• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Prioritas Penanganan Ruas Jalan Nasional Panton Labu Simpang – Langsa – Batas Sumut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Prioritas Penanganan Ruas Jalan Nasional Panton Labu Simpang – Langsa – Batas Sumut"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan

2.1.1 Definisi dan Peranan Jalan

Menurut Wignall dkk (1999) dalam Putri Wirdatun Nafiah (2011) salah satu bagian dari sistem transportasi yang merupakan prasarana umum/infrastruktur adalah jalan. Secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu. Dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 disebutkan bahwa definisi jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air serta diatas permukaan air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

Dalam pasal 5 undang - undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2004 tentang jalan disebutkan juga bahwa jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Jalan yang juga merupakan satu kesatuan sistem jaringan dapat menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Sehingga keberadaan prasarana jalan dapat merangsang serta mendorong pengembangan wilayah yakni pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Artinya infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian suatu wilayah karena perannya dalam menghubungkan serta

(2)

9 meningkatkan pergerakan manusia dan barang. Kodoatie (2005) menyatakan bahwa keberadaan jalan dan fasilitas transportasi lain pada tingkat tertentu sangat esensial merangsang dan memberi peluang pertumbuhan ekonomi dan sosial.

2.1.2 Klasifikasi Jalan

Jaringan jalan merupakan suatu sistem yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berbeda dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hirarki.

Dalam UU No. 38 tahun 2004 tentang jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. Jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status dan kelas jalan. Sedangkan jalan khusus tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. Jalan khusus merupakan jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan atau kelompok masyarakat untuk kepentingannya sendiri.

Adapun klasifikasi jalan umum yang dimaksud di atas adalah : Menurut sistem jaringan jalan dikelompokkan atas :

 Sistem jaringan jalan primer  Sistem jaringan jalan sekunder

Menurut fungsinya dalam setiap sistem jaringan jalan tersebut dikelompokkan atas :  Jalan arteri

 Jalan kolektor  Jalan lokal

(3)

10  Jalan lingkungan

Menurut kelasnya jalan dikelompokkan atas beberapa kelas, yaitu :  Jalan kelas I dengan MST yang diizinkan > 10 ton

 Jalan kelas II dengan MST ≤ 10 ton

 Jalan kelas III A yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan lebar ≤ 2.50 meter dan panjang ≤ 18 meter danMST ≤ 8 ton

 Jalan kelas III B yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan lebar ≤ β.50 meter dan panjang ≤ 1β meter dan MST ≤ 8 ton

 Jalan kelas III C yang dapat dilalui kendaraan dengan lebar ≤ β,10 meter dan panjang ≤ 9 meter dan MST ≤ 8 ton

Menurut statusnya jalan umum dikelompokkan atas :

 Jalan nasional yaitu jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis serta jalan tol.

 Jalan provinsi yaitu jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi.

 Jalan kabupaten yaitu jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan kota, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten.

 Jalan kota yaitu jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat

(4)

11 pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota.

 Jalan desa yaitu jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau antar permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.

Adapun pembagian status pada jaringan jalan primer seperti pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1 Pembagian Status Pada Jaringan Jalan Primer (Tanan, 2005 dalam Ritonga, Efri Debby E 2011)

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan adalah sebagai berikut (Dinas Bina Marga, 2003 dalam Hotrin, Rado 2011).

 Jalan dengan tingkat pelayanan mantap adalah ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan serta mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang.

(5)

12  Jalan tidak mantap adalah ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari masih berfungsi melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya serta tidak mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk ke dalam tingkat pelayanan tidak mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan.

 Jalan kritis adalah ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas atau dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis adalah jalan-jalan dengan kondisi rusak berat.

2.1.3 Bagian – Bagian Jalan

Dalam UU No. 34 tahun 2006 tentang jalan disebutkan bahwa bagian – bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan.

a. Ruang manfaat jalan yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.

b. Ruang milik jalan yang meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan.

c. Ruang pengawasan jalan yaitu ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Agar lebih jelas bagian – bagian jalan dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut :

(6)

13 Gambar 2.2 Bagian – Bagian Jalan (UU No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan)

2.2 Penyelenggaraan Jalan

Adanya perubahan-perubahan dalam mekanisme penyelenggaraan jalan pada era otonomi daerah turut mempengaruhi segala kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan jalan. Menurut permen PU nomor 78 tahun 2005 penyelenggara jalan nasional adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan jalan nasional termasuk jalan tol. Secara umum penyelenggaraan jalan tidak dapat dipisahkan dari sejumlah kebijakan yang melatarbelakangi konsep penyelenggaraannya. Menurut Sinaga (2006) dalam Efri Debby E. Ritonga (2011) bahwa alur pelaksanaan penyelenggaraan jalan dimulai dari ditetapkannya sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah yang menjadi dasar kebijakan umum dan kebijakan teknis bagi penyelenggaraan jalan di Indonesia yang juga merupakan penentu bagi proses perencanaan jaringan, teknis, studi kelayakan, program dan anggaran, proses konstruksi, operasi serta pemeliharaan

(7)

14 yang semuanya sangat berkaitan dengan hasil output, outcome serta dampak dari penyelenggaraan jalan tersebut.

Secara umum wewenang penyelenggaraan jalan ada pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan tetapi penguasaan atas jalan ada pada negara. Dalam undang - undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan disebutkan bahwa masyarakat juga berperan serta dalam penyelenggaraan jalan. Wewenang penyelenggaraan jalan meliputi kegiatan yang mencakup siklus kegiatan dan perwujudan jalan yang terdiri dari pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan.

a. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum dan penyusunan peraturan perundangan jalan. Khususnya untuk penyusunan peraturan perundang-undangan jalan hanya dilakukan oleh menteri pekerjaan umum.

b. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia serta penelitian dan pengembangan jalan.

c. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemograman, penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.

d. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan pembangunan jalan. Pengawasan yang dilakukan tersebut meliputi kegiatan evaluasi, pengkajian dan pengendalian. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan pengendalian adalah kegiatan pengamatan dan tindakan turun tangan.

Adapun pembagian tugas penyelenggara jalan seperti pada tabel 2.1 berikut :

(8)

15

Perumusan kebijakan Pusat Provinsi Kab-Kota Kab-Kota Pusat Pusat perencanaan

Penyusunan kebijakan Pusat Provinsi Kab-Kota Pusat Pusat

perencanaan umum dan pemrograman

Penyusunan peraturan Pusat Provinsi Kab-Kota Pusat Pusat

perundangan

Penyusunan pedoman dan Pusat Provinsi Kab-Kota Pusat Pusat

standar teknis 1.2 Pelayanan

Perijinan Kab-Kota Kab-Kota Kab-Kota Kab-Kota Pusat/Prov/ Kab-Kota

Bimbingan dan penyuluhan Pusat Pusat/Prov Kab-Kota

Kab-Kota/Desa Pusat Pusat Pendidikan dan pelatihan Pusat Pusat/Prov Kab-Kota

Kab-Kota/Desa Pusat Pusat

Studi Kelayakan Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota

Kab-Kota/Desa Korporasi Korporasi Perencanaan Teknis Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota

Kab-Kota/Desa Korporasi Korporasi Pelaksanaan Konstruksi Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota

Kab-Kota/Desa Korporasi Korporasi

Sumber : Tanan (2005) dalam Ritonga,Efry Debby E. (2011)

Kab-Tabel 2.1 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan

(9)

16

: berasal dari bantuan proyek dan biaya pembebasan tanah 2.3 Penanganan Jalan

Dalam kondisi penyediaan dana yang terbatas (constrained budget available) maka prioritas untuk kegiatan penanganan jalan yang sifatnya untuk mempertahankan aset yang ada (assets preservation) merupakan suatu langkah yang wajar untuk dilakukan. Namun jika kondisi keuangan memungkinkan maka dapat dilakukan penyempurnaan terhadap kondisi yang ada (assets enchancement) dan jika benar – benar dana yang tersedia sangat besar maka perlu adanya penambahan aset baru (assets expansion).

Kebutuhan dana pengelolaan jalan dapat berasal dari berbagai sumber. Namun secara umum sumber pembiayaan jalan seperti pada gambar 2.3 berikut :

Gambar 2.3 Sumber Pembiayaan Jalan (Manual Pemeliharaan Jalan Jilid I A Perawatan Jalan No. 03/MN/B/1983)

(10)

17 Penanganan jalan bertujuan untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau dapat memberikan pelayanan sebagaimana mestinya (Tanan, 2005 dalam Wirdatun Nafiah Putri, 2011). Penanganan infrastruktur jaringan jalan nasional berdasarkan konsep wilayah kerja diusulkan dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu preservasi dan pembangunan. Penanganan preservasi bersifat menjamin jaringan jalan tetap dalam kondisi optimal dimana jenis pekerjaannya dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan rehabilitasi jalan. Sedangkan penanganan pembangunan bersifat menambah kuantitas sistem jaringan jalan baik dalam arah memanjang maupun dalam arah melintang.

2.3.1 Pemeliharaan Jalan

Menurut NAASRA (1978) dalam Ali (2006) dalam Rado Hotrin (2011) definisi pemeliharaan jalan adalah semua jenis pekerjaan yang dibutuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya. Sehingga diharapkan dapat mencegah kemunduran atau penurunan kualitas dengan laju perubahan yang terjadi segera setelah konstruksi dilaksanakan. Oleh karena itu pemeliharaan jalan merupakan program penanganan jalan yang berada dalam prioritas tertinggi.

Menurut Mahmud dkk (2002) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) prinsip pemeliharaan jalan dilakukan dengan azas keuntungan ekonomi yang efektif dan efisien melalui anggaran yang minimum dapat dihasilkan kondisi jalan yang optimum sehingga masyarakat merasa bahagia karena biaya angkutan menjadi

(11)

18 rendah. Adapun hubungan mutu jalan dengan biaya pemeliharaan jalan serta biaya pengguna ditunjukkan pada gambar 2.4 di berikut ini :

Gambar 2.4 Hubungan Mutu Jalan Dengan Biaya Pemeliharaan dan Biaya Pengguna (Mahmud dkk, 2002 dalam Wirdatun Nafiah Putri, 2011)

Gambar 2.4 di atas menunjukkan hubungan mutu jalan dengan biaya pemeliharaan dan biaya pengguna dengan memperlihatkan semakin besar biaya pemeliharaan yang diinvestasikan maka kondisi jalan akan semakin baik dan semakin rendah biaya pengguna jalan dimana pada kondisi jalan tertentu (optimum) gabungan kedua biaya tersebut akan minimum.

2.3.1.1Pemeliharaan Rutin

Merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan yang terjadi pada suatu ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap untuk mengantisipasi akibat dari pengaruh lingkungan. Skala pekerjaannya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Pemeliharaan rutin hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendaraan (riding quality) tanpa meningkatkan kekuatan struktural dan dilakukan sepanjang tahun.

(12)

19 2.3.1.2Pemeliharaan Periodik/Berkala

Pemeliharaan periodik merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan rencana. Pemeliharaan periodik termasuk ke dalam tipe kegiatan pencegahan (preventive) dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya hanya mengembalikan fungsi jalan dan tidak meningkatkan nilai struktural perkerasan. Pemeliharaan periodik biasanya dilakukan penambahan lapis tipis aspal pada permukaan guna memperbaiki integritas permukaan dan sebagai lapis kedap air. Pemeliharaan periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan yang direncanakan selama masa layanannya tidak untuk meningkatkan kekuatan struktur dari perkerasan.

2.3.2 Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan pada bagian atau tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi rusak ringan. Tujuannya agar penurunan kondisi kemantapan jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan yang sesuai dengan rencana.

2.3.3 Peningkatan Jalan

Peningkatan jalan secara umum dibutuhkan untuk memperbaiki integritas struktur perkerasan yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dan atau geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan. Secara umum peningkatan jalan

(13)

20 dilakukan dengan pemberian lapis tambahan struktural. Pekerjaan peningkatan jalan adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke muatan sumbu terberat (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan.

2.3.4 Pembangunan Konstruksi Jalan Baru (Rekonstruksi)

Pengertian konstruksi jalan baru adalah penanganan jalan dari kondisi belum tersedia badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi. Pekerjaan konstruksi jalan baru juga berarti pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan tanah atau jalan beraspal. Tahapan pembangunan jalan yang biasa dilakukan di Indonesia menurut Sulaksono (2001) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) dimulai dari tahap perencanaan (planning) selanjutnya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) dan perancangan detail (detail design) kemudian tahap konstruksi (construction) dan tahap pemeliharaan (maintenance). Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat tidak layak maka lapisan tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya juga diperlukan. Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang dapat meningkatkan kelasnya.

Secara umum jalan akan mengalami penurunan kondisi semenjak pertama kali digunakan hingga akhir umur rencana (Kodoatie, 2005) sehingga dibutuhkan pemeliharaan yang tepat seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5 berikut :

(14)

21 Gambar 2.5 Tahap Penurunan Kondisi Jalan (Robinson, 1998 dalam Kodoatie,

2005)

Pada gambar 2.5 di atas menunjukkan proses penurunan kondisi jalan secara teknis yang terjadi melalui beberapa tahapan atau fase. Fase A menunjukkan kondisi sangat baik pada saat jalan selesai dibangun. Tahap berikutnya fase B (kondisi baik) dimana proses kerusakan terjadi secara perlahan. Pada tahap ini diperlukan pemeliharaan rutin untuk mempertahankan kondisi jalan tetap pada kondisi baik. Fase C1 (kondisi sedang) merupakan tahapan kritis (critical phase) karena percepatan kerusakan kasat mata mulai terjadi, pada stadium ini memerlukan pelapisan ulang atau pemeliharaan periodik/berkala. Fase C2 (kondisi buruk) dimana peningkatan kerusakan semakin tajam sehingga memerlukan rehabilitasi dan fase D

FASE B FASE C “N” Jumlah tahun dari konstruksi Awal

Catatan : Bentuk Kurva yang di atas berdasarkan Perkerasan Beton Aspal

(15)

22 (kondisi sangat buruk) merupakan tahap kerusakan total dimana peningkatan dan rekonstruksi jalan diperlukan.

2.4 Kinerja Perkerasan Jalan

Penanganan jalan sangat berhubungan dengan kinerja perkerasan jalan karena dalam menentukan jenis penanganan yang akan dilakukan pada suatu ruas jalan harus sesuai dengan kondisi eksisting yakni kinerja perkerasan jalan. Secara umum kondisi eksisting jalan dengan cara visual dapat dibedakan dalam 4 (empat) jenis (Dinas Bina Marga, 2003 dalam Rado Hotrin 2011) yaitu sebagai berikut :

a. Jalan dalam kondisi baik adalah jalan dengan permukaan yang benar - benar rata dimana tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan jalan. b. Jalan dalam kondisi sedang adalah jalan dengan kerataan permukaan

perkerasan sedang dimana tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan. c. Jalan dalam kondisi rusak ringan adalah jalan dengan permukaan sudah mulai

bergelombang dimana mulai ada kerusakan permukaan dan penambalan. d. Jalan dalam kondisi rusak berat adalah jalan dengan permukaan perkerasan

sudah banyak kerusakan seperti bergelombang, retak-retak buaya dan terkelupas yang cukup besar disertai kerusakan pondasi seperti amblas dan sebagainya.

Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria yakni jalan mantap secara konstruksi dan jalan tak mantap konstruksi dengan maksud sebagai berikut :

a. Jalan mantap konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam koridor mantap yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan

(16)

23 kegiatan pemeliharaan. Jalan mantap konstruksi ditetapkan menurut standar pelayanan minimal adalah jalan dalam kondisi sedang.

b. Jalan tak mantap konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor mantap yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah nilai struktur konstruksi.

Konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh direktorat jenderal bina marga berdasarkan ketersediaan data adalah :

a. Parameter kerataan jalan atau International Roughness Index (IRI). b. Parameter lebar jalan dan rasio volume/kapasitas (VCR).

c. Parameter lebar jalan dan volume lalulintas harian (LHR).

Kondisi jalan dapat dijadikan sebagai indikator kemantapan dan kenyamanan jalan yang berkaitan dengan nilai LHR, IRI dan RCI yang ditampilkan pada tabel 2.2 di bawah.

Jalan yang berada pada kondisi sedang sesuai dengan tabel 2.2 dapat berada dalam kemampuan pelayanan mantap dan tidak mantap. Pada kemampuan pelayanan mantap jalan kondisi sedang yang melayani lalu lintas dengan LHR 3000 – 10000 harus mempunyai nilai IRI antara 4 – 6 m/km dan RCI = 6. Sedangkan jika pada lalu lintas dengan nilai LHR > 10000 nilai RCI = 6 dan IRI minimal 6,5 maka jalan tersebut berada dalam kemampuan pelayanan tidak mantap.

(17)

24 Tabel 2.2 Indikator Kemantapan dan Kenyamanan Jalan

3.000 - 10.000 > 10.000

1 10

2 9 Baik

Mantap Mantap

3.5 8 RCI = 8

5 7 Sedang

RCI = 6.5

6.5 6 RCI = 6

RCI = 5.5

8.5 5 Rusak Ringan

11 4 RCI = 4

14 3

Tidak Mantap Tidak Mantap Rusak Berat

17 2

20 1

LHR (kend/hari) RCI

IRI

(m/km) Kategori

Sumber : Ditjen Bina Marga (2006) dalam Mulyono (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

Menurut Saleh dkk (2008) dalam Efri Debby E Ritonga (2011) pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang dimana dalam gambar 2.6 di bawah berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km tergantung dari fungsi jalan. Adapun hubungan antara kondisi, umur dan jenis penanganan jalan ditunjukkan pada gambar 2.6 berikut :

(18)

25 Gambar 2.6 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan (Saleh

dkk, 2008 dalam Efri Debby E Ritonga 2011)

2.4.1 International Roughness Index (IRI)

Tingkat kerataan jalan (International Roughness Index) merupakan salah satu faktor atau fungsi pelayanan (functional performance) dari suatu perkerasan jalan. Nilai IRI adalah nilai ketidakrataan permukaan jalan yang merupakan fungsi dari potongan memanjang dan melintang permukaan jalan yakni panjang kumulatif turun naik permukaan persatuan panjang yang dinyatakan dalam m/km. Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya antara lain metode NAASRA (SNI 03-3426-1994). Direktorat jenderal bina marga memakai parameter IRI dalam menentukan kondisi konstruksi jalan yang dibagi atas 4 kelompok seperti dalam tabel 2.3 berikut :

(19)

26 Tabel 2.3 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan

Kondisi Jalan IRI (m/km) Kebutuhan Penanganan Baik IRI rata –rata ≤ 4.5 Pemeliharaan Rutin Sedang 4.5 < IRI rata –rata ≤ 8.0 Pemeliharaan Berkala Rusak 8.0 < IRI rata –rata ≤ 1β Peningkatan Jalan Rusak Berat IRI rata – rata > 12 Rekonstruksi Sumber : IRMS dalam Ritonga, Efri Debby E 2011

2.5 Standar Pelayanan Minimum (SPM) di Bidang Jalan

Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat dalam hal ini prasarana jalan. Maka berdasarkan pasal 3 ayat 3 PP No.25/2000 bahwa daerah wajib melaksanakan standar pelayanan minimum (SPM). Dalam hal ini standar pelayanan minimum merupakan kewenangan dari pemerintah pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). Dengan kata lain bahwa untuk setiap bidang pelayanan harus ditetapkan suatu standar oleh departemen teknis terkait yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Dalam hal ini departemen kimpraswil telah mengeluarkan draft standar pelayanan minimum seperti yang tercantum dalam tabel 2.4. Standar pelayanan minimum (SPM) ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan dimana ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna. Ada 3 (tiga) keinginan dasar para pengguna jalan yang kemudian dikembangkan menjadi dasar penentuan SPM yaitu :

1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang). 2. Tidak macet (lancar setiap waktu).

3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).

(20)

27

Cakupan Konsumsi/Produksi

Jaringan Jalan

Kepadatan Penduduk

(jiwa/km2) Indeks Aksesibilitas

sangat tinggi > 5000 > 5

tinggi > 1000 > 1.5

sedang > 500 > 0.5

rendah > 100 > 0.15

sangat rendah < 100 > 0.05

PDRB per kapita (juta

rp/kap/th) Indeks Mobilitas

sangat tinggi > 10 > 5

tinggi > 5 > 2

sedang > 2 > 1

rendah > 1 > 0.5

sangat rendah < 1 > 0.2

Pemakai jalan Indeks Kecelakaan 1

Lebar Jalan Min. Volume Lalulintas (kend/hari) Kondisi Jalan

2 x 7 m LHR > 20000 sedang; iri<6; rci>6.5

7 m 80000 > LHR > 20000 sedang; iri<6; rci>6.5

6 m 3000 > LHR > 8000 sedang; iri<8; rci>5.5

4.5 m LHR < 3000 sedang; iri<8; rci>5.5

Fungsi Jalan Pengguna Jalan Kecepatan Tempuh

Min

arteri primer lalu lintas regional jarak jauh 25 km/jam

kolektor primer lalu lintas regional jarak sedang 20 km/jam

lokal primer lalu lintas lokal 20 km/jam

arteri sekunder lalu lintas kota jarak jauh 25 km/jam

kolektor sekunder lalu lintas kota jarak sedang 25 km/jam

lokal sekunder lalu lintas lokal kota 20 km/jam

Sumber : Departemen Kimpraswil, 2001 dalam Ritonga, Efri Debby E.2011

Panjang

Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimum

(21)

28 2.6 Sistem Manajemen Jalan (Road Management System)

2.6.1 Pengertian dan Tujuan Sistem Manajemen Jalan

Sistem manajemen jalan merupakan tahapan yang terdiri dari beberapa proses

yang dapat membantu dalam pengelolaan jalan baik berupa proses perbaikan maupun

pemeliharaan infrastruktur jalan. Thagesen (1996) dalam Kodoatie (2005) menyatakan bahwa pendekatan manajemen penanganan jalan (yang utamanya pemeliharaan jalan) secara umum bertujuan untuk :

1. Mengarahkan pada penggunaan pendekatan yang sistematis secara konsisten dalam pengambilan keputusan pada kerangka kerja yang telah ditetapkan 2. Menyediakan suatu landasan umum untuk memperkirakan kebutuhan

penanganan jalan dan kebutuhan sumber daya yang digunakan 3. Mengarahkan penggunaan standar penanganan jalan secara konsisten 4. Mendukung dalam pengalokasian sumber daya secara efektif

5. Mengarahkan peninjauan secara teratur terhadap kebijakan, standar dan efektifitas program

2.6.2 Indonesian Integrated Road Management Systems (IIRMS)

Sistem Manajemen Jalan diawali dengan dibangunnya Inter-urban Road Management System (IRMS) pada tahun 1992 disusul dengan Urban Roads, Kabupaten Roads, Toll Roads, Bridge Managements System yang secara garis besar disajikan pada gambar 2.7 dibawah. Namun sistem – sistem tersebut masih bekerja secara parsial dan terisolasi di ruang masing – masing dalam sistem manajemen penanganan jalan (Kodoatie, 2005).

(22)

29 Gambar 2.7 Inter Urban Road Management System (IRMS) Dalam Kerangka Kerja

Proses Pengelolaan Bina Marga (Bina Marga, 1992 dalam Kodoatie, 2005) Untuk menghubungkan sistem tersebut ke dalam suatu sistem yang menyeluruh disusunlah Indonesian Integrated Road Management System (IIRMS) yang merupakan salah satu sistem yang dikembangkan oleh departemen pekerjaan umum berdasarkan HDM – 3 yang digunakan dalam pengelolaan aset jalan (Highway Asset Management) di Indonesia. Maka, IIRMS dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang terintegrasi untuk perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan serta pembiayaan jalan sedemikian sehingga diperoleh manfaat yang optimal serta strategi dan prioritas perencanaan/pelaksanaan yang disusun berdasarkan kriteria ekonomi dengan pertimbangan biaya yang ditanggung oleh pemakai jalan maupun yang diadakan bina marga (Sulaksono, 2001 dalam Wirdatun Nafiah Putri, 2011).

Adapun struktur manajemen penanganan jalan dalam standar Integrated Road Management System ini mencakup 5 (lima) komponen, yaitu :

BINA MARGA INTERURBAN ROAD MANAGEMENT SYSTEM (IRMS)

(23)

30 1. Inter-urban Road Management Sytem (IRMS) yang dikembangkan dari hybrid Highway Design and Maintenance Series III (HDM-III) oleh world bank untuk jalan antar kota yang prinsipnya merupakan model simulasi untuk mengoptimasi biaya transport (biaya penanganan jalan dan biaya pengguna jalan selama periode pelayanan).

2. Local Road Management System (LRMS) yang dilaksanakan secara desentralisasi untuk penanganan jalan – jalan di bawah kewenangan pemerintah kabupaten dan kota.

3. Urban Road Management System (URMS) yang saat ini sedang dikembangkan dalam kerangka Integrated Urban Infrastucture Development Project (IUIDP) untuk ruas – ruas jalan.

4. Toll Road Management System (TRMS) yang lebih spesifik digunakan untuk jalan – jalan tol.

5. Bridge Management System (BMS) yang secara khusus dikembangkan untuk program penanganan (pemeliharaan dan penggantian) jembatan.

Pada prinsipnya dalam program manajemen penanganan jalan tersebut terdapat berbagai modul yang dapat meramalkan kondisi jalan berserta lalu lintasnya di masa mendatang tanpa atau dengan penanganan tertentu. Prediksi tersebut dibuat berdasarkan suatu model – model kerusakan berikut perhitungan biaya penanganannya. Selanjutnya dengan bantuan model – model lainnya seperti biaya operasi kendaraan (BOK) dan lainnya maka bisa dilakukan suatu analisis ekonomi yang berhubungan dengan keuntungan dan kerugian yang akan terjadi antara kondisi tanpa proyek penanganan dan dengan proyek penanganan (Sulaksono, 2001 dalam Wirdatun Nafiah Putri, 2011).

(24)

31 Dalam A History of Indonesian Integrated Road Management Systems

(IIRMS) disebutkan bahwa secara umum proses inti dalam manajemen penanganan

jalan adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data dan informasi infrastruktur serta penggunaannya pada lalu lintas. Pengumpulan data dengan cara melakukan survei berikut :

a. Survei kerataan/kekasaran jalan atau International Roughness Index (IRI) dengan metode NAASRA

b. Survei kondisi jalan (SKJ) atau road condition survey (RCS)

c. Survei inventarisasi jaringan jalan (SIJ) atau road network inventory (RNI)

d. Survei perhitungan lalulintas rutin (LHR)

e. Survei lendutan perkerasan jalan dengan metode benkelmen beam (BB) atau falling weight deflection (FWD)

2. Pengolahan data primer ruas jalan

3. Perencanaan dan pemrograman kinerja jalan di masa mendatang 4. Desain dan persiapan kontrak

5. Implementasi dan progress monitoring.

Secara umum diagram kerja proses Integrated Road Management Systems (IRMS) seperti pada gambar 2.8 berikut :

(25)

32 Gambar 2.8 Bagan Alir Proses IRMS

Sumber : A History of Indonesian Road Management Systems

2.6.3 Strategic Expenditure Planning Module (SEPM)

Komponen utama dari suatu proyek jalan adalah tersedianya perencanaan investasi yang strategis agar mampu dalam melakukan pengelolaan atau penanganan

(26)

33 terhadap seluruh sub-sektor jalan. Selain itu pengembangan sistem jaringan jalan secara menyeluruh juga perlu dilakukan secara hati – hati dengan memperhatikan penggunaan dana yang sangat terbatas secara efektif dan dilakukan dengan pendekatan pengembangan yang lebih strategis. Perangkat khusus strategic expenditure planning module (SEPM) atau modul perencanaan pengeluaran strategis yang merupakan komponen penting di dalam IIRMS ini dipakai dalam pengelolaan jalan di Indonesia. Dengan modul ini diharapkan pemanfaatan dana pada penanganan sektor jalan yakni dalam pengalokasian dana antar jaringan dan wilayah dapat direncanakan secara optimum baik untuk jenis jalan yang berbeda, program perbaikan maupun dengan faktor geografis yang berbeda.

Dua modul utama yang digunakan dalam SEPM untuk menganalisis data adalah modul penyusunan program dan modul perencanaan pengeluaran strategis. Modul penyusunan program mengidentifikasi kebutuhan pemeliharaan dan strategi yang optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut sesuai dengan keterbatasan anggaran tertentu. Modul tersebut menghasilkan sebuah daftar proyek pekerjaan yang diusulkan untuk bagian – bagian jalan tertentu dan menentukan waktu serta biaya dalam rentang tiga sampai lima tahun. Sementara modul perencanaan pengeluaran strategis menganalisis seluruh jaringan untuk rentang waktu yang lebih panjang umumnya sepuluh tahun. Modul ini memproyeksikan kinerja jaringan jalan di masa depan dalam hal karakteristik seperti kondisi jalan dengan menggunakan berbagai asumsi untuk tingkatan anggaran dan jenis pekerjaaan pemeliharaan yang dilakukan selama jangka waktu tersebut. Hasilnya berguna pada saat menentukan alokasi anggaran untuk berbagai kelas jalan serta jenis pekerjaannya. Dengan adanya

(27)

34 modul penyusunan program maupun modul perencanaan pengeluaran strategis dapat dibandingkan biaya instansi pengelola jalan dengan biaya pengguna jalan.

SEPM juga ikut mengidentifikasi kombinasi paling ekonomis terhadap

penanganan jalan dengan anggaran yang tersedia. Dalam kasus keterbatasan

anggaran penanganan jalan maka perlu dipertimbangkan untuk memaksimalkan

manfaat ekonomi di seluruh jaringan jalan. Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka

skala prioritas merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dianalisa dalam

manajemen penangan jalan dengan kondisi keterbatasan anggaran.

2.7 Teori Penentuan Prioritas

Penentuan prioritas (priority setting) dikembangkan sebagai suatu dasar dalam pembuatan keputusan. Roy & Sembel (2003) dalam Irwan S Sembiring (2008) menyatakan keterbatasan waktu, tenaga dan dana menyebabkan ketidakmungkinan untuk melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan sehingga perlu untuk dilakukan prioritas. Faktor keterbatasan tersebut membuat prioritas menjadi penting sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam banyak hal yang semuanya harus dilakukan dengan waktu yang cepat, dana yang cukup serta kualitas yang baik.

Secara umum konsep penyusunan prioritas akan memperhatikan masalah-masalah dasar yang dihadapi maupun faktor-faktor yang menghambat tercapainya suatu tujuan. Prioritas dapat memberi arah bagi kegiatan yang harus dilaksanakan. Jika prioritas telah disusun maka tidak akan ada kebingungan kegiatan mana yang harus dilakukan terlebih dahulu serta kegiatan mana yang dilakukan selanjutnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika prioritas bertujuan untuk melakukan kegiatan yang berkesinambungan maka diprioritaskan kegiatan yang

(28)

35 sesuai dengan kebutuhan sehingga arah kegiatan adalah pada pengembangan bukan semata-mata pada pembangunan. Jika konsisten pada prioritas yang telah ditetapkan maka prioritas akan membantu untuk memecahkan masalah.

Penentuan prioritas dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menjawab 5 (lima) pertanyaan berikut :

1. Apa hasil akhir yang ingin dicapai ?

Prioritas disusun untuk mencapai suatu tujuan. Maka sebelum prioritas ditetapkan tujuanlah yang perlu dibuat.

2. Apa yang penting untuk dilakukan dalam mencapai tujuan?

Setelah tujuan ditetapkan maka perlu mengidentifikasikan faktor - faktor yang memang penting untuk dilakukan guna tercapainya tujuan.

3. Apakah harus dilakukan hal tersebut?

Pertanyaan ini akan membantu dalam memilah kegiatan yang memang harus dilakukan dan kegiatan yang bisa dilakukan oleh orang lain.

4. Apa keuntungan yang didapat dari kegiatan tersebut?

Prinsip 80/20 yang dicetuskan oleh Vilfredo Pareto seperti yang dikutip Sembel (2003) dalam Irwan S Sembiring (2008) menyatakan bahwa hanya 20% dari kegiatan yang dapat memberikan 80% keuntungan sehingga perlu memfokuskan tenaga dan pemikiran serta sarana yang dimiliki agar dapat memberikan keuntungan maksimal.

5. Bagaimana melaksanakan prioritas?

Setelah prioritas ditentukan maka perlu melakukan beberapa langkah lagi untuk memastikan bisa dilaksanakan dengan hasil yang positif yaitu evaluasi. Selalu evaluasi hal-hal yang perlu dan yang tidak perlu dilakukan.

(29)

36 2.8 Manfaat Penentuan Prioritas

Penentuan prioritas dipandang penting karena memiliki beberapa manfaat, antara lain:

1. Tetap fokus pada hal-hal yang berada pada prioritas utama atau menuntun perencanaan dan proses update program.

2. Dapat mengawasi penggunaan sumber daya langka secara lebih efektif. 3. Dapat membangun komunikasi mengenai aktivitas antar stakeholders.

4. Dapat menghubungkan antara kebijakan dan tujuan ekonomi sosial pemerintah.

2.9 Kriteria Dalam Menentukan Prioritas

Dalam menentukan prioritas diperlukan beberapa kriteria yang menjadi dasar dalam pemberian bobot pilihan. Peneliti sebelumnya menggunakan kriteria yang berbeda-beda dalam menentukan prioritas penanganan ruas jalan menurut kondisi daerah yang diteliti. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang pernah dilakukan dan memiliki relevansi sehingga dapat dijadikan pertimbangan maupun perbandingan dalam penentuan prioritas penanganan jalan baik pemeliharaan, peningkatan maupun pembangunan jalan.

Firdasari (β01γ) dalam “Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process

(AHP) Dalam Penentuan Prioritas Penanganan Pemeliharaan Jalan Di Kota Banda Aceh” memakai 4 (empat) kriteria yaitu kondisi jalan, volume lalu lintas, kebijakan, dan faktor tata guna lahan. Dari hasil kuesioner kepada 20 responden di kota Banda Aceh yang berkompeten terhadap masalah penanganan jalan dimana setiap dinas terkait dan kantor kecamatan diwakili oleh 1 responden dan 5 responden mewakili

(30)

37 masyarakat termasuk akademisi menunjukkan kondisi jalan dan volume lalu lintas merupakan faktor utama dalam menentukan prioritas penanganan jalan dengan bobot 0,454 dan 0,255.

Wirdatun Nafiah Putri (β011) dalam “Studi Penentuan Prioritas Penanganan

Ruas Jalan Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (Studi Kasus Pada Jalan Provinsi Di Provinsi Sumatera Utara)” menggunakan kriteria kondisi jalan yang

dibedakan atas kondisi baik, sedang, rusak ringan dan rusak berat, kriteria volume lalu lintas dan kriteria biaya penanganan. Hasil kuesioner pada 5 (lima) responden menunjukkan bahwa kriteria biaya penanganan merupakan kriteria yang paling dipertimbangkan yaitu sebesar 61,33 %, sedangkan kriteria kondisi jalan sebesar 22,66 % dan kriteria volume lalu lintas sebesar 16,01 %.

Risdiansyah (β014) dalam “Studi Penentuan Prioritas Penanganan Ruas Jalan Nasional Bireuen – Lhokseumawe –Panton Labu” menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan kriteria yang paling prioritas dan Analisa Multi Kriteria (AMK) untuk penilaian (scoring) setiap kriteria pada setiap segmen ruas jalan yang diteliti. Adapun kriteria yang dipakai ialah faktor volume lalu lintas, kapasitas jalan, kondisi jalan dan kecelakaan lalu lintas. Dari hasil penelitian terhadap 15 responden didapatkan kriteria yang paling berpengaruh dalam menentukan prioritas penanganan pada ruas jalan yang diteliti adalah kriteria volume lalu lintas dengan bobot 0,386, kemudian diikuti kapasitas jalan sebesar 0,344, kriteria kondisi jalan sebesar 0,198 dan kriteria kecelakaan lalu lintas sebesar 0,072.

Efri Debby Ekinola Ritonga (β011) dalam “Kajian Kriteria Penanganan Jalan Nasional Lintas Timur Provinsi Sumatera Utara” menggunakan 5 (lima) kriteria yaitu kondisi ruas jalan, aksessibilitas, mobilitas, efektifitas biaya dan fungsi arus

(31)

38 ruas jalan. Hasil kuesioner pada 30 responden menunjukkan bahwa kriteria kondisi ruas jalan memiliki bobot tertinggi yakni 43,33 %, diikuti kriteria fungsi aksessibilitas sebesar 26,67 %, efektifitas biaya 16,67 %, fungsi mobilitas 6,67 % dan fungsi arus ruas jalan sebesar 3,33 %.

Agustinus Syawal (β01γ) dalam “Perbandingan Skala Prioritas Penanganan Jalan Di Kabupaten Bengkayang Antara Metode AHP Dengan Metode Bina Marga”

dengan tujuan untuk membandingkan hasil dari kedua metode tersebut terhadap penentuan skala prioritas penanganan jalan strategis kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Hasil analisa menunjukkan bahwa 20 % hasil peringkat dengan dua metode tersebut berada dalam peringkat yang sama dan 80 % lainnya berada dalam posisi acak (random). Berdasarkan analisis korelasi dengan metode Pearson dan Spearman terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif antara metode Bina Marga dan AHP dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan di kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Kelebihan metode Bina Marga adalah cukup praktis dan efisien karena hanya menggunakan tabel manfaat lalu lintas dan matriks biaya konstruksi jalan dalam menentukan skala prioritas penanganannya, parameter yang digunakan pada metode Bina Marga hanya didasarkan pada data inventory yang meliputi data traffic dan data road condition. Oleh karena itu, kelemahannya tidak memiliki fleksibilitas terhadap rencana pengembangan wilayah. Kelebihan metode AHP yaitu lebih fleksibel dalam menentukan variabel dan akurasi penilaian cukup baik (consistency ratio 10 %). Instrument utama metode AHP adalah persepsi, maka subjektivitas responden dalam penilaian dapat menjadi kelemahan dalam metode ini.

Berdasarkan penelitian – penelitian terdahulu yang pernah dilakukan dalam prioritas penanganan jalan serta kemudahan dalam perolehan data, maka kriteria

(32)

39 yang digunakan dalam penentuan prioritas penanganan ruas jalan nasional Panton Labu/Simpang – Langsa – batas SUMUT adalah kriteria kondisi ruas jalan yang dibedakan atas kondisi baik, sedang, rusak ringan, rusak berat dan kemudian kriteria arus lalu lintas yang dibedakan atas kapasitas jalan dan volume lalu lintas serta kriteria biaya penanganan.

Adapun penjelasan tentang kriteria – kriteria di atas yang digunakan dan selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian atau kriteria penelitian dalam tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

2.9.1 Kriteria Kondisi Ruas Jalan

Kriteria kondisi ruas jalan merupakan bobot dari kinerja ruas jalan terhadap kondisi perkerasan ruas jalan tersebut yang dinyatakan dalam persen. Ada empat jenis kondisi ruas jalan yang ditinjau yaitu kondisi rusak berat, rusak ringan, sedang dan baik. Besarnya persentase masing-masing kondisi inilah yang digunakan untuk menghitung bobot total masing-masing ruas jalan.

2.9.2 Kriteria Arus Lalu Lintas

Dalam MKJI (1997) disebutkan bahwa arus lalu lintas merupakan jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu yang dinyatakan dalam kend/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp) atau LHRT (Lalu – lintas Harian

Rata – Rata Tahunan) dan LHR (kend/hari).

Kriteria arus lalu lintas dalam penelitian ini merupakan pembobotan dari kinerja ruas jalan terhadap arus lalu lintas dimana variabel kriterianya dinyatakan dalam kapasitas dan volume lalu lintas.

(33)

40 2.9.2.1Kapasitas Ruas Jalan

Kapasitas merupakan arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan (tetap) pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (misalnya rencana geometrik, lingkungan, komposisi lalu lintas dan sebagainya) (MKJI 1997). Dengan kata lain kapasitas jalan ialah kemampuan suatu bagian jalan untuk menampung arus atau volume lalu lintas yang ideal dalam satuan waktu tertentu yang dinyatakan dalam jumlah kendaraan yang melewati potongan jalan tertentu dalam satu jam (kend/jam) atau dengan mempertimbangan berbagai jenis kendaraan yang melalui suatu jalan dimana digunakan satuan mobil penumpang sebagai satuan kendaraan dalam perhitungan kapasitas (smp/jam).

Adapun rumus kapasitas di wilayah perkotaan sebagai berikut :

C = Co x FCW x FCSP x FCSF x FCCS ...(2.1)

Sementara kapasitas jalan antar kota dipengaruhi oleh lebar jalan, arah lalu lintas dan gesekan samping.

C = Co x FCW x FCSP x FCSF ……… (β.2)

Dimana :

C = Kapasitas (smp/jam) Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCW = Faktor koreksi kapasitas untuk lebar jalan

FCSP = Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (tidak berlaku untuk jalan

satu arah)

FCSF = Faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping dan bahu jalan/kereb

FCCS = Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (jumlah penduduk)

(34)

41 Kapasitas dasar (Co) ditentukan berdasarkan tipe jalan sesuai dengan nilai

pada tabel 2.5 berikut :

Tabel 2.5 Kapasitas Dasar (Co)

Jalan 4 lajur berpembatas median atau jalan satu arah 1650 per lajur

Jalan 4 lajur tanpa pembatas median 1500 per lajur

Jalan 2 jalur tanpa pembatas median 2900 total dua arah

Sumber : MKJI, 1997

Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (FCSP) seperti terlihat pada

tabel 2.6 berikut ini :

Tabel 2.6 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FCSP)

FCSP

Kondisi Arus Lalu Lintas dan Kondisi Fisik Jalan 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

2 lajur 2 arah, Tanpa Pembatas Median (2/2 UD) 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

4 lajur 2 arah, Tanpa Pembatas Median (4/2 UD) 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

Jalan satu arah, atau Jalan dengan Pembatas Median

Pembagian arah (% - %)

1

Sumber : MKJI, 1997

Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (FCCS) dapat dilihat pada tabel

2.7 di bawah ini :

Tabel 2.7 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCCS) Ukuran Kota (Juta Penduduk) Faktor Koreksi untuk Ukuran Kota

(35)

42 Adapun faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalan (FCW) ditunjukkan pada

tabel 2.8 dibawah ini :

Tabel 2.8 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCW)

Tipe Jalan Lebar Jalan Efektif

(m) FCW

4 Jalur Berpembatas Median atau Jalan satu arah

4 Jalur Tanpa Pembatas Median

2 Jalur Tanpa Pembatas Median

Sumber : MKJI, 1997

Untuk faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) terlebih

dahulu kita harus mengetahui klasifikasi hambatan samping seperti pada tabel 2.9 di bawah. Nilai faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) baik untuk

jalan yang memiliki bahu jalan maupun jalan yang memiliki kereb dapat ditunjukkan pada tabel 2.10 dan tabel 2.11.

(36)

43 Tabel 2.9 Klasifikasi Hambatan Samping (FCSF)

Jalan Perkotaan

Jalan Luar Kota

Sangat rendah < 100 < 50 Permukiman

Rendah 100 - 299 50 - 150 Permukiman, beberapa transportasi umum

Sedang 300 - 499 150 - 250 Daerah industri dengan beberapa toko di pinggir jalan

Tinggi 500 - 899 250 - 350 Daerah komersial, aktivitas pinggir jalan tinggi

Sangat Tinggi > 900 > 350 Daerah komersial dengan aktifitas perbelanjaan pinggir jalan

Tabel 2.10 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Hambatan Samping (Fcsf) Untuk Jalan

Luar Kota

< 0,5 1,0 1,5 > 2,0

Sangat Rendah 0,99 1,00 1,01 1,03

Rendah 0,96 0,97 0,99 1,01

Sedang 0,93 0,95 0,96 0,99

Tinggi 0,90 0,92 0,95 0,97

Sangat Tinggi 0,88 0,90 0,93 0,96

Sangat Rendah 0,97 0,99 1,00 1,02

Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00

Sedang 0,88 0,91 0,94 0,98

Tinggi 0,84 0,87 0,91 0,95

Sangat Tinggi 0,80 0,83 0,88 0,93

(37)

44 Tabel 2.11 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Hambatan Samping (Fcsf) Untuk Jalan

Perkotaan (Jalan Dengan Bahu / Jalan Dengan Kereb)

Ws Wg Ws Wg Ws Wg Ws Wg

Sangat Rendah 0,96 0,95 0,98 0,97 1,01 0,99 1,03 1,01 Rendah 0,94 0,94 0,97 0,96 1,00 0,98 1,02 1,00 Sedang 0,92 0,91 0,95 0,93 0,98 0,95 1,00 0,98 Tinggi 0,88 0,86 0,92 0,89 0,95 0,92 0,98 0,95 Sangat Tinggi 0,84 0,81 0,88 0,85 0,92 0,88 0,96 0,92 Sangat Rendah 0,96 0,95 0,99 0,97 1,01 0,99 1,03 1,01 Rendah 0,94 0,93 0,97 0,95 1,00 0,97 1,02 1,00 Sedang 0,92 0,90 0,95 0,92 0,98 0,95 1,00 0,97 Tinggi 0,87 0,84 0,91 0,87 0,94 0,90 0,98 0,93 Sangat Tinggi 0,80 0,77 0,86 0,81 0,90 0,85 0,95 0,90 Sangat Rendah 0,94 0,93 0,96 0,95 0,99 0,97 1,01 0,99 Rendah 0,92 0,90 0,94 0,92 0,97 0,95 1,00 0,97 Sedang 0,89 0,86 0,92 0,88 0,95 0,91 0,98 0,94 Tinggi 0,82 0,78 0,86 0,81 0,90 0,84 0,95 0,88 Sangat Tinggi 0,73 0,68 0,79 0,72 0,85 0,77 0,91 0,82 4 Jalur 2

Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Hambatan Samping (Fcsf) Untuk Jalan Dengan Bahu (Lebar

Bahu Efektif/Ws) / Jalan Dengan Kereb(Jarak ke Kereb Penghalang/Wg)

< 0,5 1,0 1,5 > 2,0

Sumber : MKJI, (1997)

2.9.2.2Volume Lalu Lintas

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997) volume lalu lintas pada suatu ruas jalan diartikan sebagai jumlah atau banyaknya kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada ruas jalan dalam suatu satuan waktu tertentu. Pada umumnya kendaraan pada suatu ruas jalan terdiri dari berbagai komposisi kendaraan, sehingga volume lalu lintas dinyatakan dalam jenis kendaraan standar yaitu mobil penumpang yang dikenal dengan istilah satuan mobil penumpang (smp).

(38)

45 Berdasarkan data yang diperoleh, volume lalu lintas dibedakan atas beberapa jenis diantaranya :

 ADT (Average Daily Traffic) atau LHR (Lalu lintas Harian Rata – Rata) Merupakan volume lalu lintas rata – rata harian berdasarkan pengumpulan data selama x hari dengan ketentuan 1< x<365.

 AADT (Average Annual Daily Traffic) atau LHRT (Lalu lintas Harian Rata – Rata Tahunan)

Merupakan total volume lalu lintas harian rata – rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun penuh.

LHRT dinyatakan dalam smp/hari/2 arah atau kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 jalur 2 arah. Sedangkan untuk jalan berlajur banyak dengan median dinyatakan dalam smp/hari/1 arah atau kendaraan/hari/1 arah.

Jika dalam melakukan suatu analisis dimana data lalu lintas yang tersedia adalah data lalulintas harian rata – rata (kend/hari) maka diperlukan faktor yang dapat mengubah menjadi arus lalulintas jam sibuk (kend/jam) yang juga dapat digunakan dalam menghitung biaya pemakai jalan. Disebut faktor k yaitu faktor volume lalu lintas jam sibuk ataupun sebaliknya. Volume lalulintas jam sibuk dapat dirumuskan sebagai berikut:

Q = LHRT x k ……… (2.3) Dimana :

Q = Arus kendaraan jam puncak untuk masing – masing arah (kend/jam) LHRT = Lalulintas harian rata – rata tahunan (kend/hari)

k = Faktor pengubah dari LHRT ke lalulintas jam puncak

(nilai normal k = 0.09 untuk jalan perkotaan dan k = 0.11 jalan luar kota)

(39)

46 Untuk keperluan analisis maka jenis kendaraan diklasifikasikan atas beberapa jenis, yaitu :

 Kendaraan Ringan (Light Vehicle/LV) yang terdiri dari jeep, station wagon, colt, sedan, bis mini, combi, pick up, dll.

 Kendaraan Berat (Heavy Vehicle/HV) yang terdiri dari bus dan truk  Sepeda Motor (Motorcycle/MC)

Sementara itu bina marga mengelompokkan kendaraan menjadi beberapa golongan, diantaranya :

 Vehicle 1= Sepeda motor  Vehicle 2= Sedan / Jeep  Vehicle3= Mobil penumpang  Vehicle 4= Mobil barang  Vehicle 5a= Bus kecil  Vehicle 5b= Bus besar  Vehicle 6a= Truk ringan 2 as  Vehicle 6b= Truk sedang 2 as  Vehicle 7a= Truk 3 as

 Vehicle 7b= Trailer  Vehicle 7c= Semi trailer  Vehicle 8 = Tak bermotor

Angka ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk berbagai jenis kendaraan baik kendaraan ringan, kendaraan berat seperti kendaraan berat menengah (MHV), bus besar (LB), truk besar termasuk truk kombinasi (LT) dan sepeda motor (MC) diberikan pada tabel 2.12 s.d tabel 2.16 berikut ini :

(40)

47 Tabel 2.12 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Jalan 2/2 UD (Jalan Luar Kota)

< 6 m 6 - 8 m > 8 m

Tabel 2.13 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Untuk Jalan Luar Kota 4 lajur 2 Arah (4/2) Terbagi Dan Tak Terbagi

Jalan terbagi per arah (kend/jam)

Jalan tak terbagi

total (kend/jam) MHV LB LT MC

(41)

48 Tabel 2.14 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Untuk Jalan Luar Kota 6 Lajur

2 Arah Terbagi (6/2 D)

Tabel 2.15 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi

ч 6 > 6

Tabel 2.16 Ekivalensi Mobil Penumpang Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah

HV MC

0 1,3 0,40

ш 1050 1,2 0,25

0 1,3 0,40

ш 1100 1,2 0,25

Dua lajur satu arah (2/1) dan Empat lajur terbagi (4/2 D)

Tiga lajur satu arah (3/1) dan Enam lajur terbagi (6/2 D)

emp Arus lalu lintas per

lajur (kend/jam) Tipe Jalan : Jalan satu arah dan

jalan terbagi

Sumber : MKJI, 1997

(42)

49 Selanjutnya arus lalulintas dimasa mendatang atau di akhir umur rencana suatu jalan dapat diprediksi dengan cara menghitung faktor pertumbuhan lalulintas. Faktor pertumbuhan lalulintas ini diperoleh dari analisa pertumbuhan kendaraan, LHR dan pertumbuhan ekonomi lima (5) tahun terakhir. Adapun persamaan untuk menghitung arus lalulintas dimasa mendatang adalah :

Qn = Qo (1+i)n …….. (2.4)

Dimana :

Qn = Arus lalulintas tahun ke-n Qo = Arus lalulintas awal

i = Angka pertumbuhan lalulintas n = Periode tahun ke-n

2.9.3 Kriteria Biaya Penanganan

Kriteria biaya penangananyaitu skoring dari kinerja ruas jalan terhadap biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan jalan dalam satuan rupiah. Pembobotan dari kriteria biaya penanganan dimulai dari skor 1 (sangat rendah prioritasnya karena biaya penanganan tinggi) sampai dengan skor 9 (paling diprioritaskan karena biaya penanganan rendah).

Ruas jalan dengan biaya penanganan yang lebih kecil akan lebih diprioritaskan dibanding dengan ruas jalan yang membutuhkan biaya penanganan yang lebih besar. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan dana sehingga dengan adanya prioritas tersebut diharapkan jumlah ruas jalan yang akan memiliki kondisi baik akan lebih banyak dan lebih merata serta tidak terpusat pada beberapa jalan dengan biaya besar saja.

(43)

50 2.10 Metode Penentuan Prioritas Penanganan Jalan

2.10.1 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

Salah satu metode multi kriteria yang sering digunakan adalah proses hierarki analitik (PHA) atau disebut Analytical Hierarchy Process (AHP) yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty seorang ahli matematika dari universitas Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty ini pada dasarnya merupakan prosedur yang sistematik yang dapat membentuk nilai secara numerik sehingga dapat merepresentasikan elemen masalah secara hirarki (memecahkan masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil). Pada prinsipnya metode AHP ini memasukkan aspek kualitatif maupun kuantitatif pikiran manusia. Aspek kualitatif untuk mendefinisikan persoalan dan hierarkinya, sedangkan aspek kuantitatif untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat.

Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini juga merupakan suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi pereorangan atau kelompok untuk membangun gagasan – gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing – masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Proses pada metode AHP ini tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hierarki suatu masalah, logika, intuisi dan pengalaman untuk memberi pertimbangan. Prosesnya adalah mengidentifikasi, memahami dan menilai interaksi – interaksi dari suatu sistem sebagai satu keseluruhan.

Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) biasanya digunakan dengan beberapa ketentuan, diantaranya (Saaty, 1993) :

(44)

51 1. Dipakai untuk mengambil suatu keputusan dari suatu permasalahan yang

kompleks yang melibatkan banyak faktor 2. Dipakai untuk menentukan suatu prioritas

3. Dipakai untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan cara hierarki

4. Memakai data kuantitatif dan preferensi kualitatif

5. Ancangannya bersifat holistik (menyeluruh) yang memakai logika 6. Pertimbangannya berdasarkan intuisi

7. Penyederhanaannya tidak berlebihan

2.10.1.1Kelebihan dan Kelemahan Metode AHP

Adapun beberapa keuntungan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah (Saaty,1993) :

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur

2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen – elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah – milah elemen – elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat

5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal – hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas

(45)

52 6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan – pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif

8. AHP mempertimbangkan prioritas – prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan – tujuan mereka

9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda – beda

10.AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan

Selain kelebihan – kelebihan tersebut di atas, metode Analytical Hierarchy Process (AHP) juga memiliki beberapa kelemahan antara lain :

1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli. Selain itu model ini juga menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru

2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistic sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk

2.10.1.2Prinsip Dasar Metode Analytical Hierarchy Process

Dalam memecahkan masalah dengan analisis logis eksplisit dalam metode AHP ada 3 (tiga) prinsip dasar yang dipakai, yaitu:

(46)

53 1. Prinsip menyusun hierarki / Dekomposisi masalah

2. Prinsip menetapkan prioritas (perbandingan) / Comparative Judgement, dan 3. Prinsip konsistensi logis / Logical Consistency

2.10.1.2.1Dekomposisi Masalah

Dekomposisi adalah proses memecahkan atau membagi masalah yang utuh menjadi unsur – unsurnya kebentuk hierarki proses pengambilan keputusan dimana setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Bentuk umum susunan hierarki seperti pada gambar 2.9 di bawah.

Gambar 2.9 Bentuk Umum Susunan Hirarki Penelitian (Saaty, 1993)

Langkah pertama adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan prioritas yang dilanjutkan dengan menentukan kriteria dari tujuan. Berdasarkan tujuan dan kriteria maka beberapa pilihan perlu dididentifikasi agar pilihan tersebut merupakan pilihan yang potensial sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak.

2.10.1.2.2 Perbandingan Penilaian (Comparative Judgment)

Setelah masalah terdekomposisi maka ada dua tahap penilaian atau membandingkan antar elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan

TUJUAN

I II III

I II III

KRITERIA

PILIHAN

(47)

54 antar pilihan alternatif untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria dimaksudkan untuk menentukan bobot untuk masing–masing kriteria (Sembiring, I.S, 2008). Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen – elemen. Untuk mengkuantifikasi pendapat kualitatif digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Nilai atau angka kuantitatif tersebut nantinya diolah sehingga menjadi bobot dari suatu kriteria.

Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan dapat dilihat pada tabel 2.17 berikut ini :

Tabel 2.17 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas

Kepentingan

Definisi Penjelasan

1

Elemen yang sama pentingnya dibanding dengan elemen yang lain (Equal importance)

Kedua elemen menyumbang sama besar pada sifat tersebut

3

Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain (Moderate more importance)

Pengalaman menyatakan sedikit berpihak pada satu elemen

5

Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen yang lain (Essential, Strong more importance)

Pengalaman menunjukkan secara kuat memihak pada satu elemen

7

Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari pada elemen yang lain (Demonstrated importance)

Pengalaman menunjukkan secara kuat disukai dan dominannya terlihat dalam praktek

(48)

55 9

Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen yang lain (Absolutely more importance)

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang menguatkan

2,,4,6,8

Apabila ragu-ragu antara dua nilai ruang berdekatan (gray area)

Nilai ini diberikan bila diperlukan kompromi

Kebalikan

Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan aktivitas j maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i

Sumber : Saaty (1993)

Dengan memakai skala penilaian perbandingan berpasangan pada tabel 2.17 di atas. Maka perbandingan antar kriteria akan menghasilkan nilai seperti dalam tabel 2.18 di bawah dimana disini diasumsikan hanya ada 4 (empat) kriteria.

Tabel 2.18 Perbandingan Antar Kriteria

Kriteria CR1 CR2 CR3 CR4 Jumlah Bobot

CR1 - c12 c13 c14 c1 bc1 = c1/C

CR2 c21 - c23 c24 c2 bc2 = c2/C

CR3 c31 c32 - c34 c3 bc3 = c3/C

CR4 c41 c42 c43 - c4 bc4 = c4/C

Jumlah C

Sumber : Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) Dari tabel tersebut dapat dirangkum sebagai berikut :

1. cij merupakan hasil penilaian / perbandingan antara kriteria i dan j

2. ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke – i

3. C merupakan penjumlahan semua nilai ci

4. Bobot kriteria ke – i diperoleh dengan membagi nilai ci dengan C

(49)

56 Dengan prosedur yang sama maka dilakukan perbandingan antar pilihan (OP) untuk masing – masing kriteria seperti terlihat pada tabel 2.19 berikut dimana perbandingan antar pilihan dilakukkan untuk kriteria 1 (c1) :

Tabel 2.19 Perbandingan Antar Pilihan Untuk Kriteria 1 (c1)

C1 OP1 OP2 OP3 OP4 Jumlah Bobot

OP1 - o12 o13 o14 o1 bo1 = o1/O

OP2 o21 - o23 o24 o2 bo2 = o2/O

OP3 o31 o32 - o34 o3 bo3 = o3/O

OP4 o41 o42 o43 - o4 bo4 = o4/O

Jumlah O

Sumber : Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. oij merupakan hasil penilaian / perbandingan antara pilihan i dengan k untuk

kriteria j

2. oi merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke – i

3. o merupakan penjumlahan semua nilai oi

4. boij merupakan nilai pilihan ke – i untuk kriteria ke - j

Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam metode AHP berdasarkan “judgement” atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai “key person”. Mereka dapat terdiri atas pengambil keputusan, para pakar dan orang yang terlibat serta memahami permasalahan yang dihadapi. Biasanya jumlah ahli bervariasi tergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing – masing ahli ataupun dengan melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian.

(50)

57 2.10.1.2.3 Sintesa Prioritas (Synthesis of Priority)

Prinsip sintesis hasil penilaian adalah mengambil setiap turunan skala rasio prioritas – prioritas lokal dalam berbagai level dari suatu hierarki dan menyusun suatu komposisi global dari kumpulan prioritas untuk elemen – elemen dalam hierarki terbawah. Penilaian ini dilakukan untuk setiap sel dalam matriks perbandingan maka akan didapatkan suatu matriks perbandingan baru yang merupakan matriks perbandingan gabungan semua responden sehingga didapatkan eigen vector (vektor ciri) untuk masing – masing kriteria.

Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) menegaskan bahwa sintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP yang prosedurnya berbeda menurut hierarki. Pada dasarnya sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing – masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara umum nilai suatu pilihan adalah sebagai berikut :

Dimana bopi = nilai/bobot untuk pilihan ke - i

Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Sebagai contoh dapat dilihat pada tabel 2.20 di bawah. Dalam tabel tersebut diasumsikan ada 4 (empat) kriteria dengan 4 (empat) pilihan alternatif. Untuk nilai prioritas/bobot pilihan 1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada kriteria dengan nilai yang terkait dengan kriteria tersebut. Untuk pilihan 1 sebagai berikut :

bop1 = bo11 * bc1 + bo12 * bc2 + bo13 * bc3 + bo14 * bc4 .………(β.6)

Hal yang sama dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4 dengan membandingkan nilai yang diperoleh masing – masing pilihan sehingga prioritas dapat disusun

…..……….... (2.5)

bopi = boij x bcj

(51)

58 berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan maka semakin tinggi prioritasnya begitupun sebaliknya.

Tabel 2.20 Matriks Sintesis CR1

OP1 bo11 bo12 bo13 bo14 bop1

OP2 bo21 bo22 bo23 bo24 bop2

OP3 bo31 bo32 bo33 bo34 bop3

OP4 bo41 bo42 b043 bo44 bop4

Sumber : Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

Derajat kepentingan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan berpasangan yang sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen – elemen dan kriteria – kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil.

2.10.1.2.4 Konsistensi Logis (Logical Consistency)

Konsistensi logis menilai intensitas hubungan diantara elemen – elemen yang didasarkan pada suatu kriteria khusus yang telah menjustifikasi satu sama lain dalam cara – cara yang logis. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan CI (Consistency Index)

………...… (β.7)

Dimana : CI = Consistency Index maks = Eigen value maksimum n = ukuran matriks

(52)

59 Indeks konsistensi kemudian diubah dalam bentuk rasio inkonsistensi dan membaginya dengan suatu random index (RI). Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai consistency ratio (CR).

………... (β.8)

Dimana : CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index RI = Random Index

Nilai random indeks tergantung pada ukuran matriks seperti ditunjukkan dalam tabel 2.21 berikut :

Tabel 2.21 Hubungan Antara Ukuran Matriks dan Nilai Random Index (RI) Ukuran

Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Nilai RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59 Sumber : Saaty (1988) dalam Syawal, Agustinus (2013)

Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriksnya seperti terlihat dalam tabel 2.22 di bawah. Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi pendapat cukup tinggi ≥ 10 %. Jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik.

Tabel 2.22 Nilai Rentang Penerimaan Consistency Ratio (CR)

No Ukuran Matriks Rasio Konsistensi (CR)

1 ч 3 x 3 0,03

2 4 x 4 0,08

3 > 4 x 4 0,10

Sumber : Saaty (2000) dalam Apriyanto (2008) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

Gambar

Gambar 2.1 Pembagian Status Pada Jaringan Jalan Primer (Tanan, 2005 dalam
Gambar 2.2 Bagian – Bagian Jalan (UU No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan)
Tabel 2.1 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan
Gambar 2.3 Sumber Pembiayaan Jalan (Manual Pemeliharaan Jalan Jilid I A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk data sekunder berupa jumlah penduduk yang didapat dari Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta serta jumlah kendaraan lalu lintas di ruas dan simpang Jalan

Kapasitas lalu lintas adalah sebuah fungsi dari kapasitas kendaraan, kecepatan, dan jumlah kendaraan yang dapat berada pada jalan raya pada suatu waktu (Hay., 1997).... Arus

Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode AHP dan AMK didapat kriteria yang paling berpengaruh adalah kriteria volume lalu lintas dengan bobot 0,386 dan dari 5

Analisa data dilakukan setelah mengetahui nilai PCI dengan kriteria kondisi jalan pada ruas jalan Panton Labu – Langsa – Batas Sumut. Berdasarkan kriteria kondisi jalan

Pada ketiga ruas jalan tersebut, dilakukan pengumpulan data volume lalu lintas kendaraan selama 3x24 jam menggunakan bantuan CCTV sementara untuk pengukuran data

Bahu Jalan adalah bagian ruang manfaat jalan yang berdampingan dengan jalur lalu-lintas untuk menampung kendaraan yang berhenti, keperluan darurat, dan untuk

Lampu sinyal (pengatur) lalu lintas adalah salah satu alat (instrumen) untuk mengontrol arus lalu lintas di suatu simpang jalan, dengan suatu pertimbangan bawha volume

Penentuan prioritas penanganan jalan menggunakan metode AHP dengan kriteria aksesibilitas, mobilitas, arus lalu lintas jalan, kondisi ruas jalan, pengembangan