• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estetika : Sarana Menuju Tuhan Menurut Rumi

Dalam dokumen Konsep Kesenian Profetik dan Implementas (Halaman 166-173)

BAB III PANDANGAN PEMIKIR MENGENAI SENI BERTUJUAN SEBAGA

B. Estetika : Sarana Menuju Tuhan Menurut Rumi

Keindahan merupakan aspek menyatu dalam pengalaman kehidupan manusia, pengalaman terhadap keindahan, secara fenomenologis merupakan estetis terhadap keindahan, dan juga fenomenologis merupakan pengalaman estetis terhadap sesuatu, sedangkan sesuatu tersebut dengan cara tertentu mampu mengembangkan pengalaman keindahan dalam diri manusia (Sutrisno, 1993: 13). Keindahan diekspresikan dari setiap manusia dan mampu menjadi hasil yang menjadi sumber keindahan bagi manusia pecinta keindahan, oleh karena itu dalam keindahan yang diciptakan pun harus didukung oleh kebebasan berkreasi.

Bagi Rumi, keindahan diekspresikannya melalui karya seni dalam bentuk puisi yang merupakan hasil dari kontemplasi dan kesufiannya. Di mana muatan-muatan yang terkandung sarat akan nilai tasawuf sehingga mampu menjadikan Rumi sebagai tokoh estetika yang mampu mengekspresikan nilai seni yang sangat indah dengan jalan spiritualnya. Hampir tidak ada persoalan religius dan spiritual yang penting, baik yang

bersifat doktrinal maupun yang tidak diuraikan Rumi melalui berbagai cara dalam tulisan-tulisannya.

Ekspresi universal kehidupan dan juga (dimungkinkan) oleh tingginya tingkatan spiritual (maqam) Rumi yang digabungkan dengan pengetahuannya yang mendalam tentang semua tradisi Islam, terutama aspek-aspek religiusitas dan metafisiknya.

Jalaluddin Rumi merupakan tokoh sufi yang mengekspresikan keindahan lewat sastra dengan makna pengalaman kesufiannya, oleh karenanya tulisan ini hendak mengkaji konsep keindahan estetika Jalaludin Rumi melalui karya-karya sastranya dengan pandangan-pandangan kesufiannya. Sebagaimana puisi-puisinya berikut ini :

Akhirnya, kau kibaskan sayap-sayapmu Dan kau hancurkan kandang itu, dan

Terbang tinggi ke dunia gaib Engkaulah elang piaraan kesayangan Yang dijaga oleh wanita-bumi yang tua

Lalu kau dengar gendering raja

Untuk melesat ke angkasa yang terbentang luas Engkaulah burung bul-bul yang sakit rindu Yang disatukan dengan kawanan burung hantu Lalu datanglah keharuman taman-mawar Musim Semi

Dan kau pergi, Engkau

Dengan sisa-sisa paling menyedihkan dari

Kepahitan yang telah terbunuh ini, memasuki kedai minum Yang baru ini, sahabat ekstase kekal,

Yang minum ketiadaan

Seperti kesulitan untuk berbicara yang lenyap Dalam kesunyian, bukan tidur

Engkau mencari perlindungan dalam diri sang kawan

(Rumi, Diwan-I Sayms-1 Tabrizi : 1725)

Puisi Rumi lebih secara khusus menyampaikan makna pada berbagai tingkatan, selain itu puisi (menurutnya) merupakan salah satu sarana yang biasa digunakan oleh para sufi dalam mengungkapkan

keadaan serta perasaan ruhaniah mereka, sejak masa Rabi'ah al-Adawiyah sampai pada masa al-Hallaj (Siregar, 2000).

Bagi Rumi, puisi merupakan salah satu sarana paling tepat untuk mengungkapkan hakikat realitas secara sentimental. Hal ini dikarenakan antara tasawuf dan sastra memiliki hubungan yang sangat erat yaitu mengungkapkan pengalaman bathin.

Puisi bagi Rumi, merupakan bagian dari seni dan menjadi manifestasi dari kepekaan terhadap alam dan kehidupan, selain itu sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain secara bathiniah. Oleh karena itu, puisi merupakan bagian dari seni yang mampu menghias syair-syair dan mempunyai nilai estetika yang sangat tinggi. Tasawuf pada dasarnya mempersoalkan hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan juga hubungannya dengan penciptanya atas dasar cinta. Sedangkan sastra juga ingin mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang menembus dunia abstrak. Begitu Rumi dalam menyampaikan pesan ajarannya didasarkan pada intuisi melalui lambang-lambang, hal inilah yang menyebabkan persamaan mendasar antara kesufian dan penyair, yaitu mengungkapkannya dengan lambang-lambang. Bagi Rumi ajaran tasawufnya dapat mempresentasikan ajaran-ajaran yang sebagian besar ditulis dalam bentuk puisi, yang berfokus pada cinta.

Tatkala jiwa jiwa yang dahaga meminum Dari gelas piala, semua melihat Tuhan Di dalammya, Mereka yang tidak mabuk oleh cinta

Tuhan hanya akan melihat wajah mereka sendiri Seseorang pencinta tidak pernah mencari

Ketika kilatan cahaya cinta telah menembus hati ini Pastikan tidak ada cinta di dalam hati itu Ketika cinta Tuhan tumbuh dalam hatimu

Janganlah ragu Tuhan mencintaimu

(Rumi, Matsnawi III : 4393)

Cinta menurut Rumi merupakan ajaran penting dalam tasawuf, yaitu cinta kepada Allah. Dalam mengungkapkan makna cinta, Rumi mempergunakan simbol-simbol duniawi, walaupun hal yang dituju adalah sesuatu yang abstrak. Simbol-simbol yang dipergunakan Rumi untuk melambangkan cinta tidak terbatas merupakan simbol-simbol yang terjadi dan ada pada sekitar manusia.

Cinta tidak dapat ditemukan Melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan

Buku-buku, dan tulisan-tulisan

Apapun yang dikatakan orang (tentang cinta) Bukanlah jalan para pecinta

Ketahuilah bahwa ujung dari cinta Berada dalam keabadian tanpa permulaan Dan akarnya menancap di keabadian yang tanpa akhir Mengertilah, pohon ini tidak ditopang oleh singgasana Tuhan bumi

Ataupun sebuah batang

(Rumi, Diwan-1 Syams-I : 39)

Nilai estetika dan tingkatannya dalam karya-karya syair Rumi sangat tinggi dan berpengaruh pada pola penulisan puisi-puisi Rumi. Hal ini dapat dilihat dalam pemahaman Rumi tentang puisi, bagi Rumi puisi memberikan sesuatu kepada manusia, sesuatu yang kompleks yang tidak dapat dirumuskan secara singkat, karena puisi lebih bersifat ruhaniah.

Rumi juga berpendapat bahwa dengan bahasa puisi, manusia dapat merasakan kehidupan bukan semata sebuah beban, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, bukan semata sesuatu kewajiban, namun bagi

Rumi lebih dari itu, hidup dapat dirasakan sebagai suatu nikmat dan hubungan manusia dengan TuhanNya dapat ditingkatkan derajatnya sehingga mencapai suatu tingkat mengasyikkan, tingkat hubungan itu adalah tingkat hubungan cinta.

Jalaluddin Rumi merupakan seorang sufi besar ketika mengekspresikan rasa cinta dalam kesufiannya melalui syair dan puisi, dan mampu menciptakan nilai estetika yang begitu tinggi. Bagi Rumi, cinta yang mendasari etika sufi merupakan prinsip tertinggi dan tujuan utama dalam kehidupan sufi, sehingga cinta adalah satu-satunya cara dalam mendekatkan diri kepada Allah (Siregar, 2000). Cinta yang terkandung dalam etika sufi mempunyai tiga tahap perkembangan, Pertama, cinta yang memuja segala hal yang bersifat duniawi. Kedua, cinta yang memuja Allah. Ketiga, cinta mistis, yaitu seseorang tidak mengatakan ia mencintai Allah atau tidak. Rumi berpendapat bahwa cinta ibarat air yang membutuhkan perantara untuk menjadi panas, cinta yang dimaksud Rumi adalah cinta yang akan lenyapnya ketiadaan diri, yang menjadi hakikat dari cinta kesufian adalah merupakan terjemahan mistis dan kreatif dari hadits Nabi yang berbunyi : "Hidupkanlah daku dalam kemiskinan dan wafatkanlah daku dalam kemiskinan pula".

Cinta-cinta Rumi merupakan simbolisasi dari unsur agama, Rumi menjelaskan bahwa cinta manusia sesungguhnya hanya efek dari cinta Tuhan dengan satu apologia (Nicholsin, 1987: 102).

Ketika luka cinta meningkatkan keriangan spritualmu Mawar dan lili memenuhi taman jiwamu

(Rumi, Matsnawi, II: 1379)

Tuhan benar-benar dekat denganmu

Apapun yang kau pikirkan dan ide yang kau simpan, Dia mengetahui Karena Dia-lah yang memberi wujud pada pikiran dan ide

Serta menempatkannya di dalam dirimu

Dia begitu dekat denganmu, tapi kau tidak dapat melihatNya Benar-benar aneh bukan?

Apapun yang kita lakukan, akal bersamamu, menyertai perbuatan Namun kau tak dapat melihat akal

Mesti kau dapat melihat akibat-akibat Kau tak dapat melihat hakikat

(Rumi, Fihi ma Fihi: 127)

Demikian cinta yang di agung-agungkan Rumi adalah cinta kepada Sang Kekasih, Yang Tunggal, cinta yang demikian akan menimbulkan hasrat kerinduan untuk kembali padaNya, karena cinta adalah hakiki, di mana cinta yang hakiki haruslah ditujukan pada sesuatu yang fana bagi Rumi bukanlah cinta, karena ia akan musnah. Cinta adalah sesuatu kenyataan yang hidup, tidak akan mati dan senantiasa melimpahkan kehidupan yang ada.

Kau harus hidup dalam cinta Sebab manusia yang mati tidak dapat Melakukan apapun. Siapa yang hidup?

Dia yang dilahirkan oleh cinta

(Rumi, Diwa-1 syams-1: 143)

Nilai-nilai yang terkandung dalam syair-syair Rumi merupakan hasil ekspresinya yang penuh dengan muatan estetika yang begitu tinggi, karena estetika bagi Rumi merupakan hasil dari ekspresi manusia yang berbentuk puisi dan syair yang dilaluinya melalui pengalaman spiritual rohaniah Rumi, maka nilai seni yang terkandung di dalamnya menjadi nilai keindahan yang abadi.

Bersenang-senanglah bersama Tuhan Tidak bersama Tuhan yang lainnya.

Dia adalah musim semi, sedang yang lainnya Januari

Segala yang selain Tuhan hanya akan membawamu menuju kesesatan, jadilah ia Singgasana, kerajaan dan mahkotamu

(Rumi, Matsnawi II : 507-508)

Beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Rumi merupakan seorang penyair yang memiliki sistem pemikiran kental dengan pengaruh tasawufnya. Di mana tasawuf merupakan bentuk simbolisasi kecintaan manusia kepada Tuhan, dalam perjalanan spritual rumi itulah ia mampu mengekspresikan cinta yang begitu luas, baik cintanya kepada Allah, cinta terhadap gurunya dan cinta terhadap orangorang yang banyak memberikan ruang dan waktu bagi mengungkapkan rasa cintanya yang begitu tinggi terhadap gurunya.

Kreasi dan apresiasi keindahan dalam suatu karya seni ikut mengantarkan Rumi mengalami pengembaraan dalam alam spiritual, dimana keluar dari alam bentuk dan masuk ke dalam alam tanpa bentuk dan sarat dengan makna. Kondisi ini membawa pencerahan pada manusia dan kembali ke pusat sistemnya, kemudian mengalami kehidupan sebagai keseluruhan di mana manusia menjadi satu bagiannya.

Dalam syairnya Rumi berkata tentang Tuhan :

"Engkau adalah langitku, dan

akulah bumi yang terpana: Apa yang membuatMu selalu membuncah dalam hatiku? Akulah tanah dengan bibir terpanggang Bawalah setangkap air segar Yang akan mengubah tanah menjadi taman bunga Bagaimana tahu apa yang engkau taburkan dalam hatiku? Engkau telah

menghamilinya dan engkau tahu apa yang dikandungnya!

Rumi dengan ekspresi keindahan merupakan bentuk apresiasi dari pengalaman spiritualnya dan mampu memasuki konsep keindahan manapun. Tulisan Rumi didomisasi rasa cinta pada Yang Maha Pengasih dan Maha Karya, dan cinta kepada seluruh makhluk semestinya yang bersumber dan bermuara pada kecintaan terhadap Allah SWT serta menjadikannya sebagai sarana menuju Tuhan.

Dalam dokumen Konsep Kesenian Profetik dan Implementas (Halaman 166-173)