BAB III PANDANGAN PEMIKIR MENGENAI SENI BERTUJUAN SEBAGA
D. Perspektif Leo Tolstoy (1828-1910) mengenai Seni
Leo Tolstoy (1828-1910) adalah sastrawan Rusia terkemuka yang telah menulis beberapa novel besar, baik dalam bentuk maupun permasalahan umat manusia. Pengarang ini mengemukakan pandangannya mengenai arti seni dalam esainya yang terkenal, Apakah Seni? (What is art?)
Seni, menurut kaum terpelajar yang menggemari karya seni tetapi tidak mendalami lebih jauh makna seni, diartikan sederhana saja, yakni aktivitas manusia yang menghasilkan sesuatu yang indah. Yang disebut indah itu adalah sesuatu yang amat sempurna dalam dirinya, yang dapat memberikan
semacam kesenangan khusus kepada penerimanya
Tolstoy tidak menyetujui pendapat kaum terpelajar awam ini. Seni tidak dapat dilihat hanya pada segi memberikan kesenangan berupa keindahan. Setiap orang mempunyai selera sendiri terhadap sesuatu yang disebut indah dan memberikan kepuasan serta kesenangan pada dirinya. Ibarat orang menyukai jenis masakan tertentu. Dia boleh menyebutnya enak dan memuaskan hatinya, tetapi orang lain boleh jadi akan mual dengan hanya membayangkannya saja. Masakan yang enak tidak menuntun orang pada pengertian apa hakikat masakan dan makanan bagi manusia. Makanan yang baik adalah makanan yang berguna bagi pertumbuhan jasmani kita, dan itu bisa enak dan bias juga 'tidak enak'. Maka, faham keindahan dalam seni harus disingkirkan untuk dapat memahami hakikat seni.
Seni adalah semacam 'persetubuhan' antara satu manusia dengan manusia lain. Ada tindak memberi dan tindak menerima. Apa yang diberikan? Seniman memberikan perasaan atas pengalaman hidupnya kepada manusia lain lewat benda seni. Seni adalah ungkapan perasaan seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakannya. Dengan seni, seniman memberikan, menyalurkan, memindahkan perasaannya kepada orang lain sehingga orang itu merasakan apa yang dirasakan sang seniman. Lebih dari itu, orang itu pun dapat menerima perasaan seniman dengan kondisi yang sama. Dengan sendirinya, kalau karya seni seorang seniman hanya dapat diterima oleh satu orang tertentu saja, dan tidak bisa diterima orang-orang lain, maka karya itu bukan
karya seni. Makin luas jangkauan penerimanya, makin besar makna karya seni itu (Sumardjo, 1983 : 62).
Menurut Tolstoy, jenis perasaan yang diekspresikan seniman itu beragam, yakni dapat berupa perasaan yang kuat atau perasaan yang lemah, perasaan yang penting dan perasaan yang tak berarti, perasaan baik dan perasaan buruk, Ini dapat meliputi perasaan kagum, perasaan cinta tanah air, perasaan gembira, perasaan bangga dan megah, perasaan humor, perasaan tentram, dan banyak lagijenisnya. Semua jenis perasaan diterima lewat indera manusia yang memberikannya suatu pengalaman (seni).
Dipandang dari segi sang seniman, yakni bagaimana mengekspresikan perasaan atas pengalamannya, Tolstoi memberikan tiga syarat utama. Syarat pertama, nilai ekspresi bergantung pada besar-kecilnya kepribadian sang seniman. Tolstoi mempergunakan istilah 'individualitas' seniman. Makin menonjol individualitasnya, makin kuatlah daya pengaruh pada penerimanya. Individualitas ini menekankan bobot sikap jiwanya. Syarat kedua, nilai ekspresi bergantung pada besar-kecilnya kejelasan, kejemihan perasaan yang diungkapkannya. Seniman mendasarkan diri pada perasaan universal manusia, sehingga penerima seni dapat 'menemukan' kembali perasaan yang sebenamya juga telah dikenalnya, tapi mungkin jarang dirasakannya. Syarat ketiga, nilai seni bergantung pada besar-kecilnya kejujuran seniman. Syarat ketiga inilah yang terpenting (Sumardjo, 1983 : 63). Tingkat gradasi dari ketiga syarat tersebut pada tiap seniman berbeda-beda. Ada yang dominan individualitasnya, tapi.kurang kuat dalam kejelasan dan kejujurannya. Atau
tingkat kejujurannya justru tinggi, tetapi agak lemah dalam kejernihan dan individualitasnya.
Semua persyaratan tadi menentukan apa yang disebut seni atau bukan seni, terlepas dari apakah perasaan yang diekspresikan itu baik atau buruk, 'indah' yang menyenangkan atau 'tidak menyenangkan'. Tujuan seni yang pokok adalah ikut berperan dalam menyempurnakan hidup manusia. Seni dapat membantu membentuk manusia sempurna, baik secara jasmani, spiritual, psikologi, sosial. Seperti halnya ilmu pengetahuan dan agama menuntun manusia ke arah kemajuannya sebagai manusia, begitu jugalah seni (Sumardjo, 1983 : 64).
Tolstoy menekankan besarnya peranan agama dalam menuntun ke arah kemajuan menuju manusia sempurna. Setiap zaman memang memiliki makna hidupnya sendiri sesuai dengan kondisi dan persoalan zaman itu. Tetapi, tujuan akhir tetap pada kesempurnaan hidup sebagai manusia, dan ini terdapat dalam persepsi agama yang ditafsirkan berdasarkan kondisi zamannya. Religiositas agama inilah yang penting dan bukan sekadar ritual-formal agama. Karya seni yang berdasarkan persepsi agama semacam itu akan disambut oleh para penerimanya. Yang bertentangan dengan persepsi religiositas agama tentu akan ditolak oleh para penerima seni. Persepsi agama sezaman inilah yang perlu dikenal baik oleh setiap senimannya.
Tolstoy karena akrab dengan gereja Ortodoks Rusia, dasar seninya adalah perasaan yang dapat menyatukan manusia dengan Tuhan, dan menyatukan perasaan antara manusia dengan manusia lainnya. Seni yang baik
itu selalu universal, karena mampu menyatukan perasaan seluruh umat manusia dan mendekatkan manusia pada Tuhan.
Menurut Sumardjo, Tolstoy .nemandang seni lebih dari segi seniman, yakni ekspresi perasaan seniman. Maka, apa yang disebut seni dipandang dari 'isi jiwa' senimannya, yang terlihat dari persyaratan seni yang baik tadi. Tentang persyaratan benda seninya sendiri kurang dikupas, meskipun di situ dikatakan perlunya teknik ungkap yang cerdas. Begitu pula segi penerima seni, lebih banyak disorot sebagai pelaku pasif dalam penerimaan nilai seni. Tentang nilai seni sendiri lebih ditonjolkan nilai moralnya yang dihubungkan dengan religiositas agama. Persoalan yang tak disinggung Leo Tolstoy ini, dalam abad ke-20 dibahas oleh banyak pemikir seni lainnya. Seni bukan yang memberikan keindahan sempurna, yang menyenangkan, dan memuaskan manusia, tetapi seni membuat manusia menjadi sempurna sebagai manusia (Sumardjo, 1983 : 65).