BAB II FILSAFAT, SENI DAN AGAMA SERTA PENDIDIKAN DALAM
D. Pendidikan Islam Profetik dalam Realitas Historis
Pembahasan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan di bagian-bagian lain dunia Islam, sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya
masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
Apresiasi pemikiran ulama di tanah air, setidak-tidaknya sampai saat ini ternyata masih banyak ditandai oleh dikotomi pemikiran antara warna Barat dan Timur Tengah. Kondisi ini, kemudian menjadi potensi pemicu “perseteruan” yang hebat di kalangan pemikir Islam. Hal semacam itu sesungguhnya menjadi sah-sah saja, bila itu dijadikan sebagai wahana dinamisasi pemikiran Islam. Tetapi menjadi terlalu naif bila ternyata yang nampak adalah proses pengkafiran satu sama lain. Kelompok Islam hasil didikan di Baratlah yang kemudian lebih nampak memperoleh tamparan dari kelompok Islam Timur Tengah yang mengklaim atas segala hujatan dan tuduhannya itu berdasarkan Islam, dan lebih Islami.
Kendati ranah “perseteruan” itu lebih menunjuk pada discourse
teologis-filosofis sebuah upaya mencari makna keagamaan dengan perangkat- perangkat filsafat, namun warna perseteruan itu telah cukup menggambarkan betapa rendahnya apresiasi kefilsafatan dan keilmuan (dalam cakupannya yang lebih luas) di kalangan sebagian umat Islam. Proses “perseteruan” semacam ini sesungguhnya telah menyejarah.
Menurut Fazlur Rahman perseteruan semacam itu sangatlah merugikan, sebab sikap tersebut mempertentangkan secara dikotomik terhadap tradisi dan modernisasi. Semata-mata mengandalkan pada adekuasi tradisi, akan menjadikan umat Islam terperangkap pada sikap tradisionalisme,
yang akan mengisolasi umat Islam dari proses dinamika zaman lebih dari itu, sikap yang demikian akan menjadikan Islam kehilangan elan vitalnya dalam berdialektika dengan perkembangan eksternal. Sebaliknya, sikap berlebihan dalam menerima modernisasi akan mengakibatkan umat Islam tercerabut dari akar tradisinya (Syamsul Arifin, 1996 : 99).
Para pakar pendidikan (Islam) sampai saat ini masih sering mempermasalahkan adanya dikotomi dalam pendidikan. Dikotomi ini, nampaknya sudah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan modern yang sesuai dengan zaman. Sebenarnya hal ini tidak boleh terjadi, karena dualisme dikotomi yaitu sistem pendidikan Barat yang dinasionalisasikan dengan menambah beberapa mata pelajaran agama (Islam) dan sistem pendidikan Islam yang berasal dari zaman klasik (tradisional) yang tidak diperbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang berbeda atau dalam beberapa sisi penting justru bertolak belakang.
Menurut A. Syafi'i Ma'arif, diterimanya prinsip dikotomi ke dalam sistem pendidikan adalah merupakan suatu indikasi rapuhnya dasar filosofis pendidikan Islam. Dan realitas menunjukkan suatu gambaran dari implikasi dikotomi tersebut telah sedemikian jauh merambah hingga membentuk tipologi keagamaan yang memunculkan sebuah kesan, bahwa Islam ialah semata-mata sebagai sistem ideologi (Syamsul Arifin, 1996 : 99). Dikotomi ini terlihat jelas pada dualisme sistem pendidikan di negeri-negeri muslim: sistem pesantren dengan segala variasi dan implikasinya dalam pembentukan wawasan intelektual keislaman umat, dan sistem pendidikan sekular dengan
segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan kita. Dualisme dikotomis ini, menurutnya kemudian diperkuat oleh sistem penjajahan Barat atas dunia Islam yang berlangsung cukup lama (Syafi’i Ma’arif, 1993 : 144).
Dengan demikian anak- anak umat bukan saja punya persepsi yang berbeda tentang agama, manusia, dan hidup, tapi persepsi itu berhadapan satu sama lain secara diametral. Dalam perspektif ini, konflik- konflik internal di kalangan umat menjadi semakin subur, dan konflik ini akan sulit diselesaikan bila juga dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan, baik itu politik, ekonomi, dan pelayanan kemanusiaan. Situasi semacam ini masih belum lenyap dari seluruh masyarakat Islam di permukaan bumi ini. Bila memang masih demikian kenyataannya, apakah kita sudah pantas berbicara tentang pendidikan Islam sebagai paradigma pembebasan, termasuk bebas dari konflik-konflik internal yang merapuhkan umat lahir-batin.
Persoalan dikotomi sistem pendidikan dimaksud, tidak saja terjadi di Indonesia tetapi juga melanda seluruh negara muslim atau yang penduduknya mayoritas Islam. Kondisi yang tidak kondusif ini mengundang para cendekiawan muslim dari berbagai penjuru dunia, untuk memecahkan persoalan tersebut, agar supaya membangun peradaban Islam alternatif benar- benar terwujud. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya berbagai gagasan baru, termasuk upaya Islamisasi ilmu. Kesemuanya ini bertujuan menghilangkan dikotomi dalam pendidikan Islam. Tokoh yang dimaksud adalah Ismail R. Al-Faruqi, Naquib al-Attas, Hasan Bilgrami, Ziauddin Sardar, merupakan tokoh handal dalam melaksanakan proyek Islamisasi ilmu.
Begitu bersemangatnya, Sayyed Hossen Nasr, menganjurkan visinya yang menarik tentang sains Islami baru, yang dijauhkan dari matriks sekular dan humanistik (dari sains modern). Nasr mengkritik apa yang disebutnya sebagai sains Barat karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Begitu juga dengan Sardar, mengatakan bahwa pencarian sains yang Islami adalah kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum Muslim dewasa ini. Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak saja karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologinya secara mendasar bertentangan dengan pandangan Islam (Pervez 1996 : 132).
Bagi Sardar, pembagian ilmu yang dikotomik tidak sesuai lagi dengan tradisi intelektual Islam zaman klasik. Disiplin ilmu lahir dari suatu matriks pandangan dunia yang khusus, bahwa disiplin-disiplin ilmu tidak pernah memiliki eksistensi otonom bagi dirinya sendiri, tetapi berkembang dalam lingkungan sejarah dan budaya yang khusus serta hanya memiliki makna dalam pandangan dunia yang melahirkan dan mengembangkannya. Pandangan dunia yang dimaksud, sangat universal sifatnya bagi umat Islam sebagai pusat nilai universitas Islam. Pandangan dunia letaknya di tengah- tengah lingkungan dengan titik tengah: Tauhid yang dilingkupi dan saling berhubungan dengan nilai khalifah, ibadah, adl, syari'ah, istislah dan risalah. Dari pusat lingkaran ini muncullah ilmu-ilmu ideasional, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu informasi, ilmu-ilmu organisasional, ilmu-ilmu sosial, ilmu kultural (termasuk di dalamnya adalah seni) dan ilmu tehnikal. Disiplin-disiplin itulah
yang dilembagakan sebagai departemen kajian yang masing-masing berpusat dan memahami kajian pandangan dunia.
Wacana pendidikan Islam hingga saat ini masih berakar prinsip dikotomi yang membedakan secara diametral antara ilmu agama dan ilmu umum, yang kemudian termanifestasikan secara kelembagaan ke dalam dua model sistem pendidikan. Yakni sistem pendidikan pesantren dengan segala implikasinya yang membentuk wawasan intelektual keislaman yang mempunyai ciri khas tersendiri, dan sistem pendidikan sekuler dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan (Ahmad Syafii Ma’arif, 1993: 18).
Sistem pendidikan tradisional hanya sebatas mengajarkan pengetahuan klasik, sangat tidak memperhatikan cabang-cabang pengetahuan baru yang lahir di Barat atau metode-metode baru untuk memperoleh pengetahuan seperti dalam sistem pendidikan Barat. Karena itu sistem pendidikan ini hanya menghasilkan para teolog yang tidak mempunyai pengetahuan atau metode intelektual untuk menghadapi tantangan-tantangan peradaban teknologis modern yang tidak berTuhan. Sedangkan, sistem pendidikan modern yang diimpor dari Barat, benar-benar dianut dan didukung oleh pemerintahan negara-negara Islam. Puncak sistem pendidikan ini, menurut Syed Ali Asyraf berupa universitas modern yang sepenuhnya sekular dan karena itu pendekatannya terhadap pengetahuan bersifat non-agamis. Dan para alumni- nya secara umum tidak menyadari warisan klasik dan tradisi mereka sendiri (Husain, 2000 : 20).
Munculnya dualisme pendidikan antara tradisi dan modernisasi mau tidak mau jelas mengakibatkan adanya kesenjangan yang cukup serius, bahwa dalam menyikapi masa penjajahan para cerdik pandai muslim terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa sekalipun penjajah, mereka dinilai membawa kemajuan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, mengikuti pola pikir Barat dapat dijadikan jalan alternatif. Yaitu alternatif untuk membangun wacana pendidikannya. Kelompok kedua lebih bersifat curiga terhadap segala yang berasal dari Barat. Mereka akhirnya berusaha menjauhkan din dari apa yang ingin diajarkan para penjajah itu. Sikap alienatif ini didorong oleh anggapan, bahwa pendidikan baru yang dibawa oleh kekuatan-kekuatan Eropa dimaksudkan untuk menghancurkan warisan budaya tradisional. Sekalipun sikap kelompok kedua ini lambat laun berubah, tetapi di lapangan sudah terlanjur muncul dua sistem pendidikan. Istilah dikotomi sistem pendidikan, sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan modern, di seluruh negara Muslim tidak bisa dihindarkan.
Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan baik sistem maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat tambal sulam. Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal yang impossible. Harus diakui bahwa sebagian besar negara Islam masih merupakan negara Dunia
Ketiga (miskin atau masih berkembang), yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh negara-negara Barat, yang mau tidak mau jalur atau track tersebut harus dilalui oleh negara-negara Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan representasi pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai (Wahid, 227). Sehingga hal yang demikian ini menyebabkan tumbuh kembangnya pendidikan Islam profetik mengalami hambatan atau sumbatan yang harus segera dicarikan media alternatif untuk mempertemukan kesilangsenkarutan tersebut.
Pendidikan Islam profetik tidaklah digali dari Timur ataupun Barat, keduanya merupakan cerminan kiblat pengetahuan yang sama-sama memberikan kontribusi tidak kecil di dalam mengembangkan dan membangun pesona ilmu pengetahuan dan teknologi. Ikon Iptek dan Imtak adalah hasil kolaborasi saintis Islam yang mencoba memberikan penengah kebuntuan paradigma keilmuan yang mencerahkan peradaban umat manusia, termasuk di dalamnya adalah bagaimana seni yang menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan ini bisa memberikan stigma positif untuk peningkatan SDM.