• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga dan Peran Militer Serta Analisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Lembaga dan Peran Militer Serta Analisa"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAGA DAN PERAN MILITER

SERTA ANALISA PERBANDINGAN EKSISTENSI MILITER DALAM POLITIK DI INDONESIA DAN THAILAND

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Perbandingan Politik

Nadia Sarah Azani

0801511002

HI A 2011

Dosen pengampu:

Prof. Dr. Yahya Muhaimin

Gita Karisma, S. IP

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Sebagai salah satu negara dunia ketiga, atau sebuah entitas negara-bangsa yang berdiri pasca kolonisasi yaitu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia membutuhkan sebuah bentuk pertahanan yang kuat demi melindungi keamanan negara dari ancaman luar. Bentuk pertahanan ini disebut sebagai militer, yang fungsinya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Peran militer sangat kuat dalam sejarah Republik Indonesia. Pada mulanya bentuk angkatan bersenjata telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, yang dibentuk dan dinamai Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) pada 1930.1 Dan pada masa pendudukan Jepang, Pemerintah Militer Jepang membentuk pasukan Sukarela yang dinamakan tentara Pembela Tanah Air ((PETA) atau Booi Gijugun pada 1943.2

Meski begitu, angkatan bersenjata tidak hanya dari KNIL dan PETA, ada pula gerakan-gerakan yang diawali dari tentara gerilyawan pada era penjajahan maupun beragam gerakan dari kalangan masyarakat yang bertujuan untuk menumpas kolonial. Sebagai sebuah negara yang beru berdiri, tentu militer memainkan peran yang dominan pula. Hal ini diwujudkan sebagai bentuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dari bentuk “perebutan” kembali oleh Pemerintah Belanda.

Sejarah telah mencatat jatuh-bangunnya peran militer di Indonesia. Paradigma bahwa militer menjadi suatu oknum paling penting bagi negara dunia ketiga, tidak selamanya melekat pada militer di Indonesia.

1 Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2002, hal. 31

(3)

Sementara Thailand, adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah mengalami masa kolonial. Hal ini yang sedikit membedakan Thailand dengan negara-negara tetangganya di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai negara eks monarki absolut sejak 1932, Thailand kini menerapkan demokrasi parlementer dalam sistem politiknya. Perubahan sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional tersebut diwarnai dengan kudeta militer. Mengenai hal ini, Thailand merupakan salah satu negara yang seringkali mengalami kudeta militer dalam pergolakan politiknya. Sejak 1932, kudeta militer beberapa kali terjadi dan mengambil alih kekuasaan. Tahun 2006 lalu adalah kudeta militer yang kesekian kali terjadi. Kudeta tersebut dilakukan oleh Angkatan Darat Kerajaan Thailand terhadap Pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra,3 pemerintahan yang bersifat sipil. Meski demokrasi sedang gencar diberlakukan di Thailand, akan tetapi militer masih memiliki peran dalam kekuasaan. Hal ini mengindikasikan supremasi militer masih lebih tinggi daripada sipil.

Dari kedua negara tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai peran militer dan keterlibatannya dalam politik. Serta bagaimana eksistensi mereka dalam politik dan faktor yang memengaruhi kejatuhan militer maupun keberhasilan militer menduduki pemerintahan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana peran militer di Indonesia dan Thailand serta mengapa militer di Indonesia mengalami kejatuhan dalam eksistensinya di dunia politik, sementara militer Thailand masih memengaruhi pemerintahan?

1.3. Landasan Teori

1.3.1. Teori Hubungan Sipil–Militer (Samuel P. Huntington)

Samuel Huntington mengemukakan bahwa adanya dua konsep yang menjelaskan bagaimana kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian Control (Maximizing Civilian Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Dapat di artikan

3 Sri Issundari, Latar Belakang Kudeta Militer Thailand Pada Masa Pemerintahan PM Thaksin Shinawatra,

(4)

bahwa model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil. Kedua, Objective Civilian Control (Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan proesionalisme militer dan menunjukkan bahwa adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.4

Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–political professional military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan untuk mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah ideologi dan landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu mengembangkan misi teknis operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan kedaulatan politik dan territorial negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.5

1.3.2. Teori Pretorianisme (Eric A. Nordlinger)

Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai actor politik utama yang sangat dominan yang secara langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan mereka.6 Ada hal yang melandasi tindakan mengapa militer melakukan intervensi politik di beberapa negara. Adapun ciri dari keterlibatan militer dakam politik ini ada dua yaitu internal dan eksternal. Ciri-ciri internal angkatan bersenjata meliputi struktur hierarki, tingkat profesionalisme dan kepentingan korporat serta latar belakang prajurit militer, identitas etnis, citra tentara termasuk sikap politik mereka. Sedangkan dalam ciri eksternal atau lingkungan meliputi tindakan kepala eksekutif sipil, kemampuan dan keabsahan pemerintahan sipil.7

4 Samuel P.Huntington, The Soldier and The State, The Theory and Politics of Civil–Military

Relations,1959.Cambridge, Massachussets : the Belknap Press, of Harvard University Press hal. 80-83.

5Jaleswari Pramodhawardani, Satu Dekade Reformasi Militer Indonesia, Pelatihan SSR IV Advokasi

Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan, LIPI, Desember 2008, hal. 21

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Militer di Indonesia

Sejarah perkembangan militer di Indonesia dibagi dalam empat periode waktu. Hal ini didasarkan pada momentum politik penting yang berimplikasi terhadap peranan militer dalam kehidupan politik Indonesia. Periode waktu tersebut adalah tahun 1945-1959, di mana dalam kurun waktu tersebut militer Indonesia lahir dan berkembang di tengah kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan.8 Militer mencari bentuk dan posisinya yang tepat di dalam kehidupan bernegara hingga diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian menempatkan militer pada posisi politik yang lebih diperhitungkan.9

Periode 1959-1966, merupakan kurun waktu di mana pengaruh militer sebagai kekuatan politik menghadapi berbagai tantangan sekaligus ancaman terhadap eksistensinya. Dekade setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S/PKI) yang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar), semakin memperkokoh peran politik militer yang dominan di panggung kekuasaan Indonesia.10 Periode 1966-1998, merupakan kurun waktu yang cukup panjang bagi militer terlibat dalam kehidupan politik secara intens, hingga runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Sejak itu, peran politik militer secara nyata berangsur surut.11

Kurun waktu 1998-saat ini, merupakan era reformasi nasional yang sedang berlangsung di mana militer tengah mereposisi perannya, menarik keterlibatannya

8 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI; Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Jakarta: Pustaka

LP3ES Indonesia, 2005, hal. 30

(6)

secara langsung dalam kehidupan politik, serta mengumandangkan jargon profesionalisme militer12, sebagai komitmen barunya meninggalkan politik.13

2.1.1. Tentara Nasional Indonesia

Pada 22 Agustus 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan himpunan dari bekas-bekas tentara PETA, Heiho, dan lain-lainnya dibentuk. Akan tetapi, BKR bukan dimaksudkan sebagai suatu organisasi kemiliteran yang resmi. Pemerintah Soekarno-Hatta memang memaksudkan BKR sekadar hanya untuk memelihara ketentraman setempat, sesuai dengan strategi politik Soekarno-Hatta yang amat menitikberatkan dan mementingkan segi diplomasi.14

Pertempuran yang terjadi antara Belanda yang hendak mengambil alih kembali kekuasaan atas Indonesia dengan para pemuda Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan negara, membuat para pemimpin negara menyadari bahwa tidak mungkin mempertahankan kemerdekaan negara tanpa suatu Angkatan Perang.15 Maka, dengan sebuah “Maklumat Pemerintah” pada tanggal 5 Oktober 1945, terbentuklah organisasi ketentaraan yang bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).16 Pada 9 Oktober 1945, sebuah perintah dikeluarkan untuk menyatukan bekas-bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-Laskar, serta barisan-barisan rakyat lainnya ke dalam TKR.17 Akan tetapi, barisan-barisan pemuda bersenjata yang bersifat setengah organisasi militer dan setengah organisasi politik (laskar-laskar) tetap diperbolehkan berdiri tanpa melebur ke dalam TKR sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah monopoli tentara.18

Pada 1 Januari 1946, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 2/S.D. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat.19 Belum sampai sebulan, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah 26 12 Profesionalisme militer, yaitu batas-batas fungsi, kewenangan, tugas, peran, dan kedudukan militer

dalam negara yang menguasai dan menjalankan fungsinya dengan benar sebagai alat pertahanan negara. Profesionalisme militer terkait dengan dengan konsep hubungan sipil-militer. Militer yang professional diyakini sebagai landasan terciptanya hubungan sipil-militer yang baik. Lihat, Yuddy Chrisnandi, Ibid, hal. 26-27.

13Ibid, hal. 31

14 Yahya Muhaimin, Op.Cit., hal. 23 15Ibid, hal. 25

(7)

Januari 1946 yang mengganti nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan disebutkan bahwasanya TRI bersifat nasional dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia.20 Pada 19 Juli 1946, terbentuklah Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan tanggal 9 April 1946, TRI Bagian Perhubungan Udara berganti menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).21 Akan tetapi timbul persoalan dan kesulitan di dalam barisan bersenjata. Adanya kesenjangan antara tentara resmi dengan laskar-laskar rakyat yang seringkali bertolak belakang dengan orientasi dan strategi militer. Presiden Soekarno pun mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Mei 1947 guna membentuk Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Pada 7 Juni 1947 keluar sebuah Penetapan Presiden yang membentuk satu organisasi tentara bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam penetapan itu diputuskan bahwa mulai 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri TNI dan segenap anggota Angkatan Perang maupun anggota laskar untuk dimasukkan serentak ke dalam TNI.22 Hal ini dapat disimpulkan bahwa TNI lahir dari tiga elemen pokok yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.23

2.1.2 Peran Militer di Indonesia

Kondisi perpolitikan di Indonesia sebelum dilaksanakan Pemilu tahun 1955 memiliki dua ciri yang menonjol, yaitu munculnya banyak partai politik (multipartai) dan seringkali terjadi pergantian kabinet/pemerintahan. Sistem demokrasi yang dianut adalah Demokrasi Liberal dan sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Pemerintahan Soekarno pada masa Demokrasi Liberal, menunjukkan gejala instabilitas.24

Semasa Kabinet Ali Sostroamidjojo II, Indonesia dihadapkan dengan permasalahan dalam negeri, baik pemberontakan daerah dan pergolakan politik. Pada Maret 1957 Kabinet Ali II jatuh. Dalam keadaan demikian Presiden mengumumkan berlakunya Staat van Oorlog en Beleg (SOB, atau keadaan darurat perang) dan Angkatan Udara ditugaskan mengamankan negara. Lewat TNI gerakan dan

20Ibid. 21Ibid, hal. 29 22Ibid, hal. 30 23Ibid, hal. 31

(8)

pemberontakan itu dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas PRRI/PERMESTA pada 1957/1958.25

Keadaan tersebut membuktikan bahwa sistem politik Demokrasi Liberal tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Hal ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957, yang mengandung tiga pokok isi untuk mengadakan pembaruan dalam struktur sosial, struktur politik, dan kehidupan politik. Selain itu sistem demokrasi parlementer Barat tidak dapat dijalankan dan Pemerintah hendak menerapkan Demokrasi Terpimpin. Atas hal itu, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 45 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.26 Dampak dari Dekrit Presiden tersebut, selain berlakunya kembali UUD 45 dan diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin adalah, semakin memberi peluang bagi militer terutama Angkatan Darat (AD) untuk terjun dalam bidang politik.27

Kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia sejak 1959 didominasi oleh tiga kekuatan politik utama: Presiden Soekarno, TNI, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tahun 1960 mulai ditunjukkan adanya suatu pertarungan sengit antara TNI-AD melawan PKI, yang sejak tahun 1959 telah mengadakan aliansi politik dengan Presiden Soekarno.28 TNI-AD memandang PKI sebagai natural enemy, bukan saja karena PKI adalah non-nasionalis, tetapi PKI adalah satu-satunya partai terkuat yang mengancam kepentingan politik TNI-AD.29

PKI menjadi partai yang kuat, terutama didukung oleh para buruh dan tani di desa-desa. Selain itu kecondongan Presiden Soekarno terhadap PKI membuka jalan politik yang besar bagi PKI. Mei 1963, Presiden Soekarno mengumumkan mencabut SOB di seluruh wilayah Indonesia, sehingga menggoyahkan legitimasi TNI-AD dalam politik.30 Hal itu menjadikan TNI-AD mengupayakan peningkatan status peranan golongan fungsionil. Golongan fungsionil ini, meski pada awalnya masih tersendat, belakangan mendapat sambutan baik dari kalangan non-partai maupun kekuatan-kekuatan politik yang anti PKI. Hal ini kemudian diperkokoh dengan didirikannya

25Ibid, hal. 84 26Ibid, hal. 101 27Ibid.

28 Yahya Muhaimin, Op.Cit., hal. 127 29Ibid, hal. 142

(9)

organisasi yang dinamakan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964. Dengan demikian TNI-AD dapat dikatakan berhasil memperkuat posisinya sebagai kekuatan politik golongan fungsionil dalam pertikaiannya melawan PKI.31 Pada April 1965, TNI-AD berhasil menyusun suatu doktrin yang dinamakan Doktrin Tri Ubaya Cakti, yang menyatakan TNI secara resmi memiliki fungsi-ganda di dalam kehidupan politik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan militer dan sebagai kekuatan sosial-politik.32 Strategi politik TNI-AD lainnya adalah dengan menggunakan

civic-mission program, yang mengerahkan TNI dalam bidang non-militer dengan mengutamakan pembangunan, proses produksi, dan lainnya.33 Hal ini merupakan strategi untuk bersaing dengan PKI yang telah mendapatkan hati di kalangan rakyat kecil, sehingga program ini pun dicanangkan di berbagai pelosok daerah guna meraih hati rakyat pula. Jika hal tersebut terwujud, maka dengan mudah memotong pengaruh PKI di pedesaan dan kota kecil.34 Meski program ini ditentang pihak PKI, Presiden Soekarno mendukung penuh disebabkan saat itu sedang terjadi pergolakan di Irian Barat (Papua).35

Peristiwa-peristiwa yang terjadi selanjutnya, antara lain politik konfrontasi “Ganyang Malaysia” oleh Soekarno, keluarnya Indonesia dari PBB disebab protes kepada Amerika Serikat atas pengangkatan Malaysia menjadi Dewan Keamanan PBB, hingga wacana kerjasama RRC-Indonesia, menimbulkan semakin banyak kesenjangan antara TNI-AD dan PKI. Kedua belah pihak saling mencurigai satu sama lain. Di pihak TNI-AD muncul dugaan PKI hendak menguasai Asia Tenggara bersama-sama dengan RRC dalam menyebarluaskan ideologi komunisme. Sementara PKI mencurigai bahwa adanya arah TNI-AD untuk kembali menegakkan SOB dan bermain dalam perpolitikan tanah air.36 Ketegangan tersebut semakin memuncak setelah pada 17 Agustus 1965 Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan memihak aksi-aksi politik PKI dan menunjukkan kecurigaan terhadap anti-komunisme. Hal itu disebabkan bahwa telah ditemukan dokumen mengenai rencana melengserkan pemerintahannya.37

(10)

Gerakan 30 September 1965 disinyalir adanya keterlibatan PKI, meski tidak secara langsung “menampakkan diri” terlibat di dalamnya. Pada peristiwa tersebut, enam orang perwira tinggi dari pimpinan TNI-AD diculik kemudian dibunuh di Lubang Buaya, daerah kompleks Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.38 Peristiwa tersebut sebagai suatu pemberontakan dengan dalih bahwa propaganda yang dilakukan TNI-AD. Dan dari peristiwa ini, muncul seorang Jenderal yang sebelumnya kurang dikenal dalam dunia politik, yaitu Mayor Jenderal Soeharto, yang sejak peristiwa ini mengambil alih pimpinan Angkatan Darat untuk sementara.39 Peristiwa G30S/PKI ini menuai reaksi dari berbagai lapisan masyarakat, baik pro maupun kontra. Dari masyarakat yang kontra, demonstrasi yang didominasi oleh kaum mahasiswa melancarkan tiga tuntutan yang dikenal sebagai Tritura, yang salah satu poin pokoknya adalah pembubaran PKI.40 Adapun Presiden Soekarno, dalam hal ini memihak langkah PKI dan menganggap bahwa peristiwa tersebut bukanlah sebuah kudeta. Pada permulaan 1966 secara tiba-tiba Presiden Soekarno mlakukan reshuffle kabinetnya, dan memasukkan orang-orang pro-PKI menjadi menteri baru.41 Hal tersebut mengundang reaksi besar dari masyarakat, khususnya mahasiswa anti-PKI. Pergolakan politik terus berlanjut hingga 11 Maret 1966, dengan dikeluarkannya Surat Perintah dari Presiden Soekarno yang dikenal dengan Supersemar yang antara lain berisi “memutuskan dan memerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan jalannya Pemerintahan.”42

Meski ada banyak perbedaan pandangan atas peristiwa ini, akan tetapi dengan ditandatanganinya surat tersebut, Presiden Soekarno telah menyerahkan political authority kepada Jenderal Soeharto. Sehari setelahnya, Soeharto membubarkan PKI beserta seluruh gerakannya dan menyatakannya sebagai partai serta organisasi terlarang di Indonesia.43

20 Februari 1967, Presiden Soekarno menandatangani suatu dokumen yang berisi penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soekarno, dan penyerahan

(11)

kekuasaan tersebut secara resmi diadakan keesokan harinya di Istana Negara.44 Dengan demikian, dimulailah masa Orde Baru.

Era Orde Baru, dapat dikatakan sebagai era gemilang bagi militer. Lahirnya konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, penggabungan TNI (militer) dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia/Polri) yang mencakup dua fungsi: sebagai alat pertahanan dan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial (Pembina masyarakat) ditetapkan pada tanggal 19 September 1982 dalam UU No. 20 Tahun 1982. Dengan demikian Dwifungsi ABRI adalah suatu konsepsi politik yang menempatkan ABRI dengan peranan penting dalam dua lingkungan kehidupan politik secara bersamaan yaitu di lingkungan pemerintahan dan di lingkungan masyarakat (suprastruktur politik dan infrastruktur politik).45

ABRI, bersama-sama dengan Golongan Karya (Golkar, dan anggotanya banyak dari kalangan militer), adalah dua kekuatan politik pada masa Orde Baru yang dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai penopang utama kekuasaan pemerintahannya selama lebih dari tigapuluh tahun.46 Militer menduduki posisi strategis dalam kepemerintahan. Dari hasil Persentase Militer Sipil dalam Tiap Departemen pada 1982, disebutkan bahwa peran militer lebih dominan ketimbang sipil. Antara lain, Departemen Dalam Negeri 80%, Departemen Luar Negeri 50%, Departemen Hankam 100%, Departemen Kehakiman 50%, Departemen Penerangan 57%, Departemen Perhubungan 56%, Departemen Agama 56%, dan Departemen Sosial 57%.47 Sebanyak 64% pembantu dekat Presiden, 38% Menteri, 67% Sekjen Departemen, 67% Irjen, dan 20% Dirjen dan 71, 4% posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi seperti Presiden, Wapres, Mensesneg, Menko, Menhankam, Menlu, dan Mendagri, diduduki oleh militer.48 Begitupun jabatan-jabatan lain seperti menteri, gubernur, bupati, camat, hingga strata terbawah.

Era Orde Baru oleh Presiden Soeharto dijadikan sebagai program modernisasi ekonomi yang membawa kesejahteraan Bangsa Indonesia. Program-program seperti

44 Nugroho Notosusanto, dkk, Op.Cit., hal. 134 45Ibid, hal. 150-152

46 Yahya Muhaimin, Peranan Politik dan Profesionalisme Militer Indonesia dan Demokratisasi, Pengantar

tahun 2002 dalam Yahya Muhaimin, Op.Cit.,

47 Yudha Kurniawan, MA, Militer dan Politik Serta Perkembangannya di Indonesia, Modul Mata Kuliah

Sistem Sosial-Politik Indonesia, Universitas Al-Azhar Indonesia, 2012

(12)

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dijalankan secara seksama. Program ini meliputi swasembada pangan yang dimulai dari revolusi hijau, pengendalian penduduk, industrialisasi non-migas, dan lain-lain.49 Selain itu, terdapat pula

program pembangunan yang melibatkan peran militer, yaitu program ABRI Masuk Desa (AMD), suatu program di bidang sosial yang cukup sukses. Program ini memungkinkan prajurit untuk berinteraksi dengan masyarakat dan membantu menjalankan program-program di tingkat desa, mulai dari program-program kebersihan, infrastruktur, kesehatan dan lain-lain.50

Akan tetapi, pada era Orde Baru praktek otoritarianisme yang diterapkan oleh Presiden Soeharto cukup kental, ditandai dengan praktek-praktek operasi intelijen terselubung dalam masyarakat terhadap orang-orang maupun kelompok masyarakat yang dianggap oleh pemerintah memusuhi atau menentang Pemerintahan Orde Baru.51

Kepemerintahan militer dalam waktu kurun lebih dari tigapuluh tahun ini bukan berarti tidak memiliki banyak permasalahan. Pada awalnya, Orde Baru diharapkan mampu membawa masyarakat menjadi masyarakat madani dan demokratis. Meski pada kenyataannya hanya segelintir orang yang mampu mengenyam kehidupan yang sejahtera, di samping pembangunan ekonomi yang terbilang sukses. Keadaan dengan cepat berubah semenjak krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997. Perlawanan terhadap pemerintah dari berbagai kalangan di masyarakat pun mulai merebak. Perlawanan tersebut mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998, yang menjadi momentum besar bagi rakyat Indonesia, yaitu jatuhnya rezim otoritarianisme militer Orde Baru.

Kejatuhan rezim Orde Baru tersebut merupakan tonggak berdirinya era Reformasi. Jabatan Presiden Indonesia kemudian diserahkan kepada Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie. Kejatuhan ini berdampak besar bagi kalangan militer. Berbagai hujatan, tuntutan, dan pertentangan terhadap eksistensi militer merembet sedemikian rupa. Tuntutan penghapusan Dwifungsi ABRI dan desakan agar

49 M. Nurkhoiron, Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil, dalam bab

Bencana dan Industrialisasi di Indonesia: Sejarah Tafsir dan Kutukan Paska Kolonial, Desantara: 2010, hal. 204

50 Hidayat Firmansyah, TNI Masuk Desa, 11 April 2011 pukul 09:43,

http://hankam.kompasiana.com/2011/04/11/tni-masuk-desa-353861.html, diakses pada 20 Januari 2013.

(13)

militer kembali ke barak, menjadi isu utama yang disuarakan masyarakat melalui gerakan aksi mahasiswa maupun aksi-aksi massa lainnya.52 Masyarakat menuntut pertanggungjawaban militer yang terlibat dalam berbagai peristiwa, antara lain kasus Tanjung Priok 1984, kasus Lampung 1990, kasus Marsinah 1993, peristiwa 27 Juli 1996, pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1985, peristiwa kecurangan PEPERA di Papua 1969, penculikan aktivis tahun 1997-1998, peristiwa Trisakti-kerusuhan 12-15 Mei 1998, peristiwa Semanggi 1998.53 Desakan kuat juga ditujukan kepada militer untuk mereformasikan diri dengan menghapuskan lembaga-lembaga di dalam struktur militer, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tugas pertahanan dan keamanan seperti lembaga sosial politik dan lembaga kekaryaan ABRI. Militer juga dituntut untuk meninggalkan kedudukan di lembaga DPR, MPR, DPRD, serta pemisahan TNI dan POLRI.54

2.2. Sekilas Mengenai Militer di Thailand

Thailand adalah negara yang memiliki keunikan politik di mana negara ini terus dilanda gejolak politik terutama perihal pemindahan kekuasaan. Bentuk Pemerintahan Monarki Konstitusional dibentuk pada 1932, di mana sistem pemerintahan sebelumnya berbentuk Monarki Absolut. Peralihan bentuk kekuasaan ini disebabkan oleh kudeta militer yang mengakhiri kekuasaan diktator yang beruntun. Raja Rama VII, menyetujui penghapusan monarki absolut dan menggantinya dengan suatu sistem konstitusi di sepanjang garis-garis sistem demokratik Barat.55

Sejak tahun 1932 budaya kudeta militer telah terjadi. Tercatat dari 1932-2006, telah terjadi 23 kudeta militer dan 18 kali perubahan konstitusi.56 Hal ini menandakan intervensi militer dalam perpolitikan di Thailand relatif kuat. Meski dalam hal ini supremasi militer atas sipil terlihat kentara dalam politik di Thailand, akan tetapi peran Raja sebagai Kepala Negara sangatlah penting di mata masyarakat Thailand. Sebagai

52 Yuddy Chrisnandi, Op.Cit., hal. 2 53Ibid.

54Ibid, hal. 3

55 Surya Yudha Regif, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada

Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan 2009, hal. 34

56 Lidya Christin Sinaga, Jalan Panjang Demokrasi Thailand, 3 Desember 2010, pukul 12:59,

(14)

pemimpin tertinggi di Thailand, Raja Bhumibol Adulyadej, Raja Thailand saat ini adalah tempat terakhir dalam mengakhiri kebuntuan politik.

Ada tiga peranan Raja dalam kehidupan berbangsa di Thailand. Pertama, Raja adalah pemegang kekuasaan politik, agama, sosial, dan budaya tertinggi. Walaupun secara struktur politik kekuasaan Raja mulai dibatasi dengan adanya parlemen, militer, dan elit politik. Dengan adanya kesenjangan antara elit politik, militer, dan masyarakat, Raja dianggap sebagai tempat terakhir untuk menyelesaikan masalah. Kedua, Raja yang memiliki kekuasaan turun-temurun dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menyelamatkan negara ketika berada pada perpecahan nasional. Ketiga, Raja sebagai symbol tertinggi kekuatan moral. Raja selalu mampu menempatkan posisi yang tepat ketika krisis politik terjadi. Raja jarang terlibat dalam hiruk-pikuk kekuasaan, tetapi dengan cermat mengamati arus politik.57

2.2.3. Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand

Kedudukan polisi dengan angkatan bersenjata (militer) di Thailand telah dipisahkan sejak awal. Angkatan bersenjata, yang bertanggungjawab terhadap masalah-masalah pertahanan negara, berada di bawah kendali Panglima Angkatan Bersenjata. Hal ini berbeda dengan kepolisian, yang berada di bawah departemen dalam negeri dan bertanggungjawab untuk masalah-masalah keamanan negara. Polisi Thailand termasuk kategori orang sipil (civilians).58 Di negara-negara seperti Thailand, Filipina, Singapura dan Malaysia, anggota angkatan bersenjata tunduk pada dua badan peradilan, yakni pengadilan sipil jika mereka melakukan tindak pidana umum (civil offences) dan pengadilan militer jika melakukan tindak pidana militer (military offences). Thailand merupakan pengecualian karena, menurut konstitusi, militer sepenuhnya diadili oleh peradilan militer.59

Secara kategoris Konstitusi Thailand menyebut tiga macam lembaga peradilan, yaitu peradilan sipil (courts of justice), peradilan tata usaha negara (administrative courts) dan peradilan militer (military courts). Peradilan militer disebut secara eksplisit disebut dalam konstitusi Thailand. Hal ini menunjukkan peranan militer sangat dominan dalam sistem politik di negara tersebut. Sejak tahun 1932 militer Thailand, khususnya

57 Surya Yudha Regif, Op.Cit., hal. 37

58 Mohammad Fajrul Falaakh , Sistem Peradilan Bagi Polisi dan Militer (Perspektif Perbandingan), Bahan

Diskusi Propatria, Jakarta 25-27 Agustus 2002, hal. 1-2

(15)

angkatan darat, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam sistem politik di Thailand.60 Menurut konstitusi Thailand (Section 281) peradilan militer berwenang untuk mengadili semua jenis perkara pidana militer (military criminal cases) dan kasus-kasus lain yang diatur menurut hukum nasional Thailand. Dengan pengaturan tersebut setiap anggota Angkatan Bersenjata Thailand yang melakukan tindak pidana akan diadili oleh peradilan militer. Yurisdiksi peradilan militer meliputi semua jenis perkara pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata, baik perkara pidana yang berhubungan dengan kedinasan atau jabatan militer (military offences) maupun perkara pidana umum (civil offences).61

Militer Thailand pada mulanya adalah tentara kerajaan yang memiliki kesetiaan cukup tinggi pada Raja dan kerajaan. Dalam perang dunia ke-II melawan fasisme Jepang, tentara Thailand sudah menggunakan konsepsi tentara modern (infanteri, kaveleri, artileri, dan lain-lain, sistem kepangkatan tentara modern). Pada saat itu meskipun sistem demokrasi parlementer sudah diperkenalkan tetapi militer tetap saja mendapatkan tempat khusus, bahkan konstitusi mengakui hak-hak istimewa tentara sebagai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan.62

Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand terbagi menjadi tiga, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Akan tetapi, sistem politik militer Thailand menempatkan Angkatan Darat sebagai kekuatan dominan dan peran Angkatan Laut dan Angkatan Udara sangat ditentukan oleh kepentingan Angkatan Darat.63

2.2.3. Peran Militer di Thailand

Militer Thailand memasuki dunia politik pada saat kudeta tahun 1932, yang menjatuhkan sistem Monarki Absolut. Meskipun demikian, kudeta tersebut bukanlah suatu kudeta militer atau revolusi popular. Kudeta tersebut adalah hasil dari beberapa faktor, termasuk perilaku Raja saat itu, kecenderungan menuju konstitusionalisme, meningkatnya rasa percaya diri masyarakat di kalangan birokrat dan militer, serta situasi ekonomi yang memburuk.64 Namun demikian, kudeta tersebut merupakan langkah awal bagi masuknya militer ke dalam politik di Thailand.

60Ibid, hal. 2-3 61Ibid

(16)

Budaya kudeta militer di Thailand yang terjadi sejak 1932, seringkali berakhir sukses meski beberapa kali tercatat gagal. Kudeta tersebut menyebabkan adanya intervensi militer, yaitu keterlibatan militer dalam politik secara langsung.

Selama 15 tahun (1991-2006) Thailand berada dalam alam demokrasi yang ditandai dengan menguatnya sistem pemerintahan sipil dan tidak adanya intervensi militer untuk menumbangkan pemerintahan.65 Akan tetapi, apa yang terjadi pada 19 September 2006 merupakan peristiwa yang cukup mengejutkan di saat demokrasi menjadi trend di kawasan Asia. Thailand memunculkan kembali politik kudeta yang telah lama ditinggalkan. Pemerintahan sipil yang berada di bawah pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra digulingkan oleh militer yang dilakukan oleh Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Thailand di bawah pimpinan Panglima Angkatan Darat Jenderal Shonti Boonyaratkalin dan didukung oleh Raja Bhumibol Adulyadej.66 Pada saat itu Thaksin sedang berada di New York dalam rangka menghadiri sidang majelis umum PBB.67

Shonti mengambil alih kekuasaan dan mendaulat dirinya sebagai Perdana Menteri menggantikan Thaksin. Ia berjanji untuk menduduki jabatan tersebut untuk sementara hingga terpilih pemimpin yang baru.68 Tindak lanjut dari kudeta tersebut ialah pada tanggal 15 Oktober 2006, junta militer membatalkan pemilu, membatalkan konstitusi, membubarkan parlemen, melarang unjuk rasa, mengumumkan UU Keadaan Darurat, menangkap para anggota cabinet, dan memberlakukan sensor terhadap semua siaran lokal maupun internasional di Thailand. Meski tidak ada korban jiwa yang jatuh, hal tersebut dilakukan militer untuk memperoleh legitimasi dan keabsahan dari masyarakat.69

Beberapa tahun sebelum terjadinya kudeta, Thaksin terpilih memimpin Thailand melalui Pemilu 2001 dari partai Thai Rak Tai. Pada awal pemerintahannya, Thaksin memimpin Thailand berupaya untuk keluar dari masalah krisis finansial Asia. Salah satunya ia menggunakan kekayaannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani pasca krisis dan mengeluarkan Thailand dari pinjaman dana IMF. Hal itu dibuktikan Thaksin dengan menjadikan Thailand sebagai salah satu negara yang cepat keluar dari krisis

65 Surya Yudha Regif, Op.Cit. 66Ibid, hal. 35

67Ibid.

(17)

Asia dan terbebas dari campur tangan IMF.70 Thaksin dengan cepat mengambil hati rakyat pedesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani dengan kebijakan-kebijakan seperti asuransi kesehatan yang murah dan tanpa ragu terjun langsung mendengarkan aspirasi rakyat.71

Akan tetapi, bagi kalangan elit oposisi termasuk militer dan masyarakat kelas menengah ke atas, hal ini menimbulkan pro dan kontra. Kebijakan Thaksin dianggap sebagai cara untuk membeli suara rakyat miskin tetapi secara bersamaan mengabaikan masyarakat kelas atas. Meski pada awalnya kebijakan Thaksin tersebut berhasil dalam peningkatan ekonomi, akan tetapi secara mengejutkan hal tersebut berimbas kepada inflasi sehingga pertumbuhan ekonomi yang semula bangkit menjadi terpuruk kembali.72 Selain itu, pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Thaksin ini dianggap sebagai pemerintahan yang berkarakteristik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kapitalisme.73

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kudeta ialah, pertama, dukungan Raja Bhumibol Adulyadej yang telah lama menunjukkan ketidaksenangannya kepada Thaksin. Hal ini yang menjadikan Jenderal Shonti berani mengambil tindakan kudeta, mengingat peran raja yang menentukan kondisi politik. Kedua, Thaksin telah memunculkan konflik politik di dalam tubuh militer dengan tindakan nepotisme. Diperkirakan Thaksin hendak melakukan reshuffle yang hebat dalam tubuh militer.

Ketiga, militer memperkirakan dukungan masyarakat perkotaan atas kudeta tersebut. Masyarakat menengah ke atas menganggap adanya kudeta militer justru untuk menyelamatkan demokrasi.74

Pada Desember 2008, pemimpin oposisi dari Partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva terpilih sebagai Perdana Menteri Thailand. Pemilihan Perdana Menteri baru ini dilakukan menyusul demonstrasi anti-pemerintah dan anti-Thaksin yang mengakibatkan jatuhnya Perdana Menteri Somchai Wongsawat. Somchai merupakan pimpinan Partai Kekuatan Rakyat (PPP). Ia diturunkan dari jabatannya sebagai Perdana Menteri karena tuduhan kecurangan dalam pemilu.Somchai adalah saudara ipar Thaksin dan dianggap

70Ibid, hal. 207 71Ibid.

72Ibid, hal. 208

(18)

sebagai kepanjangan tangan Thaksin.75 Somchai menjadi Perdana Menteri setelah Perdana Menteri pasca Thaksin, yaitu Samak Sundaravej yang dinyatakan melanggar konstitusi karena membawa acara hiburan di televisi swasta.76

Akan tetapi, pemerintahan Abhisit pun diwarnai dengan pertentangan. Kelompok yang menamakan dirinya sebagai “Kaus Merah” dan pro-Thaksin melakukan demonstrasi besar-besaran pada 2010. Demonstrasi yang sebagian besar berasal dari kelas bawah ini menentang Abhisit karena dianggap tidak memiliki legitimasi dan dianggap sebagai boneka militer.77 Dalam peristiwa kerusuhan Baju Merah itu, sekitar 90 orang tewas dan hampir 1.900 orang terluka dalam serangkaian bentrokan. Kerusuhan jalanan itu antara demonstran dan pasukan keamanan, yang memuncak dalam tindakan keras militer pada Mei 2010.78 Kelompok Baju Merah, yang sebagian besar pendukungnya adalah perdana menteri yang digulingkan, menuntut pemilu langsung pada 2010. Mereka menuduh pemerintahan Abhisit tidak demokratis karena berkuasa pada 2008 melalui pemungutan suara parlemen setelah pengadilan dilucuti kekuasaan sekutu Thaksin.79

Nama Yingluck Shinawatra keluar sebagai pemenang Pemilu 2011, menggantikan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Kemenangannya dalam Pemilu ini, mewakili Partai Pheu Thai, menjadikannya perdana menteri perempuan pertama di Thailand. Meski hal ini merupakan kali pertama ia terjun ke kancah perebutan kekuasaan, nilai saham Thailand di pasar saham negara itu melonjak lebih dari tiga persen, atau naik 33 poin.80 Namun, berbagai pengamat menyatakan bahwa keberhasilan Yingluck tak lepas dari peran kakak kandungnya, Thaksin Shinawatra, perdana menteri yang digulingkan melalui kudeta militer 2006.81

75 Suarakarya Online, Thailand: Pemimpin Oposisi Jadi Perdana Menteri, Selasa, 16 Desember 2008,

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216179, diakses pada 21 Januari 2013

76 Kunkunrat, Perkembangan Politik di Thailand: Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Kudeta, Jurnal

Westphalia Vol. 11 No. 1 Januari-Juli 2012, Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung, 2012, hal. 94

77Ibid, hal. 97

78 Republika Online, Pemimpin Unjuk Rasa Baju Merah Thailand Diadili, Sabtu, 15 Desember 2012, 02:11

WIB, http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/12/12/14/mf0tey-pemimpin-unjuk-rasa-baju-merah-thailand-diadili, diakses pada 21 Januari 3013.

79Ibid.

80 Rimanews.com, Jatuhnya Partai Demokrat, Buka Peluang Perdana Menteri Wanita Pertama Thaialand

Raih Harapan, 05/07/2011 - 06:40 WIB, http://www.rimanews.com/read/20110705/33707/jatuhnya-partai-demokrat-buka-peluang-perdana-menteri-wanita-pertama-thaialand, diakses pada 21 Januari 2013

(19)

2.3. Antara Militer Indonesia dan Militer Thailand

Bila melihat paparan mengenai militer di Indonesia dan Thailand di atas, ada beberapa indikasi kemiripan maupun perbedaan dari militer di kedua negara tersebut. Indonesia dan Thailand, meski sama-sama terletak di kawasan Asia Tenggara, akan tetapi memiliki perbedaan historis yang cukup signifikan. Indonesia adalah negara eks kolonial Belanda sementara Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak terjajah.

Dari faktor historis tersebut, berdampak kepada kultur/budaya militer yang berkembang di Indonesia dan Thailand. Militer di Indonesia pasca kemerdekaan yang diproklamirkan pada 1945 lalu menjadi tumpuan dan panutan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Hal tersebut diperkuat bahwasanya Presiden Soekarno sendiri menyadari bahwa eksistensi militer teramat diperlukan dalam perihal pertahanan ini. Militer Indonesia pasca kemerdekaan sangat diperhitungkan, terutama disebabkan petinggi-petinggi militer saat itu merupakan didikan Belanda (KNIL) yang telah mumpuni dalam strategi perang. Era Orde Lama, tepatnya Demokrasi Liberal yang sempat diwarnai pertikaian menjadikan militer, lewat peran Angkatan Darat sangat dibutuhkan dalam stabilitas sosial-politik. Hal ini yang menjadikan langkah awal bagi militer Indonesia memainkan peran dalam kancah perpolitikan.

Sementara Thailand yang tidak mengalami penjajahan, langkah awal militer memainkan peran dalam kekuasaan dapat dilihat sejak jatuhnya monarki absolut yang diktator lewat kudeta militer tahun 1932. Hal ini salah satunya disebabkan hendak mencontoh konstitusionalisme Barat. Militer Thailand yang awalnya merupakan tentara kerajaan mengembangkan kultur militer yang dikenal sebagai kudeta militer, dengan adanya intervensi militer secara berlebihan di dalam politik. Intervensi militer yang dilakukan oleh militer di Indonesia dan Thailand ini salah satunya didasari oleh ketidakpercayaan dan ketidakpuasan atas pemerintahan sipil. Lain dari pada itu, ada pula indikasi bahwa militer memang hendak menguasai pemerintahan.

(20)

militer. Dan atas nama nasionalisme, TNI-AD merasa bahwa kendali Indonesia di bawahnya dapat menjaga Indonesia dari ancama ideologi komunis. Hal ini tidak lepas dari pandangan maupun apriori yang telah tertanam sejak kemerdekaan: bahwasanya karena peran militer lah, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatan sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan bukan atas penjajahan.

Hal yang sama dapat dijumpai dari peran militer di Thailand. Kepercayaan kuat bahwasanya peran militer sangat diperhitungkan dalam stabilitas negara, dibanding pemerintahan sipil yang cenderung korupsi dan lamban. Sehingga intervensi militer dalam politik adalah hal yang wajar bahkan diperlukan demi kemaslahatan negara. Meski bukan secara langsung menduduki kepemerintahan, (dilihat di era Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva) setidaknya militer dapat menyokong pemerintah dari belakang sehingga dapat terlaksana seluruh kepentingan militer.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa telah terjadi secara nyata pretorianisme militer di Indonesia dan Thailand. Pretorianisme merupakan suatu istilah yang merujuk pada keterlibatan/campur tangan militer di dalam politik. Hal ini tentu sangat jauh dari konsep profesionalisme militer, yaitu terdapat adanya supremasi sipil atas militer, sehingga militer tidak mencampuri urusan sipil. Militer hanya fokus dan memiliki fungsi di bidang pertahanan negara dari ancaman luar. Militer Indonesia dan terutama militer Thailand disebut Militer Pretorian, karena militer Thailand lahir tanpa pernah mengalami masa kolonialisme, sehingga militer Thailand memiliki dasar-dasar yang kuat tentang militer profesional. Selain itu, militer Indonesia dan militer Thailand terlibat dalam politik termasuk dalam urusan sosial politik yang umumnya menjadi porsi kerja dari para politisi sipil. Selain itu, militer Indonesia dan Thailand melakukan intervensi ke bidang sosial politik.

(21)

Sementara di Thailand, militer justru seperti memiliki legitimasi untuk melakukan serangkaian kudeta. Militer mampu menggeser pemerintahan sipil yang dianggap tidak mumpuni dalam hal pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan dengan kudeta 2006 lalu, Jenderal Sonthi dengan mudahnya mengumumkan dan mendaulat dirinya sebagai Perdana Menteri sementara. Sebagian rakyat Thailand justru mendukung kudeta dengan alasan bahwa kudeta militer dapat membantu demokratisasi negara.

Dua hal yang berbeda sekali dapat dilihat dari sini. Mengapa militer di Indonesia dapat jatuh sementara militer di Thailand justru dapat melakukan kudeta dan menduduki pemerintahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan militer di Indonesia antara lain, dwifungsi ABRI yang ditentang masyarakat. Masyarakat Indonesia sudah banyak yang menyadari bahwa sistem pemerintahan militer adalah suatu hal yang fatal dalam sebuah upaya demokrasi yang berkiblat dengan cara Barat. Dwifungsi ABRI yang mengintegrasikan TNI-Polri memiliki dua fungsi sebagai alat pertahanan negara dan pembangun masyarakat. Penulis sendiri sempat merasakan masa-masa di akhir Orde Baru. Dengan mudahnya militer berlalu lalang di kawasan sipil, hal yang seharusnya tidak dapat terjadi di sebuah negara yang menganut demokrasi. Perihal ini, dapat membawa dampak negatif bagi pertahanan. Dengan lalu-lalangnya militer di area sipil, menjadikan batas antara area sipil dan militer kabur. Hukum perang menyatakan bahwa peperangan dilakukan di atas tanah militer, dengan keleluasaan tersebut area sipil dapat disalahpahami sebagai area militer. Militer di Era Orde Baru selain menguasai semua sektor, juga melakukan banyak pelanggaran HAM. Selain itu krisis moneter yang terjadi di akhir Orde Baru yang menyebabkan tuntutan atas lengsernya kekuasaan militer di tanah air.

Lain halnya dengan Thailand, kudeta militer khususnya kudeta tahun 2006 memiliki dukungan sosok terpenting di kalangan masyarakat Thailand. Raja Bhumibol Adulyadej merestui dilakukannya kudeta tersebut. Faktor yang menjadikan kudeta ini direstui salah satunya karena ketidaksukaan Raja kepada Thaksin Shinawatra yang angkuh dan korupsi. Thaksin dinilai kurang mampu mengambil hati Raja, tidak seperti Abhisit Vejjajiva. Perlu diingat bahwasanya segala petuah Raja adalah titah, yang harus dihormati dan dilaksanakan. Adalah langkah cerdik bagi Jenderal Shonti melakukan

(22)

adalah simbol father, yang mampu mengendalikan kea rah yang lebih baik. Hal ini yang membuktikan bahwa nilai paternalism dalam budaya Thailand masih melekat erat. Raja dianggap sebagai titisan dewa sehingga segala tindak Raja merupakan tindakan dewa yang harus dipatuhi. Mengutip istilah Prof. Dr. Yahya Muhaimin dalam Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, bahwa sifat “bapakisme” dalam Masyarakat Thailand begitu kuat. Selain itu masalah kecemburuan sosial antara kelas menengah atas dengan kelas bawah. Dan yang paling pokok adalah elit militer merasa memiliki kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni dalam menjalankan kepemerintahan karena latar belakang pendidikan akademi militer membuat mereka dapat berpikir strategis dan taktis yang memang diperlukan oleh keamanan dan pertahanan negara. Selain itu militer merasa berjasa secara historis pada era monarki absolut maupun setelah revolusi 1932.

Adapun suatu hal yang sangat patut disyukuri oleh masyarakat Indonesia bahwasanya militer (TNI-AD) tidak melakukan serangkaian kudeta untuk mengembalikan posisi kekuasaannya seperti masa Orde Baru. Meski hal ini mungkin saja dapat terjadi, akan tetapi, militer di Indonesia pada masa Reformasi saat ini sudah mulai mengurangi perannya dalam politik. Reformasi sektor keamanan sudah dicanangkan dan militer menampakkan keseriusan dalam menjalani kembali fungsi utamanya yang terangkum dalam sifat profesionalisme militer.

KESIMPULAN

(23)

Akan tetapi, untuk menuju ke arah sana, militer dianggap yang paling mumpuni untuk menjaga kestabilan negara seraya melangkah menuju demokrasi.

Jatuhnya militer era Orde Baru di Indonesia, menjadi bukti bahwa tak selamanya militer dapat dan mampu menjalani kepemerintahan. Terlebih, tindak-tanduk dan kesewenang-wenangan militer masa Orde Baru dinilai masyarakat sebagai indikasi otoritarianisme. Selain itu, kesadaran masyarakat akan supremasi sipil semakin terbangun. Pemerintahan Soeharto dapat diibaratkan sebagai bom waktu, bahwasanya tidak selamanya masyarakat tidur dan terbuai dalam rezim otoriter.

Lain halnya dengan Thailand, kudeta militer sejak 1932-2006 tercatat sudah terjadi sebanyak 23 kali. Faktor yang menjadikan militer memainkan peran utama pada intinya hampir sama dengan Indonesia, hanya saja, peran Raja sangat penting di sini. Sifat paternalistik di dalam masyarakat Thailand yang kental menyebabkan segala apa yang menjadi tindakan Raja harus dipatuhi. Hal inilah yang membuat kudeta 2006 terjadi, disebabkan peran Raja yang mendukung militer menggulingkan Thaksin Shinawatra, pemerintahan sipil yang dinilai korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Peran militer dalam politik di Indonesia dan Thailand dapat dikategorikan sebagai pretorianisme militer, seperti apa yang dijelaskan oleh Eric A. Nordlinger. Hal ini dikarenakan adanya intervensi militer dan ikut campur militer dalam urusan pemerintahan sipil. Sementara hubungan antara sipil-militer di Indonesia adalah merebaknya secara luas pemahaman mengenai supremasi sipil di masyarakat Indonesia. Faktor ini yang menjadi salah satu tumbangnya kekuasaan militer di Indonesia. Sementara hubungan sipil-militer di Thailand, meski sudah banyak kalangan yang menentang intervensi militer, namun masih banyak pula yang mendukung peran militer dalam upaya demokratisasi negara.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

(24)

Huntington, Samuel P., The Soldier and The State, The Theory and Politics of Civil– Military Relations,1959.Cambridge, Massachussets : the Belknap Press, of Harvard University Press

Muhaimin, Yahya, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002

Nordlinger, Eric A., Militer Dalam Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994

Notosusanto, Nugroho, dkk, Pejuang Dan Prajurit, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984

Nurkhoiron, M. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil, dalam bab Bencana dan Industrialisasi di Indonesia: Sejarah Tafsir dan Kutukan Paska Kolonial, Desantara: 2010

JURNAL

Falakh, Mohammad Fajrul, Sistem Peradilan Bagi Polisi dan Militer (Perspektif Perbandingan), Bahan Diskusi Propatria, Jakarta 25-27 Agustus 2002

Issundari, Sri, Latar Belakang Kudeta Militer Thailand Pada Masa Pemerintahan PM Thaksin Shinawatra, Hubungan Internasional UPN, Vol. 12 No. 4, Desember 2008

Kunkunrat, Perkembangan Politik di Thailand: Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Kudeta, Jurnal Westphalia Vol. 11 No. 1 Januari-Juli 2012, Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung, 2012

Kurniawan, Yudha MA, Militer dan Politik Serta Perkembangannya di Indonesia, Modul Mata Kuliah Sistem Sosial-Politik Indonesia, Universitas Al-Azhar Indonesia, 2012

(25)

Regif, Surya Yudha, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan 2009

DATABASE ONLINE

Hidayat Firmansyah, TNI Masuk Desa, 11 April 2011 pukul 09:43, http://hankam.kompasiana.com/2011/04/11/tni-masuk-desa-353861.html, diakses pada 20 Januari 2013

Lidya Christin Sinaga, Jalan Panjang Demokrasi Thailand, 3 Desember 2010, pukul 12:59, http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/361-jalan-panjang-demokrasi-thailand-, diakses pada 20 Januari 2013

Republika Online, Pemimpin Unjuk Rasa Baju Merah Thailand Diadili, 15 Desember 2012, 02:11 WI http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/12/12/14/mf0tey-pemimpin-unjuk-rasa-baju-merah-thailand-diadili, diakses pada 21 Januari 3013.

Rimanews.com, Jatuhnya Partai Demokrat, Buka Peluang Perdana Menteri Wanita Pertama Thaialand Raih Harapan, 05/07/2011 - 06:40 WIB, http://www.rimanews.com/read/20110705/33707/jatuhnya-partai-demokrat-buka-peluang-perdana-menteri-wanita-pertama-thaialand, diakses pada 21 Januari 2013

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan.. Tetapi mengapa kapal laut bisa terapung? Ber d asarkan Hukum Archime d es, kapal d apat terapung karena berat kapal sama d engan gaya ke atas yang d ikerjakan oleh

Pengetahuan nlengenai sistem linear sangat diperlukan untuk menge- t ahui kelakuan dari proses dinamik. Walaupun dalam praktek sangat sedikit sistem yang linear,

Indeks Tendensi Konsumen (ITK) merupakan indeks yang menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada triwulan berjalan dan perkiraan pada triwulan mendatang.. ITK

1.5 Struktur Organisasi Karya Tulis Ilmiah

a. Peserta didik dibagi dalam kelompok, setiap peserta didik dalam setiap kelompok mendapatkan nomor. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakan. Kelompok

Tidak hanya di dalam film, pada cerita di novel Gyeonwoo juga memperlihatkan sifat bertanggung jawabnya dengan menggendong ‘si wanita’ yang sedang mabuk. Ia menggendong

Simpulan: ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi, status bekerja, berada pada status ekonomi menengah ke atas, dan berdomisili di daerah perkotaan menunjukkan konsumsi zat

Dibawah ini akan diuraikan, apa jang mendjadi tudjuan kita dalam garis besarnja mengenal bidang pos, telepon dan telegrap, agar dapat ditjapai hubungan jang