• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS OLEH FERDINAND PATAR WISUDA NIM : /HK DOSEN PEMBIMBING PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS OLEH FERDINAND PATAR WISUDA NIM : /HK DOSEN PEMBIMBING PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (Studi Kasus Putusan Peradilan Militer No.235-K/PM I-02/AD/XI/2016)

OLEH

FERDINAND PATAR WISUDA NIM : 167005092/HK

DOSEN PEMBIMBING

1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum 2. Dr. Marlina, SH, M.Hum

3. Dr.Chairul Bariah, SH, M.Hum

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

KEWENANGAN ODITUR MILITER DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA

TENTARA NASIONAL INDONESIA (Studi Kasus Putusan Peradilan Militer No.235- K/PM I-02/AD/XI/2016)

Undang-Undang No. 26 Tahun 1997 tentang hukum disiplin prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan keputusan panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor Kep/22/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005, keduanya mengatur hukum dan peraturan disiplin prajurit serta seorang prajurit melanggar aturan ini akan mendapatkan sanksi.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sehingga akan timbul rasa ketidaknyamanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Contoh kasus dimana seorang prajurit berpangkat Serma (Sersan Mayor) atas nama Surono melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri sahnya yang bernama Indra Ningsih, karena terdakwa dibakar rasa cemburu melihat istrinya berduaan dengan Peltu (Pembantu Letnan Satu) Edi Junaedi.

sehingga terdakwa melakukan pemukulan ke arah mata kiri istri. Majelis Hakim meyakinkan terdakwa telah melakukan tindak pidana, Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari sebagaimana diatur dalam pasal 44 Ayat (1) Jo ayat (4) UURI no.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,akibat perbuatan terdakwa ,terdakwa dipidana selama 4 (empat) bulan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis dengan melakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer,sekunder, dan tersier terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data dikumpulkan dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Kewenangan Oditur Militer Kewenangan Oditur Militer I-02 Medan dalam menangani kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Peradilan Militer No.27 Tahun 1997, yaitu: Menerima Laporan atau Pengaduan, Melakukan tindakan pertama pada saat dan ditempat kejadian, Mencari keterangan dan barang bukti, Menyuruh berhenti seseorang, Melakukan upaya paksa (Penangkapan, Penggeledahan, Penahanan, Penyitaan, dan Pemeriksaan surat-surat), Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, Memanggil seseorang untuk didengar dan didengar sebagai Tersangka atau saksi,Meminta bantuan ahli,Mengadakan tindakan lain, Melaksanakan perintah atasan yang bersifat menghukum untuk melakukan penahanan Tersangka, dan Melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan yang berhak menghukum.

Kata kunci : Kewenangan Oditur Militer, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Anggota TNI

(5)

ABSTRACT

THE AUTHORITIES OF MILITARY ODITURE IN HANDLING CRIMINAL ACTIONS IN VIOLENCE IN HOUSEHOLD TAKEN BY INDONESIAN NATIONAL

ARMY MEMBERS (Case Study of Military Court Judgment No.235-K / PM I-02 / AD / XI / 2016)

Law Number 26 of 1997 concerning the law of disciplines of soldiers of the Indonesian Armed Forces (TNI) and the decision of the commander of the Indonesian Armed Forces (TNI) Number Kep / 22 / VIII / 2005 dated August 10, 2005, both governing the laws and regulations of the discipline of soldiers and a soldier violating this rule will get sanctions. Household integrity and harmony can be disrupted if the quality and self-control cannot be controlled, which in turn can cause domestic violence (domestic violence) so that there will be a sense of discomfort or injustice towards people within the scope of the household. Examples of cases where a soldier Serma (Sergeant Major) on behalf of Surono committed domestic violence against his legal wife named Indra Ningsih, because the defendant was burned with jealousy to see his wife together with Peltu (First Lieutenant Assistant) Edi Junaedi.

so the defendant did a beating in the wife's left eye. The Panel of Judges assured that the defendant had committed a criminal offense. Anyone who commits physical violence in the household sphere is carried out by the husband against his wife who does not cause illness or obstruction to carry out his occupation or livelihood or daily activities as regulated in article 44 Paragraph ( 1) Jo paragraph (4) of UURI no. 23 of 2004 concerning the elimination of domestic violence, due to the actions of the defendant, the defendant is sentenced for 4 (four) months.

The research method used in writing this thesis is a normative juridical legal research method which is descriptive analysis by conducting library research in order to obtain secondary data needed, including primary, secondary, and tertiary legal materials related to the problem. Overall data was collected by the method of collecting library research and field study.

Based on the research results of the Military Oditur Authority The Military Oditur I-02 Medan in handling Domestic Violence cases is regulated in Article 71 of the Military Court Law No.27 of 1997, namely: Receiving a Report or Complaint, Taking the first action at the time and place of the incident , Seeking information and evidence, telling someone to stop, making a forced effort (arrest, search, detention, confiscation, and examination of documents), taking fingerprints and photographing someone, calling someone to be heard and heard as a suspect or witness, asking for help expert, Carry out other actions, Carry out orders that are punitive boss to detain the suspect, and report the results of the implementation of the investigation to the supervisor who has the right to punish.

Keywords: Military Oditur Authority, Domestic Violence, TNI Members.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul KEWENANGAN ODITUR MILITER DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (Studi Kasus Putusan Peradilan Militer No.235-K/PM I-02/AD/XI/2016). Dalam penyelesaian tesis ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak yang terkait. Sehingga tesis ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan, kerja sama dan masukan (motivasi) yang penulis terima selama ini dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S,H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

(7)

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

6. Ibu Dr. Marlina, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis dalam penulisan tesis ini;

7. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III penulis yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis dalam penulisan tesis ini;

8. Bapak Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberi masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini;

9. Bapak Dr. Edy Yunara, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberi masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini;

10. Bapak Letkol Sus Syapuddi ,S.H, selaku Wakil Kepala Oditur Militer I-02 Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan riset/studi dan membantu dalam penulisan tesis ini.

11. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing serta memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Ayah saya Dr.Mangasa Manurung S.H, M.Kn dan Ibundaku Tri Erna Dumasari Batubara SE yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh dan mendidik serta memberikan dorongan penulis secara moril, materil, dan spiritual dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan Magister Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Teman-teman dan atasan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Langkat yang telah memberikan motivasi dan dorongan moril kepada penulis.

14. Saudara kandung penulis kakak-adek yang selalu memberikan nasihat dan dukungan : Ivan Jeremy, Arga, Daniel, Rian Andreas, Anggreni,Mike,Titin.

15. Sahabat-sahabatku Billy, Reno, Junita, Rani, Nanang Tomi, Dimas, Rendy, Rencius, Ibrahim Harahap, Nurul, Vienna, Liza Pitara , Nonna Tyara Azhar dan seluruh teman-teman di Magister Hukum USU, khususnya Grup Paralel B

(8)

Stambuk 2016 yang telah banyak kontribusinya dalam membantu serta mendukung penulis menyelesaikan tesis ini.

16. Dan kepada semua pihak yang telah turut membantu didalam penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam tesis ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima komentar dan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan tesis ini, akhir kata penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat dikemudian hari.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Oktober 2019 Penulis

Ferdinand Patar Wisuda

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap : Ferdinand Patar Wisuda,S.H Jenis Kelamin : Laki – laki

Tempat,Tanggal Lahir : Jakarta,28 July 1993

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Berdikari No.116 Padang Bulan Medan

No.Telp : 087868077007

E-mail : dinand.manroe@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL :

1999 – 2005 : SD Methodist 1 Medan 2005 – 2008 : SMP Methodist 1 Medan 2008 – 2011 : SMA Methodist 1 Medan

2011 – 2015 : Universitas Sumatera Utara (Fakultas Hukum)

PEKERJAAN :

2018-2019 : Assisten Veriffikator Berkas

(Badan Pertanahan Nasional Kab.Langkat)

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT……… ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……… vi

DAFTAR ISI ……….……. vii

BAB I : PENDAHULUAN ………...…... 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah ………. 10

C. Tujuan Penelitian ………. 11

D. ManfaatPenelitian ………....… 11

E. Keaslian Penelitian ………..… 11

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ………..…… 13

1. Kerangka Teori ………...……… 14

2. Landasan Konsepsional ...………... 18

G. Metode Penelitian ……… 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ………...………... 20

2. Sumber Data ……….... 20

3. Teknik Pengumpulan Data ……….…. 21

4. Analisis Data ……… 22

BAB II: ATURAN HUKUM ODITUR MILITER DALAM MENANGANI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA A. Pengertian Oditur Militer Dalam Menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 23

B. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia ... 29

C. Prosedur Penyerahan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ke dalam Peradilan Militer... 34

D. Aturan Hukum Oditur Militer Dalam Menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga Anggota Tentara Nasional Indonesia... 40

1. Hukum Disiplin Militer... 40

2. Hukum Pidana Militer dan Hukum Acara Militer... 42

3. Hukum Acara Pidana Militer... 44

(11)

BAB III: FAKTOR PENYEBAB ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA DAPAT MELAKUKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA UTARA

A. Faktor Penyebab Anggota Tentara Nasional Indonesia

Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 51

1. Faktor Eksternal... 52

2. Faktor Internal... 54

B. Dampak Dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 56

BAB IV: PERANAN ODITUR MILITER DALAM MENANGANI KASUS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA A. Peranan Oditur Militer Dalam Menangani Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 62

1. Atasan yang berhak menghukum... 62

2. Polisi Militer dan Oditur ... 67

3. Proses Penyidikan... 71

a. Pemeriksaan Tersangka/Saksi... 71

b. Penangkapan/Penahanan... 75

c. Pemanggilan Tersangka/Saksi... 85

d. Penggeledahan dan Penyitaan... 85

e. Pemeriksaan Surat... 93

4. Penyerahan Perkara Dalam Peradilan Militer... 94

5. Penelitian Berkas... 96

6. Penggabungan Perkara... 98

7. Splitsing ... 99

8. Surat Dakwaan ... 100

B. Kasus... 103

C. Analisa Kasus ... 120

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 127

B. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 129

(12)

A.Latar Belakang

Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijaksanan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan oprasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang serat ikut aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.1Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara yang tunduk pada hukum dan memegang teguh disiplin, taat kepada atasan, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Prajurit Tentara Naisonal Indonnesia (TNI) tunduk kepada hukum baik nasional maupun internasional bahkan tunduk kepada hukum secara khusus dan hanya diberlakukan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) saja.

Undang-Undang No. 26 Tahun 1997 tentang hukum disiplin prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan keputusan panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor Kep/22/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005, keduanya mengatur hukum dan peraturan disiplin prajurit serta seorang prajurit melanggar aturan ini akan mendapatkan sanksi.2Menurut Pompe, dua kriteria hukum pidana khusus yaitu orang-orangnya yang khusus maksudnya subyeknya atau pelakunya. Contoh hukum pidana militer dan yang kedua ialah perbuatannya yang khusus.3Dalam segi hukum, anggota militer mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota masyarakat biasa, artinya sebagai warga negara baginya pun berlaku semua aturan hukum yang berlaku, baik hukum pidana dan hukum perdata.

1 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 Tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI Sekarang TNI

3Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus,(Jakarta:Ragunan,1991), Hal 1.

(13)

Lembaga peradilan militer tidak lain adalah untuk menindak para anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan tindak pidana, menjadi salah satu alat kontrol bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menjalankan tugasnya, sehingga dapat membentuk dan membina Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kuat, profesional dan taat hukum karena tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) sangat besar untuk mengawal dan menyelamatkan bangsa dan negara. “Kata militer berasal dari “miles” dari bahasa yunani yang berarti seseorang yang dipersenjatai dan disiapka untuk melakukan pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara”.4

Kepangkatan militer tinggi ataupun rendah wajib menegakkan kehormatan militer dan selalu memikirkan perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan yang dapat menodai atau merusak nama baik kemiliteran. Militer sebagai orang yang siap untuk bertempur untuk mempertahankan negeri atau kelompoknya sudah ada sejak zaman dahulu sebelum adanya konstitusi-konstitusi tersebut.Hukum Pidana Militer berkembang berdasarkan kebutuhan karena sesuai dengan situasi dan kondisi.Hukum Pidana Militer merupakan suatu hukum yang khusus karena terletak pada sifatnya cepat, dan prosedur-prosedurnya yang berbeda dengan prosedur-prosedur yang berlaku dalam hukum yang umum. Hukum pidana militer merupakan suatu aturan hukum yang diberlakukan khusus untuk orang-orang yang berada dibawah nama besar “Tentara Nasional Indonesia”, yaitu hukum yang mengatur pelanggaran- pelanggaran atau kejahatan militer terhadap kaidah-kaidah hukum militer oleh seorang militer, dimana kejahatan militer itu sendiri dapat terdiri atas kejahatan militer biasa dan kejahatan perang.

Kejahatan militer biasa (military crime) yaitu perbuatan seseorang militer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum militer yang diberi sanksi pidana, misalnya melakukan tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana tidak hanya meliputi ruang lingkup tindak pembunuhan, pencurian, dan sebagainya, tetapi juga berkembang ke dalam tindak pidana kekerasan terhadap suatu kelompok, perseorangan, dan baik itu masyarakat sekitar bahkan sehingga menimbulkan adanya

4E.Y.Kanter dan S.R Sianturi, hukum pidana militer di indonesia,(Jakarta:Almuni AHM- PTHM,1981),Hal 26.

(14)

tindak kekerasan atau penganiayaan tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru tindak kekerasan sering dilakukan bersama maupun sendiri. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, Sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat bukti apa yang dipakai, Masing-masing tergantung pada kasus yang timbul.

Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer.Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict).Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifat khususnya untuk militer.Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer, berupa bertentangan dengan peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk kejahatan yakni, kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (Disersi), kejahatan pencurian,penganiayaan, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan perang. 5Selanjutnya, ada juga tindak pidana campuran (germengde militaire delict) yakni tindak pidana mengenai perkara koneksitas, artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang- undang militer dan KUHPidana.Contoh : tindak pidana pencurian yang dilakukan secara bekerja sama antara sipil dan militer, tindak pidana pembunuhan yang korbannya adalah sipil, dan lain-lain. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana.6

Perkawinan merupakan suami isteri yang wajib saling cinta mencintai,hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Pada prinsipnya rumah tangga merupakan tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Namun kenyataannya,bisa menjadi tempat penderitaan dan

5Http://Bisdan-Sigalingging.Blogspot.Co.Id/2011/09/Tindak-Pidana-Desersi-Menurut- Hukum.Html,Diakses Pada Tanggal 07 Mei 2018, Pukul.23.00 Wib.

6Ibid,

(15)

penyiksaan karena permasalahan rumah tangga yang terkadang diselesaikan dengan cara-cara yang kurang beretika, salah satunya dengan tindak kekerasan.7Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajiban harus dilandasi dengan agama, keadaan seperti ini harus mutlak perlu dipupuk dan ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.Keluarga mempunyai peran dan pengaruh terhadap perkembangan sosial dan perkembangan pribadi setiap anggotanya. Dalam keluarga, manusia belajar untuk berinteraksi dengan orang lain. Moral yang baik dan didasari oleh agama harus tertanam di dalam setiap orang dalam suatu lingkup rumah tangga agar tercipta keluarga yang utuh, rukun, dan bahagia.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sehingga akan timbul rasa ketidaknyamanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut, yang meliputi:8

a. Suami, istri dan anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu Setiap Perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

7 Didik MA. Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,(Jakarta:Raja Grafindo, 2008), Hal 131.

8UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 2.

(16)

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.Tindak kekerasan merupakan jenis kejahatan yang pada umumnya melibatkan pelaku dan korban sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman dari mulut).Pelaku dan korban tindak kekerasan bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.Terdapat banyak istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”.9

Peristiwa Pidana atau Tindak Pidanaadalah sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar feit” yaitu suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang- undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan, dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab). Mengenai tindak pidana yang dibahas adalah tindak pidana terhadap tubuh yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan.Banyak beberapa model dan macam penganiayaan telah dilakukan dikalangan masyarakat sehingga dapat menimbulkan kematian.

KUHP itu sendiri telah mengatur tentang macam-macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukannya, Pasal yang menjelaskan tentang penganiayaan ini sebagian besar adalah Pasal 351 sampai dengan Pasal 355 KUHP.Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut

“penganiayaan”. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”.

1. Menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.10

2. Menurut Doctrine mengartikan penganiayaan sebagai, setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.

9Moeljatno, Asas-asas Hukum PidanaCetakan VIII, (Jakarta:Rineka Cipta,1993), Hal 55.

10Ibid,

(17)

Faktor Kekerasan dalam rumah tangga yang semula dianggap dengan sebagai persoalan internal dalam lingkup keluarga dengan mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan, oleh hukum telah dikriminalisasi menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat serius, bukan saja kejahatan atas pribadi korban namun oleh hukum kejahatan dalam rumah tangga telah dimasukan sebagai salah satu bentuk Kejahatan/pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Sehingga seharusnya keluarga mendapatkan perlindungan dan ini keluarga mendapatkan perlakuan yang tidak diinginkan. Mengingat betapa seriusnya kejahatan ini maka kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang semula mengacu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selanjutnya oleh hukum secara lex specialis telah diatur kedalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilakukan oleh siapa saja dengan korban siapa saja, sehingga tidak menutup kemungkinan kejahatan ini dilakukan oleh oknum prajurit/militer yang utamanya sering dilakukan terhadap istri yang bersangkutan.

Setiap kelompok profesi memiliki norma-norma yang menjadi penuntun perilaku anggotanya dalam melaksanakan tugas profesi.Norma-norma tersebut dirumuskan dalam bentuk tertulis yang disebut kode etik profesi ataupun peraturan disiplin.Peraturan disiplin merupakan bentuk realisasi sikap perilaku yang wajib ditaati oleh setiap professional hukum yang bersangkutan.11Di dalam penelitian ini akan dikhususkan membahas tentang Kewenangan Oditur Militer (Jaksa Militer) dalam menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilihat dari pandangan penegakan Hukum pada Militer dan di dalam rumah tangga prajurit TNI. Namun kasus KDRT di lingkungan prajurit banyak yang tidak sampai di Peradilan Umum karena masih kentalnya kekuatan Hukum Militer dimana Ankum (Atasan Yang Berhak Menghukum) langsung dari prajurit masih memegang kekuasaan untuk memutuskan.

Anggota TNI apabila melakukan tindak pidana akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku sampai ke meja hijau. Berproses di meja hijau dilakukan oleh

11Deni Achmad dan Eko Raharjo,Hukum Peradilan Militer,(Bandar Lampung:Justice Publisher,2014), Hal 71.

(18)

peradilan khusus yaitu peradilan militer, sama dengan peradilan negeri, peradilan militer juga terbuka untuk umum kecuali tindak pidana kesusilaan, namun jarang sekali masyarakat sipil yang hadir untuk mengikuti jalannya persidangan.12 Jika dilihat dari segi hukum, prajurit TNI mempunyai kedudukan yang sama dengan warga Negara, bagaimanapun berlaku semua ketentuan hukum yang berlaku baik hukum pidana, perdata, acara pidana dan acara perdata, perbedaannya karena tugas dan kewajiban lebih khusus dari pada warga Negara biasa terutama dalam hal yang berhubungan dengan pertahanan Negara.13 Bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara.14

Hukum acara pidana tentara adalah sebagai bentuk khusus daripada hukum acara pidana, oleh karena itu khusus sepanjang mengenai pemeriksaan pendahuluan, menurut hukum acara pidana umum di pusatkan kepada jaksa berdasar pasal 2 dari hukum acara pidana tentara/militer, sistem tersebut yang memakai RIB sebagai pedoman untuk acara pidana tentara/militer dirasa sangat mengurangi kedudukan para Komandan yang bertanggung jawab atas keadaan dan ketertiban dalam lingkungan kesatuannya.

Pasal 12 UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebut bahwa badan peradilan di Indonesia terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang susunan, kekuasaan serta acaranya masing-masing badan peradilan tersebut diatur dalan Undang-undang tersendiri.

Hukum pidana militer bukan berarti hukum pidana umum tidak berlaku pada militer, akan tetapi bagi militer berlaku juga baik hukum pidana umum maupun

12Wawancara Langsung dengan Letkol sus Syapuddi, S.H, Wakil Kepala Oditur Militer I-02 Medan, Tanggal 5 Maret 2019,Pkl.16.00 Wib.

13Moch Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia,(Bandung:Mandar Maju, 1994), Hal 15.

14Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 7 (ayat 1).

(19)

hukum pidana militer.15Pada dasarnya hukum pidana militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militer tentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarannya. Hukum pidana militer bukanlah suatu hukum yang mengatur norma, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh prajurit TNI atau yang menurut ketentuan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit TNI.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 44 ayat (1) dapat dipidana penjara atau denda, akan tetapi di dalam militer tidak berlaku pidana penjara ataupun denda, sistem yang berlaku dilingkungan militer tidaklah sama dengan yang diterapkan pada pengguna masyarakat, dan hal tersebut mengacu pada Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/22/VIII/2005, tanggal 10 Agustus 2005, Tentang Peraturan Disiplin Prajurit TNI Anggota militer karena peraturan tersebut yang tertinggi di kemiliteran, yang berlaku khusus bagi anggota militer.

Kasus penelitian yang akan dibahas dalam penelitian ini berdasarkan putusan dengan No.235-K/PM I-02/AD/XI/2016 yaitu dimana seorang prajurit berpangkat Serma (Sersan Mayor) atas nama Surono melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri sahnya yang bernama Indra Ningsih dan memiliki anak sebanyak 4 (empat) orang. Terdakwa atas nama Surono melakukan KDRT terhadap istrinya berawal karena terdakwa mencari istrinya tidak ditemukan dan terdakwa dibakar rasa cemburu melihat istrinya datang berduaan dengan Peltu (Pembantu Letnan Satu) Edi Junaedi pada waktu malam hari sehingga terdakwa melakukan pemukulan ke arah mata kiri istri. Bahwa sebelumnya hubungan terdakwa dengan istri sudah mulai retak/renggang karena terdakwa sering minum minuman keras dan terdakwa sering mencaci maki juga menghina serta mengancam untuk menceraikan istri. Berdasarkan kasus tersebut Majelis Hakim meyakinkan terdakwa telah melakukan tindak pidana, Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan

15Moch.faisal salam,Hukum Acara Pidana Militer Di Indonesia,(Bandung:Mandar Maju,1996), Hal 27.

(20)

untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari sebagaimana diatur dalam pasal 44 Ayat (1) Jo ayat (4) UURI no.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.16

Adapun ancaman hukumannya adalah sanksi administrasi yaitu penundaan pangkat dan pemberhentian secara tidak hormat, Apabila terbukti melakukan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk pidana tambahan yang berupa pemecatan dari dinas militer atau penurunan atau penundaan pangkat tentunya diatur dalam hukum pidana umum kedua, jenis pidana tambahan ini murni bersifat kemiliteran dan sekaligus merupakan pemberatan pemidanaan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana. Penjatuhan pidana yang tidak dibarengi dengan penundaan pangkat pada dasarnya lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau pembalasan. Bagi militer yang tidak dipecat setelah menjalani pidananya dia akan diaktifkan kembali dalam dinas militer.

Selain sanksi pidana terhadap anggota militer yang tindak pidana KDRT, dapat pula dikenai sanksi administratif.Sanksi administratif ini dapat berupa penundaan kenaikan pangkat, tidak dapat melanjutkan pendidikan, sulit untuk menduduki jabatan tertentu.

Banyak masyarakat umum menilai bahwa peradilan militer bersifat tertutup, sehingga banyak masyarakat umum yang menilai negatif tentang pelaksaan hukum terhadap oknum anggota TNI yang telah melakukan suatu tindak pidana tidak berjalan semaksimal atau seadil – adilnya dan menilai putusan pengadilan militer dalam memberikan hukuman bagi anggota militer yang bersalah melakukan tindak pidana tergolong ringan.Hal itu dikarenakan minimnya informasi dari pihak dalam untuk menginformasikan ke masyarakat luar terutama warga sipil.Sehingga banyak yang menilai peradilan militer tidak berjalan semaksimal atau seadil – adilnya dan menilai putusan pengadilan militer meringankan anggota militer yang telah melakukan suatu pelanggaran. Karena itulah hukum militer dipandang sebelah mata, sebenarnya hukum militer sama saja dengan hukum pada umumnya, hanya saja hukum militer berlaku khusus untuk anggota TNI.

16Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

(21)

Oditur dalam melakukan penuntutan haruslah berdasarkan pada alat bukti yang sah, dengan mengindahkan norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan.

Untuk itu ia wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat (Living Law) serta memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara.Oleh karena itu kurangnya pemahaman masyarakat sipil tentang Peranan Oditur Militer dalam hukum militer maka penulis merasa penting untuk melakukan penelitian tentang “Kewenangan Oditur Militer Dalam Menangani Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia (Studi Kasus Putusan Peradilan Militer No.235-K/PM I-02/AD/XI/2016).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, selanjutnya dapat dirumuskan pembahasan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana aturan hukum Oditur Militer dalam menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia?

2. Apakah faktor penyebab anggota Tentara Nasional Indonesia dapat melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Sumatera Utara ?

3. BagaimanaKewenangan Oditur Militer dalam menangani kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui aturan hukum Oditur Militer dalam menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab anggota Tentara Nasional Indonesia dapat melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Sumatera Utara.

(22)

3. Untuk mengetahui Kewenangan Oditur Militer dalam menangani kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini bermanfaat bagi penulis sendiri sebagai tugas akhir yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara guna meraih gelar Magister Hukum.Dalam penulisan tesis ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi baik teoritis kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni peneliti maupun praktis kepada para praktisi hukum.Disini dapat dijelaskan penggunaan secara teoritis dan praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun praktek.17

a. Bersifat teoritis adalah bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum terutama dalam penegakan hukum pidana militer.

b. Bersifat Praktis adalah bahwa hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi maupun jalan keluar yang efektif dan akurat terhadap permasalahan yang diteliti serta dapat mengembangkan teori-teori baru khususnya mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kalangan militer.

E. Keaslian Penelitian

Penulis menegaskan bahwa tesis ini merupakan karya asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

Berikut penelitian yang pernah dilakukan, yaitu :

a.Tesis atas nama Anda Nuranim NIM 067005047 dengan judul : Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan, rumusan masalah sebagai berikut :

17Soerjono Soekanto Dalam Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum / Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, Dan Disertasi,(Medan: PT. Softmedia,2015), Hal 88.

(23)

1. Bagaimanakah Peran POLRI dalam menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan?

2. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi POLRI dalam upaya menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan?

3. Bagaimanakah solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan pada masa depan?

b. Tesis atas nama Fitriani NIM 137005031 dengan judul Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467 K/Pid.Sus/2013), rumusan masalah sebagai berikut :

1. Perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam lingkup rumah tangga dengan cara penelantaran rumah tangga?

2. Jenis pidana apakah yang tepat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penelantaran rumah tangga menurut putusan Mahkamah Agung Nomor : 467 K/Pid.Sus/2013?

Dilihat dari judul penelitian yang ditemukan di perpustakaan dengan judul penelitian yang diteliti belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

(24)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problema)yang menjadi bahan pertimbangan, pegangan teoritis.18Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan titi tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahasmasalahnya, untuk perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati.19

Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu kerangka teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya.20Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari penulisan dan ahli hukum di bidangnya yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis.21 Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisassikan masalah yang dibicarakan dan teori bisa juga mengandung subjektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks seperti hukum ini.22 Adapun 3 tugas teori hukum yaitu :23

a. Menganalisis dan menerapkan konsep hukum dan konsep-konsep yuridis (rechtsleer),

b. Hubungan hukum dengan logika, c. Metodologi Hukum.

18 M. Solly lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian,(Bandung:Mandar Maju, 1994), Hal.80.

19Hadari Nawawi, “Metode Penelitian Bidang Sosial”,(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press,2003), Hal.39-40.

20Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Asas-Asas,(Jakarta: FE UI,1996), Hal.203.

21Ibid, Hal.16.

22 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,2010), Hal.259.

23 D.H.M Meuwissen, Teori Hukum, Jurnal Hukum Pro Justita, Tahun XII, No.2 April 1994, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum Di Indonesia Sebuah Reorientasi, Salatiga : Pustaka Pelajar, 2013), Hal 79.

(25)

Teori sebagai pisau analisis yang digunakan untuk dijadikan panduan dalam melakukan analisis, dengan memberikan penilaian terhadap penemuan fakta atau peristiwa hukum yang ada.Berdasarkan uraian mengenai teori hukum maka teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penegakan hukum dan teori kebijakan kriminal.

a. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.24

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah- kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan Hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.25

Menurut Satjipto Raharjo, Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tentang keadilan,kebenaran,kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas

24Dellyana,Shant,Konsep Penegakan Hukum,(Yogyakarta:Liberty, 1998), Hal.32

25Ibid, Hal.33

(26)

dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:26

1. Ditinjau dari sudut subyeknya.

Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

2. Ditinjau dari sudut obyeknya.

Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

b. Teori Kebijakan kriminal (Criminal Policy)

Ruang lingkup hukum pidana dapat dilihat dari segi pengertian kebijakan hukum pidana itu sendiri. Barda Nawawi Arief mengemukakan kebijakan hukum pidana sebagai berikut:

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” atau “politiek” (Belanda).

Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan bahasa asing

“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”’ “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.27

26Ibid, Hal.34

27Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung:Citra Aditya Bakti,1996), Hal. 27

(27)

Pengertian dari kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian tentang politik hukum maupun dari politik kriminal. Politik kriminal menurut Sudarto adalah sebagai berikut:28

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Setiap upaya dan kebijakan untuk membentuk suatu peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, dengan cara lain bahwa dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.29 Usaha penanggulangan kejahatan lewat bantuan pembuat undang-undang hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.30

Keseluruhan kebijakan yang ditempuh di dalam rangka menanggulangi kejahatan pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Permasalahan besar yang dihadapi dalam kebijakan kriminal melalui sarana penal tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kerangka yang lebih besar yaitu kebijakan sosial khususnya kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kriminal dapat diartikan menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan dan berorientasi pada tujuan pembangunan nasional itu sendiri. Upaya untuk menetapkan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana inilah

28Ibid,

29Ibid, Hal.29

30Ibid,

(28)

yang disebut dengan kriminalisasi. Sehubungan dengan pentingnya kriminalisasi dari perbuatan tersebut, Soedarto mengemukakan untuk diperhatikan hal-hal sebagai berikut:31

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penguguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah dengan hukum pidana hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana hukum harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas.

Kebijakan kriminalisasi merupakan kebijakan penyusunan perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi perbuatan yang diancam dengan pidana dalam perundang-undangan. Kebijakan kriminalisasi ini penekanannya terletak pada upaya pemilihan perbuatan mana dan sanksi apa dalam suatu perundang-undangan yang baik, artinya suatu perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu baik sekarang maupun yang akan datang menampung rasa keadilan masyarakat.

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan diluar hukum pidana). Berbicara mengenai masalah kebijakan, pada hakekatnya kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dengan

31Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,(Bandung:Alumni,1997), Hal.44-48

(29)

kebijakan kriminal32 (criminal policy) yaitu upaya rasional untuk menanggulangi kejahatan. Usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan, kebijakan kriminal atau politik kriminal mempunyai tiga pengertian yaitu dalam arti sempit, luas, dan arti yang paling luas. Kebijakan kriminal dalam arti sempit merupakan seseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari realisasi terhadap pelanggaran hukum yang perupa pidana. Kebijakan kriminal dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan, dan polisi, sedangkan dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui pembentukan undang-undang dan tindakan dari badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.33

Kebijakan kriminal substansinya adalah pembatasan (limitation) kekuasaan baik yang dimiliki rakyat maupun kekuasaan/penguasa penegak hukum untuk berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Secara lebih detail kebijakan kriminal menyangkut ruang lingkup, serangkaian proses mulai dari kongkretisasi, aplikasi, fungsionalisasi dengan tahap sebagai berikut:34

1. Kebijakan formulasi/legislatif yaitu tahap perumusan, penyusunan hukum pidana.

2. Kebijakan aplikatif/yudikatif yaitu tahap penerapan hukum pidana.

3. Kebijakan administratif/eksekutif yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional digunakan di dalam penelitian mulai dari judul hingga permasalahan yang diteliti untuk menghindari penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda. Landasan konsepsional ini terdiri dari beberapa istilah dan defenisi diantaranya sebagai berikut :

32Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana,(Bandung:Alumni,1997), Hal. 43

33Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung:Alumni, 1981), Hal.113-114

34Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit,Hal.1

(30)

a. Kewenangan adalah kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang,meliputi kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.35

b. Oditurat Militer adalah badan di lingkungan Militer (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau sekarang bernama Tentara Republik Indonesia dan Polisi Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan Pemerintah Negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima.36

c. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.37

d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 38

e. Anggota Tentara Nasional Indonesia adalah seorang prajurit yang diberi wewenang berupa tugas pengabdian terhadap Negara untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar negeri.39

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian harus menggunakan metode yang tepat agar para pembaca dapat menerima, memahami, dan menelaah tentang sumber penelitian, sifat dan jenis penelitian maupun manfaat penelitian untuk tujuan dari penelitian tersebut.Maka penulis melakukan kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan sampai pada analisis

35Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih dan Bertanggung Jawab,(Bandung:Alumni, 2000),Hal.22

36Darwan Prinst, Peradilan Militer, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003), Hal.26

37Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Jakarta: Prenadamedia Group),2014, Hal 84.

38Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 ayat (1).

39Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia,Pasal 1 Angka 7.

(31)

data sesuai yang terkandung ilmu metode penelitian. Adapun penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis. Sifat penelitian ini merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.40 Dalam hal ini, penelitian ini akan menggambarkan bagaimana hukum acara pidana militer,khususnya hal kewenangan Oditur Militer dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

2. Sumber Data

Di dalam penelitian ini terdapat 3 jenis sumber data, yaitu data primer,data sekunder dan data tersier. Untuk mengumpulkan data penelitian ini, penulis menggunakan tiga jenis bahan hukum, yaitu:

a. Sumber Bahan Hukum Primer

Adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap secara langsung pada objek penelitian lapangan yang menjadi data pokok dari permasalahan tentang pertanggungjawaban pidana terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Undang-Undang No.1 Tahun 1964 Tentang Hukum Pidana atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

40Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia Press,2005), Hal.6

(32)

5. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer 7. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Militer

8. Undang-Undang No.34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia 9. Undang-Undang No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara

10. Undang-Undang No.31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer 11. Undang-Undang No.25 Tahun 2014 Tentang Hukum Disiplin Militer

12. Undang-Undang No.26 Tahun 1997 Tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

13. Putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang penulis gunakan untuk menganalisis dan memahami penelitian, terdiri dari peraturan-peraturan dan ketentuan yang diperoleh dari literatur-literatur sebagai referensi seperti buku, jurnal hukum, makalah, internet dan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

c. Sumber Bahan Hukum Tersier

Adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan, pengertian dan pemahaman terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam mendukung bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum dan bahan hukum yang terkait dengan permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan dua cara yaitu :

1. Studi Pustaka

(33)

Studi Pustaka adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah, dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

2. Studi Lapangan

Studi Lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan observasi, wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Hukum Pengadilan Militer I-02 Medan.

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk pengolahan data bersifat kualitatif yaitu dengan cara penelitian yang mengacu terhadap norma-norma, teori- teori, asas-asas, doktrin, pasal-pasal dan putusan pengadilan serta peraturan perundang-undangan dalam disiplin ilmu hukum khususnya hukum pidana militer yang menjadi panduan dan dasar penelitian. Data tersebut dianalisis secara logika dan sistematis sesuai permasalahan yang dibahas yaitu pertanggungjawaban pidana yang dilakukan terhadap anggota tentara nasional indonesia yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga untuk mempermudah proses analisa dan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data.

Penelitian yang dilakukan untuk memecahkan topik permasalahan terkait menggunakan metode deskriptif yakni penulis mengemukakan fakta-fakta atau gejala-gejala agar permasalahan tersebut dapat dianalisis dalam berbagai aspek secara intens antara korelasi yang satu dengan yang lainnya.

(34)

BAB II

ATURAN HUKUM ODITUR MILITER DALAM MENANGANI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA

A. Oditur Militer Dalam Menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Oditurat adalah badan di lingkungan Militer (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau sekarang Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan Pemerintah Negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari panglima (Pasal 1 angka 2). Oditurat (Pasal 49) terdiri dari :

a. Oditurat Militer

Merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer.

b. Oditurat Militer Tinggi

Merupakan badan penuntutan pada Pengadilan Militer Tinggi c. Oditurat Jenderal

Merupakan badan Penuntut tertinggi di lingkungan Militer atau Angkatan Bersenjata (TNI dan Polri)

d. Oditurat Militer Pertempuran41

Merupakan Penuntut pada Pengadilan Militer Pertempuran menurut Pasal 50 susunan organisasi dan prosedur Oditurat ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Dalam daerah hukum Oditurat Militer dapat dibentuk unit pelaksana teknis sesuai kebutuhan. Pembentukannya terutama didasarkan pada pertimbangan luas daerah hukum dan banyaknya perkara.

Guna kecepatan penyelesaian perkara dan pendekatan pelayanan hukum bagi satuan Militer (Angkatan Bersenjata).42

Oditurat di lingkungan Peradilan Militer adalah 1 (satu) dan tidak terpisah- pisah. Pembinaannya secara teknis yustisia berada di bawah Oditur Jenderal, sementara secara organisatoris dan administratif berada di bawah

41UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 45.

42 Darwan Prinst, Loc.Cit,

(35)

Panglima. Oditur di lingkungan Peradilan Militer berwenang melakukan penyidikan

terhadap perkara tertentu atas perintah Oditur

Jenderal, melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara diserahkan kepada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan untuk melaksanakan pengawasan dan pengadilan dalam bidang penyidikan, penyerahan perkara, penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Oditur Militer, Oditurat Militer Tinggi dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang melaksankan kekuasaan perintah negara dibidang Penuntutan dan Penyidikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, bahwa Oditurat itu adalah lembaganya, sementara Oditur itu adalah sebutan untuk pejabatnya.Sama seperti Kejaksaan adalah nama instansi/lembaga dan Jaksa adalah pejabat-pejabat yang bekerja dilembagaKejaksaan itu.

Oditur Jenderal berada di ibu kota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. Sedangkan menyangkut nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum Oditur Militer, Oditur Militer Tinggi ditetapkan dengan Keputusan Panglima.43 Sedangkan Oditur Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum didaerah pertempuran.

Oditur Militer, Oditur Militer Tinggi dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang dalam melaksanakan penuntutan ber- tindak untuk dan atas nama masyarakat, Pemerintah dan negara serta bertanggung jawab menurut hierarki. Oleh karena itu, jabatan Oditur Militer, Oditur Militer Tinggi dan Oditur Jenderal terkait dengan fungsinya yang secara khusus dijalankan oleh Oditur dan Oditur Jenderal dalam bidang penuntutan, sehingga memungkinkan organisasi Oditurat menjalankan tugasnya.44

Menjalankan jabatan fungsional di bidang penuntutan bertindak sebagai wakil dari kesatuan, masyarakat, pemerintah, dan negara. Oleh

43UU Peradilan Militer No.27 Tahun 1997, Pasal 51

44UU Peradilan Militer No.27 Tahun 1997, Pasal 57

(36)

karena itu, pelaksanaan penuntutan harus memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Living Law) pada umumnya di lingkungan Militer (Angkatan Bersenjata).

Penuntutan harus pula diselaraskan dengan kebijakan- sanaan Pemerintah, negara dan kepentingan pertahanan keamanan negara dalam penanganan perkara pidana. Oditur dalam melaksanakan tugas fungsional bertanggung jawab secara hierarkis kepada Oditurat yang secara orginasatoris membawahkan Oditur tersebut. Misalnya Kepala Uni Teknis Oditurat bertanggung jawab kepada Kepala Oditurat Militer. Selanjutnya, Kepala Oditurat Militer bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku Penuntut Umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima. Sementara dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima.45

Oditur dalam melakukan penuntutan haruslah berdasarkan pada alat bukti yang sah, dengan mengindahkan norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan. Untuk itu ia wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat (Living Law) serta memperhatikan kepentingan pertahanan kemanan negara (Pasal 57). Untuk menjaga independensi dan integritasnya, Oditur dan Oditur Jenderal (Pasal 58) dilarang merangkap sebagai Penasihat Hukum, Pengusaha, atau pekerjaan lain yang diatur lebih lanjut dengan keputusan Panglima.46

1. Kekuasaan Oditurat a. Oditurat Militer

Oditurat Militer (Pasal 64 ayat (1)) mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :47

1) Melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya:

a) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah (Kapten, Letnan Satu, Letnan Dua, Pembantu Letnan Satu, Pembantu Letnan Dua,

45 Undang–undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

46 Darwan Prinst, Loc.Cit, Hal 29

47 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 12

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks perempuan, proses pengambilan keputusan ditingkat individu sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang telah menempatkan peran-peran tertentu (kodrat)

Perbuatan materilnya masing-masing berupa memaksa. Perbuatan memaksa ditujukan kepada orang tertentu. Tujuan yang sekaligus merupakan akibat perbuatan memaksa agar

Sedangkan panjang total udang windu yang tertangkap pada trammel net monofilamen dengan mesh size 1,50 inci sebagian besar berada pada kisaran 136-140 mm, sedangkan

ABSTRAK Sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia menunjukkan adanya perkembangan pada keadilan masyarakat secara musyawarah mufakat restorative justice yang merefleksikan

Hasil Pengujian Kuat Tarik Bambu dan Baja (Morisco, 1999); dalam (Lanang, 2017) Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Morisco (1994-1999) pada gambar diatas terkait

(3) kepentingan-kepentingan substansi, contohnya perlindungan harta benda. Norma dibentuk untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia sehingga dapat terwujud ketertiban

Pola pengertian agama yang dikemukakakan Schuon sering ditarik dalam diskursus pluralitas, spiritual dan teologi, namun belum banyak yang melakukan pengkajian secara

pendidikan menjadi wilayah pertempuran. Beragam kelompok politik dan sosial menganggap pendidikan sebagai instrumen penyalur ideologi mereka. Karena itu, mereka berjuang