BAB II FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN DALAM
B. Seni dalam Perspektif Islam: Skala Normatif-Yuridis
Salah satu ormas terbesar di tanah air Indonesia, Muhammadiyah memunculkan sebuah terminologi dakwah dengan istilah "Dakwah kultural" yang sempat mengundang pro dan kontra. Persoalan khilafiyah mengenai dakwah kultural ini berawal dari belum jelasnya batasan-batasan yang
digariskan oleh Muhammadiyah menyangkut dakwah kultural yang dimaksud Muhammadiyah itu seperti apa.
Dalam sebuah acara Milad Muhammadiyah di kota Yogyakarta, ketika itu ada sebuah fenomena yang cukup mengusik hati sebagian warga Muhammadiyah, ketika melihat suguhan pentas seni yang ditampilkan dalam acara tersebut berupa campur sari dengan setting penampilan yang masih jauh dari kesan Islami, bahkan ada kecenderungan pemerkosaan secara tidak langsung terhadap nilai-nilai Islam.
Kenyataan yang ada menunjukkan kepada kita bahwa saat ini umat Islam membutuhkan suatu konsep seni yang sejalan dengan nilai-nilai Alqur’an dan al-Sunnah dalam berekspresi sehingga seni bukan hanya untuk seni semata, akan tetapi seni bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Ekspresi seni yang berupaya memadukan konsep seni dan ibadah mulai berkembang dengan adanya kelompok-kelompok seni suara dengan nasyid Islami yang sudah cukup populer di mana-mana, seperti Raihan, Brothers dari Malaysia, Snada, Izzatul Islam, Justice Voice dan Munsyid Indonesia, bahkan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogjakarta baru-baru ini memunculkan kelompok nasyid "Insani" yang tampilan perdananya pada penutupan acara ActionMahasiswa.
Pada hari raya Idul Adha 1430 H ketika itu, kita bisa menyaksikan tampilan perdana sinetron yang cukup sehat berjudul "Cermin" yang disutradarai oleh sinemais muslim Chairul Umam dan sinetron berjudul "Da'i"
yang disutradarai oleh Zak Sorga yang menurut penulis cukup representatif sebagai media dakwah di layar kaca dengan pesan-pesan yang disampaikan.
Manusia pada fitrahnya sangat membutuhkan kebutuhan akan intuisi yang dapat mengangkat derajat kemanusiaanya bahkan sebaliknya intuisi itu dapat menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan, berada di bawah binatang. Di dalam Alqur’an sebenarnya bukan rahasia lagi tentang keindahan dan kedalaman kandunganya (memiliki nilai seni yang sangat tinggi). Di dalamnya pun banyak membicarakan tentang keindahan atau estetika yang menggugah akal hati nurani manusia yang pada gilirannya manusia dapat menyelami keindahan di alam semesta ini.
Ruh seni yang menimbulkan cita rasa keindahan dan kenikmatan dalam jiwa penghayatnya sering ditekankan dalam Alqur’an yang memusatkan pandangannya dengan kuat kepada unsur kebagusan dan keindahan yang telah Tuhan hiaskan pada setiap makhluknya bersebelahan dengan unsur kemanfaatan atau faedah padanya dan Tuhanpun mensyariatkan kepada manusia untuk menikmati keindahan atau perhiasan sekaligus kemanfaatannya (Qardhawi, 2002: 30).
Pada sub bahasan ini akan berupaya memberikan gambaran tentang seni dalam perspektif Islam itu seperti apa, sejauh mana batasan-batasan kebolehan dalam berekspresi sehingga ekspresi seni dalam Islam tidak lepas dari visi dan misi kita diciptakan Allah untuk beribadah.
1. Ghazwul Fikri dan Pengaruhnya terhadap Seni Umat Islam
Jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924 secara tidak langsung berdampak terhadap situasi dan kondisi umat Islam di mana pun berada, karena jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani tidak lepas dari upaya Yahudi yang berkolaborasi dengan kelompok sekuler Kamal at- Taturk untuk menghilangkan Islam dari percaturan dunia.
Jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani berakibat peran dunia Barat untuk meracuni dunia Islam semakin terbuka lebar sehingga tidak mengherankan bila pengaruh sosial dunia Barat semakin kuat, khususnya dengan semakin banyaknya channel siaran TV swasta di Indonesia, kebebasan pers yang tidak terkontrol dengan merebaknya media pornografi, baik itu media cetak dengan tabloid-tabloid yang sarat dengan gambar-gambar wanita tanpa busana utuh, maupun media elektronik.
Seorang missionaris yang bernama Zuwaimir pernah menulis dalam sebuah majalah dengan judul "al-Alam al-Islamy al-yaum" menyatakan bahwa tidak pernah ada keyakinan yang kuat sebagaimana dimiliki oleh kaum muslimin, baik itu di Asia maupun di Afrika yang diyakini oleh jutaan orang, dengan ikatan aqidah dan syari'ah. Oleh karena itu bagi setiap missionaris untuk berusaha melemahkan, dengan membangun kecenderungan mereka untuk tertarik dengan hal-hal yang berbau Barat khususnya di kalangan wanitanya (Ali Ahmad, 1994: 55).
Dengan kondisi seperti ini sudah seharusnya umat Islam menyadari berbagai usaha musuh-musuh Islam dengan menawarkan
berbagai seni yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, baik itu dalam seni musik, seni peran, seni tari, seni lukis dan sebagainya, dengan membangun sebuah seni alternatif yang sejalan dengan jiwa Alqur’an dan as-Sunnah.
2. Sejarah Seni dalam Islam
Seni dalam Islam beriring munculnya dengan diutusnya Rasulullah SAW. Hal ini bisa kita jumpai di dalam hadis nabawi yang diriwayatkan di dalam shahih Bukhari dan Muslim: bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW. Ketika itu ada dua gadis : di sisi Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya , seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling syetan di rumah Rasulullah?". Kemudian Rasulullah SAW menimpali: "Da'huma ya
Aba Bakrin, Fainnaha Ayyamu 'idiri' - biarkanlah mereka wahai Abu
Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya".
Di masa generasi tabi'in, teori musik juga dikenal di kalangan kaum muslimin. Mereka mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani dan Hindia. Di antara para ahli musik yang muncul di kala itu adalah Ibnu Misyah (wafat tahun 705 M), Yusuf bin Sulaiman al-Khatib (wafat tahun 785 M), Khalil bin Ahmad yang telah mengarang buku teori musik mengenai note dan irama (Said Ramadhan Buthi, 1991: 66).
Perhatian cukup besar terhadap seni musik diberikan di masa akhir Daulah Umayyah, kemudian juga di masa Daulah Abbasiah. Salah
satu pendorong didirikannya sekolah musik di masa kekuasaan Daulah Abbasiyah adalah karena keahlian seni musik dan menyanyi merupakan salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di Istana dan di rumah-rumah pejabat negara.
Seni, meskipun telah dikenal sejak awal kemunculan Islam, namun perdebatan mengenai batasan-batasan yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan hingga saat ini masih terus tumbuh berkembang seiring dengan beragamnya alat-alat musik yang diproduksi. Bahkan, pembahasan mengenai hukum memperdagangkan alat-alat musik masih terus menjadi diskusi yang cukup menarik, termasuk mengenai batasan- batasan yang diperbolehkan secara syar'i dalam mengekspresikan seni. 3. Pandangan Ulama Islam tentang Seni
Perbincangan mengenai hukum seni musik, seni patung, seni lukis, seni fotografi, puisi, pantomim merupakan perbincangan yang akan selalu muncul di setiap generasi, karena ekspresi seni muncul pararel dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di masa Rasulullah SAW persoalan seni yang berhubungan dengan multi media belum muncul, namun saat ini, seni dengan menggunakan multi media dengan berbagai perlengkapannya merupakan persoalan yang membutuhkan ijtihad.
4. Seni Musik
Jumhur ulama sepakat bahwa bentuk seni musik (nyanyian) yang memalingkan dari dzikrullah hukumnya haram, namun kemudian berbeda
pandangan mengenai seni musik yang tidak melalaikan dari dzikrullah. Pendapat pertama yang mengharamkan menyatakan bahwa nyanyian dan seni musik merupakan seruling syaitan "mazamiri al-syaithari" yang dilarang.
Landasannya adalah: a. Surah Luqman [31]: 6:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".
b. Surah al-lsra' [17]: 64:
"Dan bujuklah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu...".
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun
(menjengahkannya)".
Ibnu Abbas menyatakan bahwa makna saamidundalam ayat ini adalah ghina (nyanyian).
d. Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik al-Anshari:
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan kaum muslimin, akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para penggembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi seorang faqir untuk meminta sesuatu. Ketika itu kemudian mereka berkata, "Datanglah kepada kami esok hari". Pada malam hari Allah membinasakan ; mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari qiyamat".
Dalam riwayat Imam Ahmad dinyatakan:
"Sekumpulan dari umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan dan permainan. Esok harinya mereka ditukar (rupa) dengan monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka".
e. Hadis Imam Tirmidzi yang diriwayatkan dari lmran bin Husain: "Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan. "Bertanya salah seorang di antara kaum muslimin: "Kapankah yang demikian itu terjadi, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila
muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum muslim".
Pendapat kedua yang membolehkan nyanyian dan alat musik, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Malik, Imam Ja'far, Imam al- Ghazali dan Imam Abu Daud Azh Zhahiri dengan alasan:
a. Firman Allah dalam surah Luqman [31]: 19:
"... dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adatah bunyi keledai".
Imam al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah SWT. memuji suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik.
Hadis Bukhari Muslim menyebutkan:
"Bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi SAW; ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang bernyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling syaitan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah Saw. menimpali: "da'huma ya Aba Bakrin fainnaha ayyamu 'idin" (Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya).
b. Ibnu al-Arabi berkata:
"Tidak ada satu dalil pun di dalam Alqur’an maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada hadis shahih yang menunjukkan bolehnya nyanyian sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim ketika Abu Bakar pergi ke rumah Rasulullah SAW". c. Ibnu Hazm memberi komentar:
"Jika belum ada perincian dari Allah dan Rasulnya tentang haramnya sesuatu yang kita perbincangkan (dalam hal ini mengenai masalah nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa ia adalah halal atau boleh secara mutlak".
d. Yusuf Qardhawi menyatakan:
Nyanyian dibolehkan dengan syarat: (1) Tema nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam yang tercantum di dalam surah an-Nur [24]: 30 dan 31:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera- putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi: "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama sedang pandangan yang kedua adalah resiko bagimu". (2) Penampilan penyanyi harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak kotor, tetapi penampilan biduanitanya sangat seksi sehingga membangkitkan syahwat, menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram. "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya..."(al-Ahzab: 32). (3) Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ' ibadah, maka sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu - meski pada asalnya perkara itu indah - akan dapat melalaikan manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas (Yusuf Qardlawi, 1993: 78).
e. Ahmad As-Syarbasyi (1998, tt: 25) mengatakan:
Hukum mendengarkan musik (nyanyian) bilamana tidak mengarahkan kepada hal-hal yang haram, syair-syairnya baik, mengarah kepada keutamaan akhlaq, maka tidak diharamkan. Akan tetapi, bila musik (nyanyian) itu mengarahkan kepada hal-hal yang menimbulkan syahwat maupun mengandung sesuatu yang munkar, maka diharamkan untuk menikmatinya.
f. Abdullah al-Khatib menyatakan:
Islam tidak mengharamkan sesuatu yang baik, dan tidak mematikan kecenderungan manusia sesuai dengan fitrah insaniyahnya untuk menikmati keindahan, namun menikmati keindahan itu bukan semata- mata untuk menikmati, tetapi ada rambu-rambu yang harus dipatuhi sebagaimana Allah membuat pertanyaan kepada manusia yang Allah sampaikan di dalam firman surah al-A'raf [7]:32:
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”
Kaum muslimin pada generasi awal senang bersenandung, baik ketika mereka sedang dalam medan peperangan maupun ketika hari raya. Sedangkan seni yang merusak adalah menikmati hiburan yang menyebabkan jiwa manusia menjadi terpenuhi oleh gejolak syahwat, menghabiskan waktu manusia bukan untuk dzikrullah.
Dengan adanya dua pandangan mengenai seni musik dan nyanyian ini penulis mengambil pendapat yang kedua yang membolehkan dengan syarat. Landasannya: (1) kembali kepada kaidah ushul fiqh: "AlAsh anna al-Asya 'ala al-ibahah hatta yutsabbitu at-nahyu, wa hadza kullu syai'
(Segala sesuatu pada prinsipnya boleh, sampai ada dalil yang menetapkan larangan"); (2) Syari'at Islam adalah Syumul, menyeluruh yang tidak mungkin menafikan aspek fitrah yang dimiliki oleh manusia, namun di dalam menyalurkan kecenderungan fitrah manusia berdasarkan ruh Alqur’an dan as-Sunnah. Ke-syumul-an syari'at Islam ini Allah tegaskan di dalam firmanNya surah an-Nahl [16]:89:
“ (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
5. Seni Pahat/Seni Patung/Seni Lukis
Bila kita menyimak apa yang terdapat di dalam sirah nabi tatkala nabi hendak masuk ke Ka'bah setelah Fathu Makah, namun ketika beliau menjumpai patung-patung ada di dalamnya, Nabi tidak jadi memasuki Ka'bah sampai dibersihkannya patung-patung dalam Ka'bah.
Berdasarkan itu para ulama berpendapat bahwa tingkat pengharaman itu semakin bertambah manakala patung tersebut berbentuk orang Yang diagungkan seperti al-Masih. Sedang boneka untuk mainan anak-anak kecil diperbolehkan. Adapun mengenai fotografi ulama Mesir al-Allammah Syaikh Muhammad Baqith al-Muthi'I dalam kitabnya
Ahlawabut Kaafi fi ibahaatit Tashwiiril Futughrafi berpendapat bahwa
fotoghrafi itu hukumnya mubah, karena aktivitas fotografi tidak termasuk dalam aktivitas mencipta sebagaimana yang disinyalir dalam ungkapan hadis "yakhluqu kakhalqi..." (menciptakan seperti ciptaanKu...), karena foto itu hanya menahan bayangan. Pendapat ini banyak disetujui oleh banyak ulama termasuk Syaikh Yusuf Qardhawi (1993: 54), dengan catatan foto wanita telanjang atau setengah telanjang diharamkan.
6. Seni Tari
Seni tari sudah dikenal di masa Rasulullah, seperti tarian Habasyah yang dipertunjukkan oleh orang-orang Habsyah (Ethopia sekarang) ketika mereka menari meluapkan kegembiraan menyambut kehadiran Rasulullah
SAW di kota Madinah, bahkan suatu saat Rasulullah pernah mengizinkan Aisyah untuk menonton pertunjukan tarian Habasyah yang sangat sederhana dengan menjinjitkan kaki.
Kalangan ulama dalam persoalan seni tari ini masih menjadi perdebatan antara yang membolehkan dengan syarat sesuai dengan adab- adab Islam, atau pun yang sama sekali tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan fenomena yang ada di masyarakat bahwa seni tari yang dikenal saat ini cenderung mengarah kepada tindakan "tabarruj" (memamerkan diri di kalangan yang bukan mahram), maupun "ikhthilath" (campur baur laki-laki dan wanita dalam satu majlis tanpa mengindahkan adab-adab Islam).
Ada beberapa hal yang bisa penulis sampaikan sebagai kesimpulan mengenai konsep seni dalam Islam. Pertama, seni suara/musik dalam Islam dibolehkan dengan syarat seni yang diekspresikan sejalan dengan adab-adab Islam, tidak bercampur dengan aneka ragam bentuk kemunkaran seperti yang biasa terjadi di diskotik-diskotik maupun di klub- klub.
Kedua, seni patung diharamkan bila berbentuk utuh dan mengarah
kepada pengkultusan individu, yang dikhawatirkan akan mengarah kepada kemusyrikan. Adapun seni fotografi bersifat mubah, bilamana hal ini dilakukan dalam konteks yang ma'ruf. Ketiga, adapun menyangkut seni tari, ulama masih banyak memperdebatkan mengenai kebolehan hal ini, meskipun ada hadis-hadis yang memberi dasar kebolehan seni tari cukup
kuat sehingga perlu pembahasan lebih rinci mengenai batasan kebolehannya.