LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAPLESSORDALAM OBJEK LEASINGAPABILALESSEE WANPRESTASI
A.A Sagung Wiratni Darmadi, SH.,MH NIP. 195407201983032001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10
1.5 Tujuan Penelitian ... 12
1.5.1 Tujuan umum ... 12
1.5.2 Tujuan khusus ... 12
1.6 Manfaat Penelitian ... 12
1.6.1 Manfaat teoritis ... 13
1.6.2 Manfaat praktis... 13
1.7 Landasan Teoritis ... 13
1.8 Metode Penelitian... 22
1.8.1 Jenis penelitian ... 22
1.8.2 Jenis pendekatan... 23
1.8.3 Sumber bahan hukum ... 24
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 25
1.8.5 Teknik analisis ... 26
iv
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, LEASING DAN WANPRESTASI
2.1 Perlindungan Hukum ... 27
2.1.1 Pengertian perlindungan hukum ... 27
2.1.2 Prinsip-prinsip perlindungan hukum ... 30
2.1.3 Bentuk-bentuk perlindungan hukum ... 31
2.2 Leasing ... 34
2.2.1 Sejarah, pengertian dan pengaturan leasing ... 34
2.2.2 Bentukdan jenis-jenis leasing ... 45
2.2.3 Pihak-pihak dan hubungan hukum dalam leasing ... 50
2.2.4 Syarat dan mekanisme leasing ... 56
2.2.5 Perbedaan leasing dengan perjanjian lainnya ... 61
2.3 Wanprestasi ... 68
2.3.1 Pengertian wanprestasi ... 68
2.3.2 Bentuk wanprestasi ... 69
2.3.3 Akibat hukum wanprestasi ... 69
BAB III HAK LESSOR DALAM OBJEK LEASING YANG DIGUNAKAN OLEH LESSEE APABILA LESSEE WANPRESTASI 3.1 Wanprestasi Dalam Leasing ... 71
v
3.2 Kedudukan Hukum Objek Leasing Yang Digunakan Oleh Lessee Apabila Lessee Wanprestasi ... 74
3.3 Jaminan Dalam Leasing Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Lessor Apabila Lessee Wanprestasi ... 78
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT WANPRESTASI OLEH LESSEE DALAM LEASING
4.1 Akibat Wanprestasi Oleh Lessee Dalam Leasing ... 85
4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Kerugian Yang Dialami Lessor Akibat Wanprestasi Oleh Lessee ... 88
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 92
5.2 Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA
vi ABSTRAK
Leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi.Lessor sebagai pemilik barang yang di-lease adalah pihak yang paling berkepentingan jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee, karena tidak selamanya pengambilan objek leasing dan pelaksanaan hak-haknya akibat wanprestasi oleh pihak lessee dapat dilaksanakan dengan lancar dan secara damai, selain itu lessor belum tentu dapat yakin bahwa objek leasing yang bersangkutan bebas dari berbagai ikatan. Sehingga, perlindungan hukum bagi lessorperlu mendapat perhatian lebih.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, serta ditunjang dengan bahan hukum sekunder dan tersier terkait permasalahan yang di bahas dan di kumpulkan dengan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi adalah dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu : perlindungan dilakukan melalui klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian leasing itu sendiri, melalui jaminan tertentu sebagai jaminan hukum bagi lessor untuk pelunasan hutangnya dan perlindungan yang diberikan kepada lessor melalui ketentuan-ketentuan umum mengenai hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUH Perdata.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Lessor, Leasing, Wanprestasi .
vii ABSTRACT
Leasing is an equipment funding, which is a financing activity in the form of equipment or capital goods to the company for use in the production process.
Lessor as the owner of the goods in leasing is the party most at risk in the event of default by the lessee, because confiscate the leasing object and implementation of their rights as a result of default by the lessee can rarely be implemented smoothly and peacefully, in addition, it is not certain whether the the leasing object free of any legal bond. So that legal protection for lessors should receive more attention.
The type of this research called normative legal research with the primary legal material such as statue, supported also by secondary legal material and tertiary legal materials by the library research all the related problem will be collected and to be discussed. The statue approached and the analitycal of conceptual approached must be approaches in this research.
The conclusion which might drawn of this research is a form of legal protection for the lessor in the object of the leasing in the event of default by the lessee are conducted in several stages, which is : protection can be done through clauses contained in leasing agreement itself, through certain guarantees as legal guarantees for the lessor to repayment debt and the protection provided to the lessor by the general provisions of the law of obligation set forth in book III of the Civil law.
Keywords: Legal Protection, Lessor, Leasing, Default.
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari perkembangan lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan Pembangunan Nasional, peran serta pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan harus semakin ditingkatkan pula. Keadaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan menuntut lebih aktifnya kegiatan di bidang pembiayaan. Berbagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat telah dilakukan melalui beberapa penetapan kebijaksanaan pemerintah. Pada hakikatnya perluasan usaha membutuhkan pembiayaan dana dan peralatan modal.1
Sewa guna usaha atau lebih dikenal dengan istilah leasing merupakan suatu bentuk usaha yang dapat dijadikan alternatif guna mengatasi hal tersebut. Kehadiran leasing bagi perusahaan mempunyai peranan penting dalam membantu para pengusaha khususnya di Indonesia, baik bagi usaha kecil, menengah ataupun usaha besar. Melalui kegiatan ini para pengusaha akan dengan cepat dapat mengatasi masalah pembiayaan untuk memperoleh alat-alat perlengkapan maupun barang-barang modal yang mereka perlukan.
Leasing/
1Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, 1994, Aspek Yuridis Dalam Leasing, Cet. I, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 1.
sewa guna usaha tidak memberikan persyaratan yang memberatkan dan dengan sistem pendanaannya yang fleksibel menyebabkan bisnis ini bisa berkembang dengan cepat di Indonesia.2
Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa. Leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa.
Namun kemudian dalam dunia bisnis berkembang sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang-kadang disebut lease saja.3
Leasing memiliki beberapa persyaratan dan kriteria tersendiri yang membedakannyadengansewa-menyewa, dalam pengertian leasing mengandung ciri-ciri objeknya berupa barang modal, pembayarannya secara berkala dalam jangka waktu tertentu, adanya hak opsi serta perhitungan nilai sisa atas objeknya.
Secara umum leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi.
Beberapa definisi mengenaileasing, diantaranya :
Menurut Pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan No. 122, No. 32, No. 30 Tahun 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing, ditentukan bahwa yang
2Sunaryo, 2013, Hukum Lembaga Pembiayaan, Edisi I, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 46.
3Munir Fuady, 2002, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Dan Praktek), Cet. III, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), Hal. 7.
dimaksud dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Dalam Pasal 1 angka (9) Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan ditentukan, bahwa perusahaan sewa guna usaha (leasing company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.4
Menurut Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan dalam bukunya yang berjudul Aspek Yuridis Dalam Leasing, Leasing itu adalah :
“Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa.”5
Menurut Ahmad Muliadi dalam bukunya yang berjudul Hukum Lembaga Pembiayaan, Leasing memiliki beberapa ciri-ciri umum diantaranya:
4Sunaryo, op.cit., Hal. 47.
5Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 8.
1. Pihak-pihak dalam leasing terdiri dari: (a) lessor yang harus berbentuk perseroan atau koperasi dan telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan; (2) lessee; dan (3) supplier.
Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Perusahaan Pembiayaan (Lessor).6
2. Leasing adalah suatu cara pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi lessee, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut.
3. Perjanjian leasing itu harus tertulis dengan tujuan pengawasan dan pembuktian, yang disertai dengan pembuatan dokumentasi yang diperlukan dalam leasing.7
4. Adanya hubungan antara jangka waktu lease dan masa kegunaan benda yang di-Lease-kan .
5. Hak milik benda yang di-lease-kan ada pada lessor . Hal ini menimbulkan dampak di bidang akuntansi dan di bidang hukum.
6. Objek leasing adalah benda-benda yang dipergunakan dalam suatu perusahaan.8
6Ahmad Muliadi, 2013, Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet. I, Akademia Permata, Jakarta, Hal. 17.
7Ibid, Hal. 18.
8Ibid, Hal. 19.
a. Objek leasing biasanya dibeli lessor atas permintaan lessee dari supplier menurut spesifikasi yang ditentukan lessee, barang langsung diserahkan kepada lesse oleh supplier, dan setelah lessor menerima pemberitahuan dari lesse bahwa ia telah menerima barang dengan baik, lessor akan membayar harga barang kepada supplier.
b. Objek leasing harus diperinci apa jenisnya, kuantitasnya, lokasinya, dan lain-lain, penting demi kepastian hukum semua pihak dalam perjanjian leasing.
Untuk lebih mengamankan kepentingan lessor atas objek-objek yang di-lease-kan, perlu dibuat daftar barang-barang yang telah menjadi objek perjanjian leasing.
7. Opsi bagi lessee untuk membeli objek leasing.
Setelah jangka waktu leasing berakhir dan memenuhi semua kewajibannya berdasarkan perjanjian leasing, maka lessee mempunyai hak opsi untuk membeli barang. Bila tidak menggunakan hak opsi untuk membeli atau memperpanjang leasing, maka lessee wajib mengembalikan barang atas biaya lesse kepada lessor, dalam keadaan baik dan tempat yang ditentukan lessor.9
8. Adanya jaminan kebendaan yang diberikan berupa benda yang di-lease- kan, dan eksekusi jika cicilan macet serta pengaturan tentang putusnya
9Ibid, Hal. 20.
perjanjian leasing.10
Leasing merupakan salah satu bentuk lembaga pembiayaan yang kegiatannya berupa penyediaan barang modal bagi lessee guna mengembangkan dan meningkatkan usahanya. Di Indonesia lembaga ini baru ada pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya beberapa surat keputusan menteri yang mengatur tentang sewa guna usaha, yaitu :
a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan No. 122, No. 32, No. 30 Tahun 1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 649 Tahun 1974 tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
c. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 650 Tahun 1974 tanggal 6 Mei Tahun 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan Dan Besarnya Bea Materai Terhadap Usaha Leasing.
Ketiga surat keputusan menteri tersebut merupakan titik awal sejarah perkembangan pengaturan leasing sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.11MenurutMunir Fuady meskipun terdapat berbagai variasi dari para pihak yang terlibat dalam sistem pembiayaan berpolakan leasing,pada prinsipnya para pihak tersebut adalah :
(1) Lessor, yakni merupakan pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini lessor
10Ibid, Hal. 21.
11Sunaryo, op.cit., Hal. 48.
bisa merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat “multi finance,”
tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang leasing.
(2) Lessee. Ini merupakan pihak yang memerlukan barang modal, barang modal mana dibiayai oleh lessor dan diperuntukkan kepada lessee.
(3) Supplier. Merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing, barang modal mana dibayar oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan lessee. Dapat juga supplier ini merupakan penjual biasa. Namun tidak jarang juga terjadi jenis leasing yang tidak melibatkan supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak lessor dengan pihak lessee. Misalnya dalam bentuk Sale and Lease Back..12
Dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor:
1169/KMK01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna (Leasing) ditentukan dua jenis leasing, yaitu :
a. Finance lease (sewa guna usaha dengan hak opsi);
b. Operating lease (sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi).
Yang diartikan dengan finance lease adalah kegiatan guna usaha, di mana penyewa guna usaha/lessee pada akhir masa kontrak mempunyai hak untuk membeli objek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama (Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentangKetentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan). Ada 3 (tiga) unsur yang tercantum dalam definisi di atas, yaitu :
12Munir Fuady, 2014, Hukum Tentang Pembiayaan, Cet. V, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), Hal. 7.
a. Adanya pihak lessor dan lessee;
b. Adanya hak opsi;
c. Didasarkan atas nilai sisa (residu).
Hak opsi adalah hak yang diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada akhir masa kontrak, yang didasarkan pada nilai residu.13
Dalam kontrak leasing bisa saja karena alasan-alasan tertentu, salah satu pihak memutuskan kontrak leasing yang bersangkutan. Alasan pemutusan kontrak adalah karena pihak lain telah melakukan wanprestasi terhadap satu atau lebih klausula dalam kontrak leasing.14
Yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak dalam suatu perjanjian baik sebagian maupun seluruhnya.15 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.16
Dalam pelaksanaan perjanjian leasing, wanprestasi umumnya dilakukan oleh pihak lessee, baik itu yang bersifat sementara dalam arti menunggak dan
13Salim, 2010, Perkembangaan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim I), Hal. 143.
14Munir Fuady I, op.cit., Hal. 47.
15Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Edisi I, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 304.
16Ahmadi Miru, 2008, Hukum Kontrak & Perancangan kontrak, Edisi I, Cet. II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 74.
kemudian membayar, dan juga yang bersifat tetap dalam arti persoalan itu terpaksa diselesaikan melalui proses hukum.17
Lessor sebagai pemilik barang yang di-lease adalah pihak yang paling berkepentingan jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lessee, karena tidak selamanya pengambilan objek leasing dan pelaksanaan hak- haknya akibat wanprestasi oleh pihak lessee dapat dilaksanakan dengan lancar dan secara damai, selain itu lessor belum tentu dapat yakin bahwa barang (objek leasing) yang bersangkutan bebas dari berbagai ikatan seperti liens (gadai), charges (hak tanggungan), atau kepentingan-kepentingan lainnya.18
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengangkat judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSOR DALAM OBJEK LEASING APABILA LESSEE WANPRESTASI”.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana hak lessordalamobjek leasingyang digunakan oleh lessee apabila lessee wanprestasi?
1.2.2 Bagaimana perlindungan hukum akibat wanprestasi oleh lessee dalam leasing?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
17Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 46.
18Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 26.
Dalam penulisan karya ilmiah diperlukan batasan yang tegas untuk menghindari pembahasan yang tidak terarah dan pembahasan yang terlalu luas sehingga pokok bahasan yang diinginkan benar-benar terarah nantinya serta terdapat sinkronisasi antara pembahasan dengan permasalahan. Maka ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam karya tulis ilmiah ini adalah :
1.3.1 Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak lessor dalam objek leasing yang digunakan oleh lessee apabila lessee wanprestasi.
1.3.2 Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum akibat wanprestasi oleh lessee dalam leasing.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tidak jauh dari pokok permasalahan yang dihadapi.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.5.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi. Disamping sebagai sumbangan pemikiran secara ilmiah tentang peranan dari bidang hukum khususnya hukum pembiayaan serta bertujuan memenuhi salah satu syarat mencapai gelar sarjana Strata 1 (S-1) dalam Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hak lessor dalam objek leasing yang digunakan oleh lessee apabila lessee wanprestasi.
2. Untuk mengetahui upayaperlindungan hukum akibat wanprestasi oleh lessee dalam leasing.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat ke berbagai pihak. Baik manfaatyang bersifat teoritis maupun manfaatyang bersifat praktis.
1.6.1 Manfaat Teoritis
1. Sebagai sumbangan dalam rangka pengembangan disiplin ilmu hukum, khususnya disiplin ilmu hukum pembiayaan mengenai sewa guna usaha (leasing).
2. Diharapkan dapat memberikan ide-ide dasar dalam bentuk pemikiran baru terkait perlindungan hukum terhadap lessor dalam objek leasing apabila lessee wanprestasi.
3. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
1.6.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan- masukan maupun dijadikan acuan bagi masyarakat luas, para pihak yang berkepentingan dalam kaitannya dengan penulisan atau dalam bidang ini.
2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka penyelesaianpermasalahan yang terjadi antara perusahaan sewa guna usaha (lessor) dengan debitornya (lessee) akibat wanprestasi oleh pihak lessee.
3. Untuk sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berwenang dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum pembiayaan, khususnya sewa guna usaha (leasing).
1.7 Landasan Teoritis
Menurut Philipus M. Hadjon negara Indonesia sebagai negara hukum berda-
sarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyaraktnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila maka asas yang penting adalah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan.19 Asas
19Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, Hal. 84.
kerukunan berdasarkan kekeluargaan menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah Negara. Prinsip- prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :20
1) Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan per- lindungan terhadap hak asasi manusia.
Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan yang diarahkan pada usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama.
2) Prinsip Negara Hukum
Prinsip kedua yang melandasai perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan
20Ibid, Hal. 19.
antara pemerintahan dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keseraian dan keseimbangan dalam kehidupan.
Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
(1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
(3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
(4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan mutlak.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antarpihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa peijanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.21
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
21Salim I, op.cit., Hal. 9-13.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut.
Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Jadi, syarat sahnya perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan alternatif.22
Kesepakatan sesungguhnya merupakan inti dari perjanjian. Tentang kesepakatan banyak dibahas secara teoritis oleh para sarjana, oleh karena kesepakatan merupakan saat lahirnya perjanjian, sehingga jawaban atas pertanyaan kapan kesepakatan itu terjadi merupakan hal yang sangat penting.
Kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai teori untuk itu, yaitu:
(1) teori kehendak, (2) teori pernyataan, (3) teori kepercayaan, (4) teori pengiriman, (5) teori penerimaan.
• Teori kehendak menekankan kepada apa yang sesungguhnya dikehendaki.
• Teori pernyataan menekankan kepada apa yang dinyatakan.
• Teori kepercayaan menekankan kepada apa yang wajar dipercaya.
• Teori pengiriman menekankan kepada jawaban atas penawaran pihak lain.
22I Ketut Artadi dan Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, Hal. 51.
• Teori penerimaan menekankan kepada jawaban atas penerimaan pihak
lain. Kesepakatan yang menimbulkan akibat hukum hanyalah kesepakatan yang tidak bercacat, atau tidak terjadi kecacatan dalam kesepakatan itu yang dikenal dengan tidak terdapat cacat kehendak.23
Menurut Pasal 1233 KUHPerdata: Perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang.24
Dari kedua sumber ini, maka yang terpenting ialah perikatan yang bersumber dari perjanjian (hukum perjanjian) karena para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.25
Menurut doktrin, seharusnya pengertian perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.26
Perjanjian sewa guna usaha adalah perjanjian penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk dipergunakan lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala.27
23Ibid, Hal. 53-54.
24Djaja S. Meliala, 2015, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Edisi V, Cet. I, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, Hal. 57.
25Ibid, Hal. 58.
26Ibid, Hal. 59.
27Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Edisi I, Cet. I, Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 32.
Menurut Munir Fuady tidak ada keharusan untuk membuat kontrak leasing di depan notaris. dimana kontrak bawah tangan di antara lessee dengan lessorsaja secara yuridis sudah cukup, dan mempunyai kekuatan hukum.
Namun dalam praktek sering juga dibuat leasing dalam bentuk akta notaris. Di samping dalam bentuk akta notaris, dalam praktek diketemukan juga pembuatan kontrak leasing bawah tangan, tetapi dengan “dilegalisasi” oleh notaris, atau bahkan hanya “diregistrasi” saja oleh notaris. Kesemua model pembuatan kontrak leasing tersebut menurutnya sah-sah saja dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hanya saja ada sedikit variasi terhadap akibat yuridis darimasing-masing model yang dipilih itu, mengikuti perbedaan masing-masing akta tersebut.28
Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya kontrak menjadi terhenti.29 Dalam restatement of the law of contracts (Amerika Serikat) wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu Total breachtsyang artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, danpartial breachtsyang artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Menurut Salim H.S dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,seorang debitur baru dikalakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.
28Munir Fuady II, op.cit., Hal. 39.
29Munir Fuady II, op.cit., Hal. 45.
Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Menurutnya terdapat empat akibat dari adanya wanprestasi, yaitu :
a. Perikatan tetap ada.
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.30
1.8 Metode Penelitian
Dalam melakukan pembahasan suatu masalah diperlukan suatu metode penelitian yang digunakan baik untuk mengungkapkan kebenaran secara
30Salim, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. VII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim II), Hal. 98-99.
sistematis, metodologis, dan konsisten maupun untuk memperoleh bahan hukum. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.8.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Penggunaan metode normatif ini karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan terori-terori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.31 Penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.32
1.8.2 Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
31Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I, Cet. V, PT Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 13.
32Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 163.
jawabnya.33Penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni ; pendekatan kasus (case approach), pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach), pendekatan frasa (words & phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).34
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.35
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu beranjak dari pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dengan mempelajari pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan memikirkan ide-ide yang melahirkan pengertian, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang sedang di hadapi.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
33Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Cet. XII, PT Kharisma Putra Utama, Jakarta,(selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I) Hal. 133.
34Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Hal. 80.
35Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,(selanjutnya disingkat Peter Mahmud MarzukiII) Hal. 93.
Penelitian hukum berbeda dengan penelitian sosial. Untuk menyelesaikan isu mengenai masalah hukum dan sekaligus memberikan prepenelitian mengenai apa yang seyogianya, peneliti memerlukan sumber-sumber penelitian yang disebut bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas: (a) peraturan perundang-undangan. (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan (c) putusan hakim. 36
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.37 Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk penelitian, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.38
3. Bahan Hukum Tersier
36H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.
47.
37Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, op.cit, Hal. 32.
38Peter Mahmud Marzuki, 2016, op.cit, Hal. 195.
Sumber bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannnya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.39
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Apabila di dalam penelitian menyebutkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. 40 Dalam teknik pengumpulan bahan maka langkah pertama mengadakan studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum dengan menafsirkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan.
1.8.5 Teknik Analisis
Bahan hukum yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara bahan hukum yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara
39Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, Edisi I , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 14.
40Peter Mahmud Marzuki, 2016, op.cit, Hal. 237.
deskriptif analisis yaitu suatu cara analisis data yang dilakukan dengan menyusun secara sistematis dan menyeluruh menyangkut fakta yang berhubungan dengan penelitian serta dianalisis secara cermat sehingga diperoleh hasil dari data tersebut kemudian didapatkan kesimpulan hasil penelitian.
27 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, LEASING DAN WANPRESTASI
2.1 Perlindungan Hukum
2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum
Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarkat, sehingga dalam hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah.
Hukum sebagai sekumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.80
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Menurut Subekti
dalam buku
80Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hal. 39.
Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepadatujuan Negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.81
Indonesia merupakan negara hukum, ini berarti bahwa negara Indonesia segala sesuatunya berdasarkan atas hukum bukan hanya semata-mata atas kekuasaan belaka. Hal ini juga berkaitan dengan jaminan oleh negara untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap warga negaranya. Secara umum perlindungan hukum di Indonesia dilakukan berdasarkan alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Amandemen ke IV yang menyatakan bahwa "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia . . . maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia . . . ."
Rumusan tersebut mendasari prinsip pengakuan dan perlindungan hukum di Indonesia.
Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan terhadap hak- hak asasi warga negaranya. Upaya dalam melakukan perlindungan tersebut tentunya untuk menciptakan rasa keamanan dan kenyamanan di dalam masyarakat. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
81Ibid, Hal. 57.
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.82
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban.
Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman.
Pengertian perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketentraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat.
Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.
82Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.53.
Menurut Philipus M. Hadjon negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukam akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila maka asas yang penting adalah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan.83 Asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat sedapat mungkin ditangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.
2.1.2 Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah Negara,. Prinsip-prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :
83Philipus M. Hadjon, loc.cit.
1) Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan dan diarahkan pada usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama.
2) Prinsip Negara Hukum
Prinsip kedua yang melandasai perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan adalah prinsip negara hukum.
Pancasila sebagai dasar falsafah Negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintahan dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan.84
2.1.3 Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-
84Philipus M. Hadjon, op.cit. Hal.19
undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.85
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu :
1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif
85Muchsin, 2003, “Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Hal.20
sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasanpembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.86
86Philipus M. Hadjon, op.cit. Hal.30
2.2 Leasing
2.2.1 Sejarah, Pengertian dan Pengaturan Leasing
Leasing adalah suatu bangunan hukum yang tidak lain merupakan improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut "sewa- menyewa”, karena leasing ini dikembangkan dari sewa-menyewa dalam arti modern, pertama kali berkembang di Amerika Serikat, pada tahun 1850, yaitu telah tercatat adanya perusahaan leasing di bidang kereta api.
Selanjutnya, pada tahun 1877, The Bell Telephone Company memperkenalkan leasing di bidang pelayanan telepon kepada para pelanggannya. Dan agak lama setelah itu, yaitu dalam tahun 1952, perusahaan leasing di San Fransisco (USA) telah juga memperkenalkan leasing terhadap produk-produk tertentu.87 Selanjutnya pranata hukum leasing ini berkembang ke seluruh antero dunia seiring dengan arus globalisasi.
Di Amerika Serikat, perkembangan pranata hukum leasing ini cukup pesat. Selama dasawarsa 1980-an, volume leasing bertambah rata- rata 15% tiap tahunnya. Dan menjelang dasawarsa 1980-an tersebut, lebih kurang sepertiga dari pengadaan peralatan bisnis baru di sana dilakukan dalam bentuk leasing.
Demikianlah di USA, maka bank-bank dan perusahaan leasing hidup subur sebagai lessor. Di samping itu, bahkan perusahaan pemegang trademark terkenal juga ikut menjadi lessor. Tercatat
87Ahmad Muliadi, op.cit., Hal. 8-9.
misalnya, sejak dasawarsa 1980-an, perusahaan GATX merupakan lessor terbesar untuk leasing railcars. Sementara IBM merupakan lessor terbesar untuk leasing komputer. Dan, Xerox merupakan lessor terbesar pula untuk leasing mesin fotocopy.
Eksistensi pranata hukum leasing di Indonesia baru terjadi di awal dasawarsa 1970-an, dan baru diatur untuk pertama sekali dalam perundang-undangan Rl di tahun 1974. Beberapa peraturan di tahun 1974 tersebut merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang leasing di negeri ini. Peraturan-peraturan tersebut adalah :
(1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP-122/MKJ IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/l/1974, tertangal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.88
(2) Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. KER 649/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
(3) Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep.
650/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Penegasan ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Bea Meterai Terhadap Usaha Leasing.
88Munir Fuady II, op.cit., Hal. 13.
(4) Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor: Peng-307/DJM/
III.1/7/1974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing.
Setelah berbagai aturan yang dikeluarkan di tahun 1974, ada beberapa peraturan lagi yang terbit di tahun-tahun kemudiannya. Dan, perkembangan sejarah bisnis leasing di Indonesia sangat terkait secara erat dengan aturan pemerintah yang tertuang dalam peraturan-peraturan tersebut.
Perkembangan leasing dalam sejarah di Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase sebagai berikut:
(1) Fase Pengenalan
Fase pertama yang merupakan fase pengenalan dari bisnis leasing di Indonesia terjadi antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1983.
Fase pertama ini dimulai dengan keluarnya beberapa peraturan tahun 1974 yang khusus mengatur tentang pranata hukum leasing tersebut.
Dalam fase ini, leasing belum begitu dikenal masyarakat, dan perkembangannyapun tidak begitu pesat. Konsekuensinya, jumlah perusahaan leasing waktu itu belum seberapa dan jumlah transaksinyapun masih relatif kecil.
Sampai dengan tahun 1980, jumlah perusahan leasing hanya berjumlah 5 (lima) buah dengan besarnya kontrak 22,6 miliar rupiah.
Dan sampai dengan tahun 1984, jumlah perusahaan leasing
bertambah sehingga seluruhnya menjadi 48 buah dengan total kontrak 436,1 miliar rupiah.89
(2) Fase Pengembangan
Fase kedua yang merupakan fase pengembangan ini terjadi kira- kira antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990. Dalam fase kedua ini, bisnis leasing cukup pesat perkembangannya berba-rengan pesatnya pertumbuhan bisnis di Indonesia.
Ini terlihat misalnya pada indikator peran dan kontribusi leasing terhadap investasi nasional secara keseluruhan. Dalam hal ini, dari 2,60% di tahun 1986 misalnya, menjadi 6,32% di tahun 1989.
Demikian juga perkembangan perusahaan dan jumlah besarnya kontrak leasing, di mana jumlah perusahaan sebanyak 89 buah di tahun 1986, dengan nilai kontrak 645 miliar rupiah, bertambah menjadi seluruhnya 122 buah perusahaan di tahun 1990, dengan nilai kontraknya tidak kurang dari 4,061 triliun rupiah.
Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode perhitungan penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini akibat dari berlakunya Undang-Undang Pajak 1984. Sementara sistem pelaporan pajak dalam periode kedua ini masih memakai operating method seperti pada fase sebelumnya, tetapi dengan beberapa distorsi.
89Munir Fuady II, op.cit., Hal. 14.
(3) Fase Konsolidasi
Fase ketiga, yang merupakan fase konsolidasi dari perkembangan leasing di Indonesia ini, terjadi sejak tahun 1991 sampai sekarang.
Pada periode ini izin-izin pendirian perusahaan leasing yang sebelumnya agak diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan multi finance juga banyak didirikan pada periode ini. Dan, salah satu perubahan yang terjadi dalam fase konsolidasi ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan operating method berubah menjadi financial method. Perubahan sistem perhitungan perpajakan ini mulai berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam SK Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991.90
Secara umum leasing merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan.91
Beberapa pendapat mengenai definisi leasing :
Pada Pasal 1 Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. KEP.
122/MK//IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/1/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah :
"Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu
90Munir Fuady II, op.cit., Hal. 15.
91Sunaryo, op.cit., Hal. 47.
perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama."
Equipment Leasing Association di London memberikan definisi sebagai berikut :
"Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee.
Hak pemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu."
Menurut Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan dalam bukunya yang berjudul Aspek Yuridis Dalam Leasing, Leasing itu adalah Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa.92
Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Tentang Pembiayaan Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease,
92Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 8.
yang berarti sewa menyewa. Karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi Leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang- kadang disebut sebagai lease saja, dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia leasing sering diistilahkan dengan "sewa guna usaha.”93
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka pada prinsipnya dalam pengertian leasing itu terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
a. Pembiayaaan perusahaan. Pembiayaan di sini tidak dilakukan dalam bentuk sejumlah dana, tetapi dalam bentuk peralatan atau barang modal yang akan digunakan dalam proses produksi.
b. Penyediaan barang-barang modal. Peralatan atau barang modal ini biasanya disediakan oleh pabrikan atau supplier atas biaya dari lessor untuk dipergunakan oleh lessee.
c. Jangka waktu tertentu. yaitu lamanya waktu leasing yang dimulai sejak diterimanya barang modal oleh lessee sampai dengan perjanjian berakhir.
d. Pembayaran kembali secara berkala. Lessee membayar harga barang- modal kepada lessor secara angsuran, sebagai imbalan penggunaanbarang modal berdasarkan perjanjian Leasing.
93Munir Fuady II, op.cit., Hal. 7.
e. Hak opsi untuk membeli barang modal. lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah dia ingin membeli barang modal tersebut, memperpanjang leasing ataukah mengembalikan barang modal tersebut kepada lessor.
f. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama (residu). Yaitu nilai barang modal pada akhir masa sewa guna usaha yang telah disepakati oleh lessor dengan lessee pada awal masa sewa guna usaha/leasing.94
Peraturan tentang leasing yang berlaku masih sangat sederhana, dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan pada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada.
Surat Keputusan Tiga Menteri tahun 1974 mengenai leasing adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat memaksa.
Menurut Munir Fuady yang merupakan alas hukum pokok leasing di indonesia adalah asas kebebasan berkontrak, seperti yang terdapat dalam 1338 KUH Perdata. Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur oleh perundang-undangan, maka leasing berlaku dan ketentuan
94Sunaryo, op.cit., Hal. 48.
tentang perikatan seperti yang terdapat dalam buku ketiga KUH Perdata, berlaku juga untuk leasing.95
Adapun sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi perjanjian lease atau kegiatan leasing di Indonesia Menurut Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan dibagi menjadi 2, yaitu sumber hukum yang umum dan yang khusus, antara lain :
a. Umum (general) :
1) Asas Konkordansi Hukum berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 atas Hukum Perdata yang berlaku bagi penduduk Eropa.
2) Pasal 1338 KUH Perdata mengenai Asas Kebebasan Berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana96 tercantum dalam Bab I Buku III KUH Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kepentingan/kebijaksanaan umum (public policy) dan kesusilaan.
3) Pasal 1548 sampai 1580 KUH Perdata (Buku III Bab VII). yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang sewa-menyewa sepanjang tidak diadakan penyimpangan oleh para piliak. Pasal-pasal ini membahas hak dan kewajiban lessor dan lessee.
b. Khusus (specific) :
95Munir Fuady II, op.cit., Hal. 6.
96Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 11.
1) Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
KEP.-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No. 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
2) Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
KEP. 649/MK/IV/5/1974 tertanggal 6 Mei 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing.
3) Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
KEP. 650/MK/IV/5/1974 tertanggal 6 Mei 1974. tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Besarnya Bea Meterai Terhadap Usaha Leasing.
4) Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter No. PENG.-307/
DJM/III.1/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang : i. Tata cara perizinan
ii. Pembatasan usaha iii. Pembukuan
iv. Tingkat suku bunga v. Perpajakan
vi. Pengawasan dan pembinaan
5) Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 34/KP/II/80 tertanggal 1 Pebruari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk97 kegiatan usaha
97Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, op.cit., Hal. 12.
sewa-beli (Hire Purchase), jual-beli dengan Angsuran/Cicilan (Sale and Purchase by Installment), dan sewa-menyewa (Renting).
6) Surat Edaran Dirjen Moneter Dalam Negeri No. SE. 4815/ MD/1983 tertanggal 31 Agustus 1983 tentang ketentuan Perpanjangan Izin Usaha Perusahaan Leasing dan Perpanjangan Penggunaan Tenaga Warga Negara Asing pada Perusahaan Leasing.
7) Surat Edaran Dirjen Moneter Dalam Negcri No. SE. 4835/ MD/1983 tanggal 1 September 1983 tentang Tata Cara dan Prosedur Pendirian Kantor Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing.
8) Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia No. S.
742/MK. 011/1984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh Pasal 23 atas Usaha Financial Leasing.
9) Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak No. SE. 28/PJ. 22/ 1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh Pasal 23 atas Usaha Financial Leasing.
Selain sumber hukum tersebut di atas, menurut Munir Fuady terdapat pula beberapa alas hukum lainnya, di antaranya yang terpenting adalah :
(1) Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep- 38/MK/IV/1/1972, tentang Lembaga Keuangan, yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/KMK/011/1982.