BAB II FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN DALAM
C. Refleksi Qur’an dan Hadits tentang Seni dan Estetika
Seni dalam sejarah Islam merupakan fenomena yang sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan kesadaran religius seseorang yang mengekspresikannya. Ungkapan l’art pour art (seni untuk seni) yang sempat menggema di dunia Kristen tak memiliki tempat dan preseden dalam sejarah umat Islam. Justru sejarah seni dalam Islam tak lepas dari nilai-nilai religius yang membuat aspek spiritualitas sangat nampak.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, seni Islam memang bukan sekadar berkaitan dengan bahan-bahan material yang dipergunakan, melainkan juga meliputi unsur kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan-bahan material tersebut. Seni suci Islam, menurut Nasr, berhubungan langsung dengan praktik- praktik utama agama dan kehidupan spiritual. Dalam pandangan Nasr, seni Islam dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya memiliki keterkaitan erat dengan pandangan-dunia Islam yang mempengaruhi seni Islam pada umumnya (Nasr, 1993: 13-14). Dengan kata lain, seni Islam memainkan fungsi spiritual yang cukup penting.
Fungsi spiritual itu terlihat dari hubungan organis antara seni Islam dan Ibadah Islam, antara kontemplasi tentang Tuhan dengan sifat kontemplatif dari seni Islam, antara ingat kepada Allah (dzikrullah) yang merupakan tujuan akhir ibadah dalam Islam dengan peran yang dimainkan dalam seni Islam. Statemen
Innallaha Jamil yuhibbul Jamal (Allah Maha Indah dan Mencintai Keindahan) seolah menegaskan hal tersebut.
Masih menurut Seyyed Hossein Nasr Seyyed Hossein:
Seni Islam merupakan hasil pengejawantahan Keesaan pada bidang keanekaragaman. Ia merefleksikan kandungan Prinsip Keesaan Ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos atau makhluk sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt di dalam al-Quran, Ya Tuhan Kami! Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia (QS 3: 191). Seni Islam mewujudkan, dalam taraf fisik yang secara langsung dapat dipahami oleh pikiran yang sehat, realitas-realitas dasar dan perbuatan-perbuatan, sebagai tangga bagi pendakian jiwa dari tingkat yang dapat dilihat dan didengar menuju ke Yang Gaib yang juga merupakan Keheningan di atas setiap bunyi. (Nasr, 1993: 13-14)
Seni Islam lahir tentunya tidak terlepas dari pengaruh Al-Quran sebagai kitab induk pedoman dasar ajarannya dan Hadits sebagai pengejawantahan spirit kenabian (profetik) Muhammad SAW. Al-Quran dan Hadits adalah dua pedoman utama implementasi sikap dan prilaku muslim, termasuk dalam persoalan seni atau keindahan (estetis).
Terkait dengan refleksi estetik umat Islam terhadap al-Quran, Navid Kermani menegaskan bahwa fenomena estetik tersebut harus dilihat sebagai bagian penting dari praktik religius keislaman, setidaknya di negara-negara yang menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa kesehariannya. “Tak perlu diragukan sedikit pun bahwa dalam sejarah penerimaannya, al-Quran memiliki efek estetik yang tak tertandingi oleh teks sastra dunia mana pun (Kermani, 2002: 255).
Al-Quran tidak hanya indah dalam bidang teks sastranya tetapi juga indah dalam segala hal bentuk dan isinya. Bahasan ini khusus penulis ketengahkan
mengenai refleksi estetik Al-Quran dan Hadits sebagai dasar konsep seni profetik. Refleksi Estetik Al-Quran dan Hadits di sini dibatasi hanya untuk mendiskripsikan bagaimana keduanya berbicara mengenai keindahan. Penulis tidak akan membahas kontroversi seni dalam ajaran Islam yang hingga saat ini masih menjadi persoalan kilafiah yang menurut penulis sudah saatnya dihentikan, sebab perseteruan yang berlarut-larut tidak mengandung manfaat bahkan bisa memperlemah kemajuan peradaban umat.
Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah“Hukum asal perbuatan- perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy- Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Seni adalah karya aktifitas manusia dari kegiatan mendengar, melihat, meraba, menggerakkan tangan dan kaki, bersuara dan lain sebagainya. Hasil seni, apa saja bentuknya, baik itu seni lagu, musik, tari, melukis, memahat, dan lain sebagainya pada dasarnya menurut kaidah syari’ah tersebut hukumnya boleh (mubah) kecuali ada nash larangan dan alasan kenapa itu dilarang.
Seni yang dilarang pada dasarnya adalah seni yang mengandung hal-hal dilarang oleh agama, seperti: kekufuran, kemaksiatan, ketidakbaikan, berlebih- lebihan, tidak mengandung manfaat, pornografi, pornoaksi, anarkisme dan lain
sebagainya. Sebaliknya, seni yang mengandung kebaikan, kebenaran dan keindahan justru sebaiknya kita wajibkan.
1. Cahaya Sumber Keindahan
Wajah Allah Azza Wa Jalla adalah aspek dzahir dari Dia, yang dari sisi wajah-Nya ini memancar cahaya keindahan-Nya. Sebagaimana makna cahaya adalah sesuatu yang membuat dzahirnya segala sesuatu dengannya, maka An- Nuur secara mutlak merupakan isim (nama) dari asma-asma Allah Ta’ala yang mengibaratkan sesuatu yang sangat dzahir serta dzahir-nya segala sesuatu disebabkan keberadaannya. Wajah Allah merupakan hijab rahmat bagi semesta alam yang tanpa itu alam raya akan musnah ditelan Wujud-Nya.
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan, kemudian dia limpahkan atas mereka secercah cahaya-Nya.” (Hadits Nabi)
Semesta alam-alam yang Dia ciptakan dalam kegelapan, tanpa cahaya Ar-
Rahmaan tak akan mampu menyadari keberadaan penciptanya, bahkan dirinya
sendiri. Tiupan rahmat dan pemeliharaan-Nya kemudian yang memekarkan setiap titik ciptaan dari status awalnya yang tanpa nama sehingga terpakaikan kepadanya pakaian wujud. Setiap wujud yang ditampakan oleh cahaya-Nya merupakan pernyataan dari himpunan asma-asma Allah, bahkan asma-asma Allah itu sendiri yang tetap tegak oleh tajali ilahiyyah yang terus menerus.
Himpunan asma-asma Nya yang tak terhitung terdapat asma teragung- Nya, Ismul Adzham, merupakan cahaya Allah paling terang diantara limpahan
cahaya-cahaya yang menunjuk kepada-Nya. Cahaya Allah teragung ini merupakan cahaya sumber tempat cahaya-cahaya mengambil cahayanya.
“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An Nuur:35)
Rabbul ‘Alamin mendzahirkan tujuh petala langit dan bumi dengan
mempergunakan cahaya-Nya. Tanpa cahaya-Nya seluruh ciptaan akan berada dalam kegelapan. Kehadiran cahaya Allah merupakan syarat utama atau sebab awal bagi tegaknya kaun (semesta) langit dan bumi. Cahaya Allah adalah juga syarat utama manusia mampu mengetahui dan merasakan apa itu sesuatu yang indah.
2. Keindahan Sastra, Lagu dan Kaligrafi Al-Quran
Al-Quran diyakini merupakan sebuah kitab suci yang memiliki bahasa yang indah, yang bahkan tak seorang pun mampu menandinginya QS. Al-Baqarah (2): 23-24, QS.Yunus (10): 38, QS. Hud (11): 13, Qs. Al-Isra’ (17): 88, dan QS. Ath-Thur (52): 33-34. Keindahan bahasa al-Quran ini dianggap sebagai salah satu bukti kemukjizatan al-Quran (Shihab, 1997: 118-131). Kualitas kesastraan inilah yang menjadi faktor penting penyebaran Islam di kalangan orang-orang Arab pada abad ketujuh (Kermani, 2002: 250). Keindahan bahasa al-Quran ini pula yang kemudian dalam studi al-Quran melahirkan kajian khusus mengenai “keunikan”
bahasa al-Quran, yaitu Uslub al-Quran atau Stilistika. Neal Robinson bahkan membuktikan keterkaitan antara struktur bahasa al-Quran, bunyi dan maknanya dalam beberapa surat al-Quran (Robinson, 1996: 162-176).
Banyak cerita yang bisa disimak berkaitan dengan keindahan bahasa al- Quran. Sebuah riwayat dikaitkan dengan Utsman ibn Ma’zun saat Nabi membacakan kepadanya QS al-Nahl 16 : Sesungguhnya Allah menyuruh kalian
untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dia lantas berkata: “Sungguh,
keimanan telah mengakar dalam hatiku dan aku pun mencintai Muhammad.” Demikian halnya dengan kisah yang dialami Dimad saat ia mendengar Nabi membaca beberapa ayat al-Quran. Kata Dimad, “Saya telah mendengar banyak kalimat dari para ahli sihir, dukun dan penyair, tapi tak satu pun yang sehebat ini.” Dimad pun kemudian masuk Islam (Kermani, 2002: 258). Dua riwayat di atas tentu saja merujuk pada aspek “keindahan” al-Quran.
Keindahan bahasa al-Quran ini dalam banyak hal telah mendorong umat Islam untuk mengekspresikan keindahannya dalam berbagai bentuk: melagukan dalam pembacaannya, menuliskannya dalam berbagai bentuk mushaf yang cantik, menuliskan potongan-potongan ayatnya dalam bentuk kaligrafi dan dalam bentuk seni yang lain. Di Indonesia, HB Jassin menggagas penulisan al-Quran dalam bentuk puisi (HB Jassin, 1995). Refleksi estetik ini secara nyata menjadi fenomena yang cukup menarik di masyarakat Islam.
Upaya mengekspresikan al-Quran secara estetik sesungguhnya sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Salah satu kisah yang cukup populer adalah tentang kisah keislaman Umar ibn Khattab setelah mendengar pembacaan
beberapa ayat Alqur’an oleh adik perempuannya yang bernama Fatimah bersama suaminya yang bernama Sa’id bin Zayd. Kemudian terjadi debat di antara mereka bahkan kemudian muncul sikap kasar Umar kepada mereka. Namun, setalah Umar membaca sendiri beberapa ayat dari surah Thaha, ia kemudian berkomentar “Alangkah indah dan mulianya firman ini (ma ahsana hadzal kalam wa akrama)”, dan kemudian menemui Nabi untuk masuk Islam. Kisah ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran ternyata telah menjadikan Umar bin Khattab yang saat itu merupakan musuh utama Nabi justru mengikuti beliau (Kermani, 2002: 261-262). Navid Kermani memberikan banyak sekali contoh mengenai pengaruh pembacaan al-Quran terhadap masuknya seseorang ke dalam agama Islam (Kermani, 2002: 261-262).
Belakangan, keindahan pembacaan ayat-ayat al-Quran menjadi fenomena yang kompleks dalam kehidupan umat Islam. Pembacaan ayat-ayat suci al-Quran dilantunkan dalam berbagai kesempatan seperti dalam seremoni kenegaraan, pertemuan-pertemuan, kegiatan ilmiah dan sebagainya. Di Indonesia pelantunan ayat-ayat al-Quran juga menjadi bagian dari berbagai event seperti perkawinan, kematian dan ketika seseorang memiliki hajat yang lain. Tradisi “semaan” al- Quran di Indonesia berkembang pesat dalam masyarakat, mulai dari yang hanya melibatkan keluarga hingga jamaah yang jumlahnya puluhan ribu orang. Dalam skala yang berbeda-beda, pun dengan “revolusi” lagu yang terus berkembang, pembacaan ayat-ayat al-Quran dikonteskan oelah umat Islam baik melalui Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), Musabaqah Hifdzil Qur’an (MHQ) dan lain- lain.
Kesusastraan dan seni suara (lagu) Al-quran yang indah akan menjadi lengkap ketika kita memandang lukisan sebuah Kaligrafi. Kaligrafi “menyuarakan” pesan spiritual yang begitu dalam. Kaligrafi adalah “geometri spirit” (Minorsky, 1959: 21). Menurut Seyyed Hossein Nasr, kaligrafi, yang merupakan cikal-bakal seni plastis (plastic arts), menyuarakan wahyu Islam dan menggambarkan tanggapan jiwa orang-orang Islam terhadap Pesan Ilahi. “Kaligrafi Islam adalah pengejawantahan visual dari kristalisasi realitas-realitas spiritual (al-haqaiq) yang terkandung di dalam wahyu Islam.” (Nasr, 1993:28)
Kaligrafi membantu orang Islam menembus ke dalam dan ditembusi oleh kehadiran ilahi itu sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang. Seni suci kaligrafi membantu manusia untuk menembus selubung eksistensi material sehingga memperoleh jalan masuk ke barakah yang terletak di dalam firman Ilahi dan untuk “mengenyam” hakikat alam spiritual (Ibid). Kaligrafi sendiri dalam sejarah Islam berasal dari bahasa Latin kallos,
indah, dan graphein, tulisan atau aksara (Eliade, 1987: 24-25) sering dirujukkan
kepada Ali ibn Abi Thalib yang menyatakan “Keindahan tulisan adalah kefasihan tangan dan keluwesan pikiran.” Ali bin Abi Thalib sendiri bersama sahabat- sahabat yang lain seperti Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Thalhah bin Abdillah, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muawiyah bin Abi Sufyan belajar kaligrafi kepada Bishr dan Harb, dua tokoh pembawa kaligrafi kepada suku Quraisy (Gusmian, 2003: 115).
Pernyataan-pernyataan tentang keindahan tulisan juga dikemukakan oleh misalnya Abu Hayyan at-Tauhidi, “Tulisan tangan adalah perhiasan karya jari- jemari yang digerakkan oleh kecemerlangan emas murni intelektual”(Nasr, 1993:27), Ja’far “Tinta itu merupakan sebgaian dari peradaban yang baik” atau
“Gambaran tinta di depan mata hitam pekat, di depan hati putih bagai salju”( Sirajuddin, 1989: 57) dan lain-lain.
Kaligrafi sebagai seni yang mengekspresikan nilai-nilai spiritual merupakan fenomena yang sangat unik. Seni kaligrafi yang awalnya lebih merupakan gagasan untuk menuliskan wahyu al-Quran kemudian berkembang sangat luas ke dalam masyarakat Islam dengan sangat beragam.
Model khat yang bermacam-macam dalam kaligrafi kemudian menjadi ornamen bagi masjid atau tempat-tempat suci yang lain dan menjadi bagian dari seni arsitektur Islam, hiasan-hiasan dinding baik dalam bentuk ukiran, lukisan dan sebagainya hingga menjadi bagian dekoratif dari berbagai obyek yang mengandung unsur magis sepertikeris, tombak, pedang, perisai, baju dan lain sebagainya. Pun bentuk seni kaligrafi sangat beragam hingga mengikuti bentuk perlambang tertentu seperti pohon, tokoh pewayangan, hewan dan sebagainya.
HB Jassin menyusun ayat-ayat al-Quran dalam bentuk puisi, sehingga sangat berbeda dengan mushaf pada umumnya yang setiap halamannya terpenuhi dengan tulisan ayat-ayat tersebut. “Sebenarnya Alqur’an itu puitis seperti puisi, sehingga rasanya lebih indah kelau disusun berbentuk puisi, dan tentu enak dibaca,” tulis HB Jassin berkaitan dengan gagasannya tersebut (Jassin,1995 :21). Karena disusun seperti susunan puisi, mushaf al-Quran versi HB Jassin yang disebutnya dengan Alqur’an Berwajah Puisi ini menyisakan tempat-tempat kosong di sisi kanan dan kiri ayat-ayat al-Quran. Tempat-tempat kosong ini menurut HB Jassin bisa menjadi bagian dari kesempatan proses perenungan si pembaca (ibid, 45). Menurut HB Jassin, gagasan untuk melakukan dekonstruksi
terhadap tipografi teks-teks al-Quran yang kemudian menjadi kontroversi ini dilakukan tidak lain untuk tujuan menjunjung kemuliaan firman-firman Tuhan dengan wajah yang lebih indah (ibid, 27,53).
3. Keindahan Alam Semesta, Seni Lukis, Pahat dan Patung dalam Al-Quran Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah memperkenalkan keesaan Allah Swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran, ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta Pengajar. Dalam rangka memperkenalkan diri-Nya itulah Allah menciptakan alam raya, seperti bunyi satu ungkapan yang dinilai oleh sementara ulama sebagai hadis qudsi:
Aku tadinya sesuatu yang tidak dikenal. Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.
Untuk tujuan memperkenalkan-Nya --disamping tujuan yang lain-- kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahannya.
Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (QS. Qaf, 50: 6)
Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS. Al- Anam, 61: 99).
Allah Swt. tidak hanya menciptakan langit, melainkan juga memeliharanya. Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan (hiasan yang indah). Begitu pernyataan Allah dalam surat Ash-Shaffat (37): 6-7 dan Fushshilat (41): 12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat diperoleh
darinya bukan sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah penampilan seseorang.
Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging yang segar (ikan), dan kamu dapat mengeluarkan darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ... (QS Al-Nahl, 16: 14) .
Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam, matahari saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih banyak yang lain, semua diungkapkan oleh A1-Quran. Bahkan pemandangan ternak dinyatakannya:
Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS Al-Nahl, 16: 6).
Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang memandangnya untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu.
Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau, oleh kelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa diberi batasan ketat kecuali yang digariskan-Nya pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.
Menang, kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini telah sempurna keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua hiasannya.
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, serta pemilik- pemiliknya merasa yakin berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman- tanamannya laksana tanaman yang telah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS. Yunus, 10: 24). Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan.
Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah Swt., dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau enggan berkata lebih kuat-- dari upaya membuktikannya dengan akal pikiran.
Bukankah seperti tulisan Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud, bahwa Bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya. Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.
Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi keindahan. Bahkan ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah Ar- Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi Saw.;
Sahabat Rasul Malik bin Mararah Ar-Rahawi bertanya kepada Nabi Saw., Wahai Rasul, Allah telah menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan? Nabi menjawab, Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Rasulullah Saw. sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi Saw. bersabda.
Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata, Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat.
Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi. Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa
atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?
Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Pada masa Nabi dan sahabat, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.
Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar. Mari kita coba melihat dua macam seni yang seringkali dinyatakan terlarang, dalam Islam, yaitu; Seni Lukis, Pahat, atau Patung.
Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara