BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam penelitian landasan teori digunakan untuk memberikan landasan
dasar yang berguna untuk membantu penelitian dalam memecahkan masalah. Landasan teori dimaksudkan untuk memberi gambaran dan batasan tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, dengan
demikian penulisan dapat menggunakan teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian.
2.1. Kebijakan Publik
2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa Inggris. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan publik bisa diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun negara.
Secara etimilogi, Kebijakan Publik terdiri dari dua kata yaitu kebijakan dan
publlik. Kebijakan oleh Graycar17 dapat dipandang dari perspektif filosofis, produk, proses, dan kerangka kerja.Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan
dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan.Sebagai suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana
melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
darinya yaitu program mekanisme dalam mencapai produknya. Dan sebagai suatu
kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasi.
Menurut Easton 18 , kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Anderson19, Kebijakan Publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan
atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu
negara-bangsa. Selain itu kebijakan publik merupakan serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah
persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata.
18 Tangkilisan, Hesel N. 200 3. Kebijakan Publik yang Mem bum i (Yogyakar t a: YPAPI) hal. 2.
Pada dasarnya, meskipun tidak tertulis, dalam memahami kebijakan publik
terdapat dua jenis aliran atau pemahaman20, yaitu:
a. Kontinentalis21, yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik
adalah turunan dari hukum, bahkan kadang mempersamakan antara kebijakan publik dan hukum, utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara, sehingga melihatnya sebagai proses interaksi
diantara institusi-institusi negara.
b. Anglo-saxionis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan
publik adalah turunan dari politik-demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi antara negara dan publik.
Kebijakan publik mengatur, mengarahkan, dan mengembangkan interaksi
dalam komunitas dan antara komunitas dengan lingkungannya untuk kepentingan agar komunitas tersebut dapat memperoleh atau mencapai kebaikan yang
diharapkannya secara efektif. Jadi, secara praktis dapat dikatakan bahwa kebijakan publik adalah alat dari suatu komunitas yang melembaga untuk mencapai kepercayaan sosial.
2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik
Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan
untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan22. Pembuatan proses dan kegiatan pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses
20 Riant Nugr oho, Pu blic Policy Dinamika kebija kan – An alisis Kebijakan – Manaje men Kebijakan, (Jakar ta:
Gr amedia, 2009), hal, 30
21 Hukum ad alah salah sat u bentuk dar i kebijakan p ublik, baik dar i sisi w ujud m aupun pr od uk, pr oses atau sisi
muatan.
22William Du nn : 2 004 Dalam Riant Nugr oho, Public Policy Dinamika keb ijakan – Analisis Kebijakan – Manaje men
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
bergantung dan diatur menurut urutan waktu yakni: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Aktivitas yang bersifat intelektual terdiri dari perumusan masalah, peramalan (forecasting), rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan.
Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki banyak proses dan variabel. Menurut William Dunn23, tahap-tahap kebijakan
publik adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok
lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang disampaikan oleh mereka akan bersaing untuk dapat masuk ke dalam
agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan memilih isu yang akan mereka angkat. Sedangka isu yang lain ada yang tidak tersentuh sama sekali dan sebagian lagi akan didiamkan dalam waktu yang cukup lama.
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para
pembuat kebijakan akan didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada.Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk memecahkan masalah. c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara
direktur lembaga atau keputusan peradilan. d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui program-program yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang
telah diambil akan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap ini,
berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.Dalam hal ini memperbaiki masalah yang
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
telah meraih dampak yang diinginkan.
2.2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut24. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar. 2.2.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan
Rangkaian implementasi kebijakan, dari gambar di atas, dapat dilihat dengan jelas, yaitu dimulai dari program, ke proyek, dan ke kegiatan.
24 Riant Nugr oho, Pu blic Policy Dinamika kebija kan – An alisis Kebijakan – Manaje men Kebijakan, (Jakar ta:
Gr amedia, 2009), hal. 618-6 19.
KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK PENJELAS
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa Inggris yaiu to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out
(menyediakan sesuatu untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan25.Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu26.Sedangkan Van Meter dan Horn
menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan27.
Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa yang senyatanyaterjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yyakni
peristiwa - peristiwa dan kegiatan - kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat28.
25 Wahab, Solichin Abd ul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Form ulasi ke Im plem entasi Kebijaksanaan Negara (Mala ng:
UMM Pr e ss) hal.65.
26 Dunn, William N. 200 3. Pengan tar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
132
27 (Van Meter d an Hor n dalam Samodr a : 2 009) dalam Wibaw a, Samodr a, dkk.19 94. Evaluasi kebijakan Publik
(Jakar ta: PT. Raja Gr afindo Per kasa) h al. 1 5.
Tahap implementasi kebijakan adalah tahap alternatif dimana telah
ditetapkan dan diwujudkan kedalam tindakan yang nyata. Tahap ini dilakukan oleh unit-unit administratif dengan memobilisasi sumber daya yang ada. Tanpa
adanya implementasi, suatu kebijakan tidaklah berarti apa-apa dan hanya berupa sebuah konsep saja. Implementasi kebijakan suatu rantai yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang
diharapkan.Disimpulkan bahwa implementasi berupa penerapan, pelaksanaan, penyelenggaraan, atau pengeksekusian suatu kebijakan yang telah ditetapkan.
2.2.1. Model-Model Implementasi Kebijakan
Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang
terkait di dalamnya. Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model kebijakan, yakni:
1. Model Implementasi Kebijakan George Edwar d III29
Gambar 2.2.1.1: Dampak Langsung dan Tidak Langsung Dalam Implementasi
29 Indiahono, Dw iya nto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynam ic Policy Analysis (Yogyakar ta: Gava Media) hal.
Menurut George C. Edwards III ada empat variabel yang mempengaruhi kebijakan publik, yaitu:
1. Komunikasi
Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana
program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Dalam hal ini Edwards menjelaskan, bahwa jika pembuat keputusan / decision maker berharap agar implementasi kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka ia harus
memberikan informasi secara tepat. Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi atas
kebijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang
sesungguhnya.
2. Sumber daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan.
efektif, adapun sumber daya yang dimaksud meliputi staff, informasi, otoritas, dan
fasilitas. Sedangkan sumber daya finansial menjamin keberlangsungan program/kebijakan.Tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak
dapat berjalan efektif dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3. Disposisi
Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan/program.Karakter yang paling penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang
memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline
program. Sebagaimana yang pernah Edward katakan dalam bukunya sendiri bahwa disposisi merupakan hal yang krusial karena berlawanan dengan arah
kebijakan, jadi perspektif ini dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan dilapangan. Salah satu contoh kasus yang pernah diutarakan oleh Edward, bahwa banyak negara
bagian dan sekolah-sekolah di AS yang tidak mengalokasikan dana bagi anak kebutuhan khusus meskipun aturan tentang alokasi dana tersebut telah dituangkan
dalam Title I of the Elementary and Secondary Education Act of 1965. Pelanggaran ini disebabkan oleh sikap negara-negara bagian dan sekolah-sekolah tersebut tidak berminat/not interested dalam mengimplementasikan kebijakan
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting dalam implementasi kebijakan.Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal
penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana sendiri.Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui
standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi
acuan dalam bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari hal yang berbelit, panjang, dan kompleks.Struktur organisasi pelaksana harus
dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat.Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara
ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis, dan birokratis.
2. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn30
Menurut Meter dan Horn terdapat beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan suatu model kinerja kebijakan. Beberapa
variabel yang terdapat dalam Model Meter dan Horn adalah sebagai berikut:
30Subar sono, AG, 2 005, An alisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakar ta: Pu staka Pelajar ) hal. 9
Gambar 2.2.1.2.: Model Implementasi Van Meter dan Van Horn, Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975: 463
(1) Standart kebijakan dan sasaran. Pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang terwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat
dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.
(2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (non-human resources).
(3) Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu,
(4) Karakteristik agen pelaksana. Mencakup birokrasi, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang,
hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi dalam mempengaruhi implementasi suatu program.
(5) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Menunjuk bahwa lingkungan dalam
ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang
dapat mendukung keberhasilan imlementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan kepada implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung ataukah menolak;
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendunkung implementasi kebijakan.
(6) Disposisi implementator. Mencakup kedalam tiga hal yang penting, Yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, yakni
pemahamannya terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementator, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementator.
Dari pemaparan diatas, standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan kedalam variabel “komunikasi”, karena dari penjelasan yang ada mennunjukkan bahwa diperlukannya standar dan sasaran kebijakan yang jelassehingga tidak
organisasi masuk dalam variabel “struktur organisasi”.Karakteristik agen
pelaksana dan disposisi implementator, masuk dalam variabel disposisi”, karena membicarakan tetang norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi pada
implementator merupakan dapat mengacu pada sikap yang ada pada implementator dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan. Yang sedikit berbeda adalah kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak ada dalam
model edwards III, pada variabel ini terlihat bahwa model ini mempertimbangkan faktor eksternal.
3. Model Implementasi Kebijakan Gr indle
Implementasi menurut Grindle31, ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan
mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3)
derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program, (6) sumber daya yang dilibatkan.
Demikian dengan konteks kebijakan juga memengaruhi proses implementasi.Yang dimaksud Grindle dengan konteks kebijakan adalah: (1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga
dan penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas
keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran, dan para
pelaksana program akan bercampur baur memengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang
dikemukakan oleh van meter dan Van Horn, dimana juga berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan. Kelebihan dari Model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari
para pelaku kebijakan.
Gambar 2.2.1.3: Implementasi sebagai proses politik dan administrative32
4. Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
Menurut Sebatier dan Mazmanian33, ada tiga kelompok variabel yang mmengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah
32 Seb atier dan Mazmanian (1 983) dalam Mer ilee S. Gr indle. 1 980. Politics and Policy Im plementation in t he Third
(tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan undang-undang (ability
of state to structure implementation), (3) variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation). Kerangka berpkir yang mereka tawarkan
juga mengarah pada dua persoalan yang mendasar yaitu, kebijakan dan lingkungan kebijakan. Hanya saja pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini terkesan menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila pelaksanaannya
mematuhi peraturan yang ada.
Gambar 2.2.1.4: Model Implementasi Kebijakan Sebatier dan Mazmanian
33dalam Sub ar sono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakar ta: Pu staka Pelajar )
5. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach34 Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan
mekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator,
sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai. Syarat kedua ini kerap kali muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik
dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya
adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk
mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa
terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program
34 Wahab, Solichin Ab dul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Form ulasi ke Im plem ent asi Kebijaksanaan Negara (Malang:
sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat,
kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif menyerapnya. Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa
dana/uang itu pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan
berupa kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu proses mengubah uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa
instansi-instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus, tidak
jarang pula terbeli atau dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.
3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia. Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu pihak harus
dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya
perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan. 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan
itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak
lain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebabsebab timbulnya
masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan
Wildalsky35, menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai
kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi
landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru. 5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky juga memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali
mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin
menjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
6. Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna menuntut
adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada
badan-badan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan badanbadan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian
jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan
tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan
kemungkinan akan semakin berkurang.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan ini
mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai, dan kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang penting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses
implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik, dan lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati oleh
seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana program dapat dimonitor.
tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk merinci dan
menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.
Sebenarnya, model Hogwood dan Gunn mendasarkan pada konsep manajemen strategis yang mengarahakan pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah pokok. Kelemahannya, konsep ini tidak
secara tegas menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis, dan teknis atau
operasional.
2.3. Evaluasi
Sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja.Kebijakan harus selalu diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut “evaluasi
kebijakan”.Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan konstituennya.Sejauh mana tujuan
dicapai.Evaluasi bertujuan untuk melihat antara “harapan” dan “kenyataan”. Tujuan pokok evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan, melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan suatu
kebijakan publik.Evaluasi bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri evaluasi kebijakan adalah:
(1) Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan.
(2) Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan
(3) Prosedur dpat dipertangggung jawabkan secara metodologi (4) Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian (5) Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja
Evaluasi merupakan tahap terakhir didalam proses kebijakan publik. Rossi
dan Freeman36 menyatakan evaluasi berkaitan dengan penelitian sosial mengenai konsepsialisasi dan pendesainan, implementasi dan pemanfaatan program
intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Evaluasi kebijakan37 adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.Evaluasi
kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh
proses kebijakan.
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil
kebijakan dan program.
“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Evaluasi berkenaan denga produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan38”
Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan hasil
kebijakan dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dari hasil tujuan atau sasaran kebijakan. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi
kebijakan.
36 Wir aw an, Evaluasi: teor i, model, st andar , aplikasi, dan pr ofesi, (De pok: PT Rajagr afindo Per sada, 2012), hal. 16. 37(Ander son: 1975)
38Dun n, William, 2003, Pengan tar An alisis Kebijakan Pub lik: Edisi Ke dua. (Yogyakar ta: Gadja h Mada Un niver sity
2.3.1. Sifat Evaluasi
Gambaran utama evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Di sini pertanyaan utamanya bukan mengenai
fakta (Apakah sesuatu ada ?) atau aksi (Apakah yang harus dilakukan ?) tetapi nilai (Berapa nilainya ?). Karena itu evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya :
Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan progam. Evaluasi
terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi. Karena ketepatan
tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri39.
Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kinerja kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan
tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian, harus
didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan
tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah
aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante). Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai
kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada
(misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain), nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki
yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
2.3.2. Fungsi Evaluasi
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Menurut William N. Dunn fungsi evaluasi, yaitu:
“Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi40”
Berdasarkan pendapat William N. Dunn di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan
evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan
40Dun n, William, 2003, Pengan tar An alisis Kebijakan Pub lik: Edisi Ke dua. (Yogyakar ta: Gadja h Mada Un niver sity
melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga
kepantasan dari kebijakan dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan yang baru atau merevisi kebijakan.
Selain hal tersebut diatas, evaluasi kebijakan memiliki 4 (empat) fungsi41 , yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksana program dan
dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat
mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku lainnya, sesuai dengan standart dan prosedur yang ditetapkan kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apa output benar-benar sampai ke tangan kelompok sarsaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Melalui evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.
2.3.3. Tujuan Evaluasi Kebijakan
Dalam mengevaluasi kebijakan, ada fokus yang ingin dicapai oleh Evaluator. Adapun tujuan evaluasi dapat dirincikan sebagai berikut42:
41Samodr a Wib awa, Yuyu n Pur bokusu mo, dan Agus Pr am usinto, Evaluasi Kebijakan Pub lik. Jakar ta: PT. Gr afindo
Per sada, 1994. Hal 10-1 1
42Subar sono, AG, 2 005, An alisis Ke bijakan Publik: Konsep, Teor i, dan Aplikasi, (Yogyakar t a: Pustaka Pelajar ), hal.
a) Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan, melalui evaluasi dapat
diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.
b) Mengukur tingkat efesiensi sutau kebijakan, dengan evalusasi dapat
diketaui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.
c) Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan, salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur pengeluaran ouput dari kebijakan
d) Mengukur dampak suatu kebijakan, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
e) Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan, evaluasi bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian
target.
f) Sebagai bahan melakukan (input) untuk kebijakan yang akan datang,
tujuan akhir dari evaluasi adalah memberikan masukan bagi proses kebijakan kedepan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.
2.3.4. Model Evaluasi Kebijakan
Dua macam model evaluasi kebijakan43, yakni: 1. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan
keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi
43 Par sons, Wayne, 2008, Public Policy: Pen gantar Teor i dan Pr aktik An alisis Kebijakan,Pr enada Media Gr ou p,
‘formatif’ yang akan emonitor cara dimana sebuah program dikelola atau
diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkanproses implementasi.
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebgai evaluasi pada tiga persoalan:
Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat
Apakah penyampaian pelayanan konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak
Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program 2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijkan atau
program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Model evaluasai ini pada dasarnya dalah model penelitian komparatif yang
mengukur beberapa persoalan yaitu:
Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan Membandingkan dampak intervensi terhadapsatu kelompok dengan
kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol)
Membandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tanpa intervensi
Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam
2.3.5. Kriter ia untuk Evaluasi Kebijakan
Suatu kebijakan yang telah diimplementasikan harus menghasilkan informasi menegnai kinerja kebijakan.Mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik
diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau kebijakan publik tersebut. William N. Dunn44mengemukakan beberapak kriteria dalam evaluasi, yakni:
TIPE KRITERIA PERTANYAAN ILUSTRASI
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat Kecukupan Seberapa jauh pencapaian
hasil yang diinginkan Resposivitas Apakah hasil kebijakan
memuaskan kebutuhan,
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Program publik harus merata dan efisien
Tabel 2.3.5.1: Kriteria Evaluasi (Sumber: Dunn, 2003:610)
Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi
kebijakan publik.Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan oleh William N. Dunn untuk setiap kriterianya.Sedangkan untuk
44Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
ilustrasi dilihat dari tabel di atas pembahasannya lebih kepada metode kuantitatif.
Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
2.3.5.1. Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Efektivitas disebut juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang
diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design
yang mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the extent it which an
organization`s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin
besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas)45.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari
tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:
“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya46”.
45Gedeian, 1991:61
46Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata
dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah
gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
Efektifitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Efektivitas tersebut juga hasil guna.Efektivitas selalu terkait dengan hubungan anatara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai47.
Berdasarkan pendapat diatas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar, maka efektifitasnya akan semakin besar pula.
Kesimpulannya adanya pencapaian yang besar dari organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan tersebut. Apabila setelah terlaksananya
kegiatanpublik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat , maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi ada saat dimana suatu kebijakan publik itu
saat di jalankan hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, tetapi etelah melalui beberapa proses tertentu.Pendapat lain juga dinyatakan oleh Susanto,
yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi48”. Berdasarkan definisi tersebut, peneliti beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta jika pesan yang disampaikan
dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.
Menurut pendapat David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L.
Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok menyebutkan
ukuran efektivitas, sebagai berikut:
1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa kuantitas atau bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil dimaksud dapat dilihat dari perbandingan (ratio) antara masukan
(input) dengan keluaran (output).
2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini dapat kuantitatif (berdasarkan pula jumlah atau banyaknya) dan dapat kualitatif (berdasarkan pada mutu).
3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungannya kondisi yang kondusif dengan dunia kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan.
4. Intensitas yang akan dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi dalam suatu tingkatan intens sesuatu, dimana adanya rasa saling memiliki dengan kadar yang tinggi.49
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran daripada
efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan keluaran.Ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya
penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi.Artinya ukuran daripada efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki dengan tingkatan yang tinggi. Adapun menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh
Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran daripada efektivitas50, yaitu:
1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi; 2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik; 4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap
biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;
5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi;
6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;
7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;
8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;
9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;
10.Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;
11.Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;
12.Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan;
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas
merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi,
2.3.5.2. Efisiensi
Menurut William N. Dunn51
“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu.Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter.Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” .
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan
terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
2.3.5.3. Kecukupan
Menurut Dunn52:
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal.Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
51Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
430
Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan
antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan dengan empat tipe masalah53, yaitu:
1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.
2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya.
3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.
4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun.
Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu
kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan
dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.
53Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
2.3.5.4. Perataan
Menurut William N. Dunn54:
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik.menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan.Suatu program tertentu mungkin dapat
efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata.Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.
Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial
dapat dicari melalui beberapa cara55, yaitu:
1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu.
2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).
54Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
434
55Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.
4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan
(worst off).
Formulasi dari Rawls berupaya menyediakan landasan terhadap konsep
keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada konflik. Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis cara-cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti cara-cara di atas tidak dapat
dijadikan patokan untuk penilaian dalam kriteria perataan. Berikut menurut William N. Dunn56:
“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik”.
Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan
dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil kebijakan.
56Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi untuk masyarakat
dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan jasa publik.
2.3.5.5. Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari
suatu aktivitas.Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan.Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa responsivitas
(responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu 57 . Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan
masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan
dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.
Dunn pun mengemukakan bahwa:
“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan”.
57Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan
nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.
2.3.5.6. Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness)58 adalah:
“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”.
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya
(bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga
kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan evaluasi dampak kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu penilaian terhadap
pelaksanaan kebijakan yang telah diberlakukan oleh organisasi atau pemerintah, dengan cara mengevaluasi aspek-aspek dampak kebijakan yang meliputi
efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan
58Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
pelaksanaan kebijkan tersebut ditinjau dari aspek masyarakat sebagai sasaran
kebijakan tersebut.
2.3.6. Pendekatan ter hadap Evaluasi
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Secara spesifik Dunn59mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi
kebijakan, yang tujuan, asumsi, dan bentuk-bentuk utamanya dilukiskan dalam tabel dibawah ini.
Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk
Utama
59Dun n, William N. 2003. Pengant ar Analisis Kebijak an Publik, ed. 2 (Yogyakar ta: Gajah Mada Unver sity Pr ess) hal.
terpercaya dan
Tabel: 2.3.6.1. Pendekatan Evaluasi, Sumber : Dunn (2003:612)
Sebagai pembanding James P. Lester dan Joseph Steward, Jr. (2000) mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan menjadi evaluasi proses, yaitu
evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi; evaluasi impak, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari implementasi kebijakan; evaluasi kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan
yang dikehendaki dan evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai implementasi kebijakan yang ada untuk menurunkan
kesamaan-kesamaan tertentu.
Adapula penilaian evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu:
1. Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan
(proses dan hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di suatu tempat yang sama atau berlainan.
2. Evaluasi historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
3. Evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi yang melakukan
eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.
4. Evaluasi ad hock. Yaitu evaluasi dilakukan secara mendadak dalam waktu
2.3.7. Langkah-langkah Evaluasi Kebijakan
Dalam bukunya Budi Winarno, Kebijakan Publik Teori dan Proses (2004:169) mengutip pernyataan edward A. Suchman yaitu di sisi lain lebih
masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan arah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak
Setelah masalah didefenisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun
dengan jelas pula. Oleh karena itu, Suchman juga mengidenteifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti:
1. Apa yang menjadi isi dari tujuan program?
2. Siapa yang menjadi target program? 3. Kapan perubahan yang diharapkan terjadi?
4. Apakah tujuan yang ditetapkan satu atau banyak (unitary or multiple)? 5. Apakah dampak yang diharapkan besar?
2.3.8. Metode Evaluasi
Menurut Finsterbucsh dan Motz60, dalam melakukan evaluasi terhadap program program yang telah diimplementasikan, ada beberapametode evaluasi
yanh dapat dipilih yakni:
a) Single program after – only yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan.
b) Single program before – after yaitu informasi yang diperolah bedasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program
dijalankan.
c) Comparative after – only yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan
d) Comparative before – after yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program
dijalankan. Tabel 2.3.8.1: Metodologi untuk Evaluasi Program, Sumber : Subarsono (2005:130)
2.3.9. Evaluasi Dampak
Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah usaha untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi kehidupan nyata. Dampak
adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Akibat dari output kebijakanada dua macam yakni:
a) Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok
sasaran (baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan) dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran
(impact)
b) Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat
tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran (effects).
Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran.
Lester dan Steward61, ada tiga yang dilakukan evaluator dalam melakukan
evaluasi kebijakan publik, yaitu:
Evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan,
misalnya pekerjaan, uang, materi yang di produksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator.
Evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijaka dalam
memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminalitas.
Evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback, termasuk didalmnya reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuat
kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.
Thomas R. Dye 62 menyatakan dampak suatu kebijakan mempunyai
beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi.
1. Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan
pada orang-orang yang terlibat
2. Kebijakan mengkin mempunyai dampak pada keadaaan-keadaan atau
kelompok-kelompok diluar sasaran
3. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekrang dan dimasa yang akan datang
4. Evaluasi juga menyangkut kepada unsur yang lain juga, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-proram kebijakan
publik.
5. Dimensi yang terakhir dari evaluasi adalah menyangkut biaya-biaya yang tidak langsung ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota
masyarakat akibat adanya kebijakan publik.
Sekalipun dampak sebenarnya dari suatu kebijkan publik mungkin sangat
jauh dengan apa yang diharapkan, namun kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi setiap lapisan
masyarakat.
2.3.10. Model Evaluasi yang Digunakan Peneliti
Didalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan
menggunakan metode Single Program Before-After dengan model Evaluasi
Sumatif. Peneliti hendak meneliti keadaan kelompok sasaran sebelum dan sesudah
program - atas apa yang telah dicanangkan oleh BPJS dalam menangani keluhan pasien di rumah sakit khususnya pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi- dijalankan.
2.4. Teori-Teori Khusus
2.4.1. J asa
Service is Something which can be bought anf sold but which you cannot
drop on your feet 63. Maksudnya adalah bahwa jasa bisa dipertukarkan namun
kerapkali sulit dialami atau dirasakan secara fisik. Jasa juga merujuk pada
pengalaman yang tidak berwujud (intangible) yang diterima oleh pelanggan bersamaan dengan produk yang berwujud (tangible) dari suatu produk yang
dibeli64. Definisi lain dari Jasa juga dapat diartikan sebagai a service is any act or
performance that one party can offer to another that is essentially intangible and
does not result in the ownership of anything65. Maksudnya adalah bahwa Jasa
63 Tjiptono, Fandy dan Ch andr a, 2 011, Service Quality dan Satisfaction, Edisi Ketiga, ANDI, Yogyakar ta (Hal 11) 64 Utar i, 2010:14 0
merupakan tindakan yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada
dasarnya tidak berwujud dan tidak berakibat pada kepemilikan atas sesuatu. Jasa berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu
aktivitas yang mempunyai beberapa karakteristik yang tidak terlihat atau tidak berwujud yang berhubungan dengan jasa itu sendiri, dan melibatkan interaksi antara penyedia jasa dengan pelanggan, serta tidak berdampak pada pengalihan
kepemilikan sesuatu. Karakteristik Jasa
Karakteristik jasa dapat diuraikan sebagai berikut66:
a. Intangible ( tidak berwujud )
Jasa bersifat intangible artinya, jasa tidak terlihat, tidak dapat dicium,
didengar, diraba atau dicoba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Penilaian untuk kualitas jasa sebelum dan sesudah pembelian lebih sulit
dibandingkan dengan barang, karena jasa itu bersifat intangible atau tidak berwujud. Oleh sebab itu, tugas penyedia jasa adalah manage the
evidences dan tangiblize the intangible.
b. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)
Barang pada umumnya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual
baru dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam
pemasaran jasa.
66