BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterlambatan Proyek
Menurut Ervianto (2005) terdapat hubungan antara pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu proyek, yang pada umumnya dibedakan atas hubungan fungsional, yaitu
pola hubungan yang berkaitan dengan fungsi dari pihak-pihak tersebut dan juga
hubungan kerja formal, yaitu pola hubungan yang berkaitan dengan kerjasama antara
pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi yang dikukuhkan dengan suatu
dokumen kontrak. Secara fungsional terdapat 3 pihak yang sangat berperan dalam
suatu proyek konstruksi, yaitu pihak pemilik proyek, pihak konsultan dan pihak
kontraktor.
Ketika proyek konstruksi terlambat, artinya pelaksanaan pekerjaan proyek
tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai dengan kontrak. Jika pekerjaan proyek tidak
dapat dilaksanakan sesuai kontrak maka akan ada penambahan waktu. Apabila
setelah penambahan waktu pelaksanaan proyek ini juga tidak selesai sesuai kontrak
yang sudah disepakati, maka akan diberikan waktu tambahan oleh pihak pemilik
(owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek tersebut. Dengan kata lain bahwa adanya waktu tambahan yang diberikan oleh pihak pemilik
(owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek, tetapi tidak juga terlaksana, maka kemungkinan akan terjadi pemutusan kontrak kerja (Madjid,
masalah. Tetapi adanya perpanjangan waktu dari jadwal kontrak, dapat disebabkan
antara lain; pekerjaan tambah, perubahan desain, keterlambatan oleh pemilik.
masalah diluar kendali kontraktor.
Dengan adanya perbedaan perjanjian kontrak awal dengan selang waktu
penyelesaian proyek maka terjadilah keterlambatan proyek yang tidak diinginkan
oleh semua pihak-pihak terkait. Hal sama dinyatakan oleh Bordat et al. (2004) bahwa keterlambatan waktu pelaksanaan proyek adalah perbedaan antara pelaksanaan
proyek pada saat perjanjian kontrak awal dan selang waktu penyelesaian proyek.
Dalam pengertian lain Madjid (2006) berpendapat bahwa keterlambatan
proyek konstruksi dapat diidentifikasi sebagai adanya perbedaan waktu pelaksanaan
pekerjaan dengan jadwal yang direncanakan pada dokumen kontrak. Dapat
dikategorikan sebagai tidak tepatnya waktu pelaksanaan proyek yang telah
ditetapkan.
Pembuatan rencana jadwal proyek konstruksi selalu mengacu pada perkiraan
yang ada pada saat rencana pembangunan tersebut dibuat. Masalah dapat timbul
apabila ada ketidaksesuaian antara jadwal rencana yang telah dibuat dengan
pelaksanaannya. Sehingga dampak yang sering terjadi adalah keterlambatan waktu
pelaksanaan penyelesaian proyek dan juga disertai dengan meningkatnya biaya
pelaksanaan proyek tersebut (Widhiawati, 2009).
berdampak pada progress proyek dan tertundanya aktifitas pelaksanaan proyek dan
kegiatan pelaksanaan proyek. Keterlambatan pelaksanaan proyek ini termasuk adanya
faktor penyebab oleh faktor cuaca, sumber daya, perencanaan.
Namun menurut Vidalis et al. dalam Al-Najjar (2008) mengatakan bahwa keterlambatan proyek konstruksi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Penyebab keterlambatan proyek internal berasal dari pemilik, perencana (designer), kontraktor atau konsultan. Penyebab keterlambatan proyek eksternal (external) yaitu berasal dari luar proyek konstruksi seperti; keperluan perusahaan, pemerintah (government), sub kontraktor, pengadaan material (material suppliers), serikat buruh, keadaan alam yang tidak lazim (force majeur). Force majeur adalah kejadian diluar kemampuan kontraktor dan pemilik proyek, yang dapat mempengaruhi biaya, waktu seperti kejadian alam, huru hara, kebijakan pemerintah/ moneter.
Hal berbeda dinyatakan oleh Alghbari et al. dalam Al-Najjar (2008) tentang penyebab keterlambatan eksternal seperti kurangnya material yang ada di pasaran, kurangnya peralatan dan alat-alat yang ada di pasaran, kondisi cuaca tidak lazim, kondisi lokasi, struktur tanah yang tidak layak, keadaan ekonomi yang tidak stabil
(penukaran mata uang, inflasi), adanya perubahan undang-undang dan regulasi pemerintah, adanya keterlambatan pengiriman material, adanya faktor yang berasal dari pelayanan umum (jalan, fasilitas umum, public sevices).
Dengan adanya keterlambatan proyek ini, maka 2 kategori yang berhubungan
Ahmad dalam Wei (2010) menyatakan bahwa keterlambatan pelaksanaan
proyek dikategorikan 2 bagian yaitu: tidak cukup (lack) material dan faktor-faktor lain termasuk, tenaga kerja, material, peralatan, financial problem (masalah keuangan). Faktor-faktor tambahan seperti cuaca, terlambatnya penerimaan material, perubahan design, kesalahan spesifikasi, dan force majeure, terjadi pemogokan di lokasi proyek.
Pengelompokkan menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) yang
menyatakan bahwa penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek jembatan antara lain:
1. Keterlambatan yang layak mendapatkan ganti rugi (compensable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan
pemilik proyek (owner).
2. Keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan kontraktor.
3. Keterlambatan yang dapat dimaafkan (excusable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik
pemilik maupun kontraktor.
Non excusable delay adalah keterlambatan proyek disebabkan kontraktor (contractor’d weakness) atau bukan kesalahan pemilik (owner). Kontraktor tidak mendapatkan tambahan waktu (no additional time) dan tambahan uang (no additional money) akibat keterlambatan pelaksanaan proyek (Alaghbari dalam Sallah, 2009). Kontraktor bertanggung jawab atas keterlambatan pelaksanaan proyek. Adanya faktor
penyebab keterlambatan proyek, seperti terlambatnya pengadaan material, kesulitan
finansial (financial difficulties), tidak efektifnya perencanaan dan penjadwalan, perubahan manajemen.
Menurut Al-Najjar (2008) bahwa Concurrent delay dapat terjadi jika hanya satu faktor penyebab keterlambatan proyek dan ini umumnya antara pelaksanaan
waktu proyek dan uang yang menjadi masalah. Akan tetapi yang lebih kompleks
terjadi dan lebih spesifik, adanya masalah lebih dari satu faktor penyebab
keterlambatan proyek pada saat waktu pelaksanaan bersamaan progress skedul atau
tumpang tindih (overlapping) waktu pelaksanaan proyek. Hal yang terjadi ini, mengakibatkan kontraktor dan pemilik yang bertanggung jawab atas keterlambatan
proyek. Dalam pengertian lain menurut Rubin et al. dalam Braimah (2008) berpendapat bahwa concurrent delay adalah kondisi dalam dua atau lebih keterlambatan proyek yang terjadi pada waktu bersamaan progress pelaksanaan
proyek.
Pengertian Concurrent delay adalah keterlambatan pelaksanaan proyek lebih kompleks tapi juga lebih spesifik jenis keterlambatan proyek. Adanya keterlambatan
keterlambatan proyek yang terjadi selama pada waktu bersamaan pelaksanaan proyek
atau dapat terjadinya tumpang tindih (overlapping) periode waktu pelaksanaan proyek (Alaghbari dalam Sallah, 2009). Dalam pengertian lain, adanya keterlambatan
pelaksanaan proyek terjadi waktu bersamaan pada progres pelaksanaan proyek dan
kategori keterlambatan proyek ini termasuk excusable delay dan non excusable delay. Oleh karena itu dampak keterlambatan pelaksanaan proyek ini, kemungkinan bisa mengakibatkan terjadinya perselisihan (disputes) antara kontraktor dan pemilik.
2.1.1 Jenis-jenis Keterlambatan Proyek
Jenis-jenis utama (main) keterlambatan proyek yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu Vidalis et al. dalam Al-Najjar (2008) antara lain:
1. Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik oleh pemilik maupun kontraktor.
2. Keterlambatan proyek yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.
4. Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.
5. Critical atau non critical, keterlambatan proyek ini adalah akibat dari waktu progress pelaksanaan proyek. Keterlambatan proyek yang tidak kritis (non critical delays), maka tidak berdampak pada skedul project. Terjadi efeknya pada kegiatan critical path pada skedul.
6. Pelaksanaan progress atau terjadinya pada waktu bersamaan (concurrent) atau non concurrent. Hal ini terjadi ketika pemilik dan kontraktor yang bertanggung jawab atas penyebab keterlambatan
pekerjaan proyek.
2.1.1.1 Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay)
Keterlambatan proyek terjadi diluar kontrol dan jika keterlambatan proyek ini
terjadi, maka kontraktor mendapat biaya tambahan pelaksanaan proyek. Sedangkan
menurut Al-Najjar (2008) bahwa keterlambatan proyek ini adalah suatu kejadian
pelaksanaan proyek diluar prediksi dan diluar kontrol siapapun. Excusable delays dikenal dengan keterlambatan force majeure dan umumnya disebut Acts of God. Oleh karena itu yang terjadi ini bukan tanggung jawab dari pihak-pihak terlibat.
Umumnya pada kontrak mengizinkan kontraktor mendapat tambahan waktu untuk
Menurut Wei (2010) bahwa standar umumnya berkaitan dengan general provisions suatu badan agensi spesifikasi publik. Wei juga mengatakan bahwa keterlambatan proyek dapat dimaafkan yang penyebab terjadinya antara lain:
1. Pemogokan pekerja.
2. Kebakaran.
3. Banjir.
4. Keterlambatan yang tidak terduga (acts of God). 5. Perubahan regulasi, seperti spesifikasi dari pemilik.
6. Salah, kelalaian, tak dicantumkan didalam perencanaan tentang spesifikasi.
7. Perbedaan kondisi lokasi lapangan (site) dengan kondisi yang berbeda dari perencanaan.
8. Keadaan cuaca yang tidak lazim (unsually severe weather). 9. Intervensi dari luar pemerintahan (government).
10. Kurangnya inspeksi, kontrol dari pemilik.
Terjadinya keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay) dengan konsuekensi bahwa kontraktor menerima pembayaran tambahan untuk waktu
pelaksanaan proyek. Sehingga peristiwa ini terjadi jika pemilik telah menunda
perjanjian dalam dokumen kontrak yang telah disepakati pada pelaksanaan proyek
2.1.1.2 Keterlambatan proyek yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay)
Selama proyek berlangsung, kontraktor dapat mengikuti progress proyek yang
sudah dijadwalkan atau meleset progressnya, tergantung dari kontraktor tersebut.
Wei (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini terjadi, apakah kontraktor dapat
mengontrol pelaksanaan proyek atau sebaliknya. Karena keterlambatan pelaksanaan
proyek ini mengakibatkan kontraktor tidak memperoleh apapun tambahan waktu
pelaksanaan dan juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan menurut Ahmed et al. (2002) bahwa kontraktor memperoleh sanksi akibat keterlambatan proyek tersebut.
2.1.1.3 Keterlambatan proyek yang layak mendapat ganti rugi (compensable delay)
Keterlambatan proyek terjadi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan
pemilik proyek (owner). Adanya keterlambatan pekerjaan proyek tersebut, maka pihak pelaksana (kontraktor) mendapat tambahan waktu pelaksanaan proyek. Selain
itu memperoleh juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan Wei (2010) menyatakan
bahwa apakah keterlambatan proyek itu mendapat ganti rugi, tergantung kontrak awal
yang terjadi. Umumnya dengan adanya kontrak proyek, maka dapat memberikan
2.1.1.4 Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay)
Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.
Menurut Wei (2010) bahwa kontrak awal memberikan kategori spesifikasi,
apakah keterlambatan proyek tersebut layak mendapat ganti rugi atau sebaliknya.
Tentu saja hal ini tergantung dari kontrak awal. Jika terjadi keterlambatan proyek
kategori non compensable delay, maka pihak yang terlibat adalah kontraktor. Kontraktor tidak menerima apapun tambahan uang. Akan tetapi kemungkinan
diizinkan untuk mendapatkan tambahan waktu penyelesaian pekerjaan proyek.
2.1.1.5 Keterlambatan proyek yang kritis (critical delays)
Menurut Wei (2010), keterlambatan proyek yang berakibat pada perubahan
waktu pelaksanaan proyek. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpanjangan waktu
pelaksanaan dalam milestone, dan ini umumnya disebut dengan critical delays. Sedangkan keterlambatan proyek yang tidak mempunyai pengaruh adanya perubahan
pelaksanaan atau milestone dan disebut non critical delays. Sementara itu jika kegiatan pelaksanaan proyek mengalami keterlambatan, maka kegiatan ini dapat
dikontrol dengan adanya perpanjangan waktu pelaksanaannya antara lain dengan
1. Permasalahan yang terjadi pada proyek tersebut.
2. Perencanaan pekerjaan kontraktor dan skedulnya (critical path). 3. Persyaratan kontrak selanjutnya.
4. Kendala dalam proyek seperti bagaimana merealisasi pelaksanaan
penyebab keterlambatan proyek.
5. Adanya input untuk pekerjaan penyelesaian pelaksanaan proyek dari pandangan praktisi ahli.
2.1.1.6 Pelaksanaan progress atau terjadinya pada waktu bersamaan
(concurrent delay)
Al-Najjar (2008) mengatakan bahwa hal ini terjadi jika ada satu faktor
penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Umumnya diantara kedua faktor
tersebut adalah waktu dan uang. Akan tetapi yang lebih kompleks kemajuan progress
skedul critical path method (CPM). Penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek khususnya lebih spesifik adalah lebih dari satu faktor penyebab keterlambatan
proyek sekaligus terjadi pada waktu bersamaan atau tumpang tindih (overlapping) pada kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Ini mengakibatkan pemilik (owner) dan kontraktor yang bertanggung jawab pada keterlambatan proyek ini. Jika keterlambatan pekerjaan proyek tersebut sulit diselesaikan dan tidak juga
antara pemilik dan kontraktor. Tetapi hanya kontraktor mendapat efeknya terhadap
perbedaan progress skedul critical path method (CPM).
Jika ditinjau penjelasan diatas, keterlambatan pelaksanaan proyek concurrent delay terjadi dengan adanya kedua belah pihak terkait yang bertanggung jawab, kontraktor dan pemilik (owner). Hal kemungkinan terjadi jika keterlambatan proyek tersebut sulit diselesaikan, yang disebabkan adanya kemungkinan terjadi pergantian
progress critical path method.
Dengan adanya concurrent delay menurut Abdullah et al. (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan
antara kontraktor dan pemilik, sehingga kontraktor hanya mendapat tambahan waktu
pelaksanaan pekerjaan atau kompensasi pada keterlambatan proyek kategori
excusable delay. Akan tetapi penalti atau denda pada kategori non excusable delay. Untuk lebih jelasnya penjelasan diatas tentang jenis-jenis keterlambatan
proyek dapat di gambarkan secara skematik pada Gambar 2.1:
Non excusable delay
Non concurrent Concurrent
Non critical Critical
Non compensable Compensable
Excusable delay
2.2 Klasifikasi Penyebab Keterlambatan Proyek ditinjau dari Aspek Manajemen dalam Pelaksanaan Proyek Konstruksi
Terdapat 2 jenis aspek manajemen pelaksana proyek konstruksi yaitu: aspek
manajemen proyek dan aspek manajemen konstruksi. Karena kedua aspek
manajemen tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan variabel dan sub faktor
penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Seperti penjelasan diatas, maka penulis
merangkumnya didalam menentukan variabel penelitian disamping aspek-aspek lain
yang dikombinasi, Definisi manajemen proyek adalah semua perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal (gagasan) hingga
berakhirnya proyek untuk menjamin pelaksanan proyek secara tepat waktu, tepat
biaya dan tepat mutu (Ervianto, 2005).
Manajemen konstruksi (construction management) menurut Ervianto (2005) adalah bagaimana agar sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat
diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Sumber daya dalam proyek
konstruksi dapat dikelompokkan menjadi manpower, material, machines, money, method.
Disisi lain, Proboyo mengklasifikasikan penyebab keterlambatan berdasarkan
aspek manajemen yang diambil sesuai definisi manajemen proyek, manajemen
konstruksi dan dokumen kontrak.
Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) mengatakan bahwa terdiri 45
jenis penyebab keterlambatan dan diklasifikasikan dalam aspek manajemen yang
A. Aspek Perencanaan dan Penjadwalan Pekerjaan antara lain:
1. Penetapan jadwal proyek yang amat ketat oleh pemilik.
2. Tidak lengkapnya identifikasi jenis pekerjaan yang harus ada.
3. Rencana urutan kerja yang tidak tersusun dengan baik/terpadu.
4. Penentuan durasi waktu kerja yang tidak seksama.
5. Rencana kerja pemilik yang sering berubah-ubah.
6. Metode konstruksi/pelaksanaan kerja yang salah atau tidak tepat.
B. Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak) antara lain:
1. Perencanaan (gambar/spesifikasi) yang salah atau tidak lengkap.
2. Perubahan desain/detail pekerjaan pada waktu pelaksanaan.
3. Perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan.
4. Proses pembuatan gambar kerja oleh kontraktor.
5. Proses permintaan dan persetujuan gambar kerja oleh pemilik.
6. Ketidak sepahaman aturan pembuatan gambar kerja.
7. Ada banyak (sering) pekerjaan tambah.
8. Adanya permintaan perubahan atas pekerjaan yang telah selesai.
C. Aspek system organisasi, koordinasi dan komunikasi antara lain:
1. Keterbatasan wewenang personil pemilik dalam pengambilan keputusan.
2. Kualifikasi personil/pemilik yang tidak professional dibidangnya.
4. Kegagalan pemilik mengkoordinasi pekerjaan dari banyak kontraktor/sub
kontraktor.
5. Kegagalan pemilik mengkoordinasi penyerahan/penggunaan lahan.
6. Keterlambatan penyediaan alat/bahan dll yang disediakan oleh pemilik.
7. Kualifikasi dan teknis manajerial yang buruk dari personil-personil dalam
organisasi kerja kontraktor.
8. Koordinasi dan komunikasi yang buruk antar bagian-bagian dalam
organisasi kerja kontraktor.
9. Terjadinya kecelakaan kerja.
D. Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya antara lain:
1. Mobilisasi sumber daya (bahan, alat, tenaga kerja) yang lambat.
2. Kurangnya keahlian dan ketrampilan serta motivasi kerja para
pekerja-pekerja yang langsung di lapangan.
3. Jumlah pekerja yang kurang memadai/sesuai dengan aktifitas pekerjaan
yang ada.
4. Tidak tersedianya bahan yang secara cukup pasti/layak sesuai kebutuhan.
5. Tidak tersedianya alat/peralatan kerja yang cukup memadai/sesuai
kebutuhan.
6. Kelalaian/keterlambatan oleh pekerjaan sub kontraktor.
7. Pendanaan kegiatan proyek yang tidak terencana dengan baik
8. Tidak terbayarnya kontraktor secara layak sesuai haknya.
(kesulitan pembayaran oleh pemilik).
E. Aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan antara lain:
1. Pengajuan contoh bahan oleh kontraktor yang tidak terjadwal.
2. Proses permintaan dan persetujuan contoh bahan oleh pemilik yang lama.
3. Proses pengujian dan evaluasi uji bahan dari pemilik yang tidak relevan.
4. Proses persetujuan ijin kerja yang bertele-tele.
5. Kegagalan kontraktor melaksanakan pekerjaan.
6. Banyak hasil pekerjaan yang harus diperbaiki/diulang karena cacat/tidak
benar.
7. Proses tata cara evaluasi kemajuan pekerjaan yang lama dan lewat jadwal
yang disepakati.
F. Aspek lain-lain (aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor) antara lain:
1. Kondisi dan lingkungan tapak ternyata tidak sesuai dengan dugaan.
2. Transportasi ke lokasi proyek yang sulit.
3. Terjadi yang hal-hal yang tidak terduga seperti kebakaran, banjir,
badai/angin ribut, gempa bumi, tanah longsor, cacat amat buruk.
4. Adanya pemogokan buruh.
6. Terjadinya kerusakan/pengerusakan akibat kelalaian atau perbuatan pihak
ketiga.
7. Perubahan situasi atau kebijaksanaan politik/ekonomi pemerintah.
Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) menentukan 45 jenis (faktor-faktor)
penyebab keterlambatan karena yang menjadi objek penelitiannya adalah proyek
konstruksi bangunan gedung. Sedangkan peneliti melakukan penelitian adalah proyek
konstruksi jembatan yang berlokasi di Sumatera Utara dan Aceh. Dengan demikian
peneliti mengambil sumber kajian jenis penyebab keterlambatan berdasarkan
peneliti-peneliti (researches) sebelumnya yaitu:
1. Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009).
2. Vidalis et al dalam Al-Najjar (2008). 3. Theodore dalam Wei (2010).
4. Ahmed et al (2002).
Dengan sumber kajian berdasarkan peneliti-peneliti (researches) sebelumnya, maka peneliti menentukan sebanyak 61 jenis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek
jembatan di Sumatera Utara dan Aceh. Namun selanjutnya enam puluh satu (61) jenis
faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan ini akan dijelaskan pada bab
2.3 Hal-hal yang berkaitan dengan Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan Terdapat hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek konstruksi
jembatan, diantaranya adalah:
2.3.1 Dampak Keterlambatan Proyek Konstruksi Jembatan
Keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan tidak diinginkan
semua pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), akibatnya dapat merugikan. Terlambatnya waktu penyelesaian proyek dari yang dijadwalkan semula, dan biaya
tambah pelaksanaan penyelesaiannya. Termasuk juga pengguna jembatan adalah
masyarakat. Dengan adanya masalah ini, maka pengguna jembatan yang seharusnya
sampai ketempat tujuan dengan waktu sudah terjadwal. Akan tetapi lebih lama
sampai ketempat tujuan dan termasuk biaya ongkos minyak kendaraan yang
meningkat. Akibat menempuh perjalanan ketempat tujuan lebih jauh dan lama dari
perjalanan yang normal. Dengan adanya keterlambatan penyelesaian waktu
pelaksanaan proyek maka semua pihak dirugikan.
2.3.2 Pembuktian Keterlambatan Proyek
Adanya permasalahan keterlambatan pelaksanaan proyek yang terjadi, maka
dapat menyebabkan perubahan pelaksanaan penyelesaian progress yang sudah
kondisi keterlambatan pekerjaan, karena hal ini berhubungan dengan faktor-faktor
apa penyebab keterlambatan proyek. Seperti diketahui bahwa pada saat progress
pekerjaan dinyatakan kritis maka menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor: 07/PRT/M/2011 pasal 39.1 bahwa apabila penyedia terlambat melaksanakan
pekerjaan sesuai jadwal maka PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau
dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis. Pada pasal kritis 39.2 apabila:
a Dalam periode I rencana fisik pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak, realisasi
fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana.
b Dalam periode II rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak,
realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana.
c Rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik
pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui
tahun anggaran berjalan.
Kondisi keterlambatan pekerjaan berdasarkan Permen PU No.43/PRT/M/2007.
Langkah selanjutnya adalah:
1. Berita acara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba I.
Kontraktor melakukan uji coba I untuk dievaluasi.
2. Dan bila uji coba I gagal, maka diingkatkan dengan SCM tahap II dan dibuat
berita cara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba II.
3. Namun, jika uji coba II gagal, maka ditingkatkan dengan SCM tahap III dan
dibuat berita acara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji
4. Pada akhirnya bila uji coba III gagal, maka akan dilakukan putus kontrak
(contract termination by employer).
Proses contract termination harus sesuai dengan Dokumen Kontrak (General Conditions pasal 15) antara lain, harus ada Surat Pemberitahuan (notice) dengan waktu yang telah ditentukan.
Dijelaskan kembali urutan Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut
Pusjatan-Balitbang PU bahwa perlu adanya pembuktian keterlambatan proyek. Untuk itu diadakan pertemuan dalam hal terjadinya keterlambatan progress phisik oleh
penyedia jasa berdasarkan jadwal kontrak (Contract schedule). Dalam hal terjadinya keterlambatan progress fisik oleh penyedia jasa, maka harus diikuti dalam
pengambilan keputusan yakni:
a) Jika terjadinya keterlambatan progress fisik antara 5% ─ 10 %, maka rapat
pembuktian keterlambatan akan diadakan antara Direksi Pekerjaan, Direksi
Teknis (SE/supervision engineer ) dan penyedia jasa.
b) Jika terjadinya keterlambatan progress fisik antara 10% ─ 15%, maka rapat
pembuktian keterlambatan akan dilaksanakan antara Pejabat Eselon II pada
pemerintah pusat atau daerah yang memiliki kewenangan pembinaan jalan,
Direksi Pekerjaan, Direksi Teknis, dan Penyedia Jasa.
c) Jika terjadinya keterlambatan progres fisik pada periode I (rencana fisik 0% ─
70 %) lebih besar dari 15% dan pada periode II ( rencana fisik 70% ─ 100%)
d) Selanjutnya kegiatan rapat pembuktian keterlambatan harus dibuat dalam
Berita Acara rapat pembuktian keterlambatan yang ditandatangani oleh
pimpinan dari masing-masing pihak sebagai catatan untuk membuat
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan berikutnya.
Dengan diketahuinya faktor penyebab keterlambatan proyek maka akan dapat
ditentukan langkah selanjutnya jenis keterlambatan proyek.
Perlunya pengendalian pelaksanaan pekerjaan terhadap kuantitas dan kualitas
dilaksanakan berdasarkan dokumen kontrak dan program mutu yang telah disepakati.
Untuk lebih jelasnya kriteria penilaian terhadap kondisi keterlambatan pekerjaan
Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan-Balitbang PU dapat digambarkan
pada Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kriteria Keterlambatan Proyek
Periode Rencana Fisik
Kriteria Keterlambatan Keterangan
Wajar Terlambat Kritis
Dengan adanya Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan-Balitbang PU,
maka setiap proyek yang mengalami kriteria penilaian terhadap kondisi
keterlambatan penyelesaian proyek akan mengacu pada Permen PU No.
43/PRT/M/2007. Namun sekarang sudah diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 07/PRT/M/2011 tentang penanganan kontrak kritis pasal 39.3 yaitu:
a. Dalam hal keterlambatan pada pasal 39.1 dan penanganan kontrak pada pasal
kritis 39.2 penanganan kontrak kritis dilakukan dengan rapat pembuktian
(show cause meeting/SCM).
1) Pada saat kontrak dinyatakan kritis direksi pekerjaan menerbitkan
surat peringatan kepada penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan
SCM.
2) Dalam SCM direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyedia membahas
dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh
penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang
dituangkan dalam berita acara SCM tingkat tahap I.
3) Apabila penyedia gagal pada uji coba pertama, maka harus
diselenggarakan SCM tahap II yang membahas dan menyepakati
besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam
periode waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam berita
4) Apabila penyedia gagal pada uji coba kedua, maka harus
diselenggarakan SCM tahap III yang membahas dan menyepakati
besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam
periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam berita
acara SCM tahap III.
5) Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat
peringatan kepada penyedia atas keterlambatan realisasi fisik
pelaksanaan pekerjaan.
b Dalam hal keterlambatan pada pasal 39.2 c PPK setelah dilakukan rapat
bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran berakhir dapat langsung
memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan pasal 1266
Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
2.3.3 Penghentian Kontrak dan Pemutusan Kontrak
Sesuai dokumen kontrak Dinas Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina
Marga antara lain:
1. Pasal 41.1 menyatakan bahwa penghentian kontrak dapat dilakukan karena
pekerjaan sudah selesai.
2. Namun pada pasal 41.4 menyatakan pemutusan kontrak dilakukan para pihak
terbukti melakukan kolusi, kecurangan atau tindak korupsi baik dalam proses
Diketahui juga didalam Dokumen Kontrak (General Conditions pasal 15) dapat dilakukan proses contract termination seperti pada penjelasan diatas sebelumnya (dapat dilihat pada Tabel 2.2 Permen PU No. 43/PRT/M/2007).
Menurut pasal 41.5 dokumen kontrak Dinas PU Direktorat Jenderal Bina
Marga, pemutusan kontrak oleh pengguna jasa sekurang-kurangnya 30 hari setelah
pengguna jasa menyampaikan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak secara
tertulis kepada penyedia jasa untuk kejadian (menurut pasal 41.5 dokumen kontrak
Dinas PU Direktorat Jenderal Bina Marga) antara lain:
a) Penyedia jasa tidak mulai melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak pada
tanggal mulai kerja sesuai dengan pasal 15.2.
b) Penyedia jasa gagal pada uji coba ketiga dalam melaksanakan SCM sesuai
pasal 33.2.a.6.
c) Penyedia jasa tidak berhasil memperbaiki suatu kegagalan pelaksanaan,
sebagimana dirinci dalam surat pemberitahuan penangguhan pembayaran
sesuai dengan pasal 58.2.
d) Penyedia jasa tidak mampu lagi melaksanakan pekerjaan atau bangkrut.
e) Penyedia jasa gagal mematuhi keputusan akhir penyelesaian perselisihan.
f) Denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan melampaui besarnya jaminan
pelaksanaan.
g) Penyedia jasa menyampaikan pernyataan yang tidak benar kepada pengguna
h) Terjadinya keadaan kabar dan penyedia jasa tidak dapat melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan pasal 37.7.c.
Dengan adanya kejadian yang timbul seperti diatas sebagaimana dirinci dalam huruf
a) sampai h), pasal 1.266 maka Kitab Undang Undang Perdata tidak diberlakukan.
Seperti penjelasan diatas, dapat dibedakan antara penghentian kontrak dan
pemutusan kontrak. Namun demikian, penelitian ini hanya terjadi penghentian
kontrak yang dilaksanakan, karena pelaksanaan pekerjaan proyek jembatan sudah
selesai meskipun penyelesaian pelaksanaan proyek jembatan terlambat dari yang
sudah dijadwalkan dan bukan pemutusan kontrak. Masalah analisis faktor-faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan yang terlambat dari yang sudah
dijadwalkan semula adalah penelitian yang dilakukan peneliti, dan diharapkan solusi
penelitian ini diperoleh hasil sesuai dengan tujuan penelitian.
2.4 Penelitian sebelumnya berkaitan dengan Penyebab Keterlambatan Proyek Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan riset dan mempublikasikannya
dalam bentuk jurnal, tesis, literature, handbook. Dibawah ini dijelaskan penelitian peneliti-peneliti sebelumnya, dan ini sebagai acuan untuk menyelesaikan tesis ini.
2.4.1 Beberapa Penelitian Terdahulu
Analisis faktor faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi jembatan
telah banyak dijadikan bahan penelitian. Beberapa penelitian menggunakan
Dewati et al (2010) melakukan penelitian dengan judul Proyek Pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) WI Ruas Kebon Jeruk-Penjaringan Paket 4 & 5. Hasil penelitian mereka menemukan faktor faktor resiko yang paling dominan menyebabkan penurunan kinerja waktu, sehingga menyebabkan keterlambatan
proyek pembangunan JORR (Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta) W 1 ruas Kebon Jeruk
– Penjaringan (Paket 4&5). Penemuan ini membuka jalan dalam mendapatkan
penanganan yang tepat untuk memperbaikinya.
Nainggolan et al (2010) melakukan penelitian dengan judul Manajemen Resiko Kinerja Biaya dan Waktu Proyek Central Park Jakarta. Hasil penelitian yang diperoleh adalah proyek konstruksi apartemen termasuk salah satu proyek yang
dipengaruhi oleh resiko dan ketidakpastian. Mengidentifikasi faktor faktor resiko
dominan yang berpengaruh terhadap kinerja biaya dan waktu proyek pada konstruksi
pembangunan Apartemen Central Park Jakarta Barat. Kuesioner ditujukan kepada
stakeholder seperti Developer dan Main Contractor, dianalisa secara statistik untuk mendapatkan model hubungan antara faktor faktor resiko terhadap kinerja waktu dan
biaya proyek serta bobot variabel yang mempengaruhinya.
Proboyo (1999) melakukan penelitian dengan judul Keterlambatan Waktu Pelaksanaan Proyek. Hasil penelitian yang diperoleh adalah keberhasilan melaksanakan proyek konstruksi tepat pada waktunya adalah salah satu tujuan
terpenting, baik bagi pemilik maupun kontraktor. Keterlambatan adalah sebuah
yang sangat berperan atau mendominasi segala penyebab keterlambatan dengan
maksud agar proses perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi dapat dilakukan
dengan lebih lengkap dan cermat, sehingga keterlambatan sedapat mungkin dihindari
atau dikendalikan. Temuan penyebab-penyebab keterlambatan yang dikonfirmasikan
dengan segi lapangan menggunakan kuesioner yang didistribusikan kepada
kontraktor, menunjukkan bahwa masalah-masalah tidak seksamanya rencana kerja,
tidak tersedianya sumber daya dan kurangnya komunikasi, koordinasi, merupakan
faktor-faktor yang dominan sehingga penyebab keterlambatan dari sisi kontraktor.
Dari sisi pemilik masalah ketidaklengkapan dan ketidakjelasan desain dan lingkup
pekerjaan, masalah sistem pengawasan dan pengendalian proyek merupakan faktor
yang dominan sebagai penyebab keterlambatan.
Widhiawati (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstruksi. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pelaksanaan proyek konstruksi umumnya mempunyai rencana dan
jadwal pembuatan, rencana proyek mengacu pada perkiraan saat rencana
pembangunan dibuat. Masalah dapat timbul apa bila ada ketidaksesuaian antara
rencana dengan pelaksanaannya. Dampaknya adalah keterlambatan pelaksanaan dan
meningkatnya biaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui penyebab utama dan
faktor-faktor penyebab keterlambatan kuesioner didistribusikan kepada kontraktor
yang berada di kotamadya Denpasar dan terdaftar sebagai anggota Gapensi Bali. Dari
216 kontraktor gred 2-7 dikotamadya Denpasar, diambil sampel 56 dengan
digunakan adalah uji statistik non parametrik dengan analisis Kendall W
menggunakan program SPSS 14.0 for windows.
Menurut Andi et al (2003) dan Proboyo (1999), faktor-faktor keterlambatan dikelompokkan menjadi 10 faktor. Selanjutnya dipaparkan dalam kuesioner site manager dan pelaksanaan lapangan pada masing-masing kontraktor. Dari 168 responden yang turut berpartisipasi dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja
mempunyai tingkat kesepakatan/keselarasan yang paling dominan, penyebab utama
adalah keahlian tenaga kerja. Dapat ditunjukkan dengan nilai statistik hubungan >
statistik tabel (242.260 > 12.592) dan probabilitas < 0.05 (0.00 < 0.005). Ho ditolak
berarti ada keselarasan diantara responden tentang pengaruh faktor keterlambatan
yang mempengaruhi serta nilai W sebesar 0.241 berada diantara 0.20-0.399 berarti
tingkat keselarasan antara responden adalah rendah.
Assaf et al (2006) melakukan penelitian dengan judul Change Order in Construction Projects in Saudi Arabia. Hasil penelitian yang diperoleh mengemukakan tentang perbedaan kategori proyek konstruksi di Saudi Arabia.
Ditetapkan bahwa penyebab keterlambatan proyek dengan melakukan survei terhadap
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan proyek yaitu; pemilik, konsultan
dan kontraktor maka dari hasil survei terhadap 23 kontraktor, 19 konsultan dan 15
pemilik, terdapat 73 penyebab keterlambatan yang ditetapkan selama riset. 76% dari
kontraktor, 56% konsultan menetapkan bahwa rata-rata keterlambatan pelaksanaan
yang terlibat (kontraktor, konsultan dan pemilik) tentang adanya perubahan rencana
(change order). Hasil dari survei diperoleh 70% terdapat proyek yang diperpanjang waktu pelaksanaannya dari yang dijadwalkan, dan 45 dari 76 proyek konstruksi
terjadi keterlambatan pelaksanaan pekerjaan proyek. Digunakan koefisien korelasi
Spearman untuk hubungan menyatakan setuju atau tidak didalam rangking penyebab
penting keterlambatan konstruksi proyek dengan pihak-pihak yang terlibat, pemilik,
kontraktor dan konsultan. Dengan demikian diperoleh hasil penelitian ini melalui
responden terhadap pemilik, konsultan dan kontraktor. Untuk penelitian ini
digunakan korelasi Spearman dengan koefisien korelasi antara +1 dan ─1, dimana +1
menyatakan setuju, sedangkan ─1 menyatakan tidak setuju. Korelasi rangking
Spearman digunakan menentukan langkah selanjutnya yaitu perbandingan korelasi
antara penyebab penting keterlambatan proyek terhadap pihak-pihak yang terkait
yaitu: kontraktor, konsultan dan pemilik.
2.4.2 Resume Penyebab Keterlambatan Proyek dari Peneliti sebelumnya
Penelitian penyebab keterlambatan proyek jembatan didasari latar belakang
dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya, seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya
Peneliti (research)
Project Jumlah penyebab yg diidentifikasi
Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti- peneliti (researches) sebelumnya
Peneliti
Keterlambatan waktu pelaksanaan proyek : Klasifikasi dan peringkat dari
penyebab-penyebabnya.
45 Kontraktor: tidak seksamanya rencana ke tersedianya sumberdaya, kurangnya komunikasi/koordinasi.
Pemilik: masalah ketidaklengkapan, ketida dan lingkup pekerjaan, masalah sistem pen pengendalian proyek.
Acharya et al (2006)
Analysis of Construction Delay Factor: A Korean Perspective
85 Konsultan: pekerjaan yang berlebihan, tid gambar,tidak lengkapnya spesifikasi, peren (error), adanya perubahan keputusan, mela pekerjaan kembali yang salah, perubahan ko perubahan spesifikasi selama pelaksanaan p
Kontraktor : perubahan personil staff, kur ahli, kurangnya dana (insufficient cash flow pengalaman tenaga ahli.
Pemilik: Perubahan lokasi proyek (site), p yang salah, waktu pelaksanaan proyek yang
Abdullah et al (2010)
Causes of Delay in MARA Management Procurement Construction Projects.
18 Kontraktor: Cash flow, kesulitan keuangan ( manajemen yang buruk dilokasi lapangan, perencanaan, progress, skedul yang tidak e
Assaf et al (2011) Change Orders in
Construction Projects in Saudi Arabia.
21 Pemilik:kurang terlibatnya pengembangan terlambatnya material di proyek, adanya pe material, pergantian material.
Konsultan:adanya konflik dalam perubah perencanaan, adanya perubahan setelah pe
Ahmed et al (2002)
Construction Delays in Florida: An Empirical Study
50 Pemilik:Bencana alam, perubahan permin spesifikasi, kesulitan keuangan, terlambat p kepada kontraktor, kesulitan ekonomi, dim kembali kontrak.
/ pekerja dilokasi proyek, rusaknya konstru tersedianya peralatan, terjadinya perselisiha lokasi proyek antar pekerja, perencanaan d yang tidak memadai, kurang koordinasi dil keterlambatan transportasi, keahlian manaj
46 Kontraktor:kondisi lokasi proyek (site) ya terduga, berbeda dari yang direncanakan.
Soon et al (2007) Causes and Effects of
Delays in Malaysian Construction Industry
28 Kontraktor: Perencanaan yang tidak sesua yang buruk di lokasi proyek (site),pengala kurang, pembayaran yang tidak tepat wakt padahal sudah menyelesaikan proyek, Mas sub kontraktor, material yang tidak mencuk tenaga kerja, peralatan yang tersedia akan t kurang komunikasi antar staff, kesalahan ya selama pelaksanaan proyek
Bordat et al (2004).
An Analysis of Cost Overruns and Time Delays of INDOT Projects
25 Pelaksanaan bisnis (business practices), pr kondisi lokasi proyek (site) yang jauh dari d kontraktor dan lembaga manajemen, skedu pemeliharaan daerah (zone ) traffic, perenc salah.
Kelanjutan Tabel 2.2 tentang Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar
belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya dapat dilihat pada lampiran I.
2.5 Statistik yang digunakan untuk menganalisis
Beberapa tahapan statistik yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini
antara lain:
2.5.1 Teori Analisis Data
Menurut Arikunto (2002) bahwa data kuantitatif yang dikumpulkan dalam
penelitian koresional, komparatif, atau eksperimen diolah dengan rumus-rumus
statistik yang sudah disediakan. Data yang telah terkumpul, maka diklasifikasikan
menjadi dua kelompok data, yakni: data kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan
data kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau simbol atau juga dalam bentuk
bukan angka.
Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasar pada adanya hubungan
semantik antar variabel yang sedang diteliti dan hubungan antar semantik sangat penting karena dalam analisis kualitatif. Tidak menggunakan angka-angka seperti pada analisis kuantitatif (Sarwono, 2006).
Dengan adanya penjelasan diatas, maka perbedaan antara data kuantitatif dan
kualitatif untuk analisis data ditentukan oleh peneliti. Peneliti menentukan analisis
perkembangan eksperimen Army Corp of Engineers didalam formula ACE. Formula ACE telah menetapkan:
1. Korelasi.
2. Non parametrik.
3. Variabel ordinal.
4. Menggunakan korelasi Spearman.
5. Chi square test.
Dasar formula ACE inilah yang dijadikan acuan peneliti untuk menentukan langkah
selanjutnya penelitian ini.
2.5.2 Teori Metode Pengukuran
Setiawan (2005) mengatakan bahwa teknik pengukuran yang sering
digunakan dalam penelitian adalah skala Likert. Skala ini merupakan metode summated rating. Dan ini diaplikasikan untuk mengukur sikap seseorang terhadap sekumpulan pertanyaan yang berkaitan dengan variabel tertentu. Skala Likert dirancang untuk mengukur apakah sikap itu berada pada jenjang yang negatif atau
positif, kemudian diberi skor secara berjenjang.
Sedangkan menurut Weni (2007) bahwa skala Likert penting untuk mengetahui pendapat responden atau sikap tentang sesuatu, dimana responden harus
mengidentifikasi lebih dekat pengalaman, pendapat yang cocok. Sesuai dengan
2.5.3 Teori Sampling
Sugiyono (2003) mengemukakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri dari objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Sampel adalah bagian dari sejumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi
tersebut (Sugiyono, 2003). Penggunaannya adalah dengan mengambil sampel acak
sederhana (simple random sampling), yaitu sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan yang sama
untuk dipilih sebagai sampel.
Dengan adanya ketentuan diatas maka populasi dalam penelitian ini adalah
total responden pihak-pihak yang terlibat, kontraktor dan pemilik sebanyak 71
responden (Lampiran II).
2.5.4 Teori tentang Metode Jenis dan Sumber Data
Terdiri dari 2 sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Data yang
dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
merupakan data yang didapat secara langsung dari sumber-sumber pertama baik
individu maupun kelompok yaitu: penyebaran kuesioner di distribusi kepada
responden yang ditargetkan, kontraktor BUMN dan non BUMN yang ada di Sumatera
2.5.5 Teori Statistik Non Parametrik
Statistik non parametrik digunakan untuk pengujian hipotesis jika data
berbentuk nominal dan ordinal. Data nominal adalah data yang menunjukkan
frekuensi dari suatu atribut. Data ordinal adalah data yang menunjukkan urutan atau
ranking. Penggunaan statistik non parametrik memerlukan berbagai persyaratan.
Persyaratan tersebut adalah sumber penelitian harus diambil secara acak (random). Tetapi data yang dianalisis tidak harus berdistribusi tertentu.
Setiawan (2005) menyatakan bahwa statistik non parametrik adalah bagian
statistik yang parameter dari populasinya tidak mengikuti suatu distribusi tertentu
atau memiliki distribusi yang bebas persyaratan dan variannya tidak perlu homogeni.
Penggunaan statistik parametrik dan non parametrik tergantung dari
asumsi-asumsi dasar yang berkaitan dengan distribusi dan jenis skala data yang diperoleh
dari populasi maupun sampel penelitiannya. Apabila tidak memenuhi persyaratan
antara lain:
1. Variabel yang diukur tidak dalam skala interval. Skala interval termasuk
ukuran yang bersifat numerik. Sehingga memungkinkan melakukan
interpretasi terhadap hasilnya.
2. Analisis yang berkaitan dengan dua grup, maka populasi masing-masing grup
harus memiliki varian yang sama, seperti diketahui varians adalah ukuran
keragaman yang memperhitungkan posisi relatif setiap pengamatan terhadap
nilai tengah gugus data.
4. Hasil observasi harus bersifat independen. Pemilihan satu kasus tidak
tergantung pada pemilihan kasus lainnya.
Akan tetapi, jika tidak memenuhi semua persyaratan tersebut diatas, maka
digunakanlah analisis metode statistik non parametrik. Uji statistik ini tidak
memerlukan asumsi distribusi dari populasi.
Terdapat kelebihan dan kekurangan antara statistik parametrik dan non
parametrik. Setiawan (2005) menyatakan bahwa statistik non parametrik memiliki
keunggulan dan kekurangan, adapun keuntungan dari penggunaan statistik non
parametrik adalah sebagai berikut:
1. Statistik non parametrik dapat digunakan pada sampel kecil.
2. Dapat digunakan untuk menggarap sampel-sampel. Observasi tersebut terdiri
dari beberapa populasi yang berlainan.
3. Dapat digunakan untuk menggarap data. Data tersebut merupakan ranking
(rank).
4. Dapat digunakan untuk menggarap data. Data tersebut merupakan klasifikasi
dan diukur dalam skala nominal.
5. Lebih mudah dipelajari dan diterapkan dibandingkan dengan statistik
Sedangkan kekurangan dari penggunaan prosedur model statistik non parametrik
adalah:
1. Penggunaan statistik non parametrik akan menjadi penghamburan data jika
data memenuhi syarat model statistik parametrik.
2. Belum ada satupun dalam metode statistik non parametrik untuk mengukur
interaksi-interaksi dalam model analisis varian.
3. Penggunanaan statistik non parametrik memerlukan banyak tenaga serta
menjemukan.
Penjelasan yang diberikan oleh Setiawan (2005) diatas, dapat memberikan
gambaran keuntungan dan kerugian penggunaan statistik non parametrik. Namun,
peneliti berpedoman kepada Ballistic Reserach Labolatory (BRL) seperti penjelasan pada Bab II. 2.5.1 tentang alasan digunakan statistik non parametrik.
2.6 Teori Analisis yang digunakan
Penelitian ini membahas beberapa teori analisis yang digunakan dalam
penyelesaian masalah yang terjadi tentang faktor-faktor penyebab keterlambatan
proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh, diantaranya adalah:
2.6.1 Mean atau rata-rata
banyak data. Jika X1, X2, ……….Xn adalah n buah pengamatan, maka mean
n = Jumlah observasi data Kuesioner pada setiap faktor/variabel (61)
Xi = Skala scoring (scoring scale) (1,2,3,4,5)
fi = frekuensi dari setiap observasi kuesioner dari setiap factor
Penentuan nilai rata-rata (mean rank) terendah (terkecil) diambil referensi oleh peneliti menurut Widhiawati (2009).
2.6.2 Teori Koefisien Korelasi Berdasarkan Rank
Suatu himpunan data tertentu, dengan pengukuran atau anggapan normalitas
untuk r tidak terpenuhi, maka digunakan koefisien korelasi non parametrik. Seperti diketahui bahwa korelasi adalah hubungan keterkaitan antara dua atau lebih variabel.
Angka koefisien korelasi (r) terpenuhi sekitar -1 = r = +1. Untuk menentukan koefisien korelasi dengan metode non parameterik, maka digunakan koefisien
korelasi rank spearman dan koefisien korelasi rank konkordansi Kendall.
yang dipelajari dapat di rangking dalam rangkaian berurut (Conover dalam Khotimah,
2007).
2.6.3 Teori tentang Korelasi
Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua
variabel dan Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu
teknik pengukuran asosiasi/ hubungan (measures of association).. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1.
Ada tiga penafsiran hasil analisis korelasi, meliputi: pertama, melihat
kekuatan hubungan dua variabel; kedua, melihat signifikansi hubungan; dan ketiga,
melihat arah hubungan. Untuk melakukan interpretasi kekuatan hubungan antara dua
variabel dilakukan dengan melihat angka koefesien korelasi hasil perhitungan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut:
1. Jika angka koefesien korelasi menunjukkan 0, maka kedua variabel tidak mempunyai hubungan.
2. Jika angka koefesien korelasi mendekati 1, maka kedua variabel mempunyai hubungan semakin kuat.
3. Jika angka koefesien korelasi mendekati 0, maka kedua variabel mempunyai hubungan semakin lemah.
4. Jika angka koefesien korelasi sama dengan 1, maka kedua variabel
5. Jika angka koefesien korelasi sama dengan -1, maka kedua variabel mempunyai hubungan linier sempurna negatif.
2.6.4 Teori tentang Koefisien Korelasi Rank Spearman
Teori korelasi digunakan untuk menganalisis ada atau tidaknya hubungan
antara variabel, jika ada hubungan maka berapa besar pengaruhnya. Peneliti
memastikan validitas dari kuesioner, maka dilakukan uji statistik, yaitu tes Spearman.
Seperti diketahui korelasi rangking Spearman adalah tes non parametrik, yang
digunakan untuk mengetahui adanya variabel faktor-faktor penyebab keterlambatan
proyek terhadap pemilik, kontraktor. Teknik yang digunakan untuk mengetahui
hubungan 2 variabel antara faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek
jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat Y{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}
Dengan kata lain, dapat diketahui variabel faktor-faktor penyebab keterlambatan
proyek jembatan terhadap variabel pihak-pihak yang terlibat Y {kontraktor (Y1) dan
pemilik (Y2)}. Digunakan statistik Rs antara ─1 dan +1 yang menyatakan
mempunyai hubungan tidak berpengaruh atau berpengaruh.
- Koefisien korelasi +1 mempunyai pengaruh positif. Dinyatakan berpengaruh
- Sedangkan koefisien korelasi ─1 mempunyai berpengaruh negatif.
Menurut Sallah (2009) bahwa arti nilai Rs pada korelasi rank Spearman adalah; 1. Jika nilai Rs adalah ─1, maka ini korelasi negatif.
2. Diantara ─1 dan ─0.5 adalah korelasi negatif kuat.
3. Untuk ─0.5 dan 0 maka korelasi negatif lemah.
4. Sedangkan nilai 0, maka tidak ada korelasi.
5. Jika nilai 0 dan 0.5 maka korelasi positif lemah.
6. Dan jika 0.5 dan 1, maka korelasi positif kuat.
7. Sedangkan jika 1 maka terdapat korelasi positif.
Madjid (2006) menyatakan bahwa koefisien korelasi rangking Spearman
adalah pengukuran asosiasi (hubungan) 2 variabel antara faktor-faktor penyebab
keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat Y
{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}. Agar penentuan korelasinya yang signifikan
dalam suatu faktor rangking keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan
dalam persfektif kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2), maka korelasi rank Spearman (Sheskin dalam Madjid, 2006), dihitung dengan menggunakan rumus:
r
s (2.2)Dimana: rs=Koefisien korelasi rank Spearman
d=Perbedaan Rangking antara kontraktor dan pemilik
Diperoleh besarnya koefisien korelasi spearman (rs) bervariasi yang memiliki
batasan-batasan antara -1 < r < 1, interprestasi dan nilai koefisien korelasinya
adalah:
1. Jika, nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear positif, yaitu
makin besar nilai variabel X ( faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek
jembatan ) maka besar pula nilai variabel Y {kontraktor (Y1) dan pemilik
(Y2)} atau makin kecil nilai variabel X (faktor-faktor penyebab
keterlambatan proyek jembatan) maka makin kecil pula nilai variabel
Y{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}.
2. Jika, nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear negatif, yaitu
makin kecil nilai variabel X (faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek
jembatan), maka makin besar nilai variabel Y {kontraktor (Y1) dan pemilik
(Y2)} atau makin besar nilai variabel X (faktor-faktor penyebab
keterlambatan proyek jembatan), maka makin kecil pula nilai variabel Y
{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}.
3. Jika, nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan sama sekali antara variabel X
(faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek) dengan variabel Y
{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}.
4. Jika, nilai r = 1 atau r = -1 adalah telah terjadi hubungan linear sempurna,
berupa garis lurus, sedangkan untuk nilai r yang semakin mengarah ke
Dalam hubungan antara rangking kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2) diverifikasi
dengan asumsi oleh tes hipotesis pada signifikan 95%.
dimana Z = rs
Agar supaya diketahui faktor-faktor yang sangat berpengaruh penyebab
keterlambatan proyek dan tidak berpengaruh faktor-faktor penyebab keterlambatan
proyek antara dua grup responden, kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2) dalam faktor
rangking, maka diperlukan tes hipotesis, yaitu:
- Hipotesis nol (null hypothesis) H0 = Tidak ada pengaruh hubungan faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan
didalam rangking terhadap kontraktor (Y1)
dan pemilik (Y2).
- Hipotesis Alternatif H1 = Ada pengaruh hubungan faktor-faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan
didalam rangking terhadap pemilik (Y2)
dan kontraktor (Y1).
Korelasi Spearman dalam pengujian statistik dapat dilakukan menurut
pendapat Setiawan (2005) menyatakan bahwa merupakan ukuran kadar
asosiasi/relasi/hubungan antara 2 variabel antara faktor-faktor penyebab
keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat
keterlambatan proyek jembatan dengan data berupa ordinal. Dengan perhitungan dan
pengujiannya didalam penelitian yakni:
1. Diberikan rangking pada variabel X dan Y, jika ada rangking kembar buat
rata-ratanya.
2. Hitung harga di=Xi─Yi.
3. Dibuat kuadrat masing-masing di (di)² dan jumlahkan (∑(di)²).
4. Tidak ada rangking berangka maka digunakan rumus:
rs
(2.3)5. Dilakukan uji signifikansi
Jika 4≤n≤30, digunakan tabel P (Siegel, 1997) uji satu sisi. Dan jika p≤α,
maka H0 ditolak.
Jika n>30, dihitung dengan menggunakan rumus:
t
I(2.4)
2.6.5 Teori tentang Koefisien Korelasi RankKendall (τ)
Analisis korelasi rank Kendall digunakan untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih. Jika datanya berbentuk ordinal dan
rangking (Sugiyono, 2003).
koefisien konkordansi Kendall digunakan. Koefisien ini memberikan jawaban
faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan diantara responden selama mendapatkan hasil data kuesioner dalam skala 0 sampai 1.
Al-Juwairah (1997) menyatakan bahwa koefisien konkordansi Kendall (σ) adalah menyatakan sejauh mana pengaruhnya atau sebaliknya bahwa tidak ada
pengaruhnya faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan yang diperoleh diantara rangking terhadap pihak-pihak terlibat yaitu kontraktor dan
pemilik (owner).
Dalam pengertian lain bahwa koefisien konkordansi Kendall ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan terhadap pihak-pihak terlibat yaitu kontraktor dan pemilik (owner). Dan juga untuk mengetahui apakah tidak mempunyai pengaruh faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan terhadap pihak-pihak terlibat yaitu kontraktor dan pemilik (owner).
Widhiawati (2009) menyatakan bahwa uji konkordansi Kendall pada prinsipnya ingin mengetahui apakah ada keselarasan dari sekelompok subjek (orang) dalam menilai objek tertentu. Keselarasan (konkordansi) diberi nilai seperti halnya
korelasi, yakni dari 0 sampai 1. Jika 0 berarti responden sama sekali tidak selaras satu dengan yang lain dalam menilai atribut dan jika 1 maka semua sangat selaras. Pada umumnya, angka konkordansi diatas 0.5 bisa dianggap tingkat keselarasan sudah
W= (2.5)
Dimana: k=Jumlah variabel
n=Jumlah penilai (responden sebanyak 71)
Ri= Jumlah data penilaian responden
Untuk dapat memberi interpretasi terhadap kuatnya hubungan itu, maka dapat digunakan pedoman seperti yang tertera dibawah ini:
Tabel 2.3 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Rank Kendall Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0.00─0.199 Sangat rendah
0.20─0.399 Rendah
0.40─0.599 Sedang
0.60─0.799 Kuat
0.80─1.00 Sangat kuat Sumber Sugiyono dalam Widhiawati, (2009)
Pengujian statistik menurut Setiawan (2005) bahwa koefisien korelasi rank
Kendall merupakan ukuran kadar asosiasi/relasi/hubungan antara dua (2) variabel
antara faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X)
terhadap pihak-pihak yang terlibat yaitu kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2). Variabel
(faktor) berdasarkan atas rangking dan mempunyai data berskala ordinal. Perhitungan
1. Diberikan rangking pada variabel X dan Y, jika ada rangking kembar, dibuat
rata-ratanya.
2. Diurutkan rangking X dari terkecil hingga terbesar (1,2,3,……….n).
3. Ditentukan harga S berdasarkan rangking Y yang telah disusun mengikuti X.
Dan diamati rangking Y mulai dari yang paling kecil menurut X, hingga yang
terbesar menurut X. Kemudian diberi nilai +1 untuk setiap harga yang lebih
tinggi berdasarkan susunan rangking X dan ─1 untuk setiap harga yang lebih
rendah.
Tidak ada rangking berangka maka digunakan rumus:
(2.6)
Dilakukan uji signifikansi
Jika 4≤n≤10, maka digunakan tabel Q Siegel, 1997 (uji satu sisi). Jika p ≤ α,
maka H0 ditolak,
Jika n>10, maka Z (2.7)
2.6.6 Teori tentang Uji Chi Kuadrat
Uji Chi Kuadrat adalah salah satu prosedur non parametrik yang dapat
digunakan dalam analisis statistik yang sering digunakan. Uji Chi kuadrat ini
digunakan untuk menguji kebebasan antara dua sampel (variabel) yang disusun dalam
mencek ketergantungan dan homogenitas, apakah data variabel yang diambil
menunjang hipotesis yang menyatakan bahwa populasi asal sampel tersebut
mengikuti suatu distribusi yang telah ditetapkan.
Kedua prosedur tersebut selalu meliputi perbandingan frekuensi yang diamati
dengan frekuensi yang diharapkan bila hipotesis nol yang ditetapkan benar, oleh
karena itu dalam penelitian yang dilakukan data yang diperoleh tidak selamanya
berupa data skala interval, melainkan juga data skala nominal.
Dengan memberikan interpretasikan terhadap Chi Kuadrat dan menentukan
df. Maka dapat dibandingkan dengan tabel harga kritis Chi Kuadrat. Dapat juga
dibandingkan antara harga Chi Kuadrat dari hasil perhitungan dengan harga kritis Chi
Kuadrat dan dapat diambil suatu kesimpulan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika harga Chi Kuadrat sama atau lebih besar dari tabel Chi Kuadrat maka
hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima.
2. Bila harga Chi Kuadrat lebih kecil dari tabel chi Kuadrat maka hipotesis nol
(H0) diterima dan hipotesis alternatif (H1) ditolak.
2.7 Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek dari Aspek Manajemen Proyek Konstruksi Jembatan di Sumatera Utara dan Aceh
Terdapat faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan telah
ditetapkan oleh peneliti sebelumnya, yang ditinjau dari aspek manajemen proyek
tersebut. Aspek manajemen proyek ini terdiri dari enam sub aspek manajemen kajian
−Aspek perencanaan dan penjadwalan pekerjaan (X1).
−Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan /kontrak (X2).
−Aspek sistem organisasi, koordinasi dan komunikasi (X3).
−Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya (X4 ).
−Aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan (X5).
−Aspek lain-lain (aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor) (X6).
Aspek manajemen ini menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) dan oleh
peneliti merupakan jumlah faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek sebagai
variabel a.
Peneliti juga telah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keterlambatan
proyek terdiri dari 6 sub aspek manajemen proyek kajian secara rinci yaitu:
2.7.1 Aspek perencanaan dan penjadwalan pekerjaan
Aspek ini terdiri dari 8 sub faktor penyebab keterlambatan proyek
jembatan sebagai variabel X1. Penetapan sub faktor ini sebanyak 6 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam
Proboyo (2009). Peneliti mendengar dari pakar-pakar yang berpengalaman di bidang
proyek konstruksi jembatan dan menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa
untuk menambahkan 2 faktor lagi penyebab keterlambatan proyek di Sumatera Utara
Tabel 2.4 Saran-saran dalam aspek perencanaan dan penjadwalan
pekerjaan yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan
No Sub Faktor/Variabel Keterangan Sumber
1 Pembuatan lalu lintas kendaraan pengalihan
−instansi pemilik (owner) dengan posisi staff ahli perencanan jalan dan jembatan.
−general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. −staff komersial yang
bekerja di kontraktor
−instansi pemilik (owner) dengan posisi staff ahli perencanan jalan dan jembatan.
−general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. −staff komersial yang
bekerja di kontraktor BUMN.
Pakar-pakar tersebut sampai sekarang masih bekerja di instansi pemilik
(owner) dengan posisi staff ahli perencanaan jalan dan jembatan, general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN dan staff komersial yang
bekerja di kontraktor BUMN. Pakar-pakar tersebut menyatakan bahwa pembuatan
lalu lintas kendaraan pengalihan sementara yang lama dari yang dijadwalkan
abutment yang tidak terduga adalah salah satu faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh.
2.7.2 Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak)
Aspek ini terdiri dua belas sub faktor penyebab keterlambatan proyek
jembatan sebagai variabel X2. Penetapan sub faktor ini sebanyak 8 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam
Proboyo (2009). Selain itu peneliti mendengar dari pakar-pakar berpengalaman di
bidang proyek konstruksi jembatan yang menangani keterlambatan proyek jembatan
bahwa untuk menambahkan 4 faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di
Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Saran-saran aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak) yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan
No Sub Faktor/Variabel Keterangan Sumber
1 Banyak dikeluarkan
addendum pada kontrak, karena perbedaan dokumen kontrak dengan kondisi tempat lokasi proyek (site).
−staff komersial yang bekerja di
kontraktor BUMN.
−Acharya et al (2006) dalam kuesioner tesisnya
2 Peralatan tidak sesuai
3 Terlambatnya merevisi dan persetujuan
4 Tidak menggunakan
prosedur yg sistematis pada perencanaan dan dokumen.
− Sda −Menurut Al- Najjar
(2008) dalam kuesioner tesisnya
Tambahan 4 faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan tersebut adalah
peralatan tidak sesuai kontrak, banyak dikeluarkan addendum pada kontrak, karena
perbedaan dokumen kontrak dengan kondisi tempat lokasi proyek (site), terlambatnya merevisi dan persetujuan dokumen dan bahan dan tidak menggunakan prosedur yang
sistematis pada perencanaan dan dokumen.
2.7.3 Aspek sistem organisasi, koordinasi dan komunikasi
Aspek ini terdiri dari 9 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan
sebagai variabel X3. Penetapan sub faktor ini sebanyak 9 sub faktor penyebab
keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo
2.7.4 Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya
Aspek ini terdiri dari 15 sub faktor penyebab keterlambatan proyek
jembatan sebagai variabel X4. Penetapan sub faktor ini sebanyak 7 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam
Proboyo (2009). Peneliti mendengar dari pakar-pakar yang berpengalaman di bidang
proyek konstruksi jembatan dan menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa
untuk menambahkan 8 faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di
Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Saran-saran aspek kesiapan/penyiapan sumber daya yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan
No Sub Faktor/Variabel Keterangan Sumber
1 Mesin dan alat kerja yang
tersedia di lapangan tidak dapat bekerja sesuai dengan rencana yang telah di plot.
−staff komersial yang bekerja di
kontraktor BUMN.
− Al-Najjar et al (2008) dalam kuesioner tesisnya − Madjid (2006) dalam
kuesioner tesisnya − Ralls (2007) − Wei (2010) dalam
kuesioner tesisnya
2 Pemasangan alat yang
− Wei (2010) 3 Terjadinya konflik antar
sesama personil di
− Wei (2010) dalm kuesioner tesisnya
4 Pengiriman material/bahan
konstruksi terlambat sampai ke lapangan (site).
− Sda − Ahmed et al (2002)
− Madjid (2006) dalam
kuesioner tesisnya
− Wei (2010) dalm kuesioner tesisnya
− Bordat (2004)
5 Kurangnya pengalaman
mekanik operator
6 Rendahnya moral dan
motivasi (low morale and motivation).
−Sda − Madjid (2006)
7 Kurangnya mengalokasikan
daerah sekitar proyek
8 Kurangnya penggunaan