BAB I PENDAHULUAN
E. Kerangka Teori
Pemakaian teori dalam penelitian kualitatif agak berbeda dengan jenis penelitian kuantitatif. Kerangka teoretis dalam penelitian kualitatif ini semata- mata bukan untuk menguji maupun membuktikan teori, tetapi sebagai alat untuk memaknakan realitas dan data yang tengah dihadapi dan dikaji agar mampu menganalisis dengan penuh kritik (Strauss, 1990: 23).
Penulis dengan pendekatan multidisipliner mencoba mengetengahkan beberapa teori yang diharapkan dapat membangun gagasan (konsep) baru atau memodifikasi teori berdasarkan pada data yang telah dikumpulkan dan dianalisis. Beberapa kerangka teori yang penulis ketengahkan mencakup: teori induk Parsons mengenai sistem sosial (social system), teori aksi (action theory), dan teori fungsional. Pemakaian teori-teori di atas dengan pertimbangan bahwa satu dengan lainnya saling melengkapi atau menunjang. Komplementasi itu dapat menunjukkan misalnya hubungan sistem kebudayaan (dari sistem Parsons) sebagai sistem symbol kreasi seni, yang relasinya bersifat horizontal sebagai perilaku manusia yang telah membudaya di dalamnya adalah hasil tindakan aktif-
kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor (seniman). Oleh karena itu tindakan aktif kreatif akan dimaknakan dengan teori aksi (action theory).
Kesatuan sistem hubungan sosial (dalam hal ini kesenian dan pendidikan Islam) ini menjadi semacam sistem “ritual” dalam sinergisitas karya seni dengan sistem diluarnya, dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem yang dapat meningkatkan kesadaran akan nilai dan makna tujuan seni, dan dapat mempertahankan keseimbangannya (fungsionalisme struktural).
a. Teori Sistem
Berdasarkan ide yang diketengahkannya dalam The Social System(Parsons, 1951), Parsons menerangkan seluruh pengertian perilaku manusia (sistem bertindak) merupakan sistem yang hidup, sehingga terdapat sistem-sistem yang saling tergantung yaitu sistem kebudayaan (cultural system),sistem sosial (social
system), sistem kepribadian (personality), dan sistem organisme perilaku
(behavioural organism). Masing-masing sistim itu mampu memperlakukan
sebagai sistim yang mempunyai prasyarat fungsional sistim bertindak (action
system). Istilah Parsons yang terkenal menggunakan skema AGIL, yaitu empat
fungsi primer yang dapat dirangkaikan dengan seluruh sistem yang hidup. Sistem organisme perilaku memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian (Adaptation),
diberi singkatan A; sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan
(Goal attainment), disingkat G; sistem sosial adalah sumber integrasi (Inter
gration), disingkat I; dan sistem kebudayaan mempertahankan pola-pola yang ada
Berangkat dari teori Parsons yang cukup kompleks ini, maka sebagaimana sistem yang lain, sistem kebudayaan yang secara konseptual ditegaskan sebagai sistem simbol, empat kebutuhan fungsional (AGIL) itu harus terpenuhi juga. Dalam sistem kebudayaan kebutuhan adaptation dipenuhi melalui sub-sistem simbol kognitif (Cognitive symbolization) yang bentuk kongkritnya berwujud ilmu pengetahuan atau dasar perilaku kognitif; goal attainment melalui simbol ekspresif (expressive symbolization), bentuk kongkritnya berupa perbuatan ekspresif dalam karya seni dan komunikasi simbolik yang lain; integration
dipenuhi melalui beberapa simbol moral (Moral symbolization), bentuk kongkritnya berupa ketentuan normatif dalam etika, adat sopan-santun atau tata- krama pergaulan; dan latent pattern-maintenance diselesaikan melalui simbol konstitutif (Constitutive symbolization) yang bentuk kongkritnya berupa kepercayaan atau dasar dan inti perilaku berkesenian. (Waters, 1994: 142-151; Bachtiar, 1985: 66).
Prinsip karya seni dengan konsepnya yang disebut living form dan
expressive oleh Langer (1953: 40-46), merupakan ekspresi pengalaman manusia
berupa bentuk simbolis, berisi perasaan, dan betul-betul komunikatif. Sudiarja (1983: 69-81) ketika membahas teorinya Langer, mengemukakan bahwa makna simbol ekspresif (seni) sebagai suatu abstraksi, merupakan bentuk kreasi, memiliki vitalitas artistik yang utuh. Berbagai macam bentuk simbol seni tidak hanya menyampaikan "makna" atau meaning untuk dimengerti, tetapi lebih sebagai suatu "pesan" atau import untuk diresapkan. Pengertian "makna" kadang- kadang hanya diartikan sebagai suatu persoalan atau masalah yang hanya dapat
"dimengerti" atau "tidak dimengerti" saja, seperti misalnya dalam bahasa. Tetapi pengertian "pesan" harus ditangkap secara lebih dalam dan luas, terutama dalam memahami "pesan" terhadap simbol ekspresif atau seni, orang biasanya dapat tersentuh secara mendalam dari hakikat "pesan" itu.
b. Teori Aksi
Fenomena proses inkulturasi yang terjadi di daerah ini adanya hasil tindakan aktif-kreatif atau aksi manusia atau individu sebagai aktor. Untuk memaknakan gejala itu, dipahami dengan teori aksi atau tindakan (action theory) yang dikembangkan oleh Parsons dengan mengikuti karya Weber (Ritzer, 1985: 52-58). Menurut Parsons dengan mengemukakan konsep voluntarism,yaitu kesukarelaan individu atau aktor melakukan tindakan (volunteering/or action) dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia, dalam rangka mencapai tujuan (Waters, 1994: 40-42). Aktor dalam hal ini seniman, adalah pelaku aktif dan kreatif, serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakannya. Seniman yang kebanyakan mempunyai kebebasan, pasti masih juga dibatasi oleh kondisi, norma, dan nilai-nilai serta situasi penting lainnya dalam berkarya, seperti kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, agama, tetapi dibalik itu aktor adalah manusia aktif, kreatif dan evaluatif. Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif ini menurut Parsons (Ritzer, 1980: 92) antara lain:
1. Tindakan manusia atau aksi muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan- tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan.
3. Dalam bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur / metode, serta instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya atau circumstances.
5. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.
7. Studi antar hubungan sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic
reconstructionatau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience).
c. Teori Fungsional
Kesadaran religiusitas atau persoalan agama dan masyarakat tak luput dari pembicaraan kaum fungsionalis. Parsons (1967), termasuk pengikut fungsionalis, memandang sumbangan agama terhadap kebudayaan berdasarkan arti pentingnya, yaitu sesuatu yang mentransendensikan pengalaman (referensi transendental); sesuatu yang berada di luar dunia empiris (O'Dea, 1995: 7). Berdasarkan pandangan seperti itu, maka fenomena kesadaran religiusitas dalam realitas sosial ini dipahami dengan konsep fungsional dari kerangka teori fungsionalisme struktural. Teori ini
memandang bahwa masyarakat sebagai suatu sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan (equilibrium). Perubahan dari salah satu bagian akan mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan (Ritzer, 1980: 25-30). Dalam hal ini agama termasuk “ritual” seniman berkarya seni di dalamnya sebagai salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian dari keseluruhan sistem sosial/ dan berfungsi bagi masyarakat khususnya sebagai pengintegrasi. Maka persoalan kesadaran religiusitas yang ada dalam realitas sosial ini, dari pandangan fungsionalis akan muncul pertanyaan, bagaimana fungsi lembaga agama dapat meningkatkan kesadaran religiusitas seniman, sehingga dapat memelihara atau mempertahankan keseimbangan seluruh sistem sosial? Dengan konsep fungsi yang biasa dipakai dalam teori fungsionalisme struktural, maka pertanyaan "fungsional" itu jawabannya adalah, aksioma teori ini ialah segala sesuatu yang tidak berfungsi (disfungsi) akan lenyap dengan sendirinya. Karena kesadaran religiusitas yang ada sejak dulu sampai sekarang masih cukup tinggi, maka dapat dikatakan bahwa
agama mempunyai fungsi, atau bahkan memerankan sejumlah fungsi. Berdasarkan ketiga teori yakni; teori sistem, teori aksi dan teori
fungsional, kita dapat memahami bahwa kesenian dengan karya seninya layak mempunyai nilai-nilai, makna dan tujuan berkesenian. Seni untuk seni yang bebas nilai ditepis dalam teori-teori tersebut. Di samping beberapa teori tersebut berpijak dari beberapa konsep seperti Seni untuk masyarakat, konsep seni Islam Sidi Gazalba, Ilmu Sosial Profetik dan Sastra Profetiknya
Kuntowidjojo yang dilandasi etika profetik Iqbal, serta gerakan teologi profetik, penulis dengan optimis menyatakan bahwa gagasan Seni Profetik dan implementasinya dalam pendidikan Islam ini sangat relevan untuk digali dan dikembangkan.
Karya seni untuk masyarakat dalam kritik seni pada umumnya disebut
tendenszkunst, yaitu “seni berpihak” atau seni bertendensi atau juga l’art
engagee (seni berisi). Seni untuk masyarakat ini sering dipertentangkan atau
berseberangan dengan l’art pour l’art atau “seni untuk seni” (Ratna, 2007 : 360).
Sebagai medium komunikasi, semua bentuk ekspresi jelas mengandung tujuan. Komunikasi yang bermakna ditunjukkan melalui relevansinya dalam menghubungkan antara pengirim dan penerima, penulis dan pembaca, subyek dan obyek. Perbedaannya, seberapa jauh tujuan-tujuan tersebut dapat dikategorikan sebagai memiliki tendensi tertentu, sehingga mendominasi nilai-nilai estetikanya. Dengan menunjuk bahasa sebagai medium komunikasi utama, maka justru dalam bahasalah terkandung tujuan- tujuan tersebut sebab bahasa telah mewakili jamannya, bukan semata-mata pengarangnya. Dengan mempertimbangkan bahwa karya seni mesti bermanfaat, maka pada dasarnya semua karya seni mesti mengandung tendensi tertentu. Dengan kata lain, tidak ada karya seni yang diciptakan semata-mata demi kepentingan karya seni itu sendiri (Ratna, 2007 : 361).
Menurut Kutha Ratna, pada dasarnya seni untuk seni tidak berbeda dengan seni untuk masyarakat, dengan syarat karya seni itu ditujukan untuk
keseluruhan individu, yaitu para seniman itu sendiri, termasuk para partisipannya, bukan pengarang secara individual. Masalah yang dihindarkan dalam pemahaman seni untuk seni adalah karya yang semata-mata dipahami oleh pengarangnya. Hasil kreativitas seperti ini jelas tidak berfungsi untuk menopang perkembangan kebudayaan secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya aktivitas tersebut cenderung dianggap sebagai suatu kemunduran, sebab sama sekali tidak memiliki relevansi untuk kepentingan masyarakat. Artinya, seni sebenarnya tidaklah bebas nilai. (Ratna, 2007 : 363).
Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjojo, seperti konsep seni untuk masyarakat, tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial (termasuk di sini seni) untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik dan juga seni profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. Kongkretnya, Kuntowidjojo seorang budayawan sekaligus seniman --tepatnya sastrawan—dalam pesan yang disebutnya “Maklumat Sastra Profetik” menyatakan bahwa karya seninya yang berbentuk sastra ia nyatakan sebagai Sastra Profetik. Secara tidak langsung dia mengetengahkan kesenian profetik dalam karya sastranya walaupun secara langsung dia belum memunculkan konsep kesenian profetik secara konsepsi dan teoritis. Kuntowidjojo hanya membahas karya seninya yang berupa sastra, ia sebut sebagai sastra profetik.
Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik” meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan merasa di-fait accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja kiriman ini sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua itu saya kerjakan karena saya terlanjur dikabarkan – terutama lewat Horison sebagai penganjur Sastra Profetik. Dan, saya merasa “berdosa” kalau tidak saya kirim ke Horison terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk tidak memuat. Mohon berita lewat telepon 0274-881- XXX, terutama selepas pukul 08.00 malam. (Imron, 2005 : 178-192).
Karya “Maklumat Sastra Propetik” nya, barangkali karya Kuntowidjojo yang terakhir kepada Redaksi Horison dengan tanggal 1 Februari 2005. Karena tiga minggu kemudian, Kuntowidjojo wafat. Karangan yang berisi maklumat Kuntowidjojo yang berjudul “Maklumat Sastra Profetik” itu ternyata dimuat dalam Horison No. 5 terbitan bulan Mei 2005 bersama dengan tulisan-tulisan lain “obituari” tentang Kuntowidjojo. Tulisan itu dimuat tentu bukan karena penulisnya meninggal, tetapi memang karena penting agar orang bisa lebih memahami kesastrawanan Kuntowidjojo, lengkap dengan argumentasinya. Sekali lagi, “Maklumat Sastra Propetik” Kuntowidjojo secara tidak langsung telah menyumbangkan gagasan dan konsepsi kesenian profetik.
Selebihnya Kuntowidjojo merumuskan kaidah sastra propetiknya sebagai berikut:
Sastra Profetik mempunyai kaidah-kaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Sastra Profetik adalah juga sastra dialektik, artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Oleh karena itu, Sastra Profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan. la tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya bisa berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu-jarak, karena itulah lahir ungkapan, "sastra lebih luas dari realitas", "sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun
realitasnya sendiri". la adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah realitas simbolis bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.
Namun, Sastra Profetik tidak bisa memberi arah serta melakukan kritik terhadap realitas sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective intelligence. Dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekadar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. (Kuntowidjojo, 2006 : 2)
Rumusan yang lain yaitu mengenai “Etika Profetik” Kuntowidjojo menyatakan bahwa Sastra Profetik adalah sastra demokratis. la tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh Komunisme menurutnya sastra memilih realisme sosialis dengan agresif, dan berusaha memadukan aliran lain, ada bureaucratization of the imaginative.
Keinginan Sastra Profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan sukarela, tidak memaksa.
Etika itu disebut "profetik" karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang
Prophet.Asal-usulnya etika profetik Kuntowidjojo adalah berpijak pada etika
profetiknya Muhammad Iqbal yang terdapat dalam bukunya berjudul
“Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam” mengutip ungkapan
seorang sufi yang mengagumi Nabi dalam peristiwa Isra'-Mi'raj. Meskipun Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.
Demikianlah, gagasan Kuntowidjojo dalam karya sastranya tersebut perlu ditindaklanjuti dengan memperluas kasanahnya di dalam konsep
berkesenian, yakni konsep Kesenian Profetik, inilah yang penulis coba ketengahkan.
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih. Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan (Syed Sajjad Husein & Syed Ali Ashraf, 1986). Lebih dari itu, Isma’il Raji Al-Faruqi mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk dalam hal pendidikan di kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam (Faruqi, 1988 : 7).
Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering dipertanyakan. Masih terdapat pemahaman dikotomis keilmuan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran
Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/
naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal
Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia, demikian juga kebudayaan dan kesenian.
Pendidikan Seni Islam menurut Sidi Gazalba juga memiliki ranah yang penting di dalam wacana keilmuan, bahkan estetika/seni menjadi salah satu unsur dari nilai kebijaksanaan universal sejajar dengan ilmu, agama dan etika (Gazalba, 1988:65). Namun perlu diakui hingga saat ini kebanyakan ulama masih berpendapat negatif terhadap kesenian ini. Hal ini perlu diluruskan kebenarannya bagaimana sebenarnya konsep pendidikan seni dalam Islam.
Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Naquib Al-attas, harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-
Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi
kepribadian; a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu
keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu termasuk di dalamnya kesenian dan implementasinya dalam pendidikan Islam.