BAB III PANDANGAN PEMIKIR MENGENAI SENI BERTUJUAN SEBAGA
E. Pandangan Sayyed Hosein Nasr mengenai Seni Islam
Seni Islam menurut Nasr bersumber dan berkaitan dengan aspek spiritual atau aspek batin wahyu. Nasr mengklasifikasikan seni dalam 3 bagian. Pertama, seni suci, yakni seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan kehidupan spiritual. Lawannya adalah seni profan. Kedua, seni tradisional, seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi dengan cara tidak langsung. Lawannya adalah seni anti-tradisional. Perbedaan antara seni suci dan seni tradisional ini bias dilihat pada contoh sebuah pedang.
Pedang yang dibuat abad pertengahan, baik Islam maupun Kristen, tidak pernah digunakan secara langsung dalam acara ritual keagamaan meski merefleksikan prinsip dan ajaran Islam atau Kristen. Karena itu, sebuah pedang pada waktu itu masuk kriteria seni tradisional. Inii berbeda dengan pedang Shinto di kuil I Se di Jepang. Pedang Shinto dikaitkan langsung dengan ajaran agama tersebut dan merupakan objek ritual yang bermakna tnggi dalam agama Shinto, sehingga diimasukkan sebagai seni suci. Ketiga, seni religius, seni yang subjek atau fungsinya bertema keagamaan, namun bentuk dan tata pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-lukisan religius dan arsitektur Barat sejak renaissance dan beberapa lukisan religius di dunia timur selama seabad atau dua abad lalu di bawah pengaruh seni Eropa (Nasr, 1993 : 75).
Menurut Nasr, untuk memahami seni suci, seseorang mesti memahami dulu pandangan –masyarakat—Islam tentang realitas kosmik maupun metakosmik. Dalam pandangan filsafat Islam, realitas adalah multi struktur, yakn mempunyai berbagai tingkat eksistensi. Realitas berasal dari Yang Esa dan terdiri dari berbagai tingkat yang sesuai dengan kosmologi Islam, dapat diringkas sebagai alam malaikat, alam psikhis, dan alam material (fisik). Manusia hidup dalam material, namun sekaligus dikelilingi oleh seluruh tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Yang suci menandai suatu pemunculan dunia yang lebih tinggi dalam hal eksistensi psikhis dan material, keabadian dunia temporal. Semua yang dating dari dunia spiritual adalah suci karena berperan sebagai sarana untuk kembalinya manusia menuju dunia spiritual. Namun kemungkinan kembali ke dunia yang lebih tinggi, tidak dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas, sebab
pada dasarnya hanya yang dating dari dunia spiritual itulah yang dapat bertindak sebagai sarana untuk kembali ke dunia yang lebih tinggi.Yang suci, menandakan adanya “keajaiban” nilai spiritual dalam dunia material. Ia merupakan gema dari surga untuk mengingatkan manusia di bumi akan tempat asalnya, surga (Nasr, 1993 : 76).
Seni suci dengan demikian mempunyai atau mengikuti prinsip-prinsip tertentu yang berkaitan dengan nilai-nilai Ilahiyah atau dimensi spiritual Islam. Pertama, mengikuti prinsip kesatuan kosmos dan apa yang ada di balik semesta dengan kesatuan prinsip Ketuhanan (Nasr, 1993 : 72). Kosmolog Islam didasarkan pada penekanan Tuhan sebagai satu-satunya sumber segala sesuatu, yang mengatur dan menghubungkan eksistensi-eksistensi yang ada di bawahnya; menghubungkan dunia material dengan dunia ghaib, dunia ghaib dengan alam malaikat, alam malaikat dengan alam malaikat muqarrabin, alam malaikat
muqarrabindengan al-ruh dan ruh dengan karya kreatif primordial Tuhan. Semua
bergerak dinamis dalam pola dasar yang selaras dan seimbang (Nasr, 1993 : 57). Masjid adalah contoh riil bentuk seni arsitektur suci Islam sesuai dengan prinsip di atas. Kekosongan, kesederhanaan dan kemiskinan bentuk serta pola menunjukkan status ontologis dunia sebagai yang papa dan miskin di hadapan Tuhan Yang Maha Kaya. Ikhwal ruang-ruang yang sunyi merefleksikan kedamaian, sedang lengkungan dan kolom-kolom ruang adalah ritme yang mengimbangi eksistensi kosmiik yang menjelaskan fase-fase kehidupan manusia dan juga kosmos yang dating dari-Nya maupun yang kembali kepada-Nya (Nasr, 1993 : 58).
Kedua, mengikuti prinsip kesatuan hidup individu dan masyarakat yang diatur hokum Ilahi (al-syari’ah). Masjid di sebuah kota Islam tradisional, misalnya bukan hanya sebagai pusat kegiatan religius melainkan juga seluruh kehidupan masyarakat, bak cultural, social, politik, juga –pada tahap tertentu—kegiatan ekonomi. Secara organisatoris, masjid senantiasa berhubungan dengan pasar sebagai pusat ekonomi, istana sebagai pusat kekuasaan politik, sekolah sebagai pusat kegiatan intelektual, dan seterusnya. Siapa yang memperhatikan kota Islam tradisional pasti melihat kesatuan dan keterpaduan seperti itu. Di pusat kota past ada masjid, berdekatan dengan istana dan pasar (Nasr, 1993 : 73).
Fungsi Spiritual Seni Islam
Tidak berbeda dengan seni-seni lain yang mengandung banyak fungsi (Liang Gie, 1996 : 47-52), seni Islam juga mengandung fungsi-fungsi khusus. Menurut Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung empat pesan atau fungsi spiritual. Pertama, mengalirkan barokah sebagai akibat hubungan batin dengan dimensi spiritual Islam. Tidak bisa dipungkiri, seorang muslm yang paling modern sekalipun, akan mengalami rasa kedamaian dan kegembiraan dalam lubuk hatinya, semacam ketenangan psikologis, ketika memandang kaligrafi, duduk di karpet tradisional, mendengarkan dengan khusyuk bacaan tilawah Alqur’an atau beribadah di salah satu karya arsitektur masjid Islam (Nasr, 1993 : 214).
Kedua, mengingatkan kehadiran Tuhan di manapun manusia berada. Bagi seseorang yang senantiasa ingat kepada Tuhan, seni Islam selalu menjadi pendorong yang sangat bernilai bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan realitas Tuhan (al-Haqaiq). Bahkan, seni Islam yang pada dasarnya
dilandasi wahyu Ilahi adalah penuntun manusia untuk masuk ke ruang batin wahyu Ilahi, menjadi tangga bagi pendakian jiwa untuk menuju pada Yang Tak Terhingga, dan bertindak sebagai sarana untuk mencapai Yang Maha Benar (al- Haqq) lagi Maha Mulia (al-Jalal) dan Maha Indah (al-Jamal), sumber segala seni dan keindahan (Nasr, 1993 : 17-18).
Kenyataan tersebut terjadi dalam semua bentuk seni Islam. Kaligrafi misalnya, merupakan seni perangkaian titk-titik dan garis-garis pada pelbagai bentuk dan irama yang tiada habisnya merangsang ingatan akan tindak primordial dari pena Tuhan. Ia merupakan refleksi duniawi atas firman Tuhan yang ada di Lauful Mahfuzh, yang menyuarakan sekaligus menggambarkan tanggapan jiwa manusia terhadap pesan Ilahi dan merupakan visualisasi atas realitas-realitas spiritual yang terkandung dala wahyu Islam (Nasr, 1993 : 27-29). Begitu pula dengan seni liturgy, tilawah Alqur’an, mengiingatkan manusia akan keagungan Tuhan. Hal senada juga terjadi dalam syair-syair, musik dan karya-karya sastra lainnya yang notabene lahir dari model teks suci Alqur’an. Keselarasan bait-bait syair dan irama musik menghubungkan diri dengan keselarasan dan ritme universal kosmik (Nasr, 1993 : 102-170).
Ketiga, menjadi krteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan social, cultural dan bahkan politik benar-benar otentik Islami atau hanya menggunakan siimbol Islam sebagai slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Sepanjang sejarah dan dengan kedalaman serta keluasan manifestasi otentiknya, mulai dari arsitektur sampa senii busana, seni slam senantiasa menekankan keindahan dan ketakterpisahan dari-Nya (Nasr, 1993 : 218). Apakah mereka yang mengklaim
berbicara atas nama Islam juga telah menciptakan bentuk-bentuk keindahan dan kedamaian? Apakah ada kualitas ketenangan, keselarasan, kedamaian dan keseimbangan yang menjadi cirri khas Islam maupun manifestasi artistic dan kulturalnya, dalam sikap dan perilaku gerakan-gerakan dan organisasi Islam?
Keempat, sebagai criteria untuk menentukan tingkat hubungan intelektual dan religius masyarakat muslim. Saat ini banyak tokoh berbicara tentang islamisasi pengetahuan, penddikan, system ekonomi, maupun system masyarakat Islam sendiri disamping banyak yang melakukan berbagai usaha kongkret untuk mencapai tujuan tersebut. Semua itu bukan usaha yang mudah dan pasti menghadapi kendala dan tantangan yang berat. Apakah mereka yang melakukan usaha-usaha tersebut menyadari bentuk keislaman di luar ketentuan syari’ah yang bersifat eksoterik? Seni Islam dalam pengertian universalnya dapat dijadikan kriteria untuk menilai sifat proses pencapaian beserta hasil-hasilnya, karena tidak ada yang otentik Islam tanpa memiliki kualitas yang lahir dari spiritual dan menjelmakan dirinya di sepanjang sejarah seni tradisional Islam, mulai dari tembikar hingga sastra dan musik (Nasr, 1993 : ibid). Artinya, tingkat keberhasilan yang dicapai yang bias diukur lewat data-data empiris berkaitan dan sekaligus menunjukkan tingkat kualitas spiritual yang menyertainya.
Seni bukan untuk seni sendiri. Tidak ada istilah L’art pour l’art. Karya- karya seni, bagi Nasr harus digali dan mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan menuntun manusia kembali kepada Tuhan. Inilah cirri khas pemikiran Nasr yang perennial. Gagasan ini hampir sama dengan teori seni dan keindahan Iqbal.
Bedanya, seni Nasr merupakan ekspresi dimensi spiritual sedang Iqbal adalah ekspresi kreatifitas ego. Namun, lepas dari corak pemikirannya, cara pandang Nasr ini adalah sesuatu yang sangat positif, bisa digunakan sebagai jalan alternatif atas dampak negatif modernitas yang ternyata justru menjauhkan manusia dari spiritual, sehingga menimbulkan kekeriingan jiwa dan menimbulkan kerusakkan (Nasr, 1983 : 32-34; lihat juga Nasr, 1994 : 221-232).