NOTA PEMBIMBING
Prof. Dr. H. Soetarno, DEA Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA
Dosen Program Magister Pemikiran Islam
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Nota Dinas
Hal : Tesis Saudara Wawan Kardiyanto Kepada Yth. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti, mengoreksi dan mengadakan perbaikan-perbaikan seperlunya terhadap tesis saudara,
Nama : Wawan Kardiyanto
NIM : O 000 060 115
Program : Magister Pemikiran Islam Konsentrasi : Pemikiran Islam
Judul : Konsep Kesenian Profetik dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam
Dengan ini kami menilai bahwa tesis tersebut dapat disetujui untuk diajukan dalam sidang ujian Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, September 2010
Pembimbing I Pembimbing II
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Wawan Kardiyanto
NIM : O 000 060 0115
NIRM :
-Program Studi : Magister Pemikiran Islam Konsentrasi : Pemikiran Islam
Judul : Konsep Kesenian Profetik dan nya dalam Pendidikan Islam
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya serahkan ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, kecuali kutipan-kutipan dan ringkasan-ringkasan yang semuanya telah saya jelaskan sumbernya. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa tesis ini hasil jiplakan, maka gelar dan ijazah yang diberikan oleh universitas batal saya terima.
Surakarta, September 2010 Penulis,
MOTTO
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
PERSEMBAHAN
ABSTRAK
Penelitian yang bertema konsep kesenian profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam ini didasarkan atas latar belakang maraknya kreasi seni yang dipengaruhi oleh konsep dan atau teori seni untuk seni (L’art pour L’art) yang condong menampilkan kreasi seni bebas nilai yang cenderung menegasikan nilai-nilai etika, estetika dan kebenaran. Penelitian ini mencoba menggagas konsep seni profetik yang akan lebih memberi manfaat dan tujuan jelas ke mana seni harus dibawa, yaitu tetap bersinergi dengan kepentingan etika, estetika dan kebenaran.
Kalangan agamawan maupun sosial mencoba mencari pendasaran ontologis, epistemologis maupun axiologis. Pendasaran ini berangkat dari misi profetis agama-agama yang juga mempunyai kepedulian terhadap tegaknya etika, estetika dan kebenaran. Misi profetis agama merupakan gerakan profetis melalui teologi yang menjadi ideologi revolusioner yang selalu mengusung perubahan peradaban. Disinilah gerakan etika profetik dalam agama-agama membumi menjadi implementasi sosial termasuk di dalamnya seni. Penelitian ini juga untuk mengetahui dan memahami praksis seni profetik dalam pendidikan Islam. Islam sebagai rahmatan lil alamintentu tidak menutup mata dalam ikut serta ber-fastabiqul khairatmengembangkan kemajuan peradaban lewat kesenian dan pendidikan.
Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan metode analisa Heuristik; yaitu mencari pemahaman baru dengan melakukan pendeskripsian, refleksi kritik dan penyimpulan terhadap kesenian dan gagasan seni profetik.
Kesimpulan penelitian ini adalah kesenian profetik sebagai sebuah konsep yang positif terhadap perkembangan paradigma berkesenian terbukti diperlukan untuk dikembangkan sebagai konsep tujuan dan nilai berkesenian. Penelitian ini juga membuat resep teoritis implementasi seni profetik dalam pendidikan Islam. Seni profetik dalam pendidikan Islam adalah sesuatu yang mesti dipentingkan sebagai tawaran kreativitas metode syiar. Seni yang Islami dan profetis akan membuat kehidupan umat menjadi lebih indah dalam syariat Islam yang telah ditentukan.
ABSTRAC
The research based on the background of art creation glowing that was influenced by the art concept for art itself (L’art pour L’art) the art concept for art show free value, aesthetic sense and truth more. The research tried to think about the prophetic art concept that would give advantage and clear purpose where the art has been brought, is must proportionally with action value, aesthetic sense and truth.
The religion and social figure tried to look for the answer in debating of the art value. This was based on the regions prophetic missions that have attention to maintain action value, aesthetic sense and truth. The regions prophetic mission is prophetic action via theology that becomes ideology of revolusioner that always raise the movement of civilization. This is the prophetic ethic movement, unite to the social implementation, including art.
The research knew and also understands the prophetic art practice in Islam education. Islam as rahmatan lil alamin that brings love, affection for universe of course care and join in maintaining truth, goodness, development of culture via art and education.
The research used literature method with Heuristic analysis method approach, is new understanding by doing description, reflection critic and make conclusion in agreement and opinion of prophetic art.
important as the creativity of propagation method. Islam and prophetic art would make our environment more beautiful as in Moslem law.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan hidayah penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis berjudul: Konsep Kesenian Profetik dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam ini. Shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari kebodohan menuju kepada nur dan pengetahuan serta membawa umat manusia menuju kesempurnaan akhlak.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak dapat penulis lakukan sendiri tanpa melibatkan pihak lain yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil untuk terselesaikannya tugas ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Ketua Program beserta sekretaris dan staf Magister Pemikiran Islam UMS yang memberikan pelayanan yang dibutuhkan dalam rangka proses akademik maupun administrasi. Kepala dan Staf Perpustakaan Pusat maupun Perpustakaan Pascasarjana UMS yang telah banyak memberikan kemudahan dan membantu dalam pencarian literatur yang berhubungan dengan penelitian penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor ISI Surakarta, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, Kepala Jurusan Pedalangan beserta stafnya yang telah memberikan ijin belajar dan membantu kelancaran studi lanjut saya di UMS Surakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Soetarno, DEA dan Dr. H. M. Muinudinillah Basri, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan baik yang terkait dengan metodologi maupun materi penelitian, membimbing mengarahkan penulis dalam proses penyusunan tesis ini beserta seluruh dosen Program Magister Pemikiran Islam yang telah dengan sabar memberikan khosanah ilmu dan kebijaksanaannya.
Istriku tercinta beserta anak-anakku tersayang yang telah mendampingi dan menjadi motivator utama dan pertama dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat baik dari pihak keluarga maupun teman sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan karya ilmiah ini. Semoga segala amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT, dengan balasan yang lebih baik dan berlipat ganda.
Akhirnya semoga tesis ini dapat menjadi sumbangan bagi perkembangan wacana keilmuan, dan semoga kita semua memiliki etika sosial yang mulia diridhai oleh Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Surakarta, September 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
A. Hubungan Filsafat, Seni (Estetika) dan Agama ... 37
B. Seni dalam Perspektif Islam: Skala Normatif-Yuridis ... 75
C. Refleksi Qur’an dan Hadits tentang Seni dan Estetika……. ... 90
D. Pendidikan Islam Profetik dalam Realitas Historis... 126
BAB III PANDANGAN PEMIKIR MENGENAI SENI BERTUJUAN SEBAGAI PIJAKAN SENI PROFETIK ... 134
A. Estetika dalam Pandangan Ismail Raji’ al-Faruqi... 134
C. Konsepsi Hegel (1770 - 1831) mengenai Keindahan ... 163
D. Perspektif Leo Tolstoy (1828-1910) mengenai Seni ... 165
E. Pandangan Sayyed Hosein Nasr mengenai Seni Islam ... 169
BAB IV KONSEP SENI PROFETIK DAN IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM ... 176
A. Pergulatan Nilai dan Fungsi Seni... 176
B. Persoalan Seni dan Kesenian Islam ... 183
C. Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan Maklumat Sastra Profetik Kuntowidjojo ………... 193
D. Teologi Profetik Suhermanto Ja’far ……… ... 204
E. Gagasan Seni Profetik, Peluang dan Tantangan ... 218
F. Pendidikan dan Kesenian Islam Berparadigma Profetik... 228
G. Implementasi Seni Profetik dalam Pendidikan Islam…….. ... 265
BAB V PENUTUP ... 268
A. Kesimpulan ... 268
B. Implikasi Penelitian ... 270
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdebatan masalah pornografi dan rencana akan disahkannya RUU Pornografi menjadi UU Pornografi di bulan Juni 2006 telah menjadi wacana yang cukup menarik akhir-akhir ini di negeri Indonesia yang berpenduduk, berbudaya dan beragama heterogen walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam. Salah satu isu yang mencuat seiring munculnya wacana RUU Pornografi, adalah dikhawatirkan UU tersebut akan memberangus naturalitas budaya bangsa yang heterogen dan kreativitas karya seni yang membentuk warna kebudayaan bangsa.
Persoalan pro-kontra RUU Pornografi ini perlu ditelisik kembali titik temu dan benang merahnya yang mesti kembali kita bedah dan renungi bersama, yaitu apakah tujuan sebenarnya RUU Pornografi dan juga apakah sebenarnya tujuan sebuah karya seni yang dapat membentuk sebuah kebudayaan yang baik dan adiluhung?
Ridwan Pinat, dalam artikelnya yang berjudul “Men of Ideas”sebuah resensi buku Brian Magee, 1982, Men of Ideas: Some Creators of
Contemporary Philosophy, Oxford : Oxford paperback, yang mana di
dalamnya membicarakan kupasan-kupasan filsafat yang dilakukan oleh para filosof dan tokoh penulis buku, salah satunya tentang filsafat kesenian yang berisi tujuan dan nilai karya seni, penulis gunakan sebagai sumber narasi
dalam memaparkan latar belakang masalah tulisan ini ([email protected], [email protected]).
Pinat memaparkan, Murdoch salah satu filosof yang terlibat dalam dialog menyatakan bahwa sebenarnya kesenian bisa dianggap satu tehnik disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi tertentu, termasuk emosi-emosi yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi fisik. Sebagian besar wajah kesenian abad ini, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, dengan berbagai fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk-bentuk pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang salah seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan.
Fantasi negatif tersebut membuat sementara filosof berbalik memusuhi seni, demikian pula agamawan. Bahkan melalui salah satu bukunya yang berjudul 'The Fire and The Sun', Irish Murdoch secara khusus berbicara tentang sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya justru sering menggunakan bentuk-bentuk seni. Atau seperti dikatakan Bryan Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas kenapa Plato, sebagaimana yang dinilai oleh Murdoch, bukan hanya bapak filsafat, melainkan juga seorang filosof terbaik, justru mengambil sikap bermusuhan terhadap seni.
kekuatan emosional yang irrasional dalam seni. Kekuatan untuk menyebarkan berbagai kebohongan yang menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang keras serta pembasmian para pengarang lakon sandiwara. Plato dalam ini lebih sepakat pada agama, dan ia merasa bahwa seni memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato merupakan suatu pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri secara teoritis tidak mengakuinya. Dikatakannya, terdapat pertengkaran yang sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur Murdoch, pada masa Plato filsafat baru saja muncul atau lahir dari berbagai bentuk puisi dan spekulasi teologis. Filsafat memang mengalami kemajuan dengan membatasi dirinya sebagai sesuatu yang tersendiri. Pada masa Plato, filsafat memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri ilmu alam. Pada abad kedua puluh memisahkan diri dari psikologi.
Murdoch mengatakan bahwa Plato menilai seni sebagai usaha penjiplakan yang remeh terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti penting umum. Pendapat Plato ini menurut Murdoch tidaklah secara keseluruhan berbeda dengan pandangan Sigmund Freud. Freud menilai seni sebagai fantasi seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi penikmat karya seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah satu bentuk hiburan pribadi, satu jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak sempat didapat dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch, kita bisa menyaksikan bagaimana sebuah cerita menegangkan atau film yang sentimental dengan mudah bisa merangsang fantasi pribadi para pembaca atau penonton. Pornografi adalah contoh yang ekstrim dari seni tersebut.
seni, dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai, seperti yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.
Karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira, katanya menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang mengandung imajinasi, bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu mematahkan kebiasaan kita untuk berfantasi, dan sekaligus mendorong kita berusaha untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat kenyataan dunia yang luas ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi, kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya.
Seni yang bagus, karya seni yang besar, kata filosof wanita itu pula, adalah karya seni yang bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita untuk melihat dan mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kepuasan kita akan diri kita sendiri. Karya sastra yang baik, tambah Murdoch, adalah karya sastra yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh perhatian kepada orang lain serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat kita bertenggang rasa dan lapang dada. ([email protected], [email protected]).
kesenian mengarah kepada hal yang positif memang sangat terasa diungkapkan para bapak-bapak filosof kuno di Yunani. Selebihnya kalau ada estetika Platonis yang menuju keindahan Tuhan, Plato juga menyebut watak dan hukum yang indah. Aristoteles mengatakan, keindahan itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan baik. Plotinus bicara tentang ilmu dan kebajikan yang indah. Kemudian orang Yunani membincangkan tentang buah pikiran dan adat kebiasaan yang indah. Dalam pengertian yang luas, keindahan itu tidak hanya terbatas pada seni atau alam, tetapi juga pada moral dan intelektual. Moral yang indah tentulah moral yang baik dan intelek yang indah adalah intelek yang benar. Jadi tentu kita sepakat Bagus, Baik dan Benar adalah serangkai nilai positif yang relasinya selalu bersifat holistik dalam keharmonisan. (Gazalba, 1988: 118).
Menurut Sidi Gazalba “bagus” merupakan bagian dari aspek kesenian dan estetika, “baik” dalam ranah etika dan “benar” lebih condong mengarah kepada Ilmu dan Agama. Tetapi semuanya itu menurut Sidi dalam filsafat pengetahuannya, Agama pada dasarnya melingkupi ketiga-tiganya baik itu bagus, baik dan benar secara holistik dan komprehensif.
kepada jalannya yang “lurus dan benar”. Konsep Kesenian Profetik yang akan penulis tawarkan tentu akan lebih mewarnai dan menguatkan arah tujuan kesenian dan filsafat seni yang telah dirumuskan oleh para filosof dan pemikir seni abad kuno Yunani-Romawi.
Kesenian dalam pendidikan sangat erat hubungannya. Karya seni sering dijadikan alat untuk mendidik siswa dalam pengenalan tentang keindahan. Pendidikan Islam yang berlandaskan pada konsep filsafat Islam mengajarkan bahwa konsep pengetahuan di dalam Islam tidak mengenal batas-batas parsial ataupun dualisme pengetahuan yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu dunia. Bagi Islam semua ilmu-ilmu pengetahuan itu satu dengan lainnya memiliki hubungan sinergisitas yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan secara mutlak. Sehingga apa yang dirumuskan Sidi Gazalba di atas bahwa Kesenian, Etika, Agama dan Ilmu mempunyai relasi sinergisitas yang tidak terpisahkan adalah benar adanya bagi konsep pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan (Achwan, 1991 : 50). Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan di setiap cabang pengetahuan manusia" (Conference Book,London,1978 : 15-17).
apabila pendidikan tidak didesain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri.
Filosofi pendidikan Islam searah dengan seni yaitu hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah. Di sinilah arti penting mengungkapkan gagasan orisinil konsep Kesenian Profetik ke dalam wacana Filsafat Kesenian dan implementasinya dalam Pendidikan Agama Islam.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di muka, ada 3 permasalahan yang perlu dibahas.
1. Bagaimana paradigma berkesenian kontemporer?
3. Bagaimana implementasi gagasan kesenian profetik ini di dalam pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan
Dalam penelitian ini ada 2 tujuan yang ingin dicapai.
1. Melakukan kajian dan analisis falsafati di bidang filsafat kesenian, filsafat Islam kontemporer dan menggagas kajian baru konsep kesenian profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa penerapan wacana konsep kesenian profetik dalam wacana filsafat kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam dapat dikembangkan.
Penelitian ini ada 2 kegunaan yang ingin dicapai.
1. Lebih memperkaya dan menghasilkan wawasan baru cara berkesenian, dan juga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengembangkan wacana alternatif pengetahuan baru di bidang pendidikan.
D. Tinjauan Pustaka
Konsep atau gagasan, apalagi teori tentang seni profetik adalah sesuatu ide yang dapat penulis katakan baru. Sebab, belum penulis dapatkan referensi konsep maupun teoritisnya di lapangan pustaka. Untuk itu beberapa tinjauan pustaka yang dapat diketengahkan di sini hanya sumber-sumber second, maksudnya bukan sumber utama yang penulis gunakan untuk melandasi ide pemikiran tentang kesenian profetik. Beberapa sumber tersebut adalah sebagai berikut.
a. Sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian. b. Secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber
pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
c. Secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim-klaim bebas nilai dan klaim-klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritik (teori kritik). Melalui liberasi dan humanisasi sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris sosiologi kritik. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi. d. Sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran
Konsep Ilmu Sosial Profetik ini sangat dimungkinkan untuk kemudian dikembangkan paradigmanya ke seluruh cabang ilmu pengetahuan yang berwacana profetik, seperti salah satunya gagasan kesenian profetik.
Buku Kuntowidjojo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Maklumat sastra profetik adalah kelanjutan aplikasi konsep Kuntowidjojo dalam Ilmu Sosial Profetiknya. Sebagai penggagas paradigma sosial profetik Kuntowidjojo secara konsisten mengumumkan bahwa karya-karya sastranya ia maklumatkan sebagai sebuah karya sastra profetik.
itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas. Namun, Sastra Profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik terhadap realitas sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective intelligence.Dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja (Kuntowidjojo, 2006 : 1-2).
Kuntowidjojo, ketika memaklumatkan karya-karya sastranya sebagai sastra profetik secara tidak langsung dia menyatakan bahwa karya seninya adalah sebuah kesenian profetik, sebab sastra adalah salah satu dari bagian karya seni. Berdasarkan argumentasi ini, maka penulis ingin mengeneralisasi gagasan sastra profetiknya menjadi konsep Kesenian Profetik di mana semua karya seni bisa dibuat dan disebut sebagai karya seni profetik dengan kriteria tertentu.
mengandung nilai etik, dan sesuatu itu bagus, kalau ia mengandung nilai estetis (Gazalba, 1988: 118). Sayangnya konsep ini masih mengandung hirarki bahwa 3B ini kedudukan yang tertinggi adalah Benar (di atas) dan Baik (bawah sebelah kanan) dan Bagus (bawah sebelah kiri) membentuk segitiga. Bagi penulis konsep 3B ini seharusnya tidak mengandung hirarki, tetapi bersifat holistik, saling bersinergi dan bertauhid.
Berdasar konsep tersebut, yang penulis sepakati darinya adalah bahwa seni mesti mempunyai wajah bermakna dan bertujuan yang bagus/indah, baik dan benar. Seni tidak bebas nilai. Seni Islam syarat dengan nilai, etika atau moral.
Apa itu seni Islam? Gazalba menyatakan bahwa definisi Seni Islam adalah ciptaan bentuk yang mengandung nilai estetik yang berpadu dengan nilai etik Islam. Dengan demikian seni Islam sebagai karya dilahirkan oleh akhlaq Islamiyah dan dinilai dengan akhlaq Islamiyah juga. Akhlaq adalah sikap rohaniah yang melahirkan laku perbuatan manusia terhadap Allah, manusia dengan manusia, terhadap diri sendiri dan makhluk lain yang sesuai dengan suruhan dan larangan serta petunjuk Alqur’an dan hadits (Gazalba, 1988 : 122).
ketidakadilan, dan sebagainya. Demikian pula, seni Islam tidak sepaham dengan seni untuk seni semata yang menyatakan seni adalah bebas nilai.
Buku A. Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Buku Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam
khususnya dalam bab pemikiran M. Iqbal (1877-1938 M) halaman 299-315, penulis jadikan salah satu pijakan untuk melandasi gagasan kesenian profetik yaitu konsep pemikiran Iqbal mengenai seni dan keindahan yang mengikuti arus konsep seni fungsional.
Teori estetika ekspresi dibagi menjadi dua, yaitu teori estetika subyektif dan teori estetika obyektif. Teori estetika subyektif diamini oleh beberapa filosof; Freud, Robert Vischer, Lipps, Volkelt, Schiller, Herbert Spencer, Karl Groos, Konkad Lange dan Croce. Menurut kelompok ini, meski dengan sedikit perbedaan sudut pandang, apa yang disebut keindahan sangat ditentukan oleh pihak penanggap, subyek yang melihat, karena pengaruh emosi, empati atau yang lain terhadap sebuah obyek. Kebalikannya adalah teori estetika obyektif yang menyatakan bahwa keindahan terletak pada kualitas obyek, ada pada tenaga kehidupannya sendiri, lepas dari pengaruh subyek yang menanggap. Teori ini antara lain diberikan oleh Plotinus. Menurutnya, dunia ini indah karena merupakan ekspresi kehidupan ruh universal, dan semua makhluk hidup adalah indah karena ia mengekspresikan kehidupannya sendiri (Syarif, 1993:101-102, The Liang Gie, 1996:49).
benda (obyek) yang diciptakan oleh ekspresi “ego-ego” mereka sendiri. Untuk memperoleh keindahan, ego tidak berhutang pada jiwa penanggap, subyek, melainkan pada tenaga kehidupannya sendiri. Perbedaannya dengan Plotinus terletak pada konsep tentang kehidupannya. Menurut Plotinus, hidup pada dasarnya bersifat rasional, sedang bagi Iqbal, kehidupan bersifat sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadi bermakna. Karena itu bagi Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata (Iqbal, 1981:158).
Gagasan Iqbal dalam pemikiran filsafat disebut sebagai estetika vitalisme, yakni keindahan merupakan ekspresi ego-ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan, sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya (Mudhaffir, 1988:100, Bagus, 1996:1159, Tim Rosda, 1995:365-5). Lebih jauh Iqbal menginginkan bahwa ego-ego tersebut harus mampu memberikan “hal baru” dalam kehidupan. Dengan mencontoh sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi manusia terbaik seperti yang dikehendaki Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi dan kebanggaan manusia di hadapan Tuhan (Iqbal, 1987:8).
Pushkin dan Edgar Allan Poe yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan di luar dirinya, karena ia adalah tujuan itu sendiri (Syarif, 1993:114-115). Iqbal juga menolak konsep “bentuk untuk bentuk” yang berasal dari membedakan kandungan dan bentuk seni yang menyatakan bahwa kandungan seni tidak mempunyai nilai estetika, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkan efek artistik. Apa yang disampaikan lewat seni, baik atau buruk, benar atau salah, sesuai dengan hukum atau tidak, tidak menjadi masalah dan tidak berpengaruh pada nilai seni; yang penting adalah bagaimana penyampaiannya, pada bentuknya (Soleh, 2004:307). Bagi Iqbal, seni tanpa kandungan emosi, kemauan dan gagasan-gagasan tidak lebih dari api yang telah padam. Sesuai dengan konsep-konsep tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal, sehingga seluruh isi seni—sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide, ideal-ideal—harus muncul dari sumber ini. Seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang dibumbui emosi dan mampu menggetarkan manusia. Tegasnya, dalam pandangan Iqbal, seni adalah ekspresi-diri sang seniman (Syarif, 1993:133).
ia adalah nurani terdalam suatu bangsa. Dengan kekuatan kenabian, seniman dapat meninggikan bangsa dan mengantarkannya ke arah kebesaran demi kebesaran yang lebih tinggi. Apa nilai karya seni jika tidak dapat membangkitkan badai emosional dalam masyarakat? (Syarif, 1993:128).
Buku, Muhammad Iqbal, 1966, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (The Reconstruction of Religious Thought In Islam), alih bahasa Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang. Etika Profetik Iqbal yang menjadi landasan konsep Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo wajib penulis paparkan sebagai pijakan utama gagasan kesenian profetik di samping konsep Ilmu Sosial Profetiknya Kuntowidjojo.
Iqbal memaknai etika kenabian (profetik) sebagai etika transformatif. Iqbal menceritakan kata-kata Abdul Quddus, seorang mistikus Islam dari Ganggah, “Muhammad dari jaziratul Arab telah mi’raj ke langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah bahwa jika sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah aku sekali-kali tidak hendak
kembali lagi”, ujarnya. Sang mistikus tampaknya tidak memiliki kesadaran
kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformatif. Seorang nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat revolusioner (Iqbal, 1996 : 145). Inilah yang disebut etika profetik.
Keneth Boulding, seorang filosof dan ekonom besar AS, mempopulerkan istilah agama profetik dan agama kependetaan. Pada mulanya agama-agama besar seperti Islam, Yahudi dan Kristen bersifat profetik, menggerakkan perubahan-perubahan besar. Agama menjadi kekuatan transformatif. Tapi kemudian, setelah melembaga, agama lalu menjadi rutin, dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, bersifat kependetaan.
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu (Kuntowidjojo, 1991 : 288-289). Kesenian yang termasuk bagian dari ilmu sosial tidak kalah pentingnya untuk mengambil bagian dalam merubah masyarakat dunia ke arah yang positif; kebenaran, kebaikan, keadilan, kesejahteraan, kebahagiaan dengan cara-cara yang indah. Seni profetik seperti itulah yang saat ini menjadi gagasan penulis.
E. Kerangka Teori
Pemakaian teori dalam penelitian kualitatif agak berbeda dengan jenis penelitian kuantitatif. Kerangka teoretis dalam penelitian kualitatif ini semata-mata bukan untuk menguji maupun membuktikan teori, tetapi sebagai alat untuk memaknakan realitas dan data yang tengah dihadapi dan dikaji agar mampu menganalisis dengan penuh kritik (Strauss, 1990: 23).
aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor (seniman). Oleh karena itu tindakan aktif kreatif akan dimaknakan dengan teori aksi (action theory).
Kesatuan sistem hubungan sosial (dalam hal ini kesenian dan pendidikan Islam) ini menjadi semacam sistem “ritual” dalam sinergisitas karya seni dengan sistem diluarnya, dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem yang dapat meningkatkan kesadaran akan nilai dan makna tujuan seni, dan dapat mempertahankan keseimbangannya (fungsionalisme struktural).
a. Teori Sistem
Berdasarkan ide yang diketengahkannya dalam The Social System(Parsons, 1951), Parsons menerangkan seluruh pengertian perilaku manusia (sistem bertindak) merupakan sistem yang hidup, sehingga terdapat sistem-sistem yang saling tergantung yaitu sistem kebudayaan (cultural system),sistem sosial (social
system), sistem kepribadian (personality), dan sistem organisme perilaku
(behavioural organism). Masing-masing sistim itu mampu memperlakukan
sebagai sistim yang mempunyai prasyarat fungsional sistim bertindak (action
system). Istilah Parsons yang terkenal menggunakan skema AGIL, yaitu empat
fungsi primer yang dapat dirangkaikan dengan seluruh sistem yang hidup. Sistem organisme perilaku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian (Adaptation),
diberi singkatan A; sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan
(Goal attainment), disingkat G; sistem sosial adalah sumber integrasi (Inter
gration), disingkat I; dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola yang ada
Berangkat dari teori Parsons yang cukup kompleks ini, maka sebagaimana sistem yang lain, sistem kebudayaan yang secara konseptual ditegaskan sebagai sistem simbol, empat kebutuhan fungsional (AGIL) itu harus terpenuhi juga. Dalam sistem kebudayaan kebutuhan adaptation dipenuhi melalui sub-sistem simbol kognitif (Cognitive symbolization) yang bentuk kongkritnya berwujud ilmu pengetahuan atau dasar perilaku kognitif; goal attainment melalui simbol ekspresif (expressive symbolization), bentuk kongkritnya berupa perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik yang lain; integration
dipenuhi melalui beberapa simbol moral (Moral symbolization), bentuk kongkritnya berupa ketentuan normatif dalam etika, adat sopan-santun atau tata-krama pergaulan; dan latent pattern-maintenance diselesaikan melalui simbol konstitutif (Constitutive symbolization) yang bentuk kongkritnya berupa kepercayaan atau dasar dan inti perilaku berkesenian. (Waters, 1994: 142-151; Bachtiar, 1985: 66).
Prinsip karya seni dengan konsepnya yang disebut living form dan
expressive oleh Langer (1953: 40-46), merupakan ekspresi pengalaman manusia
"dimengerti" atau "tidak dimengerti" saja, seperti misalnya dalam bahasa. Tetapi pengertian "pesan" harus ditangkap secara lebih dalam dan luas, terutama dalam memahami "pesan" terhadap simbol ekspresif atau seni, orang biasanya dapat tersentuh secara mendalam dari hakikat "pesan" itu.
b. Teori Aksi
Fenomena proses inkulturasi yang terjadi di daerah ini adanya hasil tindakan aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor. Untuk memaknakan gejala itu, dipahami dengan teori aksi atau tindakan (action theory) yang dikembangkan oleh Parsons dengan mengikuti karya Weber (Ritzer, 1985: 52-58). Menurut Parsons dengan mengemukakan konsep voluntarism,yaitu kesukarelaan individu atau aktor melakukan tindakan (volunteering/or action) dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia, dalam rangka mencapai tujuan (Waters, 1994: 40-42). Aktor dalam hal ini seniman, adalah pelaku aktif dan kreatif, serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakannya. Seniman yang kebanyakan mempunyai kebebasan, pasti masih juga dibatasi oleh kondisi, norma, dan nilai-nilai serta situasi penting lainnya dalam berkarya, seperti kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, agama, tetapi dibalik itu aktor adalah manusia aktif, kreatif dan evaluatif. Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif ini menurut Parsons (Ritzer, 1980: 92) antara lain:
2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan-tujuan.
3. Dalam bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur / metode, serta instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya atau circumstances.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.
7. Studi antar hubungan sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic
reconstructionatau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).
c. Teori Fungsional
memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan (equilibrium). Perubahan dari salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan (Ritzer, 1980: 25-30). Dalam hal ini agama termasuk “ritual” seniman berkarya seni di dalamnya sebagai salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian dari keseluruhan sistem sosial/ dan berfungsi bagi masyarakat khususnya sebagai pengintegrasi. Maka persoalan kesadaran religiusitas yang ada dalam realitas sosial ini, dari pandangan fungsionalis akan muncul pertanyaan, bagaimana fungsi lembaga agama dapat meningkatkan kesadaran religiusitas seniman, sehingga dapat memelihara atau mempertahankan keseimbangan seluruh sistem sosial? Dengan konsep fungsi yang biasa dipakai dalam teori fungsionalisme struktural, maka pertanyaan "fungsional" itu jawabannya adalah, aksioma teori ini ialah segala sesuatu yang tidak berfungsi (disfungsi) akan lenyap dengan sendirinya. Karena kesadaran religiusitas yang ada sejak dulu sampai sekarang masih cukup tinggi, maka dapat dikatakan bahwa
agama mempunyai fungsi, atau bahkan memerankan sejumlah fungsi. Berdasarkan ketiga teori yakni; teori sistem, teori aksi dan teori
Kuntowidjojo yang dilandasi etika profetik Iqbal, serta gerakan teologi profetik, penulis dengan optimis menyatakan bahwa gagasan Seni Profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam ini sangat relevan untuk digali dan dikembangkan.
Karya seni untuk masyarakat dalam kritik seni pada umumnya disebut
tendenszkunst, yaitu “seni berpihak” atau seni bertendensi atau juga l’art
engagee (seni berisi). Seni untuk masyarakat ini sering dipertentangkan atau
berseberangan dengan l’art pour l’art atau “seni untuk seni” (Ratna, 2007 : 360).
Sebagai medium komunikasi, semua bentuk ekspresi jelas mengandung tujuan. Komunikasi yang bermakna ditunjukkan melalui relevansinya dalam menghubungkan antara pengirim dan penerima, penulis dan pembaca, subyek dan obyek. Perbedaannya, seberapa jauh tujuan-tujuan tersebut dapat dikategorikan sebagai memiliki tendensi tertentu, sehingga mendominasi nilai-nilai estetikanya. Dengan menunjuk bahasa sebagai medium komunikasi utama, maka justru dalam bahasalah terkandung tujuan-tujuan tersebut sebab bahasa telah mewakili jamannya, bukan semata-mata pengarangnya. Dengan mempertimbangkan bahwa karya seni mesti bermanfaat, maka pada dasarnya semua karya seni mesti mengandung tendensi tertentu. Dengan kata lain, tidak ada karya seni yang diciptakan semata-mata demi kepentingan karya seni itu sendiri (Ratna, 2007 : 361).
keseluruhan individu, yaitu para seniman itu sendiri, termasuk para partisipannya, bukan pengarang secara individual. Masalah yang dihindarkan dalam pemahaman seni untuk seni adalah karya yang semata-mata dipahami oleh pengarangnya. Hasil kreativitas seperti ini jelas tidak berfungsi untuk menopang perkembangan kebudayaan secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya aktivitas tersebut cenderung dianggap sebagai suatu kemunduran, sebab sama sekali tidak memiliki relevansi untuk kepentingan masyarakat. Artinya, seni sebenarnya tidaklah bebas nilai. (Ratna, 2007 : 363).
Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik” meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan merasa di-fait accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja kiriman ini sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua itu saya kerjakan karena saya terlanjur dikabarkan – terutama lewat Horison sebagai penganjur Sastra Profetik. Dan, saya merasa “berdosa” kalau tidak saya kirim ke Horison terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk tidak memuat. Mohon berita lewat telepon 0274-881-XXX, terutama selepas pukul 08.00 malam. (Imron, 2005 : 178-192).
Karya “Maklumat Sastra Propetik” nya, barangkali karya Kuntowidjojo yang terakhir kepada Redaksi Horison dengan tanggal 1 Februari 2005. Karena tiga minggu kemudian, Kuntowidjojo wafat. Karangan yang berisi maklumat Kuntowidjojo yang berjudul “Maklumat Sastra Profetik” itu ternyata dimuat dalam Horison No. 5 terbitan bulan Mei 2005 bersama dengan tulisan-tulisan lain “obituari” tentang Kuntowidjojo. Tulisan itu dimuat tentu bukan karena penulisnya meninggal, tetapi memang karena penting agar orang bisa lebih memahami kesastrawanan Kuntowidjojo, lengkap dengan argumentasinya. Sekali lagi, “Maklumat Sastra Propetik” Kuntowidjojo secara tidak langsung telah menyumbangkan gagasan dan konsepsi kesenian profetik.
Selebihnya Kuntowidjojo merumuskan kaidah sastra propetiknya sebagai berikut:
realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.
Namun, Sastra Profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik terhadap realitas sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective intelligence. Dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. (Kuntowidjojo, 2006 : 2)
Rumusan yang lain yaitu mengenai “Etika Profetik” Kuntowidjojo menyatakan bahwa Sastra Profetik adalah sastra demokratis. la tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh Komunisme menurutnya sastra memilih realisme sosialis dengan agresif, dan berusaha memadukan aliran lain, ada bureaucratization of the imaginative.
Keinginan Sastra Profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa.
Etika itu disebut "profetik" karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang
Prophet.Asal-usulnya etika profetik Kuntowidjojo adalah berpijak pada etika
profetiknya Muhammad Iqbal yang terdapat dalam bukunya berjudul
“Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam” mengutip ungkapan
seorang sufi yang mengagumi Nabi dalam peristiwa Isra'-Mi'raj. Meskipun Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.
berkesenian, yakni konsep Kesenian Profetik, inilah yang penulis coba ketengahkan.
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih. Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan (Syed Sajjad Husein & Syed Ali Ashraf, 1986). Lebih dari itu, Isma’il Raji Al-Faruqi mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk dalam hal pendidikan di kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam (Faruqi, 1988 : 7).
Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/
naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal
Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia, demikian juga kebudayaan dan kesenian.
Pendidikan Seni Islam menurut Sidi Gazalba juga memiliki ranah yang penting di dalam wacana keilmuan, bahkan estetika/seni menjadi salah satu unsur dari nilai kebijaksanaan universal sejajar dengan ilmu, agama dan etika (Gazalba, 1988:65). Namun perlu diakui hingga saat ini kebanyakan ulama masih berpendapat negatif terhadap kesenian ini. Hal ini perlu diluruskan kebenarannya bagaimana sebenarnya konsep pendidikan seni dalam Islam.
Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Naquib Al-attas, harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Insan
Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi
keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu termasuk di dalamnya kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan meneliti kelayakan gagasan baru konsep kesenian prophetik dalam wacana filsafat kesenian, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan lebih banyak melakukan kajian pustaka. Obyek penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Obyek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah konsep-konsep tentang ilmu kesenian, yaitu seni, estetika, filsafat seni, Filsafat Islam, pendidikan Islam dan multi disiplin ilmu yang melingkupinya.
2. Sumber Data dan metode pengumpulannya
3. Teknik Analisis Data
Penulisan tesis ini ditulis dengan menggunakan kajian literatur atau kepustakaan yang bersifat deskriptif komparatif dengan sudut pandang filsafat kesenian dan filsafat pendidikan Islam. Data yang dipakai bersumber dari buku-buku, majalah-majalah, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tema bahasan.
Metode yang digunakan adalah metode Heuristik, yaitu metode untuk mencari pemahaman baru. Metode heuristik diterapkan untuk menemukan sesuatu yang baru setelah melakukan penyimpulan dan kritik terhadap objek material dalam penelitian. Metode heuristik penting untuk menemukan suatu hal baru dalam mendekati objek material penelitian. Di samping itu, metode heuristik perlu untuk melakukan refleksi kritis terhadap konsepsi seorang filosof (Kaelan, 2005: 254; Bakker & Zubair, 1990).
G. Sistematika Pembahasan
Untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam penulisan tesis ini biar terarah perlu penulis kemukakan sistematika penulisan yang didahului dengan :
tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan kerangka teori dan beberapa konsep sebagai dasar dalam pemecahan masalah.
2. Bab kedua, Filsafat, Seni dan Agama serta Pendidikan dalam Perspektif Islam, yang membahas tentang filsafat, filsafat seni, estetika, pendidikan Islam beserta wacana hubungan kesenian dengan agama pada umumnya dan Islam pada khususnya.
3. Bab ketiga, Pandangan mengenai Seni Bertujuan Sebagai Pijakan Seni Profetik, yang membahas tentang beberapa pemikiran tokoh-tokoh muslim non muslim tentang konsep seni dan estetika. Mereka antara lain; Ismail Raji’ al-Faruqi, Rumi, Hegel, Plato dan Sayyed Hosein Nasr. 4. Bab keempat, Konsep Seni Profetik dan Implementasinya dalam
Pendidikan Islam, merupakan pokok pembahasan dan analisis gagasan kesenian profetik yang meliputi pembahasan pergulatan nilai dan tujuan seni, persoalan seni dan seni Islam, teologi profetik, Ilmu sosial profetik dan maklumat sastra profetik kuntowidjojo, Peluang dan Tantangan Pengembangan Gagasan Seni Profetik dan implentasinya dalam pendidikan Islam.
BAB II
FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Hubungan Filsafat, Seni (Estetika) dan Agama 1. Pengertian Filsafat Seni dan Estetika
Filsafat seni maupun estetika adalah salah satu ilmu bagian dari filsafat. Apa bedanya filsafat seni estetika? Mengapa harus ada filsafat seni, tidak cukup estetika saja? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pengetahuan sejarah permulaan timbulnya pemikiran seni di belahan dunia Barat. Kaum pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani Purba, sekitar 500-300 tahun SM. Mereka adalah filosof umum, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, St Agustinus (di zaman kemudian). Mereka membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang disebut 'keindahan'. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan pembahasan tentang keindahan. Inilah sebabnya pengetahuan ini disebut filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni (Sumardjo, 1983:24).
Seni atau artaslinya berarti teknik, pertukangan, ketrampilan, yang dalam bahasa Yunani kuno sering disebut sebagai techne. Arti demikian juga berlaku dalam budaya Indonesia kuno. Baru pada pertengahan abad ke-17, di Eropa dibedakan antara keindahan umum (termasuk alam) dan keindahan karya seni atau benda seni. Inilah sebabnya lalu muncul istilah
fine artsatau high arts(seni halus dan seni tinggi), yang dibedakan dengan karya-karya seni pertukangan (craft). Seni, sejak itu, dikategorikan sebagai
artefact atau benda bikinan manusia. Pada dasarnya artefak itu dapat
dikategorikan menjadi tiga golongan, yakni benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, kedua, benda-benda yang berguna dan indah, serta ketiga benda-benda yang indah tapi tak ada kegunaan praktisnya. Artefak jenis ketiga itulah yang dibicarakan dalam estetika (Sumardjo, ibid).
Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh seorang filosof minor bemama A.G.Baumgarten (1714-1762). Istilah ini dipungut dari bahasa Yunani kuno, aistheton. yang berarti "kemampuan melihat lewat "penginderaan". Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk. pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran (Sumardjo, 1983:25).
Menurut Sumardjo, ciri-ciri karya seni adalah; yang pertama, mengekspresikan gagasan dan perasaan, sedangkan alam tidak mengandung makna ekspresi semacam itu. Kedua, dalam karya seni, orang dapat bertanya: "apa yang ingin dikatakan karya ini?" atau apa maksud karya ini?. Tetapi kita tak pernah bertanya serupa ketika menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai, atau menyaksikan bentuk awan senja, derasnya air terjun, gemurahnya suara ombak. Jadi, karya seni selalu membawa makna tertentu dalam dirinya, ada usaha komunikasi seni dengan orang lain. Dalam keindahan alamiah hal itu tak terjadi. Kecantikan seorang wanita kita nikmati sebagai indah begitu saja. Tetapi dalam karya seni, seorang wanita tua atau buruk rupa dapat menjadi indah. Sedangkan wanita cantik justru tidak indah dalam seni yang gagal, Ketiga, seni dapat meniru alam, tetapi alam tidak mungkin meniru artefak seni.
Pertanyaan lain yang cukup menarik adalah, apakah setiap karya seni itu mesti indah? Bukankah banyak karya seni yang merangsang munculnya perasaan-perasaan tidak indah, seperti mengganggu, menyakitkan, provokatif, mengecewakan, tidak menenteramkan, persoalan ini muncul pada para pemikir seni sejak abad 18 di Eropa, dan lebih-lebih lagi dalam karya-karya seni kontemporer Barat. Pernyataan bahwa saya menyukai lukisan itu karena sangat membingungkan atau novel itu sungguh getir, menunjukkan hadirnya ketidakindahan dalam seni.
Kenyataan di atas (bahwa seni tidak harus indah) nampaknya paradoks, namun bagaimana pun salah satu aspek dari seni selalu menghadirkan keindahan. Kalau tidak demikian mengapa disukai? Keindahan seni yang tidak indah terletak pada bentuk ungkapannya yang artistik. Nilai-nilai kualitas obyeknya mungkin saja getir, tetapi ia harus diungkapkan dalam bentuk yang mengandung kualitas keindahan. Ada keteraturan, struktur, kosmos di dalam wujudnya. Ini sesuai dengan ucapan Melvin Rader, bahwa keindahan itu dihasilkan oleh hakekat yang diungkapkan atau oleh berhasilnya cara pengungkapan. Cara pengungkapan itulah yang harus indah, seni (Sumardjo, 1983:26).
mendasar menyeluruh dan logis ini, pada mulanya merupakan bagian pemikiran filsafat umum seorang filosof. Seperti diungkapkan di muka, akhirnya filsafat keindahan ini mengkhususkan diri pada karya-karya seni saja. Dalam perkembangannya dalam abad 20, filsafat keindahan ini mulai bergeser ke arah keilmuan. Inilah sebabnya estetika abad 20 juga dinamai estetika modern atau estetika ilmiah (Sumardjo, ibid).
Sumardjo berpendapat bahwa estetika ilmiah bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Dengan demikian dibedakan antara estetika falsafi dan estetika ilmiah. Filsafat seni merupakan bagian dari studi estetika ilmiah ini. Dengan demikian sifat spekulatifnya makin bergeser pada kegiatan empiris keilmuan. Meskipun demikian, ciri spekulatifnya masih dipertahankan, hanya disertai penguatan empiris.
seni. Keberadaan seni ditentukan oleh saling keterkaitan antara lima aspek tadi (Sumardjo, 1983 : 27).
2. Sejarah Perkembangan Filsafat Seni dan Estetika
Berbicara sejarah perkembangan filsafat seni dan estetika mesti kita bahas secara bersamaan, sebab keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dalam perkembangan sejarahnya dan tidak bisa kita pisahkan begitu saja. Sehingga seakan-akan pembahasan tentang estetika adalah sama saja dengan membahas filsafat seni. Sejarah perkembangan keduanya dimulai sejak filsafat yunani kuno.
Secara garis besar ada 8 periodisasi dalam perkembangan sejarah estetika, yaitu: Periode Klasik, Periode Skolastik, Periode Renaissance, Periode Aufklarung, Periode Idealis, Periode Romantik, Periode Positivistik, dan Periode Kontemporer
a. Periode Klasik
Periode ini mempunyai beberapa cirri khas mengenai pandangan estetikanya, yaitu:
- Bersifat metafisis. Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran, dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
- Bersifat fungsional. Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (etika), kebenaran dan keadilan.
Pada periode ini para filosof yang membahas estetika di antaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Sokrates sebagai perintis, kemudian Plato sebagai peletak dasar-dasar estetika dan Aristoteles adalah penerus ajaran Plato.
1). Sokrates (468 – 399 SM)
Jalan pikiran yang digunakan Sokrates sebagai perintis fundamen estetika dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan menggunakan cara dialog. Metode dialognya ia namakan maeutika
tehnic (seni kebidanan) yang berusaha menolong mengeluarkan
pengertian-pengertian atau kebenaran. Sokrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dialog (Parmono, 2009 : 10)
Dalam dialog-dialognya Sokrates membuka persoalan dengan mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Di sini Sokrates mencoba merumuskan arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.
bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda tetapi sesuatu yang ada dibalik benda itu yang bersifat kejiwaan.
2). Plato (427 – 347 SM)
Menurut Plato keindahan itu bertingkat. Untuk mencapai keindahan yang tertingi (keindahan absolut) harus melalui fase-fase tertentu (Anwar, Wajiz. 1980).
Fase pertama, orang akan tertarik pada sesuatu benda/tubuh yang indah. Di sini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan ragawi (inderawi) tidak dapat memberi kepuasan pada jiwa. Tentunya setelah manusia sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka ia tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah. Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada norma-norma kesusilaan secara kongkrit.
Fase kedua, kecintaan pada norma moral secara kongkrit ini berkembang menjadi kecintaan akan nora moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan, bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.
manusia sudah sampai pada fase ini maka itu akan mengantarkannya pada fase keempat yaitu keindahan yang mutlak.
Fase keempat, Di sini orang berhasil melihat keindahan mutlak yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tinggi. Di sini segala sesuatu berasal dan segala sesuatu harus kembali kepada Tuhan.
Dalam persoalan seni dan pendidikan Plato menegaskan keduanya tidak saling menegasikan, tetapi keduanya saling menguatkan satu sama lain. Musik, tarian dan nyanyian sangat terpuji karena mengandung nilai pendidikan yang tinggi, dan tanpa banyak kesusahan, seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pendapat Plato yang tajam ini disebabkan oleh adanya hubungan harmonis antara seni dan kehidupan. Hal ini membuka adanya pintu perhatian akan kemampuan mendidik pada retorika dan adanya sintesis dalam instruksi dn kesenangan, yang kemudian mewataki teori paedagogik seni. Konsekuensinya konsepsi seni mesti mengandung gabungan antara yang baik, benar dan yang indah (Abdul Kadir, 1974:10).
penjelmaan dari keindahan absolut (Tuhan) yang ada di dunia idea. Seniman sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam semesta sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi.
3). Aristoteles (384 – 322 SM)
Keindahan dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah. Dalam bukunya “Poetics”, Aristoteles mengatakan, “untuk menjadi indah, suatu makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian harus tidak hanya menyajikan sesuatu ketertiban tertentu dalam pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang pasti.” Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah sesuatu ketertiban dan suatu besaran dalam ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996 : 41).
b. Periode Skolastik
Dalam sejarah Filsafat Barat, Abad Pertengahan adalah masa timbulnya filsafat baru. Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya yang umumnya pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat Abad Pertengahan ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik. Dalam masa ini masalah teologi mendapat perhatian utama dari para filosof. Adapun masalah estetika/keindahan, filosof yang terkemuka dan intens membahasnya adalah St, Agustinus (353-430) dan Thomas Aquinas (1225–1274).
1). St, Agustinus (353-430)
Pemikiran kesenian Agustinus sering dinamai neo-platonisme. Pokok pikiran klasik dari Plato mengenai harmoni (keselarasan), keteraturan, keutuhan, dan keseimbangan dalam karya seni dipakai oleh Agustinus. Yang indah merupakan kesatuan objek yang sesuai dengan pengaturan dan perbandingan bagian-bagiannya masing-masing.
memadai usahanya untuk mencapai 'terang' itu. Dalam karya seni yang baik selalu terdapat kecerlangan keteraturan. Inilah sebabnya Agustinus menolak seni sebagai mimesis. Seni itu transendental. Peran Terang Ilahi sangat besar. Bentuk dan keindahan yang sebenamya itu melebihi apa yang tampak. Ia juga tertarik menilai jenis karya fiksi dalam sastra. Ada duajenis cerita fiksi dalam sastra, yang kedua-duanya sebenamya adalah 'kebohongan'. Hanya ada cerita yang 'bohong' tetapi tidak bermaksud menipu, dan yang lain 'kebohongan' yang menipu. Yang lebih dihargai adalah karya fiksi yang meskipun berisi 'kebohongan' tetapi bermaksud baik secara moral dan agama. 2). Thomas Aquinas (1225–1274).
Thomas Aquinas adalah pengagum Aristoteles. Menurutnya, keindahan itu terdaat dalam 3 kondisi, yaitu:
1). Integrity or perfection(keutuhan atau kesempurnaan). 2). Proportion or harmony(perimbangan atau keserasian). 3). Brightness or clarity(kecermelangan atau kejelasan).
Menurutnya juga, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak sempurna) adalah jelek, sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan itu oleh para ahli modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.
c. Periode Renaissans
gejalanya telah muncul satu atau dua abad sebelumnya. Tetapi, sebagai gerakan budaya, budaya ini baru berkembang meluas pada tahun 1500. Pokok zaman ini adalah pandangan 'kembali ke bumi' sebagai reaksi terhadap pandangan Abad Pertengahan yang menekankan 'surgawi' akibat besarnya pengaruh agama.
Manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia dan harus menguasai dunia setelah memahaminya. Begitu pula, manusia harus memahami siapa dirinya. Semua itu dapat dicapai apabila manusia mengadakan observasi dan penelitian dengan analisis logis terhadap berbagai kenyataan duniawi. Inilah sebabnya manusia Renaisans menjadi kritis terhadap segala hal, dan mempertanyakan kembali berbagai kebenaran yang terdahulu.
Semangat Renaisans ini muncul dengan terjadinya perkenalan Italia terhadap warisan budaya klasik mereka, Graeco-Roman, melalui Perang Salib, dan pelarian orang-orang Yunani di Eropa.. Pandangan kritis Yunani terhadap lingkungan hidupnya ini sesuai dengan semangat yang muncul di zaman Renaisans.
seni ritual dan seni religius menduduki tempat utama. Pada zaman Renaisans terjadi perubahan sosial dan politik. Muncul golongan bani, yakni kaum borjuis yang hidup dari berdagang dan menjadi golongan kaya baru. Golongan inilah yang menyadari pentingnya kenyataan konkret sebagai dasar pandangan hidup. Karena kaum bangsawan di Italia banyak yang berkembang menjadi pedagang, maka di wilayah inilah Renaisans pertama kali muncul di Eropa. Di samping itu, Italia memang merupakan pusat budaya klasik zaman Graeco-Roman.
Renaisans menyebar ke seluruh Eropa dari Italia. Renaisans inilah awal zaman modern EropaSemangat memahami dan menguasai alam, memahami dan menguasai manusia dan kehidupannya, sejak itu ' berkembang terus. Semangat inilah yang mendorong terjadinya berbagai penjelajahan Eropa ke semua penjuru dunia.
pandangan-pandangan itu juga tidak khusus atau eksklusif dibicarakan dalam bidang seni, tetapi terkait dengan pandangan-pandangan lain.
Pada zaman Renaisans terdapat dua kelompok pandangan, yaitu yang berpijak pada Plato dan pada Aristoteles. Pada dasarnya kaum Platonis menempatkan keindahan di dalam sukma, sedangkan penganut Aristotelian menempatkan ide keindahan dalam kualitas fisik benda seni ( Sumardjo, 1983 : 282).
Penganut Plato di Italia adalah Marsilio Ficino, Picodella Mirandola, Cattani, Leon Battista Alberti, Castaglione, Nobili, Batussi, dll. Kaum Platonis ini juga tidak sama pandangan estetikanya. Tokoh yang menonjol dari kaum Plato ialah Ficino (1433-1499) yang berpendapat bahwa sifat karakteristik seni adalah kemampuannya melepaskan diri dari hal-hal Kebendaan. Dalam kontemplasi, jiwa meninggalkan hal-hal badani dan menyatu dalam ide bentuk, sehingga terjadi pengalaman keindahan. Pengalaman inilah yang kemudian diungkapkan dalam wujud benda seni.
Dalam formula lain, Michelangelo boleh dikatakan agak platonis pula, dengan pernyataannya bahwa gerak dan kemuliaan tubuh (keindahan) terletak pada kecermatan observasi berdasarkan hitungan aritmatika tertentu. Sementara itu, Marato menegaskan adanya simbol dan makna dalam warna.
Kaum Aristotelian menekankan keindahan jasmani. Tokoh utama golongan ini ialah Alberti (1409-1472), yang menyatakan bahwa seni adalah harmoni antara unsur-unsurnya, dan setiap perubahan dalam unsur terkecil dapat merusak seni tersebut.
Kaum Plato bersifat subjektif, maka kaum Aristotelian bersifat objektif, yakni menekankan objek benda seni yang menimbulkan keindahan. Alberti melahirkan persoalan sense of beauty sebagai kemampuan seseorang untuk dapat melihat keindahan benda. Di antara kaum Aristotelian ini lahirlah pandangan hedonis (kenikmatan). Agostino Niro, misalnya, menunjukkan keindahan alami pada keindahan tubuh Joan dari Aragon yang dipujanya. Sementara itu, Castelvetro menyatakan bahwa seni itu harus memberikan hiburan berupa kesenangan, kegembiraan, rekreasi (Sumardjo, 1983:283).
pada pemiliknya. Pada dasarnya Campanella mengisyaratkan pentingnya suatu analisis untuk 'merebut' keindahan pada sebuah objek.
Kaum Pedagogi dalam masalah fungsi seni berpendapat bahwa seni yang baik adalah kalau seni itu mendidik. Seni harus memberikan kegunaan dalam kehidupan praktis manusia (Sumardjo, 1983:284). Dalam hal ini seni harus merupakan studi alam yang akan menambah kekayaan dan meninggikan kemuliaan manusia (pendapat Piccalomini).
Persoalan sejarah dan seni diungkapkan oleh Fracastaro, yang menyatakan bahwa seni menekankan ide universal, sedangkan sejarah terbatas pada hal-hal khusus saja. Beda antara sejarah dan seni bukan pada objeknya, tetapi pada cara mengungkapkannya. Seni berusaha menangkap ide universal dari objeknya, yang dituangkan secara imajiner.