BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di
dunia. Segala aktifitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi
kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus
selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan
kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada.
Upaya untuk menanggulangi kejahatan, yang dikenal dengan politik
kriminal (criminal policy) menurut G Peter Hoinagels dapat dilakukan dengan:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law aplication)
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass
media).1
Penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu upaya penal (hukum Pidana) dan non penal (di luar hukum Pidana).
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan pada
sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi).
Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat prepentif (menciptakan
kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana).2
Penanggulangan kejahatan melalui hukum Pidana, merupakan kegiatan
yang didahului dengan penentuan tindak pidana (kriminalisasi) dan penentuan
sanksi yang dapat dibebankan pada pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan dan
pelanggaran). Sanksi dalam hukum pidana merupakan suatu derita yang harus
diterima sebagai imbalan dari perbuatannya yang telah merugikan korbannya dan
masyarakat. Kondisi seperti ini sering kali justru menjauhkan hukum pidana dari
tujuannya, yaitu mensejahterakan masyarakat. Dengan demikian sudah seharusnya
penentuan dan penjatuhan sanksi dilakukan dengan pertimbangan yang serius,
dengan harapan hukum Pidana akan mampu berfungsi melindungi kepentingan
negara, korban dan pelaku tindak pidana.
Salah satu bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan kepada seorang pelaku
tindak pidana adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat pada dasarnya adalah
merupakan suatu bentuk penjatuhan hukuman kepada seorang yang telah terbukti
melakukan tindak pidana dan akan dikenakan apabila si pelaku melanggar
syarat-syarat yang ditentukan hakim dalam putusannya. Misalnya seorang pelaku
kejahatan dihukum selama 1 tahun dengan pidana bersyarat. Hukuman 1 tahun
akan dikenakan apabila syarat-syarat yang dijelaskan hakim dilanggar oleh pelaku
tindak pidana.
Dari aspek tujuan pemidanaan, sebenarnya pidana bersyarat ini lebih
ditujukan pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan
terhadap perbuatannya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan aliran hukum
2
pidana modern yang berorientasi pada pelaku kejahatan yang pemidanaannya
ditekankan untuk kemanfaatan atau memperbaiki dengan mempertimbangkan
sifat-sifat serta keadaan terpidana. Dalam pidana bersyarat terdapat makna yang
tersimpul bahwa sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan
kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Pada penelitian
ini objek pemberian pidana bersyarat tersebut anak sebagai pelaku kecelakaan lalu
lintas.
Negara sebagai organisasi kekuasaan mempunyai kewajiban untuk
melindungi anak, dan untuk memenuhi kewajibannya, Pemerintah Indonesia
mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan kepada anak sebagai
korban perbuatan pidana serta mengatur tentang hak dan kewajiban anak.
Kedudukan anak sebagai pelaku perbuatan pidana harus mendapat perlindungan
dan perhatian secara khusus. Kasus-kasus perbuatan pidana yang melibatkan anak
sebagai pelakunya (dalam setahun sekitar 7000 kasus)3 membawa fenomena
tersendiri, karena anak merupakan individu yang masih labil. Selain itu, untuk
melaksanakan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan
baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan
memadai. Hal ini memberikan alasan kuat untuk disahkannya Undang Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Tetapi setelah ditelaah lebih dalam, terdapat kekurangan dan kelemahan di
dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut. Terutama di dalam
3
ketentuan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Hakim dapat
menjatuhkan pidana pidana bersyarat terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
dibawah ancaman pidana penjara dua tahun. Ketentuan dalam Pasal 73
Undang-Undang tersebut, merupakan ketentuan yang bersifat khusus dari ketentuan dalam
Pasal 14a-14f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terutama suatu syarat dapat
dijatuhkannya suatu pidana bersyarat oleh hakim. Di dalam ketentuan Pasal 73
tersebut tidak ditemukan adanya dasar pertimbangan yang jelas bagi Hakim Anak
untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak yang melakukan tindak pidana di
bawah ancaman pidana maksimal 2 (dua) tahun. Sehingga bisa ditarik kesimpulan
bahwa kewenangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat tersebut merupakan
kewenangan dari Hakim Anak itu sendiri.
Padahal diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki Hakim Anak untuk
menjatuhkan pidana bersyarat haruslah mempunyai dasar pertimbangan yang jelas
sehingga keputusan hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat, korban terutama kepada anak yang divonis oleh hakim itu sendiri,
apabila tidak diterapkan secara benar oleh Hakim Anak, maka akan
mengakibatkan ketimpangan dan ketidak seragaman putusan hakim dalam
prakteknya terhadap kasus yang sama, terhambatnya pelaksanaan Pasal 73
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
serta yang paling ditakutkan adalah terancamnya masa depan terpidana anak yang
Akibat yang ditakutkan itupun terbukti, dari survei KPAI pusat didapatkan
bahwasanya “dari 7000 kasus yang masuk peradilan, 90% mereka (anak) tidak di
dampingi oleh pengacara, dan 85% dari mereka dihukum dengan hukuman
perampasan kemerdekaan (penjara)”4
, Pada kenyataannya jika dilihat ketentuan
Pasal 73 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dijelaskan bahwa “Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan
oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun".
Jika di dalam ketentuan Pasal 73 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat dasar pertimbangan yang jelas
bagi Hakim Anak dalam memutus suatu perkara, maka penempatan anak pelaku
tindak pidana dalam lembaga pemasyarakatan anak dapat diminimalisir sebaik
mungkin. Tetapi dalam realita senyatanya sampai saat ini itu semua belum
terealisasi dan sampai saat ini juga masih banyak tindak pidana anak yang
seharusnya dapat dijatuhi pidana bersyarat tetapi dijatuhi pidana penjara karena
tidak adanya ketetuan atau syarat yang jelas mengenai penerapan pidana bersyarat
oleh Hakim Anak, khususnya dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Berdasarkan data diatas, penulis bermaksud menganalisis lebih lanjut
mengenai hal tersebut dengan melakukan penelitian yang berjudul “Pidana
Bersyarat Pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak
Dalam Praktik (Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana kecelakaan
lalu lintas yang dilakukan anak?
2. Bagaimana syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak
Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat?
3. Bagaimana pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat kecelakaan
lalu lintas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini
maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tujuan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana
kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang Harus Diberikan Kepada Terpidana
Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana bersyarat pada anak sebagai akibat
kecelakaan lalu lintas.
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan
tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang
lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam
menangani kejahatan yang dilakukan anak dan hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan penerapan pidana bersyarat pada anak.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan
pertimbangan dalam menangani kasus-kasus anak pelaku kecelakaan lalu lintas
dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dan
pemerintah khususnya dalam pembinaan anak terpidana.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pidana Bersyarat Pada Pelaku
Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Dalam Praktik (Studi
Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg)” ini merupakan luapan dari hasil
pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai anak
memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi dengan
kaitannya dengan perjudian ini belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan
penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga
penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Anak
Anak menurut Mohammad Ali, dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Moderen adalah: "Anak adalah turunan kedua”.5 Pengertian di atas memberikan
gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan
pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan
antara kedua orang tuanya.
Kedudukan anak yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting
dalam melanjutkan sebuah keluarga.
Menurut Pitlo anak-anak terbagi atas :
a. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan yaitu anak-anak sah, dan
b. Anak-anak yang lahir di luar perkawinan yaitu anak-anak alami.6
Dalam hukum, seseorang anak dapat dibedakan statusnya dalam dua
kategori, dimana setiap kategori membawa akibat hukum yang berbeda, yaitu :
a. Anak dewasa (meerderjarig) dan
b. Anak belum dewasa (di bawah umur = minderjarig).7
Seseorang anak dewasa umumnya dapat bertindak dalam hukum
sepenuhnya dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan segala akibat dari
perbuatannya. Kecuali dalam hal-hal tertentu maka seseorang yang sudah dewasa
tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya segala akibat dari perbuatannya,
Undang-Undang Hukum Perdata, Medan: Fak. Hukum USU, hal. 12.
7Ibid
atau perbuatannya tidak sah menurut hukum, seperti perbuatan dari seseorang
yang sakit berubah akal, di bawah pengampuan (curatele).
Akan tetapi dalam hal tertentu mereka tetap berhak atas sesuatu warisan
misalnya. Dengan kata lain walaupun demikian, mereka ini adalah ahli waris yang
sah dan berhak memiliki sesuatu barang.
Sedangkan anak yang belum dewasa, kepadanya tidak dapat
dipertanggung-jawabkan segala akibat dari perbuatannya. Dengan kata lain
perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang anak di bawah umur adalah tidak
sah, karena ia tidak cakap bertindak. Akan tetapi ia adalah sebagai ahli waris yang
sah dan berhak memiliki barang.
Dengan demikian perbedaan antara seorang yang belum dewasa dan sudah
dewasa, yaitu untuk menentukan cakap tidaknya ia bertindak dalam hukum serta
dapat tidaknya dipertanggung-jawabkan kepadanya akibat dari perbuatan yang
dilakukannya.
Seperti diketahui dalam uraian sebelumnya bahwa masing-masing
undang-undang berbeda mengatur dan mendefinisikan tentang anak ini. Hal tersebut
dikarenakan dari latar belakang dan juga fungsi undang-undang itu sendiri.
Disinilah yang perlu disadari bahwa pada dasarnya pembedaan undang-undang
dalam menafsirkan tentang anak ini adalah dikarenakan dari latar belakang tujuan
dibuatnya undang-undang itu sendiri.
2. Pengertian Lalu Lintas
Transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk
mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Transportasi di jalan
sebagai salah satu moda (alat) transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda
transportasi lain yang didata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan
mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karekteristik yang
mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda
transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan
peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional,
sebagai penunjang, pendorong dan penggerak pembangunan nasional demi
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu
lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur,
nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau
seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan
stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional
dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Membicarakan permasalahan transportasi di atas maka sarana yang sangat
penting bagi terciptanya transportasi tersebut adalah jalan raya. Jalan raya pada
umumnya dikenal oleh masyarakat sebagai alat bagi berlalu lalu lintas, dimana di
dalamnya ditemukan kaedah-kaedah hukum, termasuk halnya pengaturan agar
pemakai sarana transportasi dapat tertib memakai sarana transportasi tersebut.
Pengertian lalu lintas menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22
gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan”.
Sedangkan lalu lintas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “ (berjalan)
bolak-balik, hilir mudik.8
Dua sumber di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya pengertian lalu
lintas adalah bergerak baik orang maupun kendaraan dengan memakai jalan
sebagai sarana utamanya serta pemakai jalan raya sebagai objeknya.
Lalu lintas memberikan gambaran kepada kita tentang pemakaian sarana
jalan raya sebagai sebuah sarana bagi kebutuhan-kebutuhan berbagai kepentingan
di atasnya, termasuk hal tersebut perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya,
pelaksanaan pengangkutan. Dari keadaan yang sedemikian maka pentingnya
dalam berlalu lintas adalah hubungan yang tercipta antara pemakai jalan raya itu
sendiri serta saling keterikatan antara pemakai sarana jalan raya yang satu dengan
yang lainnya. Keadaan inilah yang disebut dengan berlalu lintas, dimana
hubungan- hubungan yang terjadi di jalan raya dengan berbagai sarana alat
angkutan mencerminkan keharmonisan dan keteraturan.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan disebutkan :
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas. b. Marka Jalan.
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas. d. Alat penerangan Jalan.
e. Alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan. f. Alat pengawasan dan pengamanan Jalan.
8
g. Fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan h. Fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu alat bagi keselamatan,
keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas serta menciptakan kemudahan
bagi pengguna jalan raya.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tidak ada diatur tentang
pengertian rambu-rambu berlalu lintas, hanya fungsi dan kegunaannya saja diatur.
Pengaturan tentang rambu-rambu lalu lintas dapat dilihat di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan tanpa
menyebutkan pengertian rambu-rambu lalu lintas.
Buku Penuntun Mengikuti Ujian SIM disebutkan rambu-rambu adalah
salah satu dari perlengkapan jalan, berupa lambang, huruf, angka, kalimat
dan/atau perpaduan di antaranya sebagai peringatan, larangam perintah dan
petunjuk bagi pemakai jalan.9
3. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena
ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus dianalisis dan ditemukan, agar tindakan
korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih
lanjut kecelakaan dapat dicegah. Kecelakaan merupakan tindakan tidak
direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau
9
radiasi menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera. Kecelakaan dapat
diartikan sebagai tiap kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat
disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun
kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat
menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan property
ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.
Pasal 1 Butir (24) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas Dan Angkutan Jalan menjelaskan tentang kecelakaan Lalu Lintas adalah
suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan
Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban
manusia dan/atau kerugian harta benda.
Kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang tidak diharapkan yang
melibatkan paling sedikit satu kendaraan bermotor dalam satu ruas jalan dan
mengakibatkan kerugian material bahkan sampai menelan korban jiwa.10
Kecelakaan adalah peristiwa yang terjadi pada suatu pergerakan lalu lintas
akibat adanya kesalahan pada sistem pembentuk lalu lintas, yaitu pengemudi
(manusia), kendaraan, jalan dan lingkungan. Pengertian kesalahan di sini dapat
dilihat sebagai suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar atau perawatan
yang berlaku maupun kelalaian yang dibuat oleh manusia.11
Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan
dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan trauma, cedera,
10
Wibowo, D., dkk., 2005. Analisis Kecelakaan Lalu lintas Pada Ruas Jalan Raya Siliwangi – Mangkang Semarang, Simposium VIII FSTPT, Universitas Sriwijaya Palembang. hal. 57.
ataupun kecacatan tetapi juga kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi
dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya
pergerakan dari kendaraan.12
Beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa
kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak
diduga dan tidak diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya,
sedikitnya melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan/atau kerugian harta benda
pada pemiliknya (korban).
4. Pidana Bersyarat
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, makin
dirasakan bahwa pidana tidaklah semata-mata lagi merupakan pembalasan,
melainkan harus juga berfungsi memperbaiki terpidana itu sendiri. Atas pengaruh
sistem pidana penjara di Inggeris (progressive system) pada tahun 1881 secara
hati-hati sistem pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheid stelling/v.i.)
dimasukkan dalam W.v.S. Belanda. Seperti diketahui “pelepasan bersyarat” ini
dimaksudkan sebagai pelaksanaan sisa pidana terakhir dalam rangka
pengembalian terpidana dengan baik ke dalam masyarakat. Perkembangan
kesadaran hukum (dalam hal ini pelaksanaan pidana) di Negeri belanda pada
tahun 1915 telah menentukan adanya pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat
12Universitas Sumatera Utara, “Bab II Tinjauan Pustaka”,
(voorwaardelijke veroordeling) untuk orang dewasa, dalam W.v.S Nederland.13
Indonesia pada tahun 1926 untuk pertama kalinya ditetapkan adanya
pemidanaan bersyarat yang dituangkan dalam Stb. 1926/261 jo 486. Akan tetapi
baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUHP berupa Pasal 14 a
sampai dengan 14 f dan diberlakukan.14
Kata-kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat adalah sekedar
suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksudkan bukanlah pemidanaannya yang
bersyarat, melainkan pelaksanaannya pidana itu yang digantungkan kepada
syarat-syarat tertentu. Artinya kendati suatu pidana telah dijatuhkan kepada
pelaku/terpidana namun pidana tidak/belum dijalani sepanjang terpidana tidak
melanggar syarat-syarat yang diwajibkan padanya ketika putusan itu diterimanya.
Karenanya dilihat dari sudut istilah, adalah lebih tepat jika disebut sebagai
pelaksanaan pidana yang dipersyaratkan.
Pidana bersyarat adalah merupakan perintah dari hakim, bahwa pidana
yang diputuskan/dijatuhkan tidak akan dijalani terpidana kecuali kemudian hakim
memerintahkan supaya dijalani karena terpidana:
a. Sebelum habis masa percobaan, melanggar syarat umum yaitu melakukan
suatu tindak pidana, atau.
b. Dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika
diadakan) atau.
13
EY Kanter dan SR Sianturi, EY Kanter dan SR Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, hal. 173.
c. Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak melaksanakan
syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti kerugian pihak korban
sebagai akibat dari tindakan terpidana.15
Point pertama adalah syarat mutlak, sedangkan point kedua dan ketiga
adalah fakultatif. Artinya tergantung kepada hakim apakah ia memerintahkan
persyaratan 2/3 atau tidak dari jumlah hukuman pokok. Dalam hal hakim hanya
menjatuhkan pidana penjara lebih dari 3 bulan, atau pidana kurungan dalam hal
terjadi pelanggaran tersebut Pasal 492, 504, 505 atau 536, KUHP hakim dapat
juga mensyaratkan sebagai syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana
yang harus dipenuhi selama masa percobaan itu atau sebahagiannya.
Menurut Pasal 14 KUHP Hakim dapat memerintahkan pidana bersyarat,
jika putusan hakim dijatuhkan:
a. Pidana penjara maksimum satu tahun, atau.
b. Pidana kurungan (tidak termasuk pidana kurungan pengganti).
c. Pidana denda (akan tetapi tidak termasuk pidana denda dalam perkara-perkara
pemasukan uang negara, atau pengembalian uang negara seperti pidana denda
dalam perkara perpajakan, bea, cukai perkara tindak pidana ekonomi dan
perkara korupsi).
Menurut KUHP, disamping selama masa percobaan si terpidana tidak boleh melakukan suatu tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa selama masa percobaannya si terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan pidananya. Disamping itu, dapat pula ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku si terpidana yang harus dipenuhi sepanjang atau sebagian dari masa percobaannya. Namun, syarat-syarat itu tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik dari si
15
terpidana. 16
Jadi, sebenarnya sistem hukum di Indonesia memungkinkan hakim untuk
memutuskan pidana bersyarat bagi seseorang dengan syarat khusus melakukan
pelayanan masyarakat untuk suatu waktu tertentu selama masa percobaan.
Sebenarnya penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa
keuntungan. Beberapa keuntungan itu antara lain:
a. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat;
b. Memberikan kesempatan kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarga; dan
c. Biaya yang harus ditanggung Negara lebih murah dibandingkan dengan pidana penjara atau pidana kurungan.17
Muladi mengemukakan bahwa dalam prakteknya lembaga pidana
bersyarat ini tidak dapat diterapkan secara optimal karena beberapa alasan, yaitu
antara lain,
a. Belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana bersyarat, yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dicapai serta ukuran-ukuran di dalam penjatuhan pidana bersyarat.
b. Belum melembaganya pola-pola pengawasan dan pembinaan dan sistem kerjasama dalam pengawasan dan pembinaan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat.
c. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan membatasi diri dalam menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana bersyarat. Padahal sebenarnya KUHP memberikan kemungkinan untuk menerapkan sanksi pidana bersyarat secara lebih luas.18
Seandainya saja semua pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana
kurungan yang diputuskan hakim dapat diterapkan sanksi pidana bersyarat dengan
16Ibid
., hal. 33.
17 Ari Juliano Gema, “Naomi Campbell, Sanksi Pidana dan Lembaga Pidana Bersyarat”,
http://arijuliano.blogspot.com/2007/03/naomi-campbell-sanksi-pidana-dan.html, Diakses tanggal 28 April 2015.
salah satu syarat khususnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok tetapi hanya salah satu bentuk
dari cara pelaksanaan pidana penjara yang kewenangannya diserahkan pada
hakim. Meskipun dalam pidana bersyarat terkandung pengertian terpidana tidak
perlu menjalankan hukumannya di penjara, namun tidak berarti dia bebas
hukuman. Ada batas waktu percobaan yang ditetapkan oleh hakim kepada
terpidana untuk tidak melakukan suatu tindak pidana. Bila melanggarnya pidana
penjara yang telah diputuskan harus dijalankan oleh terpidana.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap
suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada
ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan
digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan pidana
bersyarat pada pelaku kecelakaan lalu lintas yang dilakukan anak dalam praktik
(Studi Putusan Nomor: 217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg).
2. Sumber Data
Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder.
Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang-Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus
Bahasa Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data
yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang
diteliti.
4. Analisis Data
Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis
normatif yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku seperti perundang-undangan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Kecelakaan
Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Jenis-Jenis
Kecelakaan Lalu Lintas, Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan
Lalu Lintas serta Tujuan Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak
Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Anak.
Bab III. Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada Terpidana Anak Dengan
Dijatuhkannya Pidana Bersyarat
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Perlindungan
Anak, Tujuan Pemidanaan, Teori-Teori Pemidanaan, Pedoman
Pemidanaan, serta Syarat-Syarat Yang Harus Diberikan Kepada
Terpidana Anak Dengan Dijatuhkannya Pidana Bersyarat.
Bab IV. Penerapan Pidana Bersyarat Pada Kecelakaan Lalu Lintas Yang
Dilakukan Anak
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Tujuan Pidana
Bersyarat, Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:
217/Pid.Sus/2014/PT.Bdg serta Penerapan Pidana Bersyarat Pada
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana