• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Roadmap Perekonomian APINDO versi lengkap | APINDO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Materi Roadmap Perekonomian APINDO versi lengkap | APINDO"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ROADMAP PEREKONOMIAN

Penciptaan Tiga Juta Lapangan Kerja Berkualitas per Tahun

Kontribusi APINDO bagi Kepemimpinan Nasional 2014-2019

(2)

Pengarah

Sofjan Wanandi, Chris Kanter, Suryadi Sasmita, Shinta W. Kamdani, DE Setijoso, Anton J. Supit, Johnny Dharmawan, Soebronto Laras, Rachmat Gobel, Hariyadi B. Sukamdani, Sanny Iskandar

Penyunting

Djisman Simandjuntak, Mari Elka Pangestu, P. Agung Pambudhi

Kelompok Kerja

Pangan dan Pertanian

Bayu Krisnamurthi, Bustanul Arifin, Farid Bahar Energi

Luky Yusgiantoro, Muliawan Margadana, Herman Kasih Manufaktur

Sjamsu Rahardja, Haryo Aswicahyono, Riandy Laksono Jasa

Mari Elka Pangestu, Yose Rizal Damuri, Angga Antagia Kebijakan Makro dan Institusi Finansial

Raden Pardede, David E. Sumual, Anton Gunawan, Manggi Habir

Infrastruktur

Djisman Simandjuntak, Rizqy Anandhika

Hukum, Ketenagakerjaan, Reformasi Birokrasi, Otonomi Daerah Todung Mulya Lubis, Julius Singara, Teguh Maramis, Asep Warlan Yusuf Suahasil Nazara, P. Agung Pambudhi, Robert Endy Jaweng

Narasumber

Benny Kusbini, Juan Permata Adoe, Karen Tambayong, Munardji Sudarjo, Tito Pranolo

Afdhal Bahaudin, Ida Ayu Puspasari, Izmail Zulkarnain, Luluk Sumiarso, Mery Sofi, Murtaqi Syamsuddin, Nur Pamudji, Priyo Pribadi, Sulistiyanto, Suyitno Padmosukismo, Setio AD

Ashwin Sasongko, Dedy S. Priatna, Imam M. Ramadhany, Luky Eko Wuryanto Agus Tjahyana, Bob Azzam, Franky Sibarani, Harijanto, Mintardjo Halim, Noegardjito

Armida Alisjahbana, Anwar Nasution, Bambang PS Brodjonegoro, Cyrillus Harinowo, Darmin Nasution, Doddy BW, Felia Salim, Gunawan Tjokro, Mahendra Siregar, Mulya Siregar

Akhiar Salami, Hikmahanto Juwono, Hesti Setiowati, Norman Djumiril, Rahmad Soemadipradja, Timur Sukirno Myra Hanartani, Nugroho Wienarto, Palmira Bachtiar, Rahma Iryanti, Satrijo PH, Tianggur Sinaga

Daan Patinasarani, Dodi Riyatmadji, Erman A. Rachman, Farah Ratnadewi Indriani, Jeffrey EM, Riatu MQ, Sigit Murwito, Syaikhu Usman, Tino Hardianto, Wariki Sutikno

Achmad Shauki, Aratsu Yuki, Chris Wren, CK Song, Daiiki Yokoyama, David Hawes, David Nellor, Darrel Johnson, Della Temenggung, E. Boulcstreau, Elmar Bouma, H. Muraoka, J. Carouso, Gustav Papanek, Jacob Fris Sorengen, Jae-Hee Chang, Jonathan Pincus, Kirk Laysond, Mercy Simorangkir, Monika Wihardja, Masahiro Juraku, Motoyasu Tanaka, Nathalie Linvelt, Ole Schenke Eikum, SP Warmerdam, Paul Barlett, William Wallace, Yoshida Susumu, Yoshinori Keino, Yook Chan Kim

(3)

DAFTAR ISI

BAGIAN A — PROGRAM 100 HARI PERTAMA

1. Stabilisasi Makro dan Penciptaan Ruang Fiskal ... 3

2. Proteksi Sosial ... 4

3. Percepatan Perampungan Infrastruktur dan Energi ... 4

4. Pangan dan Pertanian ... 5

5. Industri Pengolahan ... 5

6. Jasa-jasa ... 7

7. Usaha Kecil dan Menengah ... 7

8. Kepastian Hukum ... 8

9. Otonomi Daerah ... 8

10. Kebijakan tentang Keterbukaan Internasional... 8

BAGIAN B — PEMBAHASAN PROGRAM 1. Konteks Kebijakan ... 13

2. Agenda Penguatan Sektor ... 15

3. Menjawab Tantangan Lintas Sektoral ... 16

I. STRATEGI MAKRO EKONOMI ... 19

Visi Utama ... 19

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 19

Rekomendasi Program Transformasi 5 Tahun ... 19

A. Potret Makroekonomi Indonesia... 19

B. Langkah-Langkah Kebijakan Reformasi Struktural Demi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan dan Performa Makroekonomi yang Tangguh ... 21

II. PENGEMBANGAN SEKTOR MANUFAKTUR ... 23

Visi Utama ... 23

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 23

(4)

A. Latar Belakang ... 24

B. Pentingnya Agenda Revitalisasi Sektor Manufaktur Indonesia ... 25

C. Potret dan Permasalahan Sektor Industri Manufaktur di Indonesia 26 D. Rekomendasi Menuju Sektor Industri Manufaktur yang Berdaya Saing Global ... 34

III. PENGEMBANGAN SEKTOR PANGAN dan PERTANIAN ... 38

Visi Utama ... 38

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 38

Rekomendasi Program Transformasi 5 Tahun ... 39

A. Potret Sektor Pangan dan Pertanian Indonesia... 39

B. Langkah Langkah Pengembangan Sektor Pangan dan Pertanian ... 40

IV. PENGEMBANGAN SEKTOR JASA ... 43

Visi Utama ... 43

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 43

Rekomendasi Program Transformasi 5 Tahun ... 43

A. POTRET SEKTOR JASA INDONESIA... 44

B. LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN SEKTOR JASA ... 47

V. PENGEMBANGAN SEKTOR ENERGI ... 49

Visi Utama ... 49

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 49

Rekomendasi Program Transformasi 5 Tahun ... 49

A. Potret Sektor Energi dan Mineral Indonesia ... 50

B. Langkah-Langkah Pengembangan Sektor Energi dan Mineral ... 53

VI. PENGEMBANGAN SEKTOR FINANSIAL ... 56

Visi Utama ... 56

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 56

Rekomendasi Program Transformasi 5 Tahun ... 56

A. Potret Sektor Finansial Di Indonesia ... 57

B. Langkah-Langkah Dalam Mengembangkan Sektor Finansial Indonesia ... 58

VII. PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR ... 60

Visi Utama ... 50

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 60

(5)

A. Potret Sektor Infrastruktur Di Indonesia ... 60

B. Langkah-Langkah Pengembangan Sektor Infrastruktur ... 63

VIII. TATA KELOLA HUKUM DAN PEMERINTAHAN ... 66

Visi Utama ... 66

Rekomendasi Program 1 Tahun Pertama ... 66

Rekomendasi Program Transformasi 5 Tahun ... 67

Permasalahan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan ... 68

Kepastian Berinvestasi ... 68

I. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan .. 68

II. Perizinan, Pajak dan Retribusi Daerah ... 69

III. Ketenagakerjaan ... 70

Infrastruktur ... 71

Lingkungan Hidup ... 72

Ketahanan Pangan... 73

Energi ... 74

Pertanahan ... 74

(6)
(7)

BAGIAN A

PROGRAM

(8)
(9)

1. STABILISASI MAKRO DAN PENCIPTAAN RUANG FISKAL

Awal pemulihan pertumbuhan ekonomi ke 7% dalam 2014-2019, pengangguran terbuka dijaga pada 6% dan perpindahan angkatan kerja ke lapangan kerja yang lebih produktif, inflasi dijaga pada kisaran 1% ke atas dan 1% ke bawah inflasi target, perubahan nilai tukar dijaga seirama de ngan Paritas Daya Beli (PPP), saldo transaksi berjalan dijaga di bawah 4% dari PDB, perburukan ketimpangan sosial dihentikan dan dibalik dan ruang fiskal dicipta lewat realokasi APBN melalui pemotongan subsidi konsumsi berjalan, terutama subsidi konsumsi energi.

Pada pertengahan 2014 pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja Indonesia cenderung melemah karena kebangkitan global yang lebih lemah dari perkiraan semula dan kebijakan moneter dalam negeri yang diketatkan untuk mencegah defisit transaksi berjalan melewati 4% dari PDB. Ketidakpastian global dan regional juga memburuk karena krisis Timur Tengah, krisis Ukraina, krisis utang Argentina, gejolak politik Thailand dan perselisihan perbatasan di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Pasar komoditas primer yang lemah masih akan berlanjut dalam 2015.

Indonesia memerlukan pertumbuhan tinggi untuk menjaga pengangguran terbuka pada tingkat 6% dan membuka lapangan kerja untuk memindahkan secara bertahap penduduk yang bekerja di sektor pro-duktivitas rendah ke lapangan kerja yang lebih produktif. Bertitik tolak dari pertumbuhan tahun 2014 se ki tar 5,5% dan pengalaman panjang Indonesia sebelumnya perubahan kebijakan harus dipacu untuk mempercepat pertumbuhan menjadi 6% dalam 2015, 7% dalam 2016, 7,5% dalam 2017, 2018 dan 2019 atau rata-rata 7% dalam 2014-2019.

Pada waktu yang sama defisit transaksi berjalan harus kembali ke kisaran yang berkelanjutan, yaitu di bawah 4% dari PDB. Arus modal langsung pun hanya memecahkan masalah neraca pembayaran kalau disertai oleh kenaikan ekspor barang dan jasa yang sesedikitnya sama dengan kewajiban-kewajiban yang timbul karena arus modal masuk, terutama remitansi dividen, gaji pekerja asing dan biaya-biaya Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Produk-produk ekspor baru, barang maupun jasa, harus diproduksi dengan memanfaatkan rantai pasokan global dan regional. Untuk itu konektivitas fisik, kelembagaan dan antar manusia harus diperbaiki ke tingkat yang sebanding dengan ekonomi-ekonomi lain yang bekerjasama dan bersaing dengan Indonesia dalam rantai nilai itu.

Setiap perubahan memerlukan penggerak atau pengungkit (leverage). Di bawah kondisi Indonesia seka rang penggerak yang paling mungkin diaktifkan oleh pemerintah baru adalah reformasi keuangan negara sehingga tercipta ruang fiskal. Pemerintahan Jokowi-Kalla akan dapat berbuat sesuatu hanya kalau sebagian sumber dibebaskan dari penggunaannya yang sekarang. Yang paling cocok untuk itu adalah pemotongan subsidi konsumsi berjalan (current consumption subsidies), terutama subsidi energi yang sudah bermuara dalam kemandulan fiskal (fiscal impotence).

(10)

direformasi. Pemotongan subsidi BBM perlu dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, misalnya bulan September. Pendekatan yang paling praktikal adalah penaikan harga BBM bersubsidi dengan Rp 3.000/liter dan mengindeks harga baru itu dengan harga internasional. Dengan kenaikan harga seperti itu subsidi yang dihemat dalam 4 bulan terakhir 2014 akan berjumlah sekitar Rp 33 trilyun dan jauh di atas Rp 100 trilyun dalam 2015 kalau konsumsi BBM tetap naik kuat seperti selama ini.

2. PROTEKSI SOSIAL

Penghematan lewat kenaikan harga BBM dipakai untuk 2 tujuan serentak: proteksi daya beli rakyat mis kin sampai dengan 30% dari subsidi yang dihemat dan stimulasi kegiatan ekonomi. Proteksi sosial dapat dilakukan melalui:

1) Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi 15,5 juta keluarga miskin dan rentan dinaikkan dengan Rp 100 ribu/bulan selama 4 bulan dengan pengeluaran tambahan sebesar Rp 6,2 T untuk empat bulan ter akhir 2014.

2) Siswa Miskin yang berjumlah 11,1 juta siswa diberi tunjangan satu kali dalam bulan September 2014 sebesar Rp 200 ribu per orang dengan tunjangan total Rp 2,2 trilyun.

3) Program Keluarga Harapan (PKH) yang mencakup 3,2 juta rumah tangga (RT) diberi satu kali tunjangan sebesar Rp 300 ribu/RT atau total Rp 0,96 trilyun.

4) Dalam tahun 2015 sistem proteksi sosial ini akan dikonsolidasi secara komprehensif dengan meng-utamakan Bantuan Langsung Desa (BLD) dan mengingat perlindungan yang disediakan melalui BPJS.

3. PERCEPATAN PERAMPUNGAN INFRASTRUKTUR DAN

ENERGI

Sisa penghematan subsidi sebesar sekitar Rp 23 trilyun dalam empat bulan terakhir 2014 dipakai sebagai katalis percepatan perampungan program atau proyek infrastruktur yang sudah mendekati penyelesaian terutama pembangkit tenaga listrik, ruas-ruas “debottlenecking” jalan tol dan pelabuhan laut dan udara dan kilang minyak bumi. Untuk pembangkit tenaga listrik proyek-proyek dipilih dari daftar Fast Track Program atau FTP 1 dan FTP 2 dan untuk yang lain-lain dari daftar BAPPENAS.

 Pembenahan dan kepastian hukum, serta insentif skema Public Private Partnership (PPP) dalam bangunan infrastruktur, serta akuntabilitas Pemerintah Pusat dan Daerah untuk pembebasan lahan dan kepastian izin usaha;

(11)

 Perbaikan, rehabilitasi dan pembangunan baru bendungan besar, berikut jaringan irigasi primer yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, setidaknya di 11 Provinsi sentra produksi padi. Disamping itu pengembangan infrastruktur yang menunjang pembangunan di sektor pertanian, seperti alat atau perangkat komunikasi, gudang, alat angkut.

Dampak penghematan subsidi BBM setelah kenaikan harga BBM dengan Rp 3.000/liter akan terasa jauh lebih kuat dalam 2015 dan dikonsentrasikan pada percepatan pembangunan infrastruktur konektivitas fisik dan kelembagaan. Pengeluaran modal pemerintah untuk infrastruktur sebagai persentase PDB da pat dinaikkan dengan sekitar 1,5% point dengan dampak ganda (crowding in effect) melalui Kemitraan Publik Swasta (KPS).

4. PANGAN DAN PERTANIAN

Sektor pangan dan pertanian dapat digerakkan cepat dengan dampak ketenagakerjaan, pendapatan dan devisa. Strateginya berporos pada peningkatan respon penawaran (supply response) terhadap per-mintaan di dalam negeri dan pasar internasional.

Melalui modernisasi penggilingan padi pada 11 propinsi sentra produksi kehilangan pasca panen dapat diturunkan dengan dampak netto sebesar 4,2 juta ton atau 10,5% dari produksi beras tahunan. Pada tahap kedua modernisasi penggilingan akan dilakukan di 22 propinsi lain.

Respon penawaran terhadap kenaikan permintaan dilakukan melalui perbaikan tanaman-tanaman yang merupakan andalan petani dalam pengadaan uang tunai, terutama kakao, kopi, teh, dan buah-buahan yang dewasa ini semakin diungguli oleh buah-buah impor.

Perbaikan respon penawaran dilakukan melalui program bibit besar-besaran yang berbasis kultur jaringan (somatic embryogenesis-SE) dan penyuluhan di bawah koordinasi Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dengan melibatkan dinas perkebunan propinsi.

5. INDUSTRI PENGOLAHAN

Dari perspektif penciptaan lapangan kerja yang lebih produktif secara besar-besaran sekitar 3 juta per tahun dalam 2014-2019 dan kebutuhan menjaga defisit transaksi berjalan di bawah 4% dari PDB revitalisasi industri pengolahan adalah keharusan bagi Indonesia. Di samping hilirisasi yang

me-mang perlu dipacu dalam beberapa sektor dengan pola substitusi impor dan atau promosi ekspor revi-talisasi sektor-sektor yang padat karya keahlian rendah dan sedang juga perlu dipacu dengan

(12)

5.1 KILANG MINYAK

Dengan konsumsi BBM yang naik progresif (8% per tahun) Indonesia sangat memerlukan kilang-kilang baru. Dua atau tiga proyek yang paling maju persiapannya harus diprioritaskan agar rampung secepat mungkin. Sebagian dari penghematan karena kenaikan harga BBM akan dipakai untuk memperbaiki daya tarik kilang untuk investasi, apakah investasi asing, nasional atau patungan.

5.2 INDUSTRI BARANG KONSUMSI, INDUSTRI TEKNOLOGI INFORMASI &

KOMUNIKASI DAN INDUSTRI OTOMOTIF

Program revitalisasi industri pengolahan hasil pertanian, industri tekstil dan pakaian jadi, industri oto -motif, industri teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dan industri permesinan akan disiapkan dalam empat bulan terakhir 2014 dan awal 2015.

Program revitalisasi itu akan memperbaiki daya tarik industri-industri tersebut di atas melalui bauran instrumen yang terdiri dari:

1) Perpanjangan Permenkeu No. 130/2011 tentang insentif pajak bagi industri-industri pionir dan perluasan cakupannya ke industri-industri yang padat karya dan berorientasi ekspor. Insentif pajak yang dikandung oleh Permenkeu ini akan diberikan kepada perusahaan manufaktur atas dasar jumlah karyawan tetap, yaitu pengurangan tingkat PPH dengan 1 persen poin untuk setiap 100 tambahan pekerja tetap sampai dengan batas maksimum 15% poin atau separo dari tingkat PPH umum.

2) Promosi kerukunan hubungan industrial dengan mengingat proteksi sosial yang berasal dari BPJS dan program publik-swasta dalam pengembangan keahlian karyawan.

3) Percepatan persiapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di daerah yang insfrastruktur dasarnya sudah dibangun, yaitu dalam jangka pendek Pantura Barat sebelah Barat Jakarta hingga Cilegon, Pantura Tengah sekitar Semarang dan Pantura Timur sekitar Gresik, kawasan Medan Raya dan Ma-kassar raya maupun Sulawesi Utara sekitar Bitung. Kawasan-kawasan khusus ini diandalkan sebagai kawasan percepatan pembukaan lapangan kerja dan peningkatan ekspor hasil industri dengan mengintegrasikan mereka dengan pusat-pusat jaringan produksi Asia Timur.

4) Kepastian hukum melalui koordinasi sektoral dan ruang antara Pusat dan Daerah, terutama dalam kaitan dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

5) Reformasi birokrasi, terutama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

(13)

6. JASA-JASA

Keberhasilan Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja produktif dalam jumlah besar-besaran dan mengurangi defisit transaksi berjalan melalui ekspansi ekspor memerlukan “revolusi kultur jasa”. Penu-runan biaya logistik untuk memperbaiki daya saing menghadapi negara lain di pasar luar negeri dan di pasar dalam negeri memerlukan “revolusi kultur jasa” yang tercermin dalam perbaikan besar-besar an dalam mutu jasa dan penurunan besar-besaran dalam biaya. Literasi, kejujuran dan ketahanan melawan korupsi, ketepatwaktuan, kecermatan, keikhlasan dalam melayani, dan kemauan memperbaiki kesalahan akan mengangkat luar biasa sumbangan langsung dan tidak langsung jasa-jasa bagi penciptaan nilai tambah, lapangan kerja dan ekspor Indonesia. Baik jasa tradisional seperti persekolahan dasar maupun jasa kreatif seperti jasa pariwisata berbasis pengetahuan akan tumbuh kuat di buritan “revolusi kultur jasa”.

Prioritas tinggi akan diberi pada jasa keuangan, jasa-jasa logistik, jasa pendidikan, jasa kesehatan dan jasa pariwisata dengan dua sasaran pokok: (a) Mengangkat standar layanan secara bertahap ke tingkat praktik terbaik yang relevan; dan (b) Menurunkan biaya satuan yang akan membantu perbaikan daya saing di dalam negeri menghadapi impor dan di luar negeri menghadapi negara-negara lain di samping memberi nilai yang lebih besar bagi pengguna jasa untuk pengeluaran mereka.

“Revolusi kultur jasa” membuka peluang lebar bagi pengembangan UMKM. Indonesia Timur di luar Sulawesi misalnya mempunyai peluang besar dalam pariwisata inklusif dan berkelanjutan. Dengan perencanaan yang baik alam Indonesia Timur akan dikembangkan menjadi kawasan pariwisata inklusif yang berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan. Di dalamnya dilibatkan pemerintah, pelaku-pelaku pariwisata besar, universitas dan UMKM lokal dalam kerjasama yang mematuhi prinsip dan aturan tata kelola yang baik, kewajiban sosial perusahaan dan etika ekologi. Dalam kawasan itu desa-desa dan kota wisata dipadu dalam “Konektivitas Pariwisata Inklusif dan Berkelanjutan”. Sebagaimana pemerintah menyediakan sarana-sarana pertanian bagi petani, sarana-sarana dasar pariwisata dibangun sebagai benda publik di lokasi-lokasi yang tercakup dalam kawasan itu.

7. USAHA KECIL DAN MENENGAH

(14)

8. KEPASTIAN HUKUM

Prioritas agenda penciptaan kepastian hukum diletakkan dalam pengadaan tanah untuk kawasan indus tri dan perusahaan, penerapan UU Penanaman Modal 2007 sebagai acuan bagi peraturan-per-aturan penanaman modal seperti penghapusan kewajiban divestasi bagi PMA yang terbuka bagi modal asing 100%, perpanjangan peraturan Menteri Keuangan tentang insentif pajak penghasilan bagi perusahaan-perusahaan pionir dan perluasan cakupan industri pionir ke industri yang padat modal dan padat ekspor, dan kepastian tentang pembebasan hasil pertanian dari PPN.

Selain itu diperlukan ketegasan pemerintah untuk menghentikankriminalisasi kasus-kasus perdata oleh Polri dan Kejagung yang dapat merongrong kewibawaan Pengadilan Tipikor, Polri dan Kejagung sen-diri. Terkait hal diperlukan kejelasan status keuangan Badan Usaha Milik Negara apakah merupakan keuangan negara karena akibat ketidakjelasan ini, banyak terjadi tindakan bisnis (perdata) dikrimi nali-sasikan oleh aparat penegak hukum.

Untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan, diperlukan pembentukan team task force yang ber-tugas mengidentifikasi dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan di semua tingkatan, termasuk namun tidak terbatas pada lingkup pertambangan, energi, kehutanan, perkebunan, tata ruang wilayah, dan perijinan usaha.

9. OTONOMI DAERAH

Dalam upaya membuka ruang fiskal yang lebih besar Pemda diwajibkan mengalokasikan minimal 30% dari pengeluaran untuk belanja modal. Pemda yang belanja aparaturnya melebihi 50% dari pengeluaran total dikenakan penundaan penerimaan pegawai. Skema anggaran multi-tahun diterapkan secara luas untuk meningkatkan efektifitas penggunaan APBD. Perda akan dikaji dari segi dampaknya terhadap iklim usaha melalui Komite Pengkajian yang akan dibentuk dengan target mengajukan rekomendasi kepada Presiden dalam 100 hari sejak pembentukannya. Dalam Komite Pengkajian ini duduk unsur-un-sur birokrasi dan institusi yang bergerak dalam pemantauan otonomi daerah. Desain dan pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) akan diperbaiki untuk menjamin kejelasan dalam delegasi wewe-nang dan kelancaran proses bisnis.

10. KEBIJAKAN TENTANG KETERBUKAAN INTERNASIONAL

(15)

langgeng, pemupukan progresif dalam modal manusia (kesehatan, pendidikan dan kewirausahaan), dan melunturnya semangat kerjasama antara institusi dan pelaku-pelaku ekonomi.

(16)
(17)

BAGIAN B

(18)
(19)

1. KONTEKS KEBIJAKAN

MASALAH UTAMA

APINDO dan dunia usaha pada umumnya melihat bahwa tantangan utama pemerintahan kedepan di dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berke-lanjutan, stabil, dan inklusif. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak cukup, tetapi juga harus semakin mampu menyediakan pekerjaan formal berkualitas, sehingga secara efektif mengurangi kemiskinan dan kesenjangan.

Intinya untuk menyerap 8,3 juta tambahan angkatan kerja selama periode 2014-2019 plus pengangguran tahun 2013 sebesar 7,2 juta maka diperlukan lapangan kerja sejumlah 15,5 juta. Dengan kata lain diper-lukan setidaknya penciptaan 3 juta lapangan pekerjaan per tahun antara 2014-2019.

Untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas, pembangunan dan kebijakan ekonomi yang berdaulat perlu memperhatikan tiga pilar, yaitu (i) perluasan kesempatan usaha yang berdasarkan persaingan yang adil, transparansi kebijakan, kepastian hukum, dan iklim usaha yang kondusif; (ii) penyebarluasan manfaat dari globalisasi dengan mengedepankan kepentingan dalam negeri; serta (iii) keberpihakan yang lebih besar kepada rakyat (khususnya rakyat miskin), Usaha Kecil dan Menengah (UKM), daerah, serta kepentingan dalam negeri.

SUMBER PERTUMBUHAN, PELUANG DAN TANTANGAN

Selama ini dan kedepan perkembangan ekonomi Indonesia didorong oleh 5 aspek pendorong perkem-bangan, yaitu (i) besarnya basis konsumsi dalam negeri, berjumlah 240 juta orang, yang semakin

meningkat daya belinya; (ii) keuntungan (dividen) demografik dimana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari penduduk berumur dibawah 14 tahun dan di atas 65 tahun; (iii) kekayaan sumber daya, dimana boom komoditas primer karena kekayaan sumber daya alam telah menopang pertumbuhan

ekonomi dan ekspor selama 8 tahun terakhir; kedepan kekayaan keseluruhan sumber daya (termasuk alam, manusia dan warisan budaya) sebagai basis untuk diversifikasi struktur ekonomi; (iv) demokrasi yang stabil sampai tingkat daerah sehingga mendorong aktifitas bisnis dan investasi; serta (v) pesatnya perkembangan perkotaan yang ditandai oleh meningkatnya urbanisasi dari 52% di tahun ini menjadi

68% pada 2025.

(20)

(global value chain)1, maka Indonesia dapat lebih lanjut mendorong pertumbuhan ekonomi dalam

negerinya.

Tidak hanya kesempatan yang semakin terbuka, tetapi tantangan dan resiko global yang menghadang Indonesia, di masa depan, juga semakin besar. Tantangan utama dari sisi eksternal yang akan dihadapi Indonesia adalah (i) pasar global yang masih lemah dan melambatnya pertumbuhan Negara-negara berkembang di kawasan Asia, terutama RRT dan India; (ii) harga komoditas internasional yang akan tetap rendah secara permanen; serta (iii) berakhirnya era suku bunga rendah yang dipicu oleh pengurangan stimulus Federal Reserve sehingga mendorong naiknya suku bunga di Amerika Serikat.

Perubahan tantangan di level global tersebut sangat perlu untuk dicermati pemerintahan kedepan, di-karenakan pada 2003-2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia banyak ditopang oleh ekspor komo-ditas sebagai respon dari harga komokomo-ditas internasional yang tinggi (“windfall profit”) serta deras-nya aliran uang ke dalam negeri sebagai imbas dari rendahderas-nya suku bunga internasional (“easy money”). Selain itu, walaupun kemiskinan absolut berhasil dikurangi, Indonesia juga masih memiliki “pe kerjaan rumah” yang serius untuk memperbaiki struktur perekonomiannya, dimana saat ini sektor informal masih mendominasi sebesar 60% dari lapangan pekerjaan/kesempatan usaha.

IMPLIKASI BAGI INDONESIA

Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mencapai visi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, stabil, dan inklusif serta memanfaatkan secara optimal peluang yang ada di level global dan domestik?

Pertama dari sisi permintaan (demand side) seperti kebijakan fiskal untuk belanja Negara yang efektif, kebijakan moneter yang kondusif, menjaga dan meningkatkan konsumsi non pemerintah, investasi, dan ekspor tetap perlu diteruskan dan diperbaiki di jangka pendek.

Kedua pemerintahan kedepan harus memberikan penekanan yang lebih berat pada kebijakan sisi penawaran (supply side policy) mulai saat ini dan di jangka menengah yang berfokus kepada refor-masi struktural dan peningkatan produktivitas. Kalau tidak, target pertumbuhan tinggi (lebih dari 8%) yang mampu menyediakan 3 juta lapangan kerja berkualitas setiap tahunnya, guna menyerap tambahan angkatan kerja baru serta pekerja dari sektor informal dan berproduktivitas rendah (cth: sektor pertanian), tidak akan tercapai tanpa menyebabkan overheating, yang biasanya ditandai dengan inflasi yang tinggi dan defisit neraca transaksi berjalan yang melebar. Disamping itu pasar dalam negeri dan sumber daya manusia produktif tidak menjadi kekuatan, dan bahkan bisa menjadi beban.

(21)

Peningkatan produktivitas perekonomian secara umum dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu: (i) per-geseran dari sektor produktivitas rendah ke produktivitas tinggi, misalnya dari sektor pertanian ke industri olahan atau jasa-jasa (transformasi struktural); (ii) pergeseran dari sektor informal menuju sektor formal; dan (iii) peningkatan produktivitas di dalam sektor itu sendiri (misalnya: dari jasa-jasa di sektor informal dan produktivitas rendah seperti perdagangan menuju jasa-jasa yang lebih produktif seperti logistik, distribusi, dan keuangan atau peran teknologi dan manajemen pasca panen untuk meningkatkan pro-duktivitas pertanian).

Pertumbuhan yang berbasis produktivitas memerlukan kebijakan yang dapat mengatasi kendala sisi penyediaan dan iklim ekonomi yang kondusif, mencakup (i) kebijakan makro yang stabil dan mendukung; (ii) keberpihakan sektor pembiayaan/finansial untuk menunjang perkembangan sektor riil (penawaran); (iii) infrastruktur, konektifitas, dan sistem logistik yang efisien; (iv) iklim usaha yang adil, transparan, pasti, dan tidak biaya tinggi; serta (v) pasar tenaga kerja yang menunjang. (vi) Investasi di SDM melalui program-program pendidikan dan pelatihan, kesehatan dan pemberdayaan. Selain itu, diperlukan juga pendekatan khusus dan spesifik yang berfokus kepada peningkatan produktivitas dan daya saing sektor-sektor prioritas penunjang perekonomian Indonesia, seperti manufaktur, pangan & perta-nian, jasa-jasa, energy, serta finansial.

2. AGENDA PENGUATAN SEKTOR

Roadmap ini menyajikan analisis isu utama dan rekomendasi konkrit pengembangan sektor prioritas yang diyakini dunia usaha sebagai sektor yang akan mampu meningkatkan produktivitas dan penyerapan tenaga kerja. Sektor tersebut adalah: Manufaktur, Pangan & Pertanian, Jasa, Energi, dan Finansial.

(22)

Dari sektor Pangan & Pertanian, pertumbuhan penduduk yang cepat dan bertambahnya kelas menengah di Indonesia, bersamaan dengan tren kenaikan harga pangan dunia, meningkatkan urgensi akan penting-nya ketahanan pangan. Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan dan me-ningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pangan dalam negeri. Diperlukan peningkatan skala ekonomi sektor pertanian pangan untuk melakukan reorientasi dari pendekatan input menjadi produktivitas baik dari sisi budi daya (on-farm) maupun pasca panen (off-farm) melalui perbaikan rantai pasok (supply chain) dengan dukungan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian sektor ini akan mampu mela-kukan supply response, yang cepat terhadap permintaan yang meningkat pesat baik dari dalam maupun luar negeri.

Sektor Jasa, meskipun belum begitu banyak mendapat perhatian, telah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Sebagai sektor yang masih dalam tahap awal pengembangan, tantangan penguatan sektor jasa adalah untuk menjadikannya sebagai sektor yang mendukung per-tumbuhan ekonomi sekaligus menjamin pemerataan dengan menjadi input yang lebih efisien, berkualitas tinggi serta dapat diandalkan. Penyerapan tenaga kerja disertai peningkatan kualitas SDM yang handal pada sektor ini juga harus ditingkatkan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan industri jasa terutama Telekomunikasi, Logistik dan Transportasi, Pariwisata, Industri Kreatif, Pendidikan dan Kese-hatan.

Sementara itu, dari sektor Energi, pembangunan pembangkit listrik untuk mengisi kekurangan dan krisis bahan bakar minyak fosil dunia sebagai sumber energi dan defisit neraca transaksi berjalan nasional aki bat tingginya impor migas, menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Padahal, listrik dan energi me rupakan pendukung utama kegiatan perekonomian nasional terutama sebagai input bagi sektor in-dustri. Fokus pemerintah seharusnya bukan lagi pada kecukupan energi (energy sufficiency) melainkan pada ketahanan energi (energy security). Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan energi selain yang bersumber dari fosil dengan mengoptimalkan berbagai sumber yang ada terutama Energi Baru dan Terbarukan (misalnya, biodiesel), panas bumi, LNG, dan sumber tenaga alam seperti air, angin dan sinar surya. Selain itu, batubara perlu dimanfaatkan secara efisien untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak guna mendukung pengembangan kelistrikan di tanah air.

Terakhir, sektor Finansial yang mencakup institusi perbankan, pasar modal dan asuransi memerlukan pendalaman pasar (financial deepening) untuk menciptakan inklusi finansial dalam memudahkan akses keuangan bagi sektor usaha dan masyarakat Indonesia.

3. MENJAWAB TANTANGAN LINTAS SEKTORAL

(23)

Agenda mewujudkan Kepastian Hukum atas berbagai hal terkait semua sektor usaha yang menjadi fokus roadmap ini mutlak diperlukan sebagai prasyarat dasar dalam menjalankan suatu usaha, misalkan penghormatan atas kontrak bisnis. Tumpang tindih ketentuan hukum dan rendahnya kualitas penegakan hukum di pusat maupun daerah menjadi salah satu agenda utama untuk dibenahi. Demikian pula krimi-nalisasi kasus perdata ke dalam kasus pidana harus segera diakhiri melalui peningkatan kualitas profe-sionalisme dan integritas para penegak hukum. Meskipun tidak harus menjadi ahli ekonomi, penegak hukum penting untuk memiliki perspektif ekonomi sehingga keputusan hukum yang diambilnya tidak menjadi bumerang bagi tujuan peningkatan aktivitas perekonomian.

Dalam hal Otonomi Daerah, kualitas kebijakan dan implementasinya diharapkan menjadi faktor positif bagi perkembangan perekonomian daerah, bukan justru sebaliknya seperti yang terjadi di banyak Kabu-paten/Kota dan Provinsi di Indonesia. Pengawasan peraturan daerah, kepastian tata ruang, dan penentuan upah minimum harus dijalankan mengikuti peraturan perundang-undangan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, elit daerah baik eksekutif maupun legislatif diharapkan mengutamakan kepentingan rakyat secara luas, misalkan dalam hal alokasi budget, dan fokus prioritas pengembangan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah sudah saatnya memperhatikan hal-hal stratejik seperti pemberian insentif fiskal maupun non-fiskal bagi kerjasama antar daerah, dan dis-insentif fiskal pemekaran daerah untuk mendorong dae-rah memperhatikan skala ekonomi yang tidak tersekat-sekat wilayah administratif pemerintahan daedae-rah.

Sejalan dengan otonomi daerah, Reformasi Birokrasi sangat diperlukan untuk mendukung produktivitas aktivitas usaha. Pelayanan perijinan terpadu satu pintu yang dimiliki oleh hampir seluruh Kabupaten/ Kota di Indonesia harus dilakukan monitoring dan evaluasi yang terlembaga agar dapat dijalankan sesuai tujuannya dan tidak hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan formal pembentukannya yang ditetapkan pemerintah. Terbitnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang memungkinkan untuk mengangkat Aparatur Sipil Negara (ASN) dari swasta merupakan terobosan reformasi birokrasi yang fundamental untuk mengisi lemahnya kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai bidang, harus segera dilengkapi aturan pelaksanaannya agar dapat segera dijalankan. Dalam kelembagaan pemerintah, diperlukan penyesuaian struktur birokrasi di setiap Kementrian/Lembaga untuk menjamin business process yang efektif dan efisien dengan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi. Di sisi lain,

pembentukan lembaga baru harus merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi permasalahan tata kelola pemerintahan jika sudah tidak dimungkinkan dengan optimalisasi kelembagaan yang ada.

(24)

good policy diperlukan pendekatan teknokratik yang dilaksanakan oleh lembaga independen yang

kredibel dan tersentralisir. Sementara itu, kebijakan pasar tenaga kerja aktif (active labor market policy) dimaksudkan agar meningkatkan peluang ekonomi bagi pencari kerja yang belum mampu bersaing di pasar tenaga kerja, kebijakan ini sekaligus untuk meningkatkan inklusi sosial (social inclusion).

Kebijakan Makro sangat menentukan kinerja seluruh sektor usaha terkait dengan pemulihan postur neraca transaksi berjalan dan kebijakan penawaran mencakup diantaranya stabilisasi kebijakan moneter untuk pengendalian inflasi, nilai tukar rupiah; insentif fiskal; dan perbaikan daya saing investasi melalui perbaikan kualitas regulasi dan birokrasi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam jangka pendek, di triwulan akhir tahun 2014 dapat segera dilakukan penyesuaian harga BBM dengan mengurangi subsidi secara bertahap sehingga di akhir 2019 harga BBM sudah sesuai dengan harga pasar dan subsidi BBM dialihkan untuk proteksi sosial, program inklusi sosial, belanja infrastruktur dan program lainnya.

(25)

I. STRATEGI MAKRO EKONOMI

VISI UTAMA

Reformasi struktural demi pertumbuhan ekonomi berkesinambungan dan ketang-guhan performa makroekonomi.

REKOMENDASI PROGRAM 1 TAHUN PERTAMA

1. Dimulainya penghapusan subsidi BBM di triwulan akhir tahun 2014 dengan kenaikan secara bertahap untuk sampai pada harga keekonomian di tahun 2019, realokasi untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat.

2. Program stabilisasi harga dan pasokan pangan

3. Peningkatan alokasi pengeluaran untuk program jaring pengaman sosial

REKOMENDASI PROGRAM TRANSFORMASI 5 TAHUN

1. Meningkatkan stabilisasi kebijakan moneter dan sistem finansial

2. Kebijakan fiskal yang lebih efektif dari sisi belanja negara dan penerimaan negara (i.e. per pa jakan, insentif/disinsentif yang berimbang)

3. Perbaikan kebijakan industrial dan pengembangan ekspor manufaktur dan jasa-jasa 4. Meningkatkan daya saing investasi, melalui reformasi regulasi dan birokrasi, koordinasi,

kepastian hukum, dan pembangunan infrastruktur inti

5. Revisi regulasi ketenagakerjaan yang mendorong daya saing sektor penawaran/industri.

A. POTRET MAKROEKONOMI INDONESIA

Stabilitas makroekonomi adalah salah satu faktor kompetitif yang dimiliki Indonesia di dunia Internasional. Berdasarkan data Global Competitiveness Index (GCI) 2013-2014, faktor stabilitas makro-ekonomi bersama ukuran pasar yang besar memiliki peringkat yang tinggi (26th dan 15th secara

berturut-turut). Peringkat ini jauh lebih tinggi dibandingkan aspek-aspek daya saing lainnya yang menjadi pe nyu-sun indeks tersebut. Prestasi stabilitas makroekonomi Indonesia juga berkontribusi didalam meningkatkan peringkat surat utang Indonesia menjadi Investment Grade. Makroekonomi yang stabil sangat diperlukan sebagai magnet penarik investasi, baik investasi langsung maupun portofolio, serta menyediakan fondasi yang baik untuk percepatan pembangunan, pemerataan, dan perkembangan bisnis.

(26)
[image:26.552.115.417.135.306.2]

dalam waktu dekat, harga komoditas internasional, khususnya untuk komoditas ekspor utama Indonesia, tidak akan kembali ke level yang sama dengan 2-3 tahun silam (lihat Gambar 1). Gejolak di pasar finansial global tidak hanya memberikan tekanan pada Indonesia, namun juga negara-negara berkembang lainnya.

Gambar 1. Berakhirnya Era Commodity Boom

Catatan: Indeks harga ekspor dihitung dari 6 harga komoditas ekspor, termasuk batu bara, gas alam, kelapa sawit, minyak mentah, karet, dan timah Sumber: Basri (2014)

Dibalik kondisi makroekonomi Indonesia yang terkesan baik, pada kenyataannya perekonomian Indonesia dewasa ini terbukti masih rentan terhadap gejolak perekonomian global yang utamanya datang dari pengurangan stimulus The Fed dan ketidakpastian global yang muncul karenanya. The Fed Tapering memberikan tekanan yang signifikan pada pasar keuangan Indonesia, khususnya sejak

perte-ngahan tahun 2013. Pada periode Juni-September 2013, Rupiah menurun 14%, IHSG merosot sebesar 15%, aliran modal keluar mencapai Rp. 28.67 Triliun di pasar saham dan sebesar Rp. 7.52 Triliun di pasar obli gasi. Yield obligasi Indonesia turun sebesar 200 basis poin. Berakhirnya era commodity boom, mele-mahnya pertumbuhan ekonomi global, dan melemele-mahnya rupiah lebih lanjut berimbas kepada menurunnya performa ekspor dan membengkaknya defisit neraca transaksi berjalan (Lihat Gambar 2).

[image:26.552.67.479.535.688.2]
(27)

Pengurangan stimulus The Fed lebih lanjut berdampak kepada peningkatan suku bunga di Amerika Serikat. Peningkatan suku bunga ini diyakini menyebabkan pembalikan modal (capital reversal) dari Indo-nesia dan negara berkembang lainnya kembali menuju Amerika Serikat, dikarenakan semakin berku-rangnya gap suku bunga antara Amerika Serikat dengan negara-negara berkembang lainnya. Besaran dampak negatif pembalikan modal ini bisa bervariasi antar negara, tergantung dari kondisi inter-nal perekonomiannya, termasuk kesehatan neraca transaksi berjalan, postur fiskal, dan kondisi sektor penawarannya (sektor riil).

Beberapa kendala struktural perekonomian yang diduga menjadi penyebab masih rentannya kondisi makroekonomi Indonesia terhadap gejolak global adalah:

• Manajemen keuangan publik yang tidak efisien dan postur fiskal yang kurang sehat, ditunjukkan dari besarnya pengeluaran publik yang inefisien dan tidak berkualitas, yaitu untuk keperluan subsidi BBM dan energi;

• Masih besarnya ketergantungan terhadap impor minyak, menyebabkan postur neraca transaksi berjalan tidak seimbang

• Lemahnya kebijakan sektor penawaran dan lambatnya perkembangan sektor riil, termasuk: - Kebijakan pembangunan industri dan pengembangan ekspor yang mengalami stagnasi - Lambannya pengembangan infrastruktur untuk mendorong kapasitas sektor penawaran - Kebijakan ketenagakerjaan yang distortif dan menghambat daya saing perekonomian,

khusus-nya manufaktur

- Masih buruknya perizinan, regulasi, dan kepastian hukum yang membuat ketidakpastian dan disinsentif bagi perkembangan bisnis

- Ketidakstabilan pasokan pangan dan rendahnya produktivitas pertanian

Pemerintahan yang akan datang perlu berfokus kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesi-nambungan melalui perbaikan ekonomi secara struktural, yaitu melalui reformasi postur fiskal, reformasi dan percepatan kebijakan sektor riil (penawaran), serta stabilisasi neraca transaksi berjalan. Untuk men-dukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, kebijakan makroekonomi harus diarahkan untuk mendukung penciptaan lapangan kerja yang memadai. Dengan sektor riil yang tangguh dan me-nyerap pekerjaan, postur fiskal yang sehat, dan neraca transaksi berjalan yang sustainable, Indo-nesia akan lebih tangguh (resilient) didalam menghadapi gejolak global.

B. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN REFORMASI STRUKTURAL DEMI

PERTUMBUHAN EKONOMI BERKELANJUTAN DAN PEFORMA

MAKROEKONOMI YANG TANGGUH

(28)

1. Meningkatkan kualitas pengeluaran fiskal

a. Kebijakan fokus pada pengurangan subsidi BBM sehingga menjamin terkendalinya risiko fiskal dengan secara bertahap mengurangi subsidi sampai mencapai harga keekonomian di tahun 2019.

b. Dana penghematan subsidi diprioritaskan untuk pengembangan infrastruktur, reformasi biro-krasi, pendidikan khusus kejuruan (terutama teknik, rekayasa dan jasa), dan riset (khususnya pangan dan energi terbarukan).

c. Subsidi hanya perlu diarahkan pada sektor kesehatan dan pendidikan.

2. Menjaga stabilitas harga dan pasokan barang, khususnya barang pangan

a. Sebagai konsekuensi logis dari pengurangan subsidi BBM, harga barang-barang secara umum akan meningkat dengan drastis. Oleh karena itu perlu kebijakan pengendalian dan stabilisasi harga yang efektif oleh pemerintah, khususnya untuk barang kebutuhan pangan

b. Pemerintah harus menjaga stabilitas pasokan dan harga barang pangan dengan cara: i. Memperbaiki kondisi infrastruktur dan logistik, khususnya Indonesia bagian timur ii. Meningkatkan produktivitas pertanian melalui kepemilikan teknologi, riset, dan perluasan

skala ekonomi pertanian

iii. Memperkuat basis produksi dalam negeri (terutama terkait produksi pangan), melalui investasi di bidang pertanian skala masal.

3. Meningkatkan alokasi pengeluaran untuk keperluan proteksi sosial, contoh: bantuan tunai, bantuan untuk siswa miskin, asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan untuk orang miskin, dan Raskin

4. Menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan

a. Melanjutkan kebijakan moneter yang fleksibel dan berpegang pada prinsip kehati-hatian b. Meningkatkan pendalaman pasar keuangan (financial deepening) untuk mendorong ketahanan

pasar dan sistem finansial

5. Meningkatkan daya saing sebagai basis investasi

a. Reformasi birokrasi dan kepastian hukum b. Keterkaitan dan koordinasi pusat-daerah

c. Meningkatkan kualitas infrastruktur dan logistik pendukung

6. Menciptakan regulasi ketenagakerjaan yang mendorong daya saing industri dan sektor penawaran secara umum

a. Merevisi sistem pengupahan dengan memasukkan komponen produktivitas dan tingkat pe-ngang guran

(29)

7. Menyehatkan postur neraca transaksi berjalan dengan mendorong ekspor manufaktur/non-komoditas

a. Berakhirnya era commodity boom membuat Indonesia tidak bisa lagi bersandar pada ekspor komoditas barang-barang mentah seperti kelapa sawit, dan produk alam lainnya

b. Oleh karena itu, peningkatan ekspor yang mendukung penyehatan neraca transaksi berjalan perlu diarahkan pada peningkatan performa ekspor manufaktur

II. PENGEMBANGAN SEKTOR MANUFAKTUR

VISI UTAMA

Menuju sektor manufaktur yang berdaya saing global, bernilai tambah, dan menyerap pekerjaan berkualitas.

REKOMENDASI PROGRAM 1 TAHUN PERTAMA

1. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi dan logistikintra dan interkoridor ekonomi sebagai stimulus investasi industri manufakturseperti misalnya:

a. Percepatan penyelesaian proyek infrastruktur energi, logistik, serta lahan industri di sentra industri utama dan KEK yang telah diprioritaskan pembangunannya

b. Mengembangkan sistem reservasi truk barang dan pengunaan kapal RoRo kapasitas besar untuk penyeberangan Merak-Bakauheni.

2. Meneruskan dan mempercepat reformasi birokrasi dan perizinan untuk mendukung perbaikan iklim investasi sektor manufaktur, seperti:

a. Menerapkan on-line tracking sistem perijinan investasi di beberapa Kementrian seperti yang diterapkan oleh BKPM

b. Implementasi penuh Badan dan sistem TI Indonesia National Single Window sebagai platform terpadu penyelesaian ijin ekspor impor.

c. Depolitisasi penetapan UMR serta peninjauan kembali aturan alih daya bagi industri manufaktur guna mendorong produktivitas dan ekspansi UMK manufaktur

d. Pembentukan task force untuk merasionalisasi dan memonitor perijinan ekspor impor serta perijinan investasi hingga tingkat daerah

3. Meningkatkan kapasitas SDM industri manufaktur guna mendorong produktivitas dan menghadapi persaingan, misalnya melalui:

(30)

4. Mengembangkan skema kebijakan insentif-subsidi yang terintegrasi, ter-institusio na-lisasi, serta legal-formal untuk mendorong daya saing ekspor manufaktur, yang masih

da lam kerangka WTO

5. Implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai insentif peningkatan kualitas produk dalam negeri.

REKOMENDASI PROGRAM TRANSFORMASI 5 TAHUN

1. Fokus kepada pengembangan industri ringan, komponen, dan pengolahan pertanian yang membuka lapangan kerja dengan bergabung ke rantai pasok global (global supply chain), sambil meningkatkan kesiapan industri berat domestik, terutama dari sisi kehandalan

SDM, dan akses kepada infrastruktur energi dan logistik yang efisien.

2. Mengembangkan aglomerasi klaster industri di lokasi dekat dengan seashore yang ter-koneksi dengan industri pendukung dalam negeri dan global supply chain serta dengan pengaturan khusus tentang ketenagakerjaan, khususnya di daerah-daerah Jawa Tengah, Jawa Timur bagian Utara, Lampung, dan Kalimantan bagian Selatan.

3. Perbaikan konektivitas logistic multi-moda inter dan intra koridor ekonomi yang dapat meningkatkan daya saing industri seperti:

a. Prioritas perbaikan akses, infrastruktur, dan tatakelola terminal kontainer pelabuhan laut dalam negeri di pelabuhan utama dan feeder tertentu

b. Peningkatkan kapasitas dan layanan kapal penyeberangan barang jarak pendek dengan RoRo untuk Jawa-Kalimantan, dan Indonesia Timur

c. Perbaikan fasilitasi proses kepabeanan ekspor impor di bandara, pelabuhan dan Dry Port yang memungkinkan industri manufaktur menerapkan just in time inventory. d. Membuka dan mengembangkan jalur dan stasiun Kereta Api dari pelabuhan ke kawasan

industri untuk transportasi barang jarak jauh

e. Meningkatkan dukungan melalui insentif dan fasilitas Research & Development (R&D), khu sus nya dalam mengembangkan produk-produk turunan bernilai tambah

A. LATAR BELAKANG

(31)

Lebih lanjut, bagaimana strategi bagi industri manufaktur Indonesia agar dapat memposisikan diri dan mengambil keuntungan dari ASEAN Economic Community dan makin terintegrasinya ekonomi di kawa-san Asia Timur?

Terakhir, strategi seperti apa yang diperlukan industri manufaktur Indonesia agar dapat memanfaatkan seoptimal mungkin besarnya pasar domestik, akses sumber daya alam, ketersediaan tenaga kerja dan satu kali kesempatan demografi?

B. PENTINGNYA AGENDA REVITALISASI SEKTOR MANUFAKTUR INDONESIA

Tantangan perekonomian lima tahun kedepan adalah bagaimana perekonomian Indonesia dapat tumbuh lebih cepat (menuju double digit growth) serta semakin mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak dan berkualitas bagi para pekerjanya. Tidak hanya untuk menyerap tambahan angkatan kerja baru sebanyak 2.5 - 3 juta pekerja baru setiap tahunnya, tetapi perekonomian kedepan juga harus lebih mampu menyerap surplus tenaga kerja Indonesia yang selama ini masih terperangkap di sektor informal dan ber produktivitas rendah, seperti sektor pertanian. Untuk melakukan hal tersebut, sektor industri manu-faktur yang menyerap tenaga kerja dan mendorong produktivitas menjadi kunci keberlanjutan transformasi struktural Indonesia menuju negara berpendapatan tinggi. Tanpa pertumbuhan output dan produktivitas sektor manufaktur, peningkatan kesejahteraan masyarakat (upah dan daya beli) akan terkendala. Kegagalan menciptakan kondisi bagi manufaktur untuk berkembang akan menyandera Indonesia keluar dari negara berpendapatan menengah (middle income).

Strategi industrialisasi perlu mengakar pada perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pro-duk tivitas ekonomi. Indonesia dihadapkan pada resiko kurangnya lapangan kerja berkualitas, oleh karena itu strategi industrialisasi seyogyanya difokuskan kepada perluasan kesempatan kerja. Pelajaran dari negara-negara industri yang cukup berhasil membangun industrinya, seperti China, Korea Selatan, Thailand dan Taiwan, menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas-lah yang akan meningkatan kese-jahteraan ekonomi secara berkesinambungan. Hal tersebut akan meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya kelompok emerging middle class. Ini akan memperkuat daya tarik Indonesia sebagai basis in-dustri manufaktur, khususnya inin-dustri ringan untuk pasar domestik. Dengan infrastruktur yang memadai, pada gilirannya akan menarik investasi industri berat yang ingin berlokasi lebih dekat dengan pasar dan sumber daya alam di Indonesia.

(32)

proses produksi dibagi menjadi beberapa komponen dan dipecah di beberapa wilayah (fragmentasi). Hal tersebut mengakibatkan adanya pergesaran keunggulan komparatif memproduksi barang secara utuh disuatu negara menjadi keunggulan komparatif melaksanakan tugas (task) dalam suatu rantai produksi global, yang melibatkan beberapa negara. Opsi bergabung dalam rantai produksi global banyak digunakan negara-negara untuk mendorong percepatan industrialisasi.

Peningkatan daya saing ekspor manufaktur sangat krusial untuk dilakukan, mengingat Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada ekspor produk berbasis komoditas dan sumber daya alam, namun beralih ke ekspor produk manufaktur. Selama ini, Sumber Daya Alam Indonesia mayoritas diekspor tanpa dilakukan proses peningkatan nilai tambah, sehingga tidak ada penambahan proses value chain yang memberikan kontribusi lebih besar untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Di masa yang akan datang, hal ini sudah tidak bisa dilakukan lagi karena era resource commodity boom sudah berakhir, se-hingga Indonesia dituntut untuk bisa beralih ke ekspor produk manufaktur, khususnya yang lebih memi-liki nilai tambah. Pembangunan industri domestik bernilai tambah ini memimemi-liki dampak yang lebih besar bagi perekonomian Indonesia, khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja serta dampak tularannya ke sektor ekonomi lainnya.

Dari sisi makro, percepatan ekspor juga menjadi sangat penting karena Indonesia tidak bisa terus mengandalkan pasar dan konsumsi domestik sebagai strategi ekonominya. Seiring dengan mening-katnya pendapatan perkapita, permintaan masyarakat atas produk impor juga akan meningkat, karena tidak semua produk bisa diciptakan didalam negeri. Jika Indonesia tidak mampu meningkatkan ekspor lebih cepat lagi, maka Indonesia tidak akan memiliki cukup banyak devisa untuk membayar peningkatan permintaan impornya sehingga cadangan devisa akan terus terkuras. Dampak lebih jauhnya adalah ru-piah akan terus tertekan dan neraca pembayaran akan terus mengalami defisit.

Pengembangan daya saing ekspor industri manufaktur sedang berada pada momentum yang tepat, karena, pada level global, Indonesia diprediksi memiliki peluang untuk merebut pangsa pasar produk industri padat karya yang sudah mulai ditinggalkan China. Dewasa ini, China sudah mulai tidak kompetitif lagi di sektor industri padat karya, karena upah tenaga kerjanya sudah terlalu tinggi, dan angkatan kerjanya sudah mulai menua serta semakin menyusut proporsinya. Dengan kebijakan yang suportif dan berorientasi ekspor, di tahun 2019 industri padat karya Indonesia diprediksi memiliki peluang untuk merebut 10% pangsa pasar China untuk produk industri padat karya.

C. POTRET DAN PERMASALAHAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI

INDONESIA

(33)

Berbagai kendala yang menghambat perkembangan daya saing sektor manufaktur dapat dilihat dari sisi kendala sektoral yang terdiri dari hambatan dan tantangan internal didalam industri manufaktur

ter-sebut, serta kendala umum (cross sectoral) yang terdiri dari isu: Makro (fiskal-moneter), Ketenagakerjaan, Infrastruktur, Kepastian hukum, Otonomi Daerah, dan Birokrasi.

Kendala Sektoral

Indonesia perlu menghindari de-industrialisasi prematur. Saat ini, terlalu sedikit tenaga kerja Indo-nesia yang bekerja di sektor industri dibandingkan rata-rata, sementara masih terlalu banyak tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan negara-negara lain di tingkat pendapatan yang sama. Be berapa faktor yang diduga menghambat perkembangan sektor industri manufaktur adalah:

1. Keterbelakangan infrastruktur menghambat integrasi industri dalam negeri dari hilir ke hulu di dalam

atau antar koridor ekonomi

Integrasi hulu-hilir yang lemah di Indonesia bersumber dari belum hadirnya industri berat dalam negeri yang berdaya saing. Integrasi hulu-hilir dalam negeri melalui pengembangan industri berat memang sangat krusial untuk dilakukan, akan tetapi perlu memperhatikan ketersediaan infrastruktur dan kapasitas permintaan dari industri ringan dan industri pengolahan/komponen. Meski Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah, investasi industri berat memerlukan investasi modal yang besar serta akses terhadap teknologi. Pelajaran dari Korea Selatan menunjukkan bahwa keberhasilan industri berat mereka sangat tergantung proses peningkatkan daya saing yang didasarkan pada kualitas sumber daya manusia yang handal dan infrastruktur (energi dan logistik) yang efisien. Tanpa kedua hal ini, nantinya akan sulit bagi industri berat untuk bersaing di pasar global

(34)

2. Erosi daya saing sektor padat karya dan masih rendahnya partisipasi dalam global production network.

Biaya tinggi dan peningkatan upah minimum tanpa referensi terhadap peningkatan produktivitas pekerja menyebabkan erosi daya saing sektor manufaktur padat karya di Indonesia. Sementara itu, produktivitas dan kapasitas penguasaan teknologi sektor industri manufaktur Indonesia masih relatif rendah dibandingkan industri manufaktur di negara berpenghasilan menengah seperti Malaysia dan Thailand. Selain itu, sektor manufaktur Indonesia perlu lebih berpartisipasi dalam global production network guna mempercepat proses industrialisasi. Industri manufaktur khususnya

industri ringan, pengolahan dan komponen lebih cepat berkembang melalui partisipasi ke dalam global production network sambil membenahi daya saing industri berat.

3. Kurangnya penguasaan teknologi guna mengembangkan produk turunan

Peran R&D sangatlah krusial dalam menentukan daya saing industri manufaktur. Keberadaannya me nentukan sejauh mana industri manufaktur bisa beradaptasi dan berinovasi sesuai tuntutan pasar. Transformasi menuju industri manufaktur bernilai tambah tinggi juga sangat ditentukan oleh keberadaan sistem R&D yang baik, karena hal tersebut akan menunjangnya dalam proses pengem-bangan produk turunan dan sebagainya. Pada saat ini, rasio pengeluaran R&D di Indonesia masih terbilang sangat rendah (0.09% terhadap GDP) jika dibandingkan dengan Negara tetangga di ASEAN, seperti Malaysia (1.01% GDP) dan Thailand (0.24% GDP).

Kendala Umum: Perlunya Mengatasi Lemahnya Daya Saing Sektor Manufaktur

(i) Makroekonomi (Fiskal-Moneter)

Stabilitas makroekonomi punya peran fundamental dalam menjaga daya saing ekonomi. Gejolak makro akan membuat ketidakpastian bagi dunia usaha, tidak terkecuali sektor manufaktur. Oleh karena itu, manajemen kebijakan makro yang dapat meredam inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar nominal menjadi sangat penting. Ada tiga aspek di bidang makroekonomi yang perlu menjadi perhatian utama pemerintahan kedepan dalam rangka merevitalisasi sektor industri manufaktur di Indonesia, yaitu:

1. Terbatasnya ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur energi dan logistik.

Hambatan infrastruktur adalah kendala nyata di depan mata bagi sektor manufaktur Indonesia. Bank Dunia memperkirakan bahwa kapasitas infrastruktur hanya tumbuh 3% rata-rata selama tahun 2001-2011 sementara rata-rata pertumbuhan PDB mencapai 5.3%. Pengeluaran pemerintah untuk belanja infrastruktur pun masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara middle income lainnya, yaitu hanya mencapai 2.5% dari GDP. Tantangan fiskal untuk menyediakan

(35)

2. Perlunya keberpihakan para pengambil kebijakan untuk menjaga nilai tukar rupiah di level yang kompetitif bagi industri manufaktur untuk melakukan ekspor.

Selama ini, preferensi kebijakan bank sentral yang menjaga nilai tukar rupiah tetap kuat (apresiasi), di masa-masa normal, telah membuat industri manufaktur kehilangan daya saingnya pada pasar ekspor.

3. Absennya skema insentif-subsidi yang komprehensif dan legal-formal dalam mendukung kapasitas

ekspor dari industri manufaktur.

Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah pemerintah masih ragu-ragu untuk memberikan bantuan insentif pajak dan subsidi yang produktif bagi pengembangan industri manufaktur, dika-renakan belum ada ruang hukum yang mengatur dan memberikan perlindungan bagi para pembuat kebijakan yang ingin melakukan langkah-langkah kebijakan industri yang aktif dan supportif.

(ii) Ketenagakerjaan

Kondisi regulasi ketenagakerjaan yang ada membebani dunia usaha, khususnya industri padat karya. Regulasi mengenai PHK dan pesangon menghambat penyerapan tenaga kerja di sektor formal, sementara implementasi yang ada tidak menjamin perlindungan bagi buruh. Terlebih lagi, mekanisme penetapan UMP tidak didasarkan pada transparansi, kepastian, dan keadilan, baik bagi buruh dan peng-usaha. Hal-hal tersebut menghilangkan insentif industri dalam merekrut tenaga kerja permanen dan memberikan pelatihan. Pada gilirannya, kualitas dan ketrampilan buruh menjadi stagnant sehingga me-nurunkan produktivitas nasional. Berikut adalah beberapa kendala di bidang ketenagakerjaan yang selama ini menyandera produktivitas dan daya saing sektor manufaktur Indonesia.

1. Upah minimum (UMP dan/atau UMK) selalu meningkat secara cepat setiap tahunnya, tidak sepadan

dengan peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja

(36)
[image:36.552.87.393.99.448.2]

Gambar 1. Perbandingan Peningkatan Upah, Produktivitas dan Daya Saing Tenaga Kerja di Indonesia, 2000-2012

Sumber: Aswicahyono dan Hill (2014)

2. Banyaknya tenaga kerja yang tidak mempunyai ketrampilan (skills) yang mendukung

Setengah dari tenaga kerja di Indonesia adalah lulusan SD atau lebih rendah, yang menunjukkan lemahnya ketrampilan teknis dari para pekerja kita. Bahkan hampir seperempat dari lulusan SMA di Indonesia, yang seharusnya sudah memiliki ketrampilan tekni, pun masih mendapat pekerjaan yang tidak terampil, seperti buruh tani dan pekerjaan kasar lainnya. Di tingkat yang lebih tinggi, sebuah penelitian menemukan bahwa, dunia usaha di Indonesia mengaku sulit untuk menemukan pekerja setengah terampil dan profesional untuk mengisi beberapa posisi di perusahaannya, khu-susnya pada bagian produksi manufaktur teknis.

3. Program pelatihan ketenagakerjaan yang dibuat pemerintah belum berjalan efektif, serta masih

minimnya pelatihan kerja di internal perusahaan

(37)

ketingalan zaman dan tidak mencerminkan kebutuhan pasar, serta (iv) kurangnya pengakuan dunia industri atas sertifikat dan program pelatihan yang didesain oleh BLK. Di lain sisi, program pelatihan karyawan yang dilakukan oleh industri (on-the-job training) di Indonesia juga masih relatif rendah dibandingkan dengan Negara-negara lain di kawasan Asia Timur. Beberapa alasan dari rendahnya program pelatihan di internal perusahaan adalah minimnya insentif yang diberikan pemerintah, ketakutan akan perpindahan tenaga kerja, serta besarnya waktu produktif yang dikorbankan untuk mengadakan pelatihan.

(iii) Infrastruktur

Keterbatasan infrastruktur logistik menyandera rantai pasok (supply chain) industri manufaktur nasional, bahkan kalah dibandingkan Vietnam. Logistics Performance Index (LPI) Bank Dunia menun-jukkan Indonesia saat ini ada diperingkat 53 dari 160 negara. Meski mengalami perbaikan, LPI Indonesia berada dibawah Vietnam yang menjadi pesaing kuat bagi basis produksi sektor manufaktur di kawasan ASEAN. Masalah utama dari masih lambatnya peningkatan LPI Indonesia dikarenakan persepsi perbaikan infrastruktur yang kalah cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan. Dibawah ini adalah beberapa kendala utama di bidang infrastruktur logistik yang mengancam sektor manufaktur Indonesia.

1. Keterbatasan prasarana dan masalah tata-kelola infrastruktur (transportasi) multi moda.

Hal tersebut menyebabkan inefisiensi pengiriman barang dan biaya pengelolaan logistik. Tidak hanya itu, keterbatasan tersebut juga membatasi minat investasi transportasi skala besar yang lebih eifisien dan memperpanjang rantai pasok antara industri manufaktur dan konsumennya.

2. Keterbatasan infrastruktur akses ke pelabuhan

Keterbatasan akses ke pelabuhan dapat mengurangi frekuensi pengiriman barang dan pengembalian investasi alat transportasi. Pengiriman barang dari sentra produksi menuju pelabuhan sangat tidak efisien di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN. Sebagai contoh, di Ma-laysia, pengiriman dari sentra produksi pasir Gudang ke Pelabuhan Tanjung Pelepas yang berjarak 56.4 Km memakan waktu 1-2 Jam dan membutuhkan biaya sebesar 450 USD per kontainer. Sedangkan di Indonesia, pengiriman dari sentra produksi Cikarang menuju pelabuhan Tanjung Priok yang berjarak hanya 55.4 Km, menempuh waktu yang jauh lebih lama yaitu 4-8 Jam dan memakan biaya yang lebih besar, 600 USD per kontainer.

3. Masih kurangnya kepastian dan ketepatan waktu pengiriman input dan produksi

(38)

(iv) Kepastian Hukum

Jaminan kepastian hukum sangat sentral peranannya dalam menjaga stabilitas investasi dan industri. Tanpa regulasi dan peraturan yang kuat dan pasti, investor akan kehilangan kepercayaannya dan produksi manufaktur pun terkendala. Beberapa hal yang menjadi kendala bagi sektor manufaktur untuk dapat terus bertumbuh dan berdaya saing, khususnya jika dilihat dari aspek hukum dan regulasi di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Tumpang tindih dan ketidakpastian peraturan perindustrian

Pertentangan antara peraturan perundang-undangan dengan implementasi di lapangan menim-bulkan ketidakpastian hukum dan biaya ekonomi tinggi kepada para calon penanam modal, baik dalam negeri maupun luar negeri. Terlebih lagi, tidak adanya harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan pusat dan peraturan pelaksana, khususnya pada peraturan perindustrian, membuat ke-berlanjutan bisnis sektor manufaktur terhambat. Beberapa contoh ketidakpastian hukum perin-dustrian adalah sebagai berikut:

• “Skrap” dikategorikan sebagai ”B3” oleh aturan Kementerian Lingkungan Hidup, akan tetapi menurut ketentuan internasional tidak masuk kategori B3 (kelompok industri logam)

• Adanya peraturan yang mewajibkan karantina atas impor kulit oleh Kementerian Pertanian da lam rangka kesehatan (pencegahan penularan penyakit mulut dan kuku/PMK), yang semesti-nya diperlakukan sebagai bahan baku industri saja, bukan bahan pangan (kelompok industri barang jadi dari kulit)

2. Belum adanya ruang hukum yang mengatur dan memberikan perlindungan hukum bagi pemberian

insentif fiskal yang komprehensif untuk sektor manufaktur

Selama ini belum ada ruang hukum yang mengatur dan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pembuat kebijakan yang ingin memberikan insentif fiskal bagi manufaktur. Mereka selama ini menjaga diri untuk tidak melanggar batas-batas hukum, karena khawatir akan diduga sebagai korupsi, sehingga menghambat langkah-langkah kreatif yang dapat dikeluarkan pemerintah untuk mendukung sektor industri. Maka diperlukan jaminan hukum agar pembuat kebijakan merasa leluasa untuk memberikan skema insentif bagi manufaktur.

3. Lemahnya konstruksi dan penegakan hukum ketenagakerjaan

(39)

Sedangkan dari sisi upah minimum, lebih dari setengah tenaga kerja di Indonesia mendapat upah kurang dari UMP yang berlaku, khususnya bagi tenaga kerja yang tergolong miskin.

(v) Otonomi Daerah

Era otonomi daerah menciptakan tantangan tersendiri bagi sektor manufaktur, karena seringkali kegiatan sektor manufaktur melibatkan rantai pasok yang tersebar di beberapa kab/kota atau bahkan beberapa provinsi. Poin-poin dibawah ini adalah kendala-kendala yang sering dihadapi oleh sektor manufaktur, berkaitan dengan otonomi daerah.

1. Lemahnya sinkronisasi pusat-daerah

Sinkronisasi pusat-daerah masih lemah didalam penentuan upah minimum. Sebagai contoh: banyak daerah yang menetapkan upah minimum daerahnya diatas KHL. Hal ini sangat memberatkan industri manufaktur, khususnya padat karya.

2. Tumpang tindih kewenangan dan otoritas, khususnya dalam hal pemberian izin

Otonomi Daerah terbukti menciptakan tumpang tindih terkait dengan pembagian kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya dalam hal pemberian izin usaha industri. Pemberian izin yang tumpang tindih dan berlapis-lapis di setiap provinsi dan kabupaten/kota menimbulkan biaya ekonomi tinggi, khususnya bagi industri yang memiliki rantai pasok tersebar di beberapa kabupaten/kota dan bahkan di beberapa provinsi.

3. Lemahnya pembinaan industri di tingkat daerah

UU Perindustrian mewajibkan adanya Pembina industri baik di tingkat pusat dan daerah, dengan konsekuensi bahwa Pembina industri tersebut harus ditingkatkan kompetensinya agar dapat lebih efektif membina industri yang ada di daerahnya. Kenyataannya sekarang adalah pembinaan ter-hadap kegiatan ekonomi (industri, perdagangan) masih lemah dan kompetensi pembina industri di pusat dan daerah saat ini masih perlu peningkatan dalam hal pengetahuan substansi dan pela-yanan. Inkompetensi Pembina usaha industri di daerah-daerah menimbulkan high cost economy tersendiri bagi dunia usaha.

(vi) Birokrasi

Meski Indonesia dianggap menarik oleh investor, birokrasi perijinan usaha termasuk untuk usaha yang baru mulai (start-up) belum baik. Perbaikan iklim usaha dan reformasi birokrasi serta perizinan

(40)

investasi (FDI) manufaktur ke negara-negara lain. Ketidakpastian iklim investasi akan mengurangi daya tarik Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia dan Vietnam.

Perkembangan sektor manufaktur juga seringkali terkendala oleh tumpang tindih pengaturan institusi dan peran pengawasan di level Kementerian teknis. Sebagai contoh, izin impor bahan bulu bebek dan kulit ada di tangan kementerian pertanian, padahal semestinya diperlakukan sebagai bahan baku industri sehingga seharusnya diawasi oleh kementerian perindustrian

D. REKOMENDASI MENUJU SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR YANG

BERDAYA SAING GLOBAL

Strategi Sektoral

Fokus kebijakan sektor manufaktur secara umum sebaiknya diarahkan untuk memfasilitasi indus-tri ringan dan pengolahan/komponen yang membuka lapangan kerja agar menjadi daya tarik industri berat untuk berlokasi di sekitarnya. Sementara kesiapan industri berat ditingkatkan (khusus-nya dari sisi kesiapan SDM, infrastruktur dan teknologi), opsi bergabung dengan rantai pasok global (global supply chain) dapat membantu percepatan industrialisasi di Indonesia. Besarnya pasar domestik serta lokasi Indonesia di pasar Asia Timur menjadi modal besar dalam menarik investasi industri ringan dan pengolahan yang menyerap tenaga kerja. Peningkatan daya beli dan kepadatan industri ringan dan pengolahan, pada gilirannya, akan menjadi daya tarik industri berat untuk berlokasi di dekat pasarnya.

Beberapa strategi sektoral yang perlu dilakukan adalah:

1. Sektor Padat Karya

Reformasi kebijakan pengupahan dan pesangon diperlukan untuk sektor padat karya. Sektor padat

karya bersama dengan agro based product merupakan sektor yang paling penting peranannya dalam pem-ba ngunan ekonomi, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan. Termasuk dalam sektor ini adalah sektor padat karya dengan teknologi yang tidak terlalu tinggi seperti sepatu dan garmen, sektor padat karya dengan teknologi menengah (asembling) seperti elektronik (eg. Foxcon), sek tor padat karya yang berbasis sumber daya alam (furnitur, perhiasan, toys, handicraft). Tan tangan utama yang dihadapi sektor ini adalah melemahnya daya saing karena rigiditas pasar tenaga kerja. Maka diperlukan reformasi kebijakan ketenagakerjaan terutama terkait pengupahan dan pesangon yang memperhitungkan seluruh pemangku kepentingan, yaitu buruh, pengusaha, dan pencari kerja.

(41)

lapangan kerja terserap habis (termasuk setengah pengangguran), maka upah akan naik dengan sendiri-nya karena kelangkaan tenaga kerja. Pengusaha-pengusaha dengan demikian akan menyesuaikan diri (naik kelas), dengan memproduksi barang dengan nilai tambah lebih tinggi. (eg. Untuk garment menuju fashion/branded garment).

2. Sektor Makanan dan Minuman

Kebijakan yang menjamin kualitas rantai pasok sangat diperlukan sektor makanan dan minuman.

Sektor makanan dan minuman ini padat tenaga kerja sekaligus terkait erat dengan sektor pertanian dan perikanan. Sektor ini juga besar peluangnya bagi ekspor karena keunggulan komparatif yang dimiliki nya. Masalah utama dari sektor ini adalah menjaga kesinambungan supply dan mutu bahan baku (sebagai perbandingan: hancurnya industri plywood menunjukkan bahwa pengembangan besar-besaran industri tanpa memelihara kelestarian pasokan bahan baku berakibat fatal bagi industri tersebut). Kebijakan pemerintah yang terlalu terfokus pada swasembada pangan (bukan ketahanan pangan) membuat sektor tanaman perkebunan/perikanan yang menjadi tulang punggung Industri ini terabaikan (contoh industri pengolahan kopi, teh, kakao). Disamping mutu input, mutu produk akhir juga perlu dijaga terutama un-tuk ekspor. Kebijakan penunjang sanitary dan phytosanitary menjadi krusial bagi kemampuan menembus pasar ekspor.

3. Sektor Elektronik

Tantangan utama sektor ini adalah mendorong terus agar industri ini terkait dengan jaringan produksi global, GPN (Global Production Network). Sukses sektor ini ditunjang oleh:

• Kemapuan engineering/skilled worker

• Jaringan logistik fisik yang prima (karena produksi JPG memerlukan jaringan logistik antara negara yang efisien)

• Jasa penunjang (business services), manajemen logistik, desain, packaging

• Kerjasama yang baik dengan Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)

4. Sektor industri berat (heavy industries)

Kebijakan pengembangan sektor industri berat sangat bergantung pada daya dukung industri hilir ringan. Sektor industri berat bercirikan sangat padat modal, skala besar, dan padat tenaga ahli.

(42)

Strategi Lintas Sektor: Untuk Mengatasi Kendala Umum

(i) Makroekonomi (Fiskal-Moneter)

1. Memperbesar ruang fiskal bagi infrastruktur, dengan berkomitmen melakukan perubahan antara lain:

a. Meningkatkan pengeluaran infrastruktur publik dari 2.5% terhadap GDP ke 4.5% pada tahun 2019. Hal ini mutlak memerlukan realokasi subsidi BBM ke pengeluaran infrastruktur publik b. Memperbaiki insentif fiskal bagi pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan kualitas

dan pemeliharan infrastruktur, tidak hanya membangun infrastruktur baru

c. Memberi kesempatan bagi pemerintah daerah yang siap untuk mencari sumber pembiayaan komersial guna membangun proyek infrastruktur

d. Memperbaiki format koordinasi antar-lembaga pemerintah dalam seleksi proyek

Gambar

Gambar 2. Performa Ekspor dan Transaksi Berjalan Indonesia
Gambar 1. Perbandingan Peningkatan Upah, Produktivitas

Referensi

Dokumen terkait

REALISASI TINDAK TUTUR PETUGAS PENERANGAN DAN MASYARAKAT DI KELURAHAN Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah apakah ada perbedaan yang signifikan antara efektivitas

[r]

Now, while all parts of the body are capable of sending positive and negative signals, the head (including the eyes and mouth) is under the closest scrutiny.. Most good

Penulis menyebut kepemimpinan di dalam islam adalah kepemimpinan dakwah dimana setiap individu berkewajiban mengajak (dakwah) mempengaruhi orang lain untuk berada pada

membangunkan harta wakaf telah memberi manfaat yang amat besar kepada

The data showed that QualityManagement (QM) practices are significantlycorrelated with the supplier participation strategyand this influences tangible business results, and

Ulayat land borders were also indicated by natural boundaries available in each kaum , suku, and Nagari , following the pepatah : karimbo balanjuang, kasawah balantak