen dkk, 1999, pantai Pulau Talise dan Kinabuhutan yang berpasir putih ditutupi hutan mangrove dengan luas areal sekitar 62 ha). Kecilnya areal hutan mangrove, akan semakin mempercepat habisnya tumbuhan bakau karena dimanfaatkan oleh penduduk untuk kebutuhan rumah tangga seperti kayu bakar atau membuat rumah.
Untuk mengurangi lajunya penebangan hutan bakau, maka masyarakat Pulau Talise harus mendapatkan pendidikan lingkungan hidup mengenai fungsi dan manfaat dari sumberdaya pesisir yang mereka miliki dalam hal ini sumberdaya hutan mangrove. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan
berfungsi sebagai : tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak; fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan sebagai perangkap sedimen; dan secara ekonomi selain untuk bahan bangunan juga kayu bakar, alat tangkap ikan dan daerah hutan mangrove dapat dijadikan tempat pariwisata pantai. Selain fungsi ekologi dan ekonomi, ada juga fungsi fisik dari hutan mangrove yaitu menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai perangkap bahan-bahan pencemar dan limbah.
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh luas ditinjau dari aspek sosial, ekologi dan ekonomi. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon bakau serta kehidupan manusia yang bergantung pada keberadaan hutan mangrove (Naamin,1991). Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik yang merupakan kombinasi dari tanah, air, pepohonan, hewan dan manusia yang menghasilkan barang dan jasa (Hamilton and Snedaker, 1984). Juga mereka mengungkapkan bahwa fungsi produksi dari hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi pemanfaatan langsung seperti bahan bakar (kayu, arang, alkohol), bahan bangunan (rumah, pagar), alat tangkap ikan ( bubu, tiang sero), tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian), obat-obatan, dan produk kertas lainnya. Sedangkan untuk pemanfaatan tidak langsung seperti jasa lingkungan sering tidak diperhatikan atau dianggap memiliki peran yang rendah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya dan keputusan yang diambil adalah keputusan yang sempit (Pomeroy, 1992).
B. Terumbu Karang
Pengukuran kondisi terumbu karang di gugus Pulau Talise dilakukan secara manta tow dan menggambarkan bahwa kondisi terumbu karang secara umum adalah masih baik seperti yang ada pada Tabel 23.
Tabel 23. Kondisi Terumbu Karang Di Gugus Pulau Talise
Koordinat Tutupan (%) Jenis Jarak
Dominan Topografi Pandang No. Lokasi
LU BT Hidup Mati Lunak Kondisi
(meter)
1 Tambun 1o 47’ 10” 125o 3’ 35” 80 2 10 Sangat Acropora Landai > 10
Baik Montipora
Porites
2 Kinabahutan 1o 49’ 53” 125o 5’ 37” 81 17 0.5 Sangat Acropora Landai >10
Baik Montipora
Porites
3 Talise (DPL) 1o 50’ 00” 125o 5’ 10” 72 8 2 Baik Acropora Landai >10
Seriatopora
Porites
4 Talise (HSI) 1o 49’ 10” 125o 4’ 12” 62 18 0.5 Baik Acropora Landai 10
Porites
5 Aerbanua 1o 50’ 25” 125o 3’ 36” 56 14 5 Baik Seriatopora Landai 10
Montipora
Acropora
6 Talise Timur 1o 51’ 40” 125o 5’ 30” 47 10 6 Cukup Porites Landai <10
Stylophora
Acropora
7 Talise Barat 1o 52’ 10” 125o 4’50” 57 2.5 22 Baik Acropora Landai 10
Montipora
Pada lokasi Tambun dan Kinabuhutan tutupan karang hidupnya masih di atas 80% dan didominasi oleh Acropora, Montipora dan Porites dengan kondisi dasar perairan yang landai dan jarak pandang yang sangat jelas yaitu lebih dari 10 meter. Yap dan Gomes (1984) mengkategorikan terumbu karang yang memiliki tutupan karang batu 0-24,9% dalam kondisi rusak, 25-49,9% dalam kondisi cukup, 50-74,9% dalam kondisi baik, dan 75-100% dalam kondisi sangat baik/sempurna. Keberadaan terumbu karang ini yaitu pada kedalaman 10 – 15 meter, ada juga ditemukan karang pada kedalaman kurang dari 10 m, dengan salinitas perairan sekitar 30 -33 ppm dan suhu perairan sekitar 290 C.
Sebagai perbandingan bahwa hasil kisaran persentase tutupan karang keras dan karang lunak pada waktu pengamatan dengan manta-tow yang dilakukan proyek pesisir (CRMP) adalah :
1. Lokasi Pulau Kinabuhutan, karang keras (1-95%) dan karang lunak (1-60%) 2. Lokasi Dusun I, karang keras (5-65%) dan karang lunak (5-45%)
3. Depan PT. Horiguchi, karang keras (5-25%) dan karang lunak (5-85%) 4. Dusun 2, karang keras (5-35%) dan karang lunak (1-10%).
Sedangkan hasil dengan menggunakan Line Intercept Transect pada 8 titik pengamatan dimana transek 1 dan 2 di Kinabuhutan Selatan, transek 3,4 di Kinabuhutan Utara, transek 5,6 di Talise, transek 7 di depan HSI dan transek 8 di Dusun Tambun (Tabel 24) adalah :
Tabel 24. Persentasi (%) tutupan karang hidup dan karang mati di perairan Kinabuhutan
Karang Hidup Transek
Acropora Non Acropora Soft Coral Total live
Karang mati 1 33,92 45,47 3,13 82,52 2,88 2 11,68 56,89 5,10 73,67 0,75 3 5,93 39,69 33,09 48,71 0,00 4 15,53 9,86 20,29 45,68 0,00 5 36,46 21,03 18,06 75,55 1,1 6 15,81 36,68 9,96 62,45 0,00 7 27,80 13,19 0,75 41,75 5,40 8 69,98 2,95 8,25 81,18 0,00
Sumber : Proyek Pesisir (CRMP), 1999
Kondisi oseanografi perairan terumbu karang di gugus Pulau Talise dapat dikatakan baik Hal ini terlihat dari hasil-hasil pengukuran beberapa parameter oseanografi, dimana memiliki nilai-nilai kisaran yang cocok bagi kehidupan organisme terumbu karang. Seperti suhu yang memiliki kisaran 25,90C-28,60C merupakan nilai yang cocok untuk pekembangan terumbu karang, seperti yang dikatakan Tomascik (1991) bahwa kisaran suhu di perairan tropis yang cocok untuk perkembangan terumbu karang adalah 230C-320C, serta hasil penelitian Lalamentik dkk., (1996) di perairan Taman Nasional Bunaken yang memperoleh kisaran suhu 28,50C-31,00C. Hal yang sama juga berlaku untuk hasil pengukuran parameter salinitas yaitu 29,6o/oo-31,2o/oo, merupakan kisaran yang baik untuk ekosistem terumbu karang.
Nilai pH yang berkisar antara 7,9-8,25 (pada skala 0-14) maka perairan Pulau Talise boleh dikatakan bersifat netral dan cenderung untuk bersifat alkalis karena nilainya lebih besar 7. Karena kecenderungan perairan yang bersifat alkalis, maka dapat diindikasikan bahwa perairan Pulau Talise memiliki prokduktivitas biologi yang cukup tinggi atau memiliki kandungan CaCO3 dalam air yang cukup tinggi. Hasil yang diperoleh untuk oksigen terlarut (DO) di lokasi penelitian, secara keseluruhan berada sekitar nilai rata-rata oksigen terlarut untuk daerah tropis yaitu 4,5 ml/l (Hutabarat dan Evans, 1985). Nilai oksigen terlarut
tertinggi berurutan mulai di Tambun, selanjutnya di depan HSI, dan nilai terendah ada Utara Talise. Lokasi bagian Utara Talise ini merupakan sisi terdekat dari Pulau Talise dan Pulau Kinabuhutan dan memiliki ekosistem mangrove, sehingga banyak aktivitas organisma yang hidup di lokasi tersebut memerlukan kebutuhan oksigen yang cukup tinggi. Relatif besarnya kandungan oksigen yang ada, sangat membantu keberadaan organisme dalam hal ini ikan di terumbu karang gugus Pulau Talise.
Pada kondisi lapangan di temukan ada terumbu karang yang sudah rusak karena ulah penduduk yang menangkap ikan dengan bom, ataupun bekas ditambang untuk pembangunan rumah penduduk. Namun demikian sejak dari tahun 2000, kegiatan tersebut sudah sangat berkurang, kalaupun ada itu dilakukan oleh orang dari pulau yang lain. Hal ini karena sudah ada kesepakatan diantara masyarakat itu sendiri untuk menjaga kelestarian sumberdaya terumbu karang di gugus Pulau Talise. Untuk meminimalkan kerusakan terumbu karang yang terjadi, harus ada kemauan dari masyarakat atau pengguna sumberdaya pesisir untuk mengurangi aktivitas pengambilan karang di gugus Pulau Talise. Secara legalitas kesepakatan ini sudah dibuat dalam suatu Peraturan Desa No.5. Tahun 2002 tentang Kemasyarakatan dan Kependudukan, Peraturan Desa No. 3. Tahun 2001 tentang Perlindungan Satwa di Darat dan Laut serta Peraturan Desa No. 3. Tahun 2003 tentang Pengambilan Pasir, Kerikil, Batu, Karang dan Bakau.
C. Sumberdaya Ikan Karang
Pada kawasan ini juga ditemukan 10 sampai 16 spesies ikan indikator yang sesuai dengan lokasi pengamatan, menunjukkan kondisi terumbu karang yang masih baik, karena ada beberapa areal dengan terumbu karang yang rusak akan sulit ditemukan ikan indikator (Famili Chaetodontidae) dengan jumlah spesies di atas 10. Hal ini dikarenakan ikan-ikan ini merupakan penghuni terumbu karang primer yang tipikal, dimana selalu berasosiasi dengan terumbu karang baik sebagai habitat maupun tempat mencari makan dan mungkin sebagian besar hidupnya berlangsung di terumbu karang (Hutomo, 1986 dalam Hutomo dkk., 1988).
Distribusi dan kelimpahan populasi spesies indikator berbeda-beda menurut lokasi dan kedalaman. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang
yang berbeda-beda serta kemampuan adaptasi dari spesies yang bersangkutan. Ada lima spesies yang dapat ditemukan pada semua lokasi dan kedalaman yaitu Chaetodon kleinii, C. melannotus, C. trifasialis, C. trifasiatus, dan Heniochus varius. Untuk spesies yang lainnya tidak ditemukan pada semua lokasi ataupun kedalaman. Keberadaan ikan indikator yang cukup banyak baik jenis maupun individunya di lokasi penelitian, menunjukkan kondisi terumbu karang di lokasi ini jika dilihat dari sudut ikan indikator masih dalam kondisi yang cukup baik atau dalam perubahan ke kondisi yang baik, mengingat kegiatan masyarakat terhadap terumbu karang dalam memenuhi kebutuhannya pada tahun-tahun yang lalu.
Distribusi dan kelimpahan spesies target pada lokasi Kinabuhutan, diperoleh 13 famili dan 57 species serta total kelimpahan individu 1.351 individu/1.000m2. Spesies yang dominan ditemukan berada dalam famili Acanthuridae, Nemipteridae , Holocentridae dan Siganidae. Untuk lokasi Tambun ditemukan 14 famili dan 59 species dengan total kelimpahan individu 1.143 individu/1.000m2. Famili Acanthuridae, Caesionidae, Lethrinidae, Nemipteridae dan Scaridae merupakan famili yang spesiesnya mendominasi. Lokasi DPL Talise diperoleh 13 famili dan 71 spesies dengan total kelimpahan 1.213 individu/1.000m2. Areal ini didominasi spesies dari famili Siganidae, Acanthuridae, Scaridae dan Holocentridae. Lokasi HSI atau depan perusahaan mutiara HSI ditemukan 15 famili dengan 75 spesies dan kelimpahan individunya adalah 1.152 individu/1.000m2. Spesies yang dominan ada dalam famili Siganidae, Acanthuridae, Haemulidae, Letrinidae, Scaridae, Lutjanidae. Lokasi Aerbanua ditemukan 13 famili dan 62 spesies serta kelimpahan individunya 928 individu/1.000m2, dan didominasi dari famili Acanthuridae, Caesionidae, Scaridae, Balistidae.
Distribusi dan kelimpahan spesies mayor pada lokasi Kinabuhutan adalah 9 famili dan 50 spesies dengan total kelimpahan 11.875 individu/1.000m2. Spesies mayor yang mendominasi adalah Pomacentridae (Damselfishes) dan Labridae (Wrasses). Lokasi Tambun ditemukan 9 famili dan 58 spesies dengan total kelimpahan individu 11.333 individu/1.000m2.
10.14% 89.15% 0.71% Ikan Target Ikan Mayor Ikan Indikator
Gambar 6. Diagram Sensus Visual Ikan Lokasi Kinabuhutan
Adapun yang mendominasi adalah famili Pomacentridae, Labridae dan
Serranidae. Lokasi DPL Talise ditemukan 11 famili dan 48 spesies serta
kelimpahan individunya 5.039 individu/1.000m2 dengan dominasi dari famili
Pomacentridae, Labridae, dan sedikit Serranidae. Untuk lokasi HSI ada 9 famili
serta 46 spesies dengan total kelimpahan individu 3.115 individu/1.000m2.
Spesies dominan ada dalam famili Pomacentridae, Labridae, Apogonidae dan
Serranidae. Sedangkan untuk lokasi Aerbanua memiliki 11 famili serta 66
spesies dengan kelimpahan individu 12.986 individu/1.000m2 yang didominasi
oleh famili Pomacentridae, Labridae, dan Serranidae.
26.16% 71.61% 2.23% Ikan Target Ikan Mayor Ikan Indikator
Distribusi dan kelimpahan spesies indikator untuk semua lokasi hanya satu famili yaitu Chaetodontidae. Untuk Kinabuhutan terdapat 15 spesies dengan total kelimpahan 94 individu/1.000m2, didominasi oleh Chaetodon trifasiatus, C. melannotus dan C. trifasialis. Lokasi Tambun 13 spesies dengan kelimpahan 65 individu/1.000m2 didominasi oleh spesies Chaetodon trifasiatus dan Chaetodon klenii. Lokasi DPL Talise terdapat 11 spesies dan kelimpahan individunya 75 individu/1.000m2 didominasi oleh spesies Chaetodon trifasiatus dan Chaetodon melannotus. Lokasi HSI terdapat 10 spesies dengan kelimpahan 97 individu/1.000m2 didominasi oleh spesies Chaetodon trifasiatus, Chaetodon trifasialis, Chaetodon melannotus dan Chaetodon klenii. Untuk lokasi Aerbanua terdapat 16 spesies dengan kelimpahan individu 92 individu/1.000m2 didominasi oleh Chaetodon klenii, Chaetodon trifasialis, Chaetodon trifasiatus dan Hemitaurichthys polylepsis. 19.11% 79.70% 1.19% Ikan Target Ikan Mayor Ikan Indikator
Gambar 8. Diagram Sensus Visual Ikan Lokasi DPL Talise
Selain ikan dari famili Chaetodontidae, ikan kelompok target banyak ditemukan di lokasi penelitian ini. Ikan target merupakan ikan konsumsi, dimana ikan ini menjadi objek penangkapan nelayan (umumnya menggunakan pancing). Jumlah ikan jenis ini masih melimpah (ditemukan 57 - 75 jenis pada beberapa lokasi dan jumlah individu rata-rata di atas 400 ekor/1.000m2), sehingga memungkinkan masyarakat untuk tetap mengeksploitasi ikan karang.
6.62% 0,66% 92,72% Ikan Target Ikan Mayor Ikan Indikator
Gambar 9. Diagram Sensus Visual Ikan Lokasi Aerbanua
90.37%
0.52% 9.11%
Ikan Target Ikan Mayor Ikan Indikator
Gambar 10. Diagram Sensus Visual Ikan Lokasi Tambun
Kegiatan penangkapan yang perlu dikurangi adalah kegiatan penangkapan dengan bubu, atau alat tangkap jaring dasar yang dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Belum terlihat adanya “over fishing” untuk ikan karang di lokasi penelitian karena penangkapan yang dilakukan umumnya menggunakan pancing julur serta ikan yang ditangkap hanya terbatas untuk kebutuhan sehari-hari dan jika ada kelebihan akan dijual di pasar. Pembatasan jumlah penangkapan (15 kg/hari) dikarenakan para nelayan tidak memiliki kotak pendingin untuk mengawetkan ikan.
Spesies-spesies ikan indikator terdapat hampir pada semua lokasi dan kedalaman dan ada juga yang tidak ditemukan pada lokasi atau kedalaman tertentu dan ini dapat disebabkan karena ketidakstabilan ekosistem terumbu karang sebagai habitat, seperti rendahnya keragaman karang dan kondisi karang atau tersingkir dalam kompetisi ruang dan makanan. Dalam distribusi ini juga, ada spesies yang memiliki kelimpahan yang tinggi dan ada spesies dengan kelimpahan yang rendah yang mana hal ini disebabkan bahwa dengan ketersediaan relung ekologi yang mereka tempati secara bersamaan, maka kompetisi antara mereka tidak dapat dihindari sehingga mempengaruhi tinggi rendahnya kelimpahan spesies.
Disamping kelompok ikan indikator dan target, pada penelitian ini juga dilihat kelompok ikan major yaitu kelompok ikan yang sering bergerombol dalam jumlah cukup banyak, tetapi belum dijadikan sebagai ikan konsumsi atau belum dieksploitasi oleh masyarakat. Umumnya ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu karang, seperti ikan jenis Amphiprion sp. yang berasosiasi dengan anemon. Ikan-ikan dalam kelompok major ini sebenarnya bisa dijadikan sebagai ikan hias disamping fungsi ekologis yang dimilikinya dan menambah keindahan terumbu karang.
Melihat cukup melimpahnya ikan kelompok major yang ditemukan di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang yang ada masih menunjang keberadaan ikan-ikan tersebut, mengingat asosiasi mereka dengan organisme lain di terumbu karang. Selain itu kelimpahan ikan jenis ini yang cukup besar akan menggambarkan kestabilan ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian.
6.4 Estimasi Manfaat Sumberdaya Pesisir 6.4.1 Manfaat Sumberdaya Daratan
Salah satu faktor utama dalam menggerakkan sistem pembangunan adalah sumberdaya manusia. Dalam suatu wilayah, beberapa aspek dari sumberdaya ini yang dapat dijadikan parameter meliputi jumlah penduduk, kepadatan dan penyebaran, tingkat pendidikan dan tanggungan dalam keluarga. Data terakhir mengenai jumlah penduduk adalah berturut-turut tahun 1997 berjumlah 1902 jiwa, tahun 1998 berjumlah 2007 jiwa, tahun 2004 berjumlah 2178 jiwa dan tahun 2006 berjumlah 2324 jiwa. Untuk di Tambun ada 173 KK, di Kinabuhutan ada 303 KK dan di Kampong ada 165 KK. Tingkat pendidikan penduduk Talise sebagian besar menyelesaikan Sekolah Dasar, sebagian sampai SMP dan SMU serta hanya sedikit yang mencapai tingkat sarjana. Rata-rata jumlah anggota keluarga 4 orang, dan memang hampir semua keluarga di Pulau Desa Talise hanya keluarga kecil, bahkan jika salah satu anggota keluarga ada yang sudah menikah hanya di beri waktu 3 bulan setelah menikah harus memiliki rumah sendiri dan itu akan dibangun secara gotong royong oleh penduduk setempat. Tidak sedikit juga anggota masyarakat yang sudah berkeluarga mencari kerja dan menetap di luar pulau.
Sebagian besar penduduk berkerja sebagai petani ladang dan nelayan tradisional serta hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Walaupun demikian masyarakat sudah bisa memahami bahwa mereka akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan taraf hidup secara ekonomi dengan keadaan tersebut. Hal-hal inilah yang memungkinkan pertumbuhan penduduk menjadi lambat.
Selain sumberdaya manusia yang masih dapat digolongkan rendah bila dilihat dari aspek pendidikan, juga ada sumberdaya hasil pertanian seperti kelapa dan kacang mente. Nilai manfaat dari hasil pertanian seperti kelapa dalam bentuk kopra dengan produksi 6500 kg/kwartal dan harga Rp 325.000/100 kg, maka nilai kapitalisasi dari kopra ini adalah sebesar Rp 2.112.500.000/kwartal. Namun sekarang ini kondisi pohon kelapa hanya sedikit yang mengalami peremajaan karena hanya sedikit penduduk yang melakukan pekerjaan ini. Sedangkan untuk
kacang mente dengan produksi sebesar 3000 kg/panen (6 bulan) dengan harga jual Rp 3500/kg, didapat nilai kapitalisasi sebesar Rp 10.500.000/panen.
Pengembangan sumberdaya pertanian ini dapat dilakukan dengan introduksi teknologi industri rumah tangga. Pemanfaatan kelapa yang selama ini hasilnya hanya berupa kopra, dapat dikembangkan dengan menerapkan teknologi yang sederhana untuk menghasilkan minyak kelapa sebagai bahan memasak ataupun sebagai minyak kelapa murni atau virgin coconut oil. Selain itu tempurungnya dapat dijadikan sebagai bahan arang tempurung dan dapat dijual pada pabrik arang tempurung yang berada di Kotamadya Bitung. Sedangkan batang dan akar dapat dijadikan sebagai bahan bangunan ataupun peralatan rumah tangga seperti meja, kursi dan lemari.
Untuk produksi kacang mente yang selama ini hanya dijual sebagai bahan mentah, dapat dijadikan sebagai bahan produk jadi yang siap digunakan. Pengolahan pasca panen seperti penggorengan untuk dijadikan bahan makanan dan pengepakan (packaging) yang baik akan menambah nilai jual dari kacang mente tersebut.
6.4.2 Manfaat Sumberdaya Perairan A. Mangrove
Untuk melihat nilai manfaat langsung sumberdaya alam pesisir yang lain terhadap masyarakat, maka di lihat dari pemanfaatan sumberdaya alam seperti mangrove dan terumbu karangnya. Penggunaan kayu bakar yang berasal dari hutan mangrove telah berlangsung lama di gugus Pulau Talise. Kayu bakar sebagai sumber energi untuk kehidupan sehari-hari dirasakan besar manfaatnya karena didapat dengan harga yang tidak mahal, bahkan secara cuma-cuma. Penggunaan kayu bakau ini selain untuk kayu bakar juga ada yang digunakan untuk pembuatan bahan bangunan seperti untuk pagar atau sebagai kerangka dari bangunan rumah. Ada juga yang menggunakan kulit bakau sebagai pengikat jaring atau sebgai tempat menjemur jaring.
Sebelum hutan mangrove berada pada kondisi seperti sekarang ini, para nelayan masih dapat menemukan kepiting bakau di dalam hutan mangrove tersebut ataupun jenis ikan seperti ikan beronang dan ikan mujair laut pada areal pinggiran hutan mangrove. Kegiatan mengambil ikan di areal mangrove memang
jarang dilakukan oleh penduduk desa, walaupun ditemukan ada beberapa orang yang pernah mengambil ikan di daerah tersebut dan sekarang sudah menghentikan kegiatan tersebut.
Manfaat inilah yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat Desa Talise, sehingga bila terjadi suatu aktifitas atau kegiatan yang dapat mengganggu ekosistem mangrove, maka akan berpengaruh pada manfaat yang didapat oleh penduduk setempat. Sedangkan manfaat yang didapat tersebut merupakan permintaan dari suatu produk yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi dari masyarakat tersebut.
Rata-rata penduduk menggunakan kayu bakau sebagai bahan bakar sebanyak 8,5 m3/tahun, dengan harga Rp 7.500/m3. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mengadakan bahan bakar kayu bakau selama setahun sekitar Rp 65.526/m3/th. Bila secara maksimal ada 500 KK yang menggunakan kayu bakau sebanyak 8,5 m3/tahun, maka sumberdaya ini akan kehilangan 4.250 m3 kayu bakar/tahun. Hasil ini merupakan manfaat langsung dari hutan mangrove
yang digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat setara dengan nilai Rp 31.875.000/tahun. Pembukaan luasan hutan mangrove yang besar untuk
dimanfaatkan secara langsung oleh penduduk di Pulau Desa Talise, maka akan terjadi penurunan luasan hutan mangrove dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat Desa Talise.
Pulau Kinabuhutan yang merupakan bagian wilayah dari gugus Pulau Talise yang mempunyai luasan hutan mangrove yang paling besar juga mendapat tekanan geomorfologi pantai yang cukup besar. Hal ini karena pemanfaatan hutan mangrove yang melebihi daya dukungnya mengakibatkan intrusi air laut permukaan dan pada saat air pasang tinggi atau tertinggi akan masuk sampai di bagian pinggir pemukiman penduduk (Proyek Pesisir, 1999).
Penanggulangan terhadap penurunan sumberdaya mangrove ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia berupa mengadakan pendidikan lingkungan hidup dalam pendidikan formal dan melakukan penanaman hutan bakau pada area-area yang sudah kosong/bekas penebangan. Kegiatan penanaman pohon bakau memang tidak berjalan lancar karena penyalahgunaan dana masyarakat ataupun bantuan oleh oknum masyarakat.
Untuk menjaga keberlanjutan produktivitas hutan mangrove maka pemanfaatan harus berbasis pengelolaan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan keragaman aktivitas yang mungkin menggunakan area yang sama atau dalam periode yang berbeda tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem. Hal ini berhubungan dengan kegiatan produktif masyarakat gugus Pulau Desa Talise yang sebagian besar bertani dan nelayan tradisional. Selain dengan melihat keragaman aktivitas untuk proses produksi, maka pengelolaan hutan mangrove dapat dilakukan juga dengan membatasi penebangan dan penanaman kembali pohon bakau.
B. Budidaya Kerang Mutiara
Gugus Pulau Desa Talise terdapat perusahaan budidaya kerang mutiara yaitu P.T Horiguchi Sinar Insani (HSI) yang mendapat ijin konsesi budidaya mutiara dari pemerintah Kabupaten Minahasa sebesar 10.200 ha dan yang dimanfaatkan baru mencapai 422 ha. Walaupun pada awalnya menimbulkan konflik penggunaan ruang laut dengan masyarakat setempat, sekarang sudah tidak ada masalah mengenai ruang baik untuk areal budidaya maupun areal penangkapan oleh nelayan.
Perusahaan tersebut mempekerjakan penduduk setempat sebagai karyawannya. Untuk yang berpendidikan setingkat SLTA dapat menjadi karyawan tetap atau tidak tetap dan pendidikan yang lebih rendah merupakan karyawan tidak tetap. Perusahaan juga mempunyai dua orang teknisi elektrik/listrik berasal dari penduduk setempat yang berpendidikan STM. Untuk karyawan tidak tetap bekerja sebagai pembuat jangkar, pembersih rakit, menyiapkan keranjang tempat cangkang kerang (korekta = nama lokal) serta berpendapatan Rp 9.000/hari sudah termasuk uang makan. Untuk karyawan tetap berpendapatan Rp 350.000/bulan sudah termasuk uang makan dan teknisi perusahaan berpendapatan sebesar Rp 600.000/bulan.
Dalam budidaya kerang mutiara ini pekerjaan untuk operasi pengisian mutiara dan mengeluarkan mutiara dilakukan oleh orang Jepang. Perusahaan melakukan kegiatan panen sebanyak tiga kali dalam setahun dan setiap kali panen sebanyak tiga rakit. Satu rakit terdiri dari sepuluh baris dan setiap baris memiliki 99 gantung dimana setiap gantung terdapat 6 kerang mutiara. Estimasi produksi
untuk setiap kali panen sebesar 17.820 kerang mutiara dan jika disesuaikan dengan harga jual di pasar bahwa harga mutiara (baik mutiara putih ataupun hitam) reratanya Rp. 550.000, maka setiap hasil panen total akan berjumlah Rp.9.801.000.000. dan ini hanya berdasarkan data dari tenaga kerja perusahaan. Untuk hasil produksi baik jumlah, nilai ekonomi dan tujuan pasarnya, pemerintah Kabupaten Minahasa tidak memiliki data (tidak ada laporan).
C. Ikan Karang
Untuk hasil perikanan terhadap hasil tangkapan nelayan di Pulau Desa Talise, diperoleh hasil tangkapan ikan di terumbu karang rata-rata sebesar 10-15 kg/trip/nelayan dengan harga jual Rp. 2.000/kg. Jenis ikan yang ditangkap di daerah terumbu karang seperti ikan kerapu dan beberapa jenis ikan karang lainnya. Karena umumnya nelayan terumbu karang yang ada masih tradisional (hanya menggunakan pancing dan bubu) maka dalam 1 hari hanya ada 1 trip per nelayan. Dari hasil perhitungan maka diperoleh penghasilan setiap nelayan rata-rata Rp. 600.000 per bulan [(20 hari kerja x 15 kg x Rp 2.000)].
Data statistik untuk gugus Pulau Talise yang menunjukkan bahwa nelayan yang paling banyak terdapat di Kinabuhutan, maka jika 51% dari jumlah KK adalah nelayan maka dengan jumlah 641 KK akan terdapat 327 nelayan. Dari jumlah nelayan yang ada, sekitar 70 % adalah nelayan yang menggunakan pancing, maka akan ada sejumlah 229 nelayan yang beraktifitas di terumbu karang. Dengan demikian maka total nilai manfaat langsung terumbu karang di gugus Pulau Talise adalah Rp. 137.400.000/bulan atau Rp. 1.648.800.000/tahun.
Jumlah nelayan yang ada sisanya sekitar 30 % adalah nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan jaring dan pancing serta beroperasi di daerah yang lebih jauh dengan menangkap bermacam jenis ikan seperti ikan cakalang, ikan ekor kuning, ikan kembung, ikan tenggiri dan lain-lain. Hasil tangkapan pada musim gelap bervariasi sekitar 16.000-18.000 kg/bulan gelap. Hasil perikanan ini biasanya dijual di kota Kabupaten yaitu Likupang dengan
rata-rata harga penjualan Rp 3.500, sehingga didapat penghasilan sebesar Rp 56.000.000- Rp 63.000.000/ bulan gelap. Nelayan tradisional ini dapat
dikembangkan menjadi nelayan modern dengan menggunakan alat tangkap yang lengkap dan kapal yang lebih besar serta wilayah penangkapan yang lebih luas.
D. Terumbu Karang
Nilai ekonomi terumbu karang pada manfaat langsung penambangan karang didekati dengan cara menghitung luas rumah (secara umum) beserta materi/bahan-bahan bangunannya yang mempergunakan bahan baku karang. Di Desa Talise masih ada rumah yang dibangun dengan bahan dasar dari terumbu karang, apakah itu dinding maupun fondasinya. Ada sekitar 10% dinding rumahnya berbahan baku karang dan 75% berfondasi dengan bahan baku karang.
Rata-rata ukuran dinding adalah 15mx0,1mx3m atau 4,5m3 dan ukuran fondasi fondasi adalah 15mx0.5mx0.8m (6m3). Dengan demikian terdapat sekitar 63 KK yang dinding rumahnya berbahan dasar dari karang dan kurang lebih 470 KK yang fondasinya berbahan dasar dari karang. Jika dijadikan dalam satuan meter kubik (m3), maka keseluruhan rumah tersebut menggunakan 3.104 m3 [(63x4,5m3)+(470x 6m3)] karang. Dengan harga karang di lokasi penelitian sebesar Rp 15.000/m3, maka nilai ekonomi terumbu karang dari manfaat langsung penambangan karang hanya untuk pembangunan rumah adalah sebesar Rp 46.560.000 (3.104 x Rp 15.000). Jika nilai ini, kita asumsikan sebagai hasil dalam satu tahun maka nilai tersebut dapat ditulis Rp 46.560.000/tahun.
Dengan kondisi ekologis dan sosial ekonomi yang ada di gugus Pulau Talise maka nilai manfaat langsung yang diperoleh dari terumbu karang untuk keberadaan ikan dan kebutuhan pembangunan rumah, adalah Rp 46.560.000 + Rp 1.648.800.000 = Rp 1.695.360.000/tahun.
6.4.3 Manfaat Total
Hasil estimasi manfaat total sumberdaya pesisir gugus Pulau Talise tercantum pada Tabel 25.
Tabel 25. Hasil Estimasi Manfaat Total Sumberdaya Pesisir Gugus Pulau Talise. Sumberdaya Pesisir Manfaat Hasil Total Manfaat
1. Sumberdaya Daratan A. Pertanian 2. Sumberdaya Perairan A. Mangrove B. Budidaya Mutiara C. Ikan karang D. Terumbu karang 3. Total Nilai Manfaat
Kacang Mente dan Kopra Kayu bakar/bahan bangunan Mutiara Ikan Bahan bangunan Rp. 2.123.000.000/thn Rp. 31.875.000/thn Rp. 9.801.000.000/thn Rp. 2.026.800.000/thn Rp. 46.560.000/thn Rp. 14.029.835.000.-.
Analisis secara keseluruhan dalam mengestimasi manfaat sumberdaya pesisir adalah jumlah total dari setiap pemanfaatan sumberdaya pesisir gugus Pulau Talise yang meliputi, sumberdaya daratan (hasil pertanian) dan sumberdaya yang berada di perairan.
6.5 Kesesuaian Lahan Pada Berbagai Pemanfaatan Wilayah Pesisir gugus Pulau Talise
Penentuan suatu lahan untuk berbagai kegiatan pemanfaatan seperti pemukiman, konservasi baik di darat (perkebunan dan hutan) maupun di areal tergenang (mangrove), kegiatan perikanan (budidaya mutiara dan rumput laut) dan pariwisata (bahari dan pantai) melalui suatu proses analisa kesesuaian.. Ada dua langkah proses yang dilakukan yaitu penyusunan peta kawasan dan penyusunan matriks kesesuaian.
6.5.1 Kesesuaian Lahan Pemukiman
Lahan untuk pemukiman ini menjadi salah satu faktor penting untuk pulau-pulau kecil seperti gugus Pulau Talise yang memiliki keterbatasan dalam ketesediaan lahan ataupun sumber air tawar yang ada. Kesesuaian lahan untuk pemukiman seperti pada Tabel 26.
Tabel 26. Indeks Kesesuaian dan Luas Lahan untuk Pemukiman
Indeks Luas Area (ha) Persentase (%)
S1 493,9479 21,49
S2 319,9336 13,92
S3 674,2561 29,33
N 810,4041 35,25
Total 2.298,5417 100 Ket : Angka Total untuk persentase dibulatkan
Keterangan Kelas Kesesuaian :
S1 = Sangat Sesuai S3 = Sesuai Bersyarat S2 = Sesuai N = Tidak Sesuai
Hasil dari indeks kesesuaian menunjukkan bahwa ketersediaan lahan dengan kriteria yang sangat sesuai masih cukup besar yaitu 493 ha atau 21,49 % dan apabila di tambah dengan lahan yang berkriteria sesuai sebesar 319 ha atau 13,92 % maka jumlah lahan kriteria S1 dan S2 untuk pemukiman akan mencapai
besar bila dilihat dalam peta kesesuaian lahan. Pemanfaatan lahan untuk pemukiman sekarang ini tidak lebih dari 100 ha atau tidak lebih 25 % dari hasil kesesuaian yang ada. Namun kondisi ini juga harus disesuaikan dengan faktor pembatas lainnya yaitu ketersediaan air tawar sehingga pertambahan penduduk harus sesuai dengan jumlah air tawar yang disediakan secara alami oleh tanah.
Parameter yang memiliki nilai bobot tertinggi dalam kesesuaian lahan untuk pemukiman (Gambar 11), adalah jarak dari pantai selanjutnya diikuti oleh ketersediaan air tawar, kemiringan dan ketinggian. Kesesuaian lahan untuk pemukiman di Pulau Talise masih cukup besar bila berdasarkan indeks kesesuaian lahan.. Empat parameter yang dominan masih mendukung untuk kelas kesesuaian S1 sebesar 21,49 %. Survey lapangan menunjukkan bahwa kondisi sekarang utnuk pemukiman tergolong dalam 2 lokasi yaitu yang jarak pemukimannya >200m dari pantai dan ada yang sekitar 100-200m dari pantai. Pemukiman untuk Dusun Tambun tergolong dalam 2 kategori yaitu ada sebagian yang rumahnya hanya berjarak 100-200 m dari pantai dan sebagian tinggal pada jarak yang lebih jauh dari 200m dari pantai. Dusun Kampong atau Talise, jarak perumahan dan pantai sekitar 200m sampai 300m dari pantai dan Dusun Kinabuhutan penduduknya bermukim pada jarak 100m-200m dari pantai. Sedangkan untuk ketersediaan air tawar masih memungkinkan pemanfaatannya oleh masyarakat karena dari jumlah yang tersedia baik dari mata air maupun dari sumur tidak pernah sampai melebihi ketersediaan yang ada pada sumber mata air.
Gambar 11. Peta Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman di gugus Pulau Talise.
6.5.2 Kesesuaian Lahan untuk Konservasi Hutan
Analisis kesesuaian lahan bagi peruntukan konservasi dalam hal ini adalah konservasi di darat (istilah = pesisir pulau) maupun di perairan (mangrove) hanya didasarkan pada kriteria biofisik. Kedua macam konservasi ini yang dikembangkan karena untuk mangrove sudah mengalami banyak penebangan sehingga berakibat erosi dan banjir bila hujan, sedangkan didaratan telah terjadi pengurangan luas hutan hampir setengahnya selama 4 tahun dan ini tentunya akan mempengaruhi ketersediaan sumber air tawar dan rusaknya tanah serta hilangya satwa-satwa yang menjadi penghuni hutan. Keadaan hutan gugus pulau Talise berupa perbukitan dengan hunian satwa hutan asli Sulawesi seperti monyet (Macaca nigra), tarsius (Tarsius spectrum), Kus-kus (Strigocuscus celebensis) dan maleo (Macrocephalon maleo). Untuk pohon terdiri dari jenis linggua (Ptercarpus indicus), matoa (Pometia pinnata), dan kayu hitam (Diospyros sp) dan perkebunan kelapa peninggalan jaman Belanda. Kondisi ini memungkinkan untuk pengembangan wisata ekologi atau ekowisata. Penebangan hutan secara liar juga masih terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu juga untuk membuka lahan pertanian yang baru dilakukan dengan cara membakar lahan.
Adanya konservasi untuk lahan darat dan hutan mangrove ini tentunya diharapkan akan memperbaiki kondisi lahan yang sesuai menurut kuantitas dan kualitasnya. Hal ini akan berakibat pada pulihnya sumberdaya yang ada dan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat gugus Pulau Talise. Kesesuaian lahan untuk konservasi lahan darat berdasarkan indeks lokasi dengan parameter yang ada seperti pada Tabel 27 di bawah ini.
Tabel 27. Kesesuaian Lahan untuk Konservasi Darat
Parameter A Tambun B PT. HSI C Kampong
Kemiringan 150 380 – 400 300 – 400
Erodibilitas 0,236 0,261 0,256 Intensitas Hujan 31,66 mm/hari 31,66 mm/hari 31,66 mm/hari
Peruntukkan Hutan produksi terbatas Hutan lindung Hutan lindung
sebagai hutan lindung, sedangkan untuk wilayah A diperuntukkan sebagai hutan produksi terbatas. Luas hutan lindung adalah 663.94 ha, sedangkan untuk hutan produksi terbatas adalah 178.36 ha.
Karena gugus Pulau Talise merupakan pulau yang dikategorikan sebagai pulau sangat kecil sehingga salah satu faktor pembatas utama adalah ketersediaan sumber air tawar, maka untuk keberlanjutan proses kehidupan masyarakatnya harus memiliki sumber air tawar yang tercukupi. Keberadaan sumber air tawar di pulau ini dapat dijaga dengan memperpanjang umur hidup dari hutan yang ada atau meremajakan hutan yang sudah mulai berkurang luasannya. Terdapat areal seluas 834.87 ha yang memiliki potensi untuk dimanfatkan oleh penduduk sebagai kegiatan produktif pertanian ataupun memperluas daerah konsrvasinya dalam hal ini menghutankan kembali areal yang tidak termasuk dalam dua kategori peruntukkan. Selain konservasi darat maupun mangrove, ada juga areal yang dijadikan daerah perlindungan laut yang merupakan kegiatan swadaya masyarakat dengan difasilitasi oleh Proyek Pesisir/CRMP dengan luas 37.97 ha.
6.5.3 Kesesuaian Lahan untuk Wisata Bahari
Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di gugus Pulau Talise adalah menyelam dan snorkeling. Daya tarik dari kegiatan ini adalah kondisi terumbu karang yang masih baik dan ada beberapa yang menunjukkan pemulihan atau mulai hidup kembali. Selain itu juga keberadaan ikan di sekitar terumbu karang, yang sangat beragam jenisnya. Luas lahan yang sangat sesuai untuk wisata bahari sebesar 73 ha dan yang sesuai sebesar 1051 ha. Berikut ini adalah Tabel 28 untuk kesesuaian lahan wisata bahari.
Tabel 28. Indeks Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Bahari
Indeks Luas Area (ha) Persentase (%)
S1 73,0836 2,54
S2 1051,1319 36,59
S3 746,6522 25,99
N 1001,6458 34,87
Total 2.872,5135 100 Keterangan Kelas Kesesuaian :
S1 = Sangat Sesuai S3 = Sesuai Bersyarat S2 = Sesuai N = Tidak Sesuai
Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pemanfaatan pariwisata bahari (Gambar 12) ditunjukan oleh parameter yang menjadi ukuran seperti tutupan
karang hidup yang mendapat bobot paling tinggi kemudian kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman perairan. Kondisi terumbu karang di pantai Pulau Talise tergolong pada 3 kelas yaitu cukup baik, baik dan sangat baik sesuai dengan persen tutupan karang hidupnya pada lokasi masing-masing. Kecerahan perairan untuk lokasi kesesuaian sangat mendukung yaitu hampir mencapai 100%. Adapun jenis ikan yang ditemukan di sekitar lokasi terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Arus pada daerah perairan ini juga bergerak dengan kecepatan 13 cm/det sampai 40 cm/det, dimana kisaran ini masih dapat ditoleransi untuk kegiatan pariwisata bahari. Kedalaman perairan pada lokasi kesesuaian juga berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta bathimetri yang ada.
Pada gugus Pulau Talise terdapat beberapa lokasi yang bagus untuk dilakukan kegiatan penyelaman seperti di depan Desa Kinabuhutan ataupun lokasi di antara pulau Kinabuhutan dan pulau Talise. Namun demikian ada juga lokasi dengan terumbu karang yang rusak akibat penambangan oleh penduduk seperti yang ada di Talise Barat dan Talise Timur. Untuk melindungi terumbu karang yang ada, maka penduduk harus berperan aktif dalam menjaga kelestariannya dengan tidak melakukan pemboman ikan di daerah terumbu karang maupun mengambil karang untuk pembangunan rumah. Selain itu dalam program Proyek Pesisir sudah dibuat suatu daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (DPL-BM), dimana sudah memperlihatkan adanya perbaikan kondisi terumbu karang ke arah yang lebih baik.
Daya dukung untuk pengembangan wisata bahari menggunakan konsep Daya Dukung Kawasan (DDK), dimana merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung kawasan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan. Daya Dukung Kawasan wisata bahari untuk gugus Pulau Talise sesuai dengan luas kesesuaian lahan wisata bahari untuk kategori S1 sebesar 73 ha maka : DDK = 2 (730.000 m2/10.000 m2) x (8/2)
= 2 x 73 x 4
Gambar 12. Peta Kesesuaian Lahan untuk Wisata Bahari di Gugus Pulau Talise.
6.5.4 Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai
Kegiatan yang sering dilakukan untuk wisata pantai adalah berenang dan mandi/berjemur atau kegiatan lain di pantai. Hal ini dilakukan karena kondisi lokasi yang memungkinkan seperti kecerahan perairan, material dasar perairan yang berpasir, berkerikil atau sedikit berlumpur, kedalaman pantai yang landai, tipe pantai yang berpasir atau berkarang dan terjal. Beberapa kondisi ini dapat ditemukan di pantai gugus Pulau Talise seperti pantai berpasir putih, substrat dasar berpasir sampai karang berpasir, pantai dengan lahan terbuka dan sedikit tanaman bakau, sehingga sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan wisata pantai (Gambar 13).
Tabel 29. Indeks Kesesuaian Lahan untuk Pariwisata Pantai
Indeks Luas Area (ha) Persentase (%)
S1 325,0878 11,31
S2 371,2317 12,92
S3 273,7533 9,53
N 1902,4407 66,22
Total 2.872,5135 100 Keterangan : Angka Total untuk persentase dibulatkan
Kelas Kesesuaian :
S1 = Sangat Sesuai S3 = Sesuai Bersyarat S2 = Sesuai N = Tidak Sesuai
Parameter yang paling tinggi nilai bobotnya untuk kesesuaian wisata pantai adalah tipe pantai. Kondisi pantai gugus Pulau Desa Talise ada yang berpasir dan ada yang bercampur pasir dengan hancuran karang. Parameter yang lain seperti kedalaman perairan berkisar 0-5 m, walaupun ada juga beberapa lokasi yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 5m. Material dasar pantai berupa karang berpasir serta kecepatan arus 0,35m/det sangat menunjang untuk kegiatan wisata pantai. Lokasi yang memiliki pantai pasir putih seperti pantai di sepanjang dusun Tambun dan juga sebelah Utara dusun Talise serta pantai Kinabuhutan.. Ketersediaan air tawar yang cukup, walaupun dengan catatan untuk Kinabuhutan masih mengambil air tawar dari gugus Pulau Desa Talise, namun memungkinkan untuk dibukanya rumah tinggal untuk wisatawan baik untuk menginap maupun tidak menginap. Juga sarana transportasi yang ada setiap hari
dimana hanya melakukan satu trip yaitu pagi dari gugus Pulau Talise menuju Likupang (mainland), dan sore sebaliknya.
Luas areal untuk wisata pantai di gugus Pulau Talise berdasarkan kesesuaian adalah untuk kriteria sangat sesuai adalah 325 ha dan kriteria sesuai sebesar 371 ha. Apabila digabungkan kedua kriteria ini maka luas keseluruhan yang sesuai adalah 696 ha atau sekitar 6 km2. Apabila dibandingkan dengan jumlah wisatawan yang datang untuk berwisata pantai, maka luas lahan masih sangat mendukung. Menurut standar WTO (1981), bahwa wisata pantai untuk kelas istimewa setiap orang memerlukan ruang seluas 30 m2 dan 1 - 2 orang/20-50m pantai sedangkan untuk kelas rendah seluas 10 m2/orang dan 2-5 orang/20-50m pantai.
Untuk kebutuhan air bersih menurut WTO, bahwa daerah pesisir memerlukan 200-300 liter/orang/hari sedangkan untuk daerah pantai tropik memerlukan 500-1000 liter/orang/hari. Untuk fasilitas tempat tidur antara 60 sampai 100 tempat tidur/ha.
Ketersediaan air tawar sebesar 31.000 m3/bulan dengan penggunaan sebanyak 19.000 m3/bulan oleh penduduk, maka air tawar yang masih tersisa adalah sebesar 10.000 m3/bulan yang dapat dimanfatkan untuk aktivitas yang lain seperti untuk kebutuhan wisata bahari atau wisata pantai. Apabila menggunakan standar WTO dari aspek ketersediaan air tawar untuk wisata pantai tropik, maka lokasi ini dapat menampung 10.000 orang/bulan. Ini berdasarkan kebutuhan akan air tawar, sedangkan kebutuhan untuk ruang akan wisata pantai sesuai kriteria yang ada yaitu 30 m2/orang, maka untuk luas lahan 696 ha (± 6 jt m2) sehingga 6 jt/30 m2 dapat menampung sekitar 200.000 orang. Tetapi untuk kasus pulau sangat kecil, ketersediaan air tawar menjadi faktor pembatas utama maka jumlah wisatawan yang dapat ditampung harus sesuai dengan ketersediaan air tawar yang ada.
Namun demikian berdasarkan hasil Daya Dukung Kawasan untuk wisata rekreasi pantai, maka luas lahan berdasarkan indeks kesesuaian S1 sebesar 325 ha dapat menampung sebanyak 650 orang pada saat bersamaan tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia.
Gambar 13. Peta Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai di Gugus Pulau Talise.
6.5.5 Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Kerang Mutiara
Lahan budidaya kerang mutiara yang mendapat ijin dari Bupati Minahasa No. 523/Perikanan/114, Tanggal 12 September 1987 mencakup tiga pulau yaitu Gugus Pulau Talise, Pulau Gangga dan Pulau Bangka. Demikian juga hasil ijin dari Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Utara tanggal 30 Maret 1995 meliputi ketiga pulau tersebut. Namun demikian lahan yang dimanfaatkan oleh PT Horiguchi Sinar Insani (PT.HSI) yang menjadi perusahaan pengguna lahan untuk membudidaya kerang mutiara masih sebesar 481.91 ha. Sedangkan lahan yang dapat dikembangkan berdasarkan analisis kriteria kesesuaian adalah sebesar 574 ha untuk S1 (Tabel 30). Hal ini menunjukkan masih ada lahan seluas sekitar 100 ha yang belum termanfaatkan untuk budidaya kerang mutiara.
Tabel 30. Indeks Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Kerang Mutiara
Indeks Luas Area (ha) Persentase (%)
S1 574,8221 20,01
S2 691,5319 24,07
S3 994,8015 34,63
N 611,3580 21,28
Total 2.872,5135 100 Keterangan: Angka Total untuk persentase dibulatkan
Kelas Kesesuaian :
S1 = Sangat Sesuai S3 = Sesuai Bersyarat S2 = Sesuai N = Tidak Sesuai
Kesesuaian lahan untuk budidaya kerang mutiara (Gambar 14) menggunakan beberapa parameter yang mendapat bobot tinggi seperti terlindung dari pengaruh angin dan musim, kondisi gelombang, salinitas, sedangkan arus, kedalaman dan dasar perairan serta suhu perairan memiliki bobot lebih rendah.
Hasil survei di lokasi budidaya kerang mutiara bahwa untuk mendapatkan akses ke dalam pabrik sangat sulit sehingga data yang didapat sangat minim. Selain parameter dalam tabel kesesuaian lahan untuk budidaya moluska, hal yang sangat mendukung dalam proses budidaya adalah pengelolaannya yaitu menjaga kebersihan jaring dari sisa makanan dan kotoran sehingga kualitas air tetap terjaga.
Gambar 14. Peta Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Kerang Mutiara di Gugus Pulau Talise.
6.5.6 Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut
Kegiatan budidaya rumput laut sudah pernah dilakukan oleh penduduk pulau Talise pada tahun 1990-an. Hanya dengan jumlah modal yang sedikit atau minim dapat memberikan hasil yang maksimal, namun budidaya ini tidak berlangsung lama karena rumput laut yang ditanam terserang penyakit ice-ice atau busuk batang sehingga para petani tidak mendapatkan hasil panen dari rumput laut yang di budidayakan. Setelah kejadian itu, penduduk Pulau Desa Talise tidak ada lagi yang mengusahakan budidaya rumput laut sampai sekarang.
Tabel 31. Indeks Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut
Indeks Luas Area (ha) Persentase (%)
S1 228,7337 7,96
S2 232,3077 8,08 S3 213,5579 7,43
N 2197,9142 76,51
Total 2.872,5135 100 Keterangan: Angka Total untuk Persentase dibulatkan
Kelas Kesesuaian :
S1 = Sangat Sesuai S3 = Sesuai Bersyarat S2 = Sesuai N = Tidak Sesuai
Kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut (Gambar 15) di Pulau Talise walaupun hanya memiliki luasan yang kecil tetapi dapat diusahakan. Parameter yang memiliki bobot tinggi untuk budidaya rumput laut adalah tinggi gelombang dan kecepatan, sedangkan arus, pH, salinitas, kedalaman perairan, suhu dan material dasar perairan memiliki nilai di yang lebih rendah. Tinggi gelombang untuk pantai Talise berkisar antara 20-35 cm bahkan lebih besar jika musim Selatan. Kedalaman perairan juga untuk jarak yang lebih jauh dari daratan dapat mencapai 40-50 m. Untuk parameter lainnya relatif sama pada daerah sekitar pulau Talise, sehingga lahan yang sesuai untuk budidaya rumput laut relatif kecil.
Ketersediaan lahan untuk budidaya rumput laut dengan kriteria sangat sesuai sebesar 228 ha dimana lahan ini dapat dijadikan sebagai kegiatan mata pencaharian. Untuk kegiatan ini diperlukan suatu program contoh awal yang dapat menumbuhkan kepercayaan penduduk terhadap budidaya rumput laut.
Gambar 15. Peta Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Talise.