BAB II FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN DALAM
A. Hubungan Filsafat, Seni (Estetika) dan Agama
Filsafat seni maupun estetika adalah salah satu ilmu bagian dari filsafat. Apa bedanya filsafat seni estetika? Mengapa harus ada filsafat seni, tidak cukup estetika saja? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pengetahuan sejarah permulaan timbulnya pemikiran seni di belahan dunia Barat. Kaum pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani Purba, sekitar 500-300 tahun SM. Mereka adalah filosof umum, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, St Agustinus (di zaman kemudian). Mereka membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang disebut 'keindahan'. Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan pembahasan tentang keindahan. Inilah sebabnya pengetahuan ini disebut filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni (Sumardjo, 1983:24).
Seni atau artaslinya berarti teknik, pertukangan, ketrampilan, yang dalam bahasa Yunani kuno sering disebut sebagai techne. Arti demikian juga berlaku dalam budaya Indonesia kuno. Baru pada pertengahan abad ke-17, di Eropa dibedakan antara keindahan umum (termasuk alam) dan keindahan karya seni atau benda seni. Inilah sebabnya lalu muncul istilah
fine artsatau high arts(seni halus dan seni tinggi), yang dibedakan dengan karya-karya seni pertukangan (craft). Seni, sejak itu, dikategorikan sebagai
artefact atau benda bikinan manusia. Pada dasarnya artefak itu dapat
dikategorikan menjadi tiga golongan, yakni benda-benda yang berguna tetapi tidak indah, kedua, benda-benda yang berguna dan indah, serta ketiga benda-benda yang indah tapi tak ada kegunaan praktisnya. Artefak jenis ketiga itulah yang dibicarakan dalam estetika (Sumardjo, ibid).
Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh seorang filosof minor bemama A.G.Baumgarten (1714-1762). Istilah ini dipungut dari bahasa Yunani kuno, aistheton. yang berarti "kemampuan melihat lewat "penginderaan". Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk. pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan, sedang tujuan logika adalah kebenaran (Sumardjo, 1983:25).
Sejak itu istilah 'estetika' dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni. Tetapi karena karya seni tidak selalu 'indah' seperti dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan suatu bidang khusus yang benar-benar menjawab tentang apa hakekat seni atau arts itu. Dan lahirlah apa yang dinamakan 'filsafat seni'. Jadi, perbedaan antara estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, sedang filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut seni (Sumardjo, ibid).
Menurut Sumardjo, ciri-ciri karya seni adalah; yang pertama, mengekspresikan gagasan dan perasaan, sedangkan alam tidak mengandung makna ekspresi semacam itu. Kedua, dalam karya seni, orang dapat bertanya: "apa yang ingin dikatakan karya ini?" atau apa maksud karya ini?. Tetapi kita tak pernah bertanya serupa ketika menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai, atau menyaksikan bentuk awan senja, derasnya air terjun, gemurahnya suara ombak. Jadi, karya seni selalu membawa makna tertentu dalam dirinya, ada usaha komunikasi seni dengan orang lain. Dalam keindahan alamiah hal itu tak terjadi. Kecantikan seorang wanita kita nikmati sebagai indah begitu saja. Tetapi dalam karya seni, seorang wanita tua atau buruk rupa dapat menjadi indah. Sedangkan wanita cantik justru tidak indah dalam seni yang gagal, Ketiga, seni dapat meniru alam, tetapi alam tidak mungkin meniru artefak seni.
Keempat, dalam alam kita dapat menerima keindahannya tanpa kepentingan praktis-pragmatis dalam hidup ini. Inilah keindahan tanpa pamrih (disinterestedness), sedang dalam karya seni kita masih dapat menjumpai karya-karya itu sebagai indah dan berguna sekaligus. Keindahan alamiah itu gratis, tanpa pamrih kegunaan apa pun. Keindahan seni, karena punya makna, dapat membawa nilai-nilai lain di samping nilai keindahan (Sumardjo, 1983:26). Dengan demikian cukuplah dikatakan bahwa estetika merupakan pengetahuan tentang keindahan alam dan seni. Sedang filsafat seni hanya merupakan bagian estetika yang khusus membahas karya seni.
Pertanyaan lain yang cukup menarik adalah, apakah setiap karya seni itu mesti indah? Bukankah banyak karya seni yang merangsang munculnya perasaan-perasaan tidak indah, seperti mengganggu, menyakitkan, provokatif, mengecewakan, tidak menenteramkan, persoalan ini muncul pada para pemikir seni sejak abad 18 di Eropa, dan lebih-lebih lagi dalam karya-karya seni kontemporer Barat. Pernyataan bahwa saya menyukai lukisan itu karena sangat membingungkan atau novel itu sungguh getir, menunjukkan hadirnya ketidakindahan dalam seni.
Kenyataan di atas (bahwa seni tidak harus indah) nampaknya paradoks, namun bagaimana pun salah satu aspek dari seni selalu menghadirkan keindahan. Kalau tidak demikian mengapa disukai? Keindahan seni yang tidak indah terletak pada bentuk ungkapannya yang artistik. Nilai-nilai kualitas obyeknya mungkin saja getir, tetapi ia harus diungkapkan dalam bentuk yang mengandung kualitas keindahan. Ada keteraturan, struktur, kosmos di dalam wujudnya. Ini sesuai dengan ucapan Melvin Rader, bahwa keindahan itu dihasilkan oleh hakekat yang diungkapkan atau oleh berhasilnya cara pengungkapan. Cara pengungkapan itulah yang harus indah, seni (Sumardjo, 1983:26).
Estetika adalah bagian dari filsafat. Dalam studi filsafat, estetika digolongkan dalam persoalan nilai, atau filsafat tentang nilai, sejajar dengan nilai etika. Tetapi dalam penggolongan obyeknya, estetika masuk| dalam bahasan filsafat manusia, yang terdiri dari logika, etika, estetika, dan antropologis. Studi estetika sebagai filsafat yang bersifat spekulatif,
mendasar menyeluruh dan logis ini, pada mulanya merupakan bagian pemikiran filsafat umum seorang filosof. Seperti diungkapkan di muka, akhirnya filsafat keindahan ini mengkhususkan diri pada karya-karya seni saja. Dalam perkembangannya dalam abad 20, filsafat keindahan ini mulai bergeser ke arah keilmuan. Inilah sebabnya estetika abad 20 juga dinamai estetika modern atau estetika ilmiah (Sumardjo, ibid).
Sumardjo berpendapat bahwa estetika ilmiah bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain- lain. Dengan demikian dibedakan antara estetika falsafi dan estetika ilmiah. Filsafat seni merupakan bagian dari studi estetika ilmiah ini. Dengan demikian sifat spekulatifnya makin bergeser pada kegiatan empiris keilmuan. Meskipun demikian, ciri spekulatifnya masih dipertahankan, hanya disertai penguatan empiris.
Aspek-aspek yang dibahas dalam filsafat seni menurut Sumardjo biasanya meliputi pokok-pokok sebagai berikut: Pertama,. persoalan sikap estetik, yang di dalamnya dibahas masalah ketidakpamrihan seni dan jarak estetik. Kedua, persoalan bentuk formal seni yang melahirkan berbagai konsep seni yang muskil. Ketiga. persoalan pengalaman estetik atau pengalaman seni. Keempat persoalan nilai-nilai dalam seni. Kelima. persoalan pengetahuan dalam seni. Dengan kata lain, filsafat seni membahas aspek kreativitas seniman, membahas benda seni itu sendiri, membahas nilai-nilai seni, membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai konteks seni dan terakhir mengenai resepsi publik
seni. Keberadaan seni ditentukan oleh saling keterkaitan antara lima aspek tadi (Sumardjo, 1983 : 27).
2. Sejarah Perkembangan Filsafat Seni dan Estetika
Berbicara sejarah perkembangan filsafat seni dan estetika mesti kita bahas secara bersamaan, sebab keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dalam perkembangan sejarahnya dan tidak bisa kita pisahkan begitu saja. Sehingga seakan-akan pembahasan tentang estetika adalah sama saja dengan membahas filsafat seni. Sejarah perkembangan keduanya dimulai sejak filsafat yunani kuno.
Secara garis besar ada 8 periodisasi dalam perkembangan sejarah estetika, yaitu: Periode Klasik, Periode Skolastik, Periode Renaissance, Periode Aufklarung, Periode Idealis, Periode Romantik, Periode Positivistik, dan Periode Kontemporer
a. Periode Klasik
Periode ini mempunyai beberapa cirri khas mengenai pandangan estetikanya, yaitu:
- Bersifat metafisis. Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran, dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
- Bersifat obyektifitis. Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berada dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi indah karena mengambik peranannya atau partisipasinya dalam keindahan Tuhan.
- Bersifat fungsional. Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (etika), kebenaran dan keadilan.
Pada periode ini para filosof yang membahas estetika di antaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Sokrates sebagai perintis, kemudian Plato sebagai peletak dasar-dasar estetika dan Aristoteles adalah penerus ajaran Plato.
1). Sokrates (468 – 399 SM)
Jalan pikiran yang digunakan Sokrates sebagai perintis fundamen estetika dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan menggunakan cara dialog. Metode dialognya ia namakan maeutika
tehnic (seni kebidanan) yang berusaha menolong mengeluarkan
pengertian-pengertian atau kebenaran. Sokrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dialog (Parmono, 2009 : 10)
Dalam dialog-dialognya Sokrates membuka persoalan dengan mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Di sini Sokrates mencoba merumuskan arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.
Menurut Sokrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa ruh). Raga hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan
bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda tetapi sesuatu yang ada dibalik benda itu yang bersifat kejiwaan.
2). Plato (427 – 347 SM)
Menurut Plato keindahan itu bertingkat. Untuk mencapai keindahan yang tertingi (keindahan absolut) harus melalui fase-fase tertentu (Anwar, Wajiz. 1980).
Fase pertama, orang akan tertarik pada sesuatu benda/tubuh yang indah. Di sini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan ragawi (inderawi) tidak dapat memberi kepuasan pada jiwa. Tentunya setelah manusia sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka ia tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah. Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada norma- norma kesusilaan secara kongkrit.
Fase kedua, kecintaan pada norma moral secara kongkrit ini berkembang menjadi kecintaan akan nora moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan, bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.
Fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu bercerita tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalau
manusia sudah sampai pada fase ini maka itu akan mengantarkannya pada fase keempat yaitu keindahan yang mutlak.
Fase keempat, Di sini orang berhasil melihat keindahan mutlak yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tinggi. Di sini segala sesuatu berasal dan segala sesuatu harus kembali kepada Tuhan.
Dalam persoalan seni dan pendidikan Plato menegaskan keduanya tidak saling menegasikan, tetapi keduanya saling menguatkan satu sama lain. Musik, tarian dan nyanyian sangat terpuji karena mengandung nilai pendidikan yang tinggi, dan tanpa banyak kesusahan, seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pendapat Plato yang tajam ini disebabkan oleh adanya hubungan harmonis antara seni dan kehidupan. Hal ini membuka adanya pintu perhatian akan kemampuan mendidik pada retorika dan adanya sintesis dalam instruksi dn kesenangan, yang kemudian mewataki teori paedagogik seni. Konsekuensinya konsepsi seni mesti mengandung gabungan antara yang baik, benar dan yang indah (Abdul Kadir, 1974:10).
Dalam bukunya “Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah terhadap seniman. Negarawan mendapat penghargaan yang lebih tinggi di antara manusia-manusia pencipta atau seniman, sebab mereka menimbang masyarakat berdasar ide kebaikan, keadilan, kebenaran dan keindahan. Seniman hanyalah meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan
penjelmaan dari keindahan absolut (Tuhan) yang ada di dunia idea. Seniman sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam semesta sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi.
3). Aristoteles (384 – 322 SM)
Keindahan dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah. Dalam bukunya “Poetics”, Aristoteles mengatakan, “untuk menjadi indah, suatu makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian harus tidak hanya menyajikan sesuatu ketertiban tertentu dalam pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang pasti.” Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah sesuatu ketertiban dan suatu besaran dalam ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996 : 41).
Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan mencitakan sesuatu hal atas pikiran akal. Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan. Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya tetapi merupakan hasil kreasi (akal) manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju pada keindahan yang mutlak.
b. Periode Skolastik
Dalam sejarah Filsafat Barat, Abad Pertengahan adalah masa timbulnya filsafat baru. Hal ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya yang umumnya pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat Abad Pertengahan ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik. Dalam masa ini masalah teologi mendapat perhatian utama dari para filosof. Adapun masalah estetika/keindahan, filosof yang terkemuka dan intens membahasnya adalah St, Agustinus (353-430) dan Thomas Aquinas (1225–1274).
1). St, Agustinus (353-430)
Pemikiran kesenian Agustinus sering dinamai neo-platonisme. Pokok pikiran klasik dari Plato mengenai harmoni (keselarasan), keteraturan, keutuhan, dan keseimbangan dalam karya seni dipakai oleh Agustinus. Yang indah merupakan kesatuan objek yang sesuai dengan pengaturan dan perbandingan bagian-bagiannya masing- masing.
Ide keindahan Plato dikenakan pada Tuhan, sehingga keindahan seni dan alam berhubungan erat dengan agama. Karya seni yang indah adalah karya seni yang sesuai dengan 'keteraturan ideal' yang hanya dapat diperoleh dari Terang Ilahi. Inilah sebabnya filsafat Agustinus disebut iluminasi, yang berarti segala sesuatunya berkat anugerah 'cahaya terang' dari Tuhan. Dalam hal ini manusia kurang
memadai usahanya untuk mencapai 'terang' itu. Dalam karya seni yang baik selalu terdapat kecerlangan keteraturan. Inilah sebabnya Agustinus menolak seni sebagai mimesis. Seni itu transendental. Peran Terang Ilahi sangat besar. Bentuk dan keindahan yang sebenamya itu melebihi apa yang tampak. Ia juga tertarik menilai jenis karya fiksi dalam sastra. Ada duajenis cerita fiksi dalam sastra, yang kedua- duanya sebenamya adalah 'kebohongan'. Hanya ada cerita yang 'bohong' tetapi tidak bermaksud menipu, dan yang lain 'kebohongan' yang menipu. Yang lebih dihargai adalah karya fiksi yang meskipun berisi 'kebohongan' tetapi bermaksud baik secara moral dan agama. 2). Thomas Aquinas (1225–1274).
Thomas Aquinas adalah pengagum Aristoteles. Menurutnya, keindahan itu terdaat dalam 3 kondisi, yaitu:
1). Integrity or perfection(keutuhan atau kesempurnaan). 2). Proportion or harmony(perimbangan atau keserasian). 3). Brightness or clarity(kecermelangan atau kejelasan).
Menurutnya juga, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak sempurna) adalah jelek, sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan itu oleh para ahli modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.
c. Periode Renaissans
Zaman Renaissans (kebangkitan kembali budaya Graeco- Roman di Italia dan Eropa) terjadi sekitar tahun 1500, meskipun
gejalanya telah muncul satu atau dua abad sebelumnya. Tetapi, sebagai gerakan budaya, budaya ini baru berkembang meluas pada tahun 1500. Pokok zaman ini adalah pandangan 'kembali ke bumi' sebagai reaksi terhadap pandangan Abad Pertengahan yang menekankan 'surgawi' akibat besarnya pengaruh agama.
Manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia dan harus menguasai dunia setelah memahaminya. Begitu pula, manusia harus memahami siapa dirinya. Semua itu dapat dicapai apabila manusia mengadakan observasi dan penelitian dengan analisis logis terhadap berbagai kenyataan duniawi. Inilah sebabnya manusia Renaisans menjadi kritis terhadap segala hal, dan mempertanyakan kembali berbagai kebenaran yang terdahulu.
Semangat Renaisans ini muncul dengan terjadinya perkenalan Italia terhadap warisan budaya klasik mereka, Graeco-Roman, melalui Perang Salib, dan pelarian orang-orang Yunani di Eropa.. Pandangan kritis Yunani terhadap lingkungan hidupnya ini sesuai dengan semangat yang muncul di zaman Renaisans.
Seni keagamaan di zaman Abad Pertengahan berganti menjadi seni profan (bukan sakral) dan sekuler (bukan religius). Pergantian ini disebabkan oleh perubahan masyarakat. Di Abad Pertengahan, masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni penganut gereja, kaum bangsawan (penganut feodalisme), dan petani. Kehidupan intelektual terutama dipegang oleh kaum gereja, sehingga
seni ritual dan seni religius menduduki tempat utama. Pada zaman Renaisans terjadi perubahan sosial dan politik. Muncul golongan bani, yakni kaum borjuis yang hidup dari berdagang dan menjadi golongan kaya baru. Golongan inilah yang menyadari pentingnya kenyataan konkret sebagai dasar pandangan hidup. Karena kaum bangsawan di Italia banyak yang berkembang menjadi pedagang, maka di wilayah inilah Renaisans pertama kali muncul di Eropa. Di samping itu, Italia memang merupakan pusat budaya klasik zaman Graeco-Roman.
Renaisans menyebar ke seluruh Eropa dari Italia. Renaisans inilah awal zaman modern EropaSemangat memahami dan menguasai alam, memahami dan menguasai manusia dan kehidupannya, sejak itu ' berkembang terus. Semangat inilah yang mendorong terjadinya berbagai penjelajahan Eropa ke semua penjuru dunia.
Dalam pandangan estetika kaum Renaisans banyak mempelajari kembali pandangan estetika Yunani dan Romawi Kuno. Pandangan Plato dan Aristoteles menjadi kajian pokok, sehingga melahirkan berbagai tafsir dan pandangan baru. Berbeda dengan beberapa zaman sebelumnya, sejak zaman Renaisans muncullah pandangan estetika dari para senimannya sendiri, di samping para filosof seni. Antara pandangan estetika dan praktek kesenian terdapat hubungan. Pada masa-masa sebelumnya, hanya para ahli filsafat saja yang mengemukakan pandangan estetika yang dengan sendirinya amat erat kaitannya dengan pandangan filsafat pada umumnya. Dan
pandangan-pandangan itu juga tidak khusus atau eksklusif dibicarakan dalam bidang seni, tetapi terkait dengan pandangan-pandangan lain.
Pada zaman Renaisans terdapat dua kelompok pandangan, yaitu yang berpijak pada Plato dan pada Aristoteles. Pada dasarnya kaum Platonis menempatkan keindahan di dalam sukma, sedangkan penganut Aristotelian menempatkan ide keindahan dalam kualitas fisik benda seni ( Sumardjo, 1983 : 282).
Penganut Plato di Italia adalah Marsilio Ficino, Picodella Mirandola, Cattani, Leon Battista Alberti, Castaglione, Nobili, Batussi, dll. Kaum Platonis ini juga tidak sama pandangan estetikanya. Tokoh yang menonjol dari kaum Plato ialah Ficino (1433-1499) yang berpendapat bahwa sifat karakteristik seni adalah kemampuannya melepaskan diri dari hal-hal Kebendaan. Dalam kontemplasi, jiwa meninggalkan hal-hal badani dan menyatu dalam ide bentuk, sehingga terjadi pengalaman keindahan. Pengalaman inilah yang kemudian diungkapkan dalam wujud benda seni.
Dalam formula lain, Michelangelo boleh dikatakan agak platonis pula, dengan pernyataannya bahwa gerak dan kemuliaan tubuh (keindahan) terletak pada kecermatan observasi berdasarkan hitungan aritmatika tertentu. Sementara itu, Marato menegaskan adanya simbol dan makna dalam warna.
Kaum Aristotelian di lain pihak lebih beragam lagi pandangannya, sehingga menimbulkan debat estetika pada zamannya.
Kaum Aristotelian menekankan keindahan jasmani. Tokoh utama golongan ini ialah Alberti (1409-1472), yang menyatakan bahwa seni adalah harmoni antara unsur-unsurnya, dan setiap perubahan dalam unsur terkecil dapat merusak seni tersebut.
Kaum Plato bersifat subjektif, maka kaum Aristotelian bersifat objektif, yakni menekankan objek benda seni yang menimbulkan keindahan. Alberti melahirkan persoalan sense of beauty sebagai kemampuan seseorang untuk dapat melihat keindahan benda. Di antara kaum Aristotelian ini lahirlah pandangan hedonis (kenikmatan). Agostino Niro, misalnya, menunjukkan keindahan alami pada keindahan tubuh Joan dari Aragon yang dipujanya. Sementara itu, Castelvetro menyatakan bahwa seni itu harus memberikan hiburan berupa kesenangan, kegembiraan, rekreasi (Sumardjo, 1983:283).
Persoalan Aristotelian yang sering diperdebatkan adalah masalah mimesis (imitasi, peniruan), seni dan sejarah, masalah universal dan khusus dalam seni, masalah fungsi seni. Tentang 'benda seni' terdapat pandangan menarik dari Campanella, bahwa materi seni atau hal-hal eksternal seni itu netral, tidak dengan sendirinya indah atau tidak indah. Suatu objek mungkin indah bagi seseorang karena unsur kekejamannya dan pada lain orang karena penderitaan si korban. Seekor anjing dapat tampak begitu indah bagi pemiliknya, tetapi menakutkan bagi orang lain. Secangkir urine tampak indah bagi seorang dokter karena dia bisa melihat gambaran kesehatan sempurna
pada pemiliknya. Pada dasarnya Campanella mengisyaratkan pentingnya suatu analisis untuk 'merebut' keindahan pada sebuah objek.
Kaum Pedagogi dalam masalah fungsi seni berpendapat bahwa seni yang baik adalah kalau seni itu mendidik. Seni harus memberikan kegunaan dalam kehidupan praktis manusia (Sumardjo, 1983:284). Dalam hal ini seni harus merupakan studi alam yang akan menambah kekayaan dan meninggikan kemuliaan manusia (pendapat Piccalomini).
Persoalan sejarah dan seni diungkapkan oleh Fracastaro, yang menyatakan bahwa seni menekankan ide universal, sedangkan sejarah terbatas pada hal-hal khusus saja. Beda antara sejarah dan seni bukan pada objeknya, tetapi pada cara mengungkapkannya. Seni berusaha menangkap ide universal dari objeknya, yang dituangkan secara imajiner.
Persoalan terakhir kaum Aristotelian adalah masalah imitasi. Apakah mimesis atau imitasi dalam seni itu hanya terbatas pada hal- hal yang 'baik'? Apakah benda 'jelek' atau kenyataan jelek tak dapat dipandang indah dalam seni? Kejelekan dan keburukan juga objek imitasi seni, karena seni terletak pada kerja imitasinya, dan bukan pada apa yang ditirunya.
d. Periode Aufklarung
Aufklarung (pencerahan) merupakan gerakan lanjutan dari renaissans. Dalam periode ini masih terlihat pengaruh rasionalisme