• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estetika dalam Pandangan Ismail Raji’ al-Faruqi

Dalam dokumen Konsep Kesenian Profetik dan Implementas (Halaman 144-166)

BAB III PANDANGAN PEMIKIR MENGENAI SENI BERTUJUAN SEBAGA

A. Estetika dalam Pandangan Ismail Raji’ al-Faruqi

Kata estetika berasal dari kata kerja Yunani yang berarti merasakan (to sense, or perceive) (Titus, 1984: 125). Dalam kajian filsafat, estetika merupakan cabang dari filsafat yang membahas tentang prinsip-prinsip keindahan dan rasa seni, the branch of philosophy dealing with the principles

of beauty and artistic taste (Jonathan, 1995: 9). Masalah utama yang hendak

dijawab oleh estetika adalah apa hakekat keindahan itu. Di samping itu estetika mempersoalkan teori-teori mengenai seni. Dengan demikian, estetika merupakan suatu teori yang meliputi (1) penyelidikan mengenai yang indah, (2)penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni, dan (3) pengalaman yang berkaitan dengan seni (Louis, 1987: 283).

Persoalan keindahan (seni) telah banyak dibahas oleh para ahli, tetapi nampaknya mereka memiliki persepsi yang berbeda mengenai keindahan itu sendiri. Louis Kattsoff mencatat ada empat konsepsi tentang keindahan, yaitu sebagai berikut. Pertama, Seni (keindahan) merupakan hasil kegiatan intuisi dan ungkapan perasaan. Pendapat ini diwakili oleh Bernedetto Croce. Menurutnya, seni (keindahan) adalah kegiatan kejiwaan yang bersifat intuitif dan mengandalkan perasaan. (Louis, 1987: 383). Oleh karena itu seni

(keindahan) bersifat subyektif-individual dan bukan objektif-universal. Kedua,

Keindahan sebagai rasa nikmat yang diobjektivikasikan. Tokohnya adalah Santayana. Menurutnya, keindahan tergantung pada pencerapan kita terhadap suatu objek, meskipun objek tersebut belum tentu indah. Perasaan indah itu ditandai dengan adanya perasaan nikmat (Louis, 1987: 386). Ketiga, Keindahan sebagai objek tangkapan akali. Pandangan ini diwakili oleh Thomas Aquinas dan Jacques Maritain. Menurutnya, keindahan adalah sesuatu objek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal. Objek itu sendiri indah karena ia memiliki unsur-unsur seimbang, tertib dan sempurna (Louis, 1987: 388 - 390). Keempat, Seni (keindahan) sebagai pengalaman. Pandangan ini diwakili oleh John Dewey. Menurutnya, keindahan adalah pengalaman yang memberikan keberhasilan. Dewey beranggapan, bahwa keindahan bukan merupakan sesuatu yang abstrak, melainkan konkrit dan empirik dalam realitas kehidupan manusia. (Louis, 1987: 388 - 390). Inilah teori-teori keindahan yang dibangun berdasarkan pijakan masing-masing.

Definisi estetika Islam atau estetika perspektif Islam setidaknya ada dua konsep mendasar yang perlu diperjelas lebih dahulu definisinya, yaitu estetika disatu sisi dan Islam disisi yang lain. Secara sederhana estetika bisa diartikan sebagai filsafat keindahan, atau pembicaraan filosofis tentang keindahan beserta aspek-aspeknya. Aspek-aspek keindahan meliputi obyek yang dinilai indah, proses yang dilakukan seseorang untuk menciptakan keindahan, serta pengalaman seseorang yang menikmati (mengapresiasi) keindahan tersebut. Pembahasan keindahan juga meliputi merujuk pada

disiplin tradisional filsafat apa hakikat keindahan (ontologi), dengan apa dan bagaimana pengalaman keindahan tersebut diperoleh (epistemologi), dan bagaimana seseorang mengekspresikan keindahan tersebut (aksiologi) (Salim, 2002). Semua aspek-aspek tersebut dikaji secara filosofis, atau dikaji dengan memberdayakan akal pikiran, ditelusuri kejelasan konseptualnya sampai keakar permasalahan yang paling dalam dan paling tersembunyi (Iqbal, 2001).

Islam merupakan suatu agama yang rujukan dasarnya adalah Alqur’an, yaitu kitab suci yang merupakan merujuk pada asal usulnya wahyu yang diturunkan Tuhan untuk dijadikan acuan dasar manusia dalam menjalani hidup. Kehidupan penganut Islam secara ideal harus mendasarkan diri pada ajaran yang tertera dalam al- Qur’an, dengan kata lain Alqur’an merupakan undang-undang dasar bagi muslim untuk menjalani kehidupannya dimuka bumi. Demikian, dalam tingkatan yang paling prinsipil pandangan dunia seorang muslim yang integritas kemuslimannya diakui adalah pandangan dunia Qur’ani. Jika pendefinisian dua konsep di atas disepakati, maka estetika Islam bisa dipahami sebagai pembahasan filosofis tentang keindahan beserta aspek-aspeknya yang mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Alqur’an atau setidaknya mendasarkan diri pada pandangan dunia (world-view) Alqur’an. Pemahaman ini bisa menjadi rancu secara filosofis, karena selama ini yang namanya pembahasan filosofis adalah pembahasan yang mengandalkan proses berpikir yang sesuai nalar tanpa bersandar terhadap satu keyakinan apapun, sehingga estetika Islam Nampak bukanlah sebagai suatu kajian filosofis murni karena masih bersandar (dan meyakini) terhadap suatu ajaran, yaitu Alqur’an.

Dengan menganut jalan pikiran demikian, maka yang seharusnya adalah estetika ansich, tanpa embel-embel kata sifat apapun.

Persoalan yang coba penulis kemukakan di sini adalah adanya keraguan bahwa suatu kajian filsafat bisa dilakukan secara murni filosofis dengan memakai rujukan suatu ajaran atau doktrin tertentu. Sebenarnya, dalam lingkup yang lebih luas, keraguan ini bukanlah suatu persoalan yang baru dalam filsafat, melainkan sudah bersifat klasik. Pernah diperdebatkan dalam sejarah keabsahan filosofis dari kajian etika Islam, Epistemologi Islam, Kosmologi Islam atau pembahasan tema-tema filsafat lain yang memakai atau disifati oleh kata-kata Islam dibelakangnya.

Penulis di sini tidak ingin membuat daftar panjang dari persoalan tersebut, mengelaborasi, serta mencari pemecahan masalahnya. Penulis hanya ingin menawarkan jalan pintas, sebagai syarat dilanjutkanya pembahasan estetika Islam, yang belum tentu memuaskan secara intelektual. Jalan tersebut adalah pengandalan terhadap integritas seorang filosof. Jika penulis merupakan seorang filosof, maka penulis akan mengkaji secara filosofis segala bentuk ajaran, mulai dari produk-produk ilmiah, fatwa orang-orang yang belum tentu jelas integritasnya sampai ajaran-ajaran yang diklaim datang dari Tuhan (wahyu). Penulis akan mengevaluasi semua bentuk ajaran tersebut, kemudian menerima yamg sesuai nalar filosofis dan menolak yang tidak sesuai. Sejarah membuktikan bahwa ternyata kebenaran ajaran-ajaran Alqur’an, setelah dikaji secara filosofis, berjalan beriringan dengan kebenaran nalar intelektual (tidak terdapat kontradiksi di dalamnya). Implikasinya,

estetika Islam relevan dikaji bagi pihak awam seperti penulis dengan merujuk pada proses dan produk intelektual dari seorang filsofof atau suatu mazhab pemikiran yang integritas ke-muslim-an dan integritas intelektualnya diakui. Artinya filosof tersebut telah mengkaji secara mendalan ajaran Alqur’an, menemukan kebenaran didalamnya dan menyatukan ajaran-ajaran tersebut dalan dirinya sehingga pandangan dunianya adalah pandangan dunia Qur’an.

Dunia Islam, sepanjang sejarah eksistensinya telah menghasilkan banyak filosof dan beragam pemikiran filosofis yang dalam tingkatan tertentu terdapat perbedaan. Karya-karya intelektual dari filosof yang datang kemarin kemudian dikaji, dievaluasi, dikritisi dan direvisi oleh filosof yang datang hari ini, sehingga produk pemikiran filosofis terus berkembang sesuai konteks zaman. Sedikitnya rujukan pemikiran tentang estetika di dunia Islam, membuat penulis hanya bisa menampilkan satu-dua di antara sederet filosof muslim untuk memulai mengkaji estetika Islam.

1. The Idea of Beauty and the Idea of Beautiful.

Kerangka teoritik yang dibangun oleh Faruqi adalah: bahwa realitas, kebenaran, ruang dan waktu, dunia dan sejarah umat manusia, serta estetika bermuara pada tauhid (Ismail, 1995: 74). Dengan demikian estetika merupakan bagian dari ekspresi tauhid, yaitu pandangan tentang keindahan (estetika) yang muncul dari pandangan dunia tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, yang membawa kesadaran kepada ide transenden (Isma’il, 1986: 86).

Estetika sebagai ekspresi tauhid memiliki dua ide dasar, yaitu the idea of beauty dan the idea of beautiful. Yang pertama bersifat objektif, yaitu Obyek atau sumber keindahan itu sendiri. Ia adalah Tuhan dan ciptaanNya dan nilai keindahan yang mutlak hanya padaNya, termasuk di dalamnya adalah keindahan yang diungkapkan oleh alam semesta dan isinya. Sedangkan yang kedua bersifat subjektif, yaitu pengalaman estetik yang berkaitan dengan hasil pengamatan terhadap the idea of beauty

(Ismail, 1986: 86). Pengalaman tentang keindahan ini kemudian diekspresikan dalam bentuk karya seni (art). Karya seni bukan merupakan hasil tiruan dari realitas alam, melainkan suatu apresiasi dari pengalaman estetika.

2. Metodologi dan Pendekatan

Berdasarkan kerangka teoritik di atas, Faruqi menyusun metode pembahasan mengenai estetika sebagai berikut:

Faruqi memulai pembahasannya dengan merumuskan pandangan dunia (world view), kemudian bagaimana estetika Islam dan seperti apa seni Islam itu. Pandangan dunia (world view) yang dibangun oleh Faruqi adalah “pandangan dunia tauhid". Pandangan dunia tauhid ini dijadikan sebagai prinsip dasar estetika (Isma’il, 1986: 86). Mengenai estetika Islam, ia berpendapat, bahwa memahami estetika adalah pekerjaan indra perasa dan intuisi. Sedangkan pengalaman estetika adalah tangkapan indra terhadap esensi meta-natural yang bersifat apriori, yaitu "sesuatu yang seharusnya" dari objek tersebut. Dalam kasus alam yang hidup, seperti

tanaman, hewan dan manusia, yang indah adalah apa yang tampil sedekat mungkin dengan esensi aprion tersebut, yaitu objek estetika alam telah mengungkapkan dirinya dengan mengesankan, sehingga objek yang indah adalah apa yang diungkapkan oleh alam. Pandangan yang indah seperti ini jika dihubungkan dengan pandangan dunia tauhid yang merupakan inti ajaran Islam akan membawa kesadaran kepada ide transendental.

Faruqi lebih lanjut menjelaskan, bahwa seni adalah proses penemuan di dalam alam akan esensi meta-natural dan penyuguhannya dalam bentuk yang dapat dilihat. Jadi seni bukanlah tiruan dari alam ciptaan, bukan pula penggambaran indrawi objek-objek alamiah, melainkan seni adalah pembacaan dalam alam, suatu esensi yang bukan alam, menemukan di dalam alam apa yang bukan bagian dari padanya. Padahal apa yang tidak ada dalam alam adalah transenden, sedangkan yang memenuhi syarat transenden hanya Ilahi (Faruqi, 1995: 205). Oleh karena itu, kata Faruqi, keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan kehendakNya yang diwahyukan atau firman-firmanNya (Faruqi, 1995: 207). Dengan demikian, seni Islam adalah segala produk historis yang memiliki nilai estetis yang dihasilkan oleh orang Islam, dalam kurun sejarah Islam, berdasarkan pandangan estetika tauhid dan selaras dengan semangat keseluruhan peradaban Islam. Di samping itu aspek seni dalam kebudayaan Islam juga dipandang sebagai ekspresi estetis dari Alqur’an, sehingga seni Islam tidak lain adalah seni Alqur’an (Faruqi, 1995: 162) dengan enam ciri yang diambil dari ideal Alqur’an, yaitu:

a. Abstraksi. Pola infinit seni Islam adalah, bersifat abstrak; denaturalisasi dan stilisasi terhadap figur-figur alami yang digunakan.

b. Struktur Modular. Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk membangun rancangan kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul adalah sebuah entitas yang memiliki keutuhan dan kesempurnaan diri yang memungkinkan untuk diamati sebagai sebuah unit mandiri maupun sebagai bagian penting dari kompleksitas yang lebih besar.

c. Kombinasi Suksesif. Pola-pola infinit dalam seni Islam menunjukkan adanya kombinasi berkelanjutan dari modul-modul dasar yang menyusunnya.

d. Repetisi. Sifat ini diperlukan untuk menciptakan kesan, bahwa infinitas sebuah objek seni adalah pengulangan dalam intensitas yang tinggi, yaitu pengulangan terhadap motif, modul, struktural dan kombinasi suksesif yang terus-menerus.

e. Dinamisme. Desain seni Islam bersifat dinamis, yaitu desain yang harus dialami melalui waktu. Ini berlaku bagi kategori seni yang (seni rupa dan arsitektur) dan seni waktu (sastra dan musik) yang dalam seni Islam selalu dialami secara serial dan kumulatif.

f. Kerumitan. Detail yang rumit merupakan ciri sebuah karya seni Islam. Pendekatan yang digunakan Faruqi adalah pendekatan intuitif atau

irfani menurut istilah al-Jabiri, karena menurutnya, memahami estetika adalah pekerjaan indra perasa dan intuisi sepenuhnya, sedangkan

pemahaman diskursif hanya memainkan peran sekunder (Ismail, 1995: 200). Di samping itu, pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan

bayani, karena Faruqi mendasarkan seni Islam sepenuhnya dari teks

Alqur’an.

3. Seni Tauhid: Ekspresi Estetika Islam.

Sebagaimana disebutkan di atas, menurut Faruqi, seni adalah merupakan ekspresi estetika yang ditangkap oleh indra perasa dan intuisi manusia dalam bentuk karya. Faruqi mengklasifikasikan produk estetis (seni) Islam menjadi: (1) Seni Sastra; (2) Kaligrafi; (3) Ornamentasi; (4) Seni Ruang; dan (5) Seni suara.

a. Seni Sastra

Menurut Faruqi, seni sastra Islam, banyak dipengaruhi oleh Alqur’an. Alqur’an sebagai wahyu Ilahi memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun, terutama dalam bidang sastra. Di dalamnya terkandung rahasia keindahan dan kemu'jizatan yang disebut awjuh atau dala'il al-ijaz, yaitu aspek-aspek yang menyebabkan Alqur’an sangat menarik dan tidak bisa disamai (Isma’il, 1999: 36).

Bangsa Arab pra-Islam telah memiliki seni sastra yang amat tinggi dan sulit ditandingi. Dengan turunnya Alqur’an yang memiliki nilai sastra tinggi, menyadarkan mereka dari kesombongan itu. Ternyata syair-syair hasil karya mereka bukan apa-apa dibanding de- ngan Alqur’an. Setelah mereka masuk Islam, Alqur’an kemudian

dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan seni sastra mereka. Hal ini dapat dipahami, karena menurut Faruqi, turunnya Alqur’an telah membakukan bahasa arab, serta kategori-kategori logika, pemahaman dan keindahan bahasa yang terkandung di dalamnya. Di samping itu dalam waktu yang relatif singkat, bahasa arab Alqur’an menjadi kriteria dan norma bahasa arab, meliputi kosa kata, sintaksis, tata bahasa dan kefasihan (balaghah atau fashahah) (Isma’il, 1999: 53-54). Hal demikian kemudian ditransformasikan ke dalam kesusasteraan Islam, yaitu sastra baru yang disesuaikan dengan arus intelektual mereka (Isma’il, 1999: 55).

Jenis kesusasteraan Islam bersifat universal, meliputi khutbah

(orasi), risalah (esai), maqamah (cerita pendek tentang legenda atau pahlawan), qishsah (.kisah), qasidah (syair), dan maqalah (esai yang

membahas satu tema sebagai sentral). Di antara jenis sastra yang menonjol adalah prosa dan syair.

Menurut Faruqi prosa Muslim juga mengikuti prosa Arab. Prosa ini termasuk siyaghah, penggabungan kata-kata terpilih untuk mengungkapkan makna tertentu; almuqabalah atau tawazun,

pengimbangan, ungkapan atau makna secara simetris; altarassul,

penyajian tema atau bagian atau bab-bab secara berurutan tanpa keterkaitan organik, ada pembuka dan penutup setiap uraian, yang menghasilkan momentum menuju penerusan yang tak terbatas; al-ijaz,

sebesar-besarnya; al-iqa', menempatkan kata yang tepat pada tempat yang tepat; al-intiqal, perubahan waktu kalimat, bentuk sapaan secara tiba-tiba menjadi bentuk lain yang kontras sebagai cara penguatan penyajian; tamtsil al-ma'ani, penyajian makna abstrak; al-bayan,

kejelasan ekspresi; dan mutabaqah al-'ibarah li muqtada al-hal,

kewajaran ekspresi, pemilihan istilah dan gaya sesuai dengan audien dan topik yang dibahas (Isma’il, 1999: 56).

Syair Islam, menurut Faruqi, juga mengikuti aturan yang sama dengan syair Arab. Di antara aturannya adalah, abhur, aturan bersajak, pembagian bait menjadi dua, tiga, empat dan lima; dan qafiyah,

kebebasan penuh dalam bait atau maqta'(bagian) (Isma’il, 1999: 56). b. Kaligrafi

Faruqi menyebutkan, bahwa pengaruh Alqur’an telah menjadikan kaligrafi sebagai sebuah bentuk seni budaya Islam, yang paling luas tersebar, dinikmati dan dihargai umat Islam. Sebagaimana diketahui, bangsa Arab pada waktu itu telah memiliki seni menulis. Seni menulis ini kemudian dikembangkan pada zaman Islam untuk menulis Alqur’an. Hal ini dilakukan oleh Zayd ibn Tsabit atas perintah Nabi. Dengan cara ini Alqur’an terdokumentasi (Isma’il, 1999: 93-95).

Seni menulis ini pada mulanya masih sangat sederhana. Baru kemudian ketika digunakan untuk menulis Alqur’an dalam bentuk mushaf, telah dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. Pada perkembangan selanjutnya, seni tulis Arab ini dikembangkan juga gaya

tulisannya. Di antara gaya tulisan Arab adalah kufi (populer di daerah Basrah dan Kufah). Gaya tulisan ini mempunyai ciri berbentuk sudut. Faruqi membedakan ada tiga varian kufi, yaitu (1) kufi berbunga, garis vertikal diberi bentuk daun dan bunga; (2) kufi jalin atau anyaman, garis vertikal dibuat bagaikan anyaman; dan (3) kufi hidup, huruf- hurufnya diakhiri dengan gambar stilisasi binatang atau manusia. Gaya

kufi ini untuk beberapa abad digunakan untuk menulis Alqur’an. Di samping itu digunakan juga untuk membuat hiasan pada tekstil, keramik, mata uang, alat-alat makan, batu nisan dan bangunan arsitektur (Isma’il, 1999: 110-111).

Gaya yang lain adalah gaya naskhi (diciptakan oleh Ibnu Muqlah dan disempurnakan oleh Ibn al-Bawwah (w. 423 H/1032 M); gaya

sittah, bentuk tulisan kursif "enam" (diciptakan oleh Yaqut ibn Abd Allah al-Mu'tasimi (w. 698 H/1298 M); gaya tsuluts, tulisan dekaratif yang dipakai untuk dekorasi arsitektur, benda-benda kecil, judul dekoratif, dan solofon (emblem) untuk Alqur’an dan naskah lainnya (Isma’il, 1999: 100-101).

Varian kufi, naskhi, dan tsuluts meskipun dipakai di semua wilayah Muslim, namun terdapat juga gaya khas daerah, diantaranya adalah maghribi (di Spanyol Islam dan Afrika Utara), Qaryawani, Sudani, dan di kalangan kaligrafer Iran dikenal pula gaya ta'liq,

Nasta'liq dan Syikastah. Gaya Syikastah terutama dipakai untuk surat-

Tulisan lain yang banyak dipakai secara luas di dunia Islam adalah tulisan Diwani. Gaya tulisan ini terutama dipakai untuk dokumen- dokumen resmi (Isma’il, 1999: 105).

Faruqi mengkategorikan kaligrafi kontemporer menjadi lima kategori, (1) Kaligrafi "tradisional". Menekankan pada tradisi abstrak, pesan diskursif dan huruf-huruf yang indah, bukan pada penggambaran benda-benda alam. Kaligrafi jenis ini sudah ada sejak abad ke-7 H/13 M. Tokoh-tokohnya adalah 'Adil al-Saghir, Muhammad Sa'id as- Saggar, Muhammad Ali Shakir dan Isam al-Sa'id. (2) Kaligrafi figural. Kaligrafi jenis ini mengkombinasikan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi dalam berbagai gaya. Unsur-unsur figural terbatas pada motif daun dan bunga yang distilisasi menyesuaikan dengan sifat abstrak dari seni Islam. Bentuk binatang dan manusia tidak didapatkan pada naskah Alqur’an, dekorasi Masjid, madrasah atau mebeler, tetapi terdapat pada mangkuk, alat-alat makan dan alat rumah tangga. Tokohnya adalah Sayyid Naquib al-'Attas (Isma’il, 1999: 109-110). (3) Kaligrafi ekspresionis. Gaya ini merupakan hasil akulturasi antara seni Muslim dengan seni Barat. Kaligrafi jenis ini lebih menampilkan unsur-unsur emotif, yaitu menyampaikan emosi-- emosi subyektif kepada audiens mengenai penggambaran tanggapannya terhadap personal, visual, dan emosional benda, orang atau kejadian. Gaya ini dipandang oleh Faruqi sebagai gaya yang tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat abstrak dan universal seni

Islami. (4) Kaligrafi simbolik. Jenis kaligrafi ini, orientasi dan proses artistiknya dipengaruhi oleh Barat. Simbolisme literal sendiri, dalam Islam hampir tidak mungkin, namun kaligrafer Muslim telah mencobanya. Desain kaligrafer simbolik menggunakan huruf atau kata tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau kelompok gagasan (Isma’il, 1999: 112).

Kaligrafi semu atau Abstrak murni. Istilah abstrak murni adalah istilah gerakan seni Barat abad kedua yang digunakan untuk menamakan karya estetika Muslim. Kaligrafer Muslim tipe ini menjadikan huruf, bentuk geometris atau motif-motif lain, sebagai bentuk murni, yang terpisah dari makna tradisionalnya. Pandangan ini nampaknya dipengaruhi oleh Piet Mondrian, seorang abstraksionis Belanda. Melihat bentuknya yang demikian, gaya ini nampak mengingkari esensi dan fungsi kaligrafi Islami, yaitu menyampaikan pesan dialogis dalam bentuk visual yang indah dari pola ketakterhinggaan, sehingga Faruqi menolak gaya ini untuk dimasukkan dalam seni Islami (Isma’il, 1999: 114-116).

c. Ornamentasi

Ornamentasi adalah motif-motif dan tema-tema yang dipakai pada benda seni yang ditimbulkan pada komponen hasil seni. Ornamentasi dalam pandangan seniman Barat hanya digunakan sebagai pelengkap saja dan tidak ada hubungannya dengan sebuah karya seni. Menurut Faruqi, ornamentasi dalam seni Islam tidak hanya

pengisi ruang kosong, melainkan memiliki fungsi yang khusus. Menurutnya, ornamentasi memiliki empat fungsi, (1) Mengingatkan kepada tauhid. Ornamentasi merupakan tambahan penting dalam karya seni Islam, karena mengingatkan kepada ajaran tauhid. Oleh karena itu, ornamentasi dapat ditemukan di setiap tempat, seperti lingkungan, tempat kerja, rumah dan masjid. (2) Transfigurasi bahan. Hal ini dilakukan untuk menstilisasi, mendenaturalisasi dan memperindah bahan-bahan yang dipakai dalam karya seni mereka (Isma’il, 1999: 130). Hal itu dilakukan dengan metode: (a) Overlay, menutup permukaan bahan dasar suatu benda dengan hiasan dekoratif dengan pola infinitif; (b) Menyembunyikan sifat-sifat bawaan bahan; (c) Kurang memperhatikan pada nilai bahan yang digunakan; (d) Transfigurasi struktur; dan (e) Pengindahan (Isma’il, 1999: 130-135).

Bentuk ornamen diantaranya adalah arabesk. Arabesk

merupakan pola infinit dari sejumlah kategori struktural yang memiliki berbagai variasi. Arabesk ini banyak dipakai dalam dekorasi naskah Alqur’an, desain permadani, improvisasi pada lut (sejenis gitar bunting), dan ornamentasi keramik pada bangunan (Isma’il, 1999: 143).

Faruqi membagi arabesk ke dalam empat pola yang disusun secara disjungtif (terputus, munfashilah) dan konjungtif (kontinyu,

muttasilah). Keempat pola tersebut adalah (1) Struktur multiunit.

digabungkan dengan cara penambahan atau pengulangan. Struktur ini termasuk struktur disjungtif (munfashilah). Struktur ini didapati pada dekorasi wadah keramik atau logam, senjata atau baju besi prajurit, halaman dekoratif Alqur’an atau buku lain, desain mebelair, permadani, kain dan lapisan hias penutup pada bangunan arsitektural. Model arabesk ini berupa susunan simetris unit-unit ke arah kiri dan kanan atau atas dan bawah, dari suatu titik tengah, atau membentuk kombinasi modul dengan struktur cincin atau rantai; (Isma’il, 1999: 146-147), (2) Struktur saling-mengunci (mutadakhilah, interlocking).

Struktur ini digambarkan adanya unsur-unsur desain yang saling menganyam (kunci-mengunci). (3) Struktur berbelok. Struktur ini termasuk struktur konjungtif (muttasilah) yang paling tidak rumit. Bentuk-bentuk kaligrafi, daun, bunga, sulur-suluran, dan/atau bentuk- bentuk abstrak digambarkan berurutan hampir tidak berhenti, yang satu mengikuti yang lain dan seterusnya (Isma’il, 1999: 149), (4) Struktur mengembang. Jenis struktur ini memberi kesan suatu desain bagaikan sinar yang merekah. Pola semacam ini didapati pada bidang pembatas halaman buku, tepi piring, tepi panel dinding, permukaan dinding, yang diakhiri tanpa kesan telah selesai atau berakhir. Kesan tanpa akhir ini merupakan esensi pola Islam (Isma’il, 1999: 150).

Demikian Faruqi menerangkan ornamentasi dalam seni Islam. Menurutnya ornamentasi bukan sekedar tambahan yang diberikan pada

Dalam dokumen Konsep Kesenian Profetik dan Implementas (Halaman 144-166)