• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Hubungan Dukungan Keluarga dan Depresi dengan Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan Tahun 2014"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh

masuknya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat menular dan mematikan (Sudoyo, dkk, 2007). Virus tersebut menyerang sistem kekebalan

tubuh manusia sehingga individu yang terinfeksi akan mengalami penurunan daya

tahan tubuh yang ekstrim sehingga mudah terjangkit penyakit-penyakit infeksi

dan keganasan yang dapat menyebabkan kematian (Price & Wilson, 2006).

Epidemi HIV/AIDS saat ini telah melanda seluruh negara di dunia.

Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua

lapisan. Hawari (2006) menyebutkan masalah HIV/AIDS sudah menjadi masalah

global dengan kecepatan penyebaran yang sangat pesat. Badan Kesehatan Dunia

(WHO) menyatakan penyakit ini sebagai wabah paling mematikan sepanjang

sejarah, sehingga untuk mengantisipasinya WHO membentuk organisasi khusus

penanggulangan HIV/AIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) dan menetapkan tanggal 1 Desember sebagai hari AIDS sedunia.

Sejak pertama kali kasus infeksi virus yang menyerang kekebalan tubuh

ini ditemukan di New York pada tahun 1981, diperkirakan virus telah

mengakibatkan kematian lebih dari 25 juta orang di seluruh dunia (Uvikacansera,

(2)

dan tercatat 33,4 juta ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tersebar diseluruh dunia,

termasuk 2,7 juta kasus orang yang baru tertular HIV. Jumlah ini terus bertambah

dengan kecepatan 15.000 kasus baru perhari, dengan estimasi 5 juta pasien baru

terinfeksi HIV setiap tahunnya di seluruh dunia (UNASAIDS, 2009).

Penelitian Honghong Wang (2009) mengenai pengaruh kunjungan rumah

dan kepatuhan pengobatan pasien HIV/AIDS di Cina, menemukan bahwa

kunjungan rumah dan panggilan telepon yang efektif dalam mempromosikan

kepatuhan terhadap pengobatan antiretroviral dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS dan penurunan depresi pada pasien. Hal ini penting bagi

perawat untuk mengenali isu-isu ketidak patuhan terhadap pengobatan

antiretroviral pada pasien HIV/AIDS yang diakibatkan oleh heroin.

Penelitian Festus (2010) mengenai kualitas hidup orang yang hidup

dengan HIV/AIDS di Niger Delta Region, Nigeria. Dalam penelitian pada 265

responden ditemukan laki-laki yang seks bebas sebanyak 152 orang dan 113 orang

perempuan. Kurangnya dukungan informasi mengenai kesehatan seksual dan

penggunaan kondom dalam seks bebas. Dengan meningkatkan dukungan

informasi akan meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS karena keluarga

membantu orang dengan HIV/AIDS dalam perawatan dan terapi HIV/AIDS.

Penelitian Basavaraj (2010) mengingat umur panjang dicapai dengan

strategi profilaksis yaitu ARV dan terapi saat ini untuk orang dengan HIV,

kualitas hidup (QOL) telah muncul sebagai ukuran hasil medis yang signifikan,

(3)

dan kompleksitas fisik, psikologis, dan faktor sosial sebagai penentu kualitas

hidup terkait kesehatan pada orang yang terinfeksi HIV.

Penelitian Azwidihwi R (2009) mengenai pengalaman keluarga yang

merawat pasien HIV/AIDS di Nigeria Selatan. Penelitian dilakukan dengan

kualitatif dengan studi fenomenologi yang dilakukan pada keluarga yang merawat

pasien dengan HIV/AIDS. Menemukan peningkatan kualitas hidup pasien

HIV/AIDS. Dan diharapkan keluarga dapat memberikan proteksi pencegahan

penularan HIV/AIDS tanpa melakukan diskriminasi.

Penelitian Sushil Yaday (2010) mengenai studi kasus dukungan sosial,

harapan dan kualitas hidup orang-orang dengan HIV/AIDS di Nepal menemukan

bahwa orang yang hidup dengan HIV/AIDS dengan dukungan informasi,

dukungan emosional, dukungan sosial dan dukungan jaringan sosial membantu

meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Dan hasil penelitian ini memiliki

implikasi untuk menyediakan perawatan, pengobatan, dan psiko-sosial untuk

mempertahankan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS.

Penelitian Racmawati (2013) yang meneliti kualitas hidup pasien

HIV/AIDS yang mengikuti terapi Anti Retroviral Virus yang mengemukakan

menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan

yang komplek selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi

penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang

diskriminatif. Hal ini yang menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA

yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA.

(4)

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing,

menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas anggota

keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan perhatian.

Peter Williams (2012) dalam penelitiannya terhadap pasien HIV/AIDS di

Ontario Canada menunjukkan sebanyak 297 (54,2%) orang mengalami depresi.

Penelitian yang dilakukan oleh Kinyanda (2012) pada 618 pasien HIV/AIDS

sebanyak 358 (57.9%) dengan mayor depresi disorder.

Depresi adalah salah satu masalah kesehatan mental yang dilaporkan di

antara orang-orang dengan HIV/AIDS. Dalam populasi HIV positif, prevalensi

depresi besar diperkirakan mencapai 22%-45% (Penzak, Reddy & Grimsley,

2010) dan prevalensi sedang berkisar antara 21%-97% (Eller, 2010). Beberapa

bukti menunjukkan bahwa gejala depresi dikaitkan dengan hasil buruk antara

orang-orang dengan HIV/AIDS, termasuk penyakit HIV/AIDS yang lebih cepat

perkembangan dan tingkat kematian yang lebih tinggi (Ickovics et, al, 2011).

Penelitian yang dilakukan di India, dua puluh tujuh persen dari ODHA

telah mengalami stigma yang parah dalam bentuk stigma pribadi (28,8 %), citra

diri yang negatif (30,3%), persepsi sikap publik (18,2 %) dan kekhawatiran

pengungkapan (26 %). ODHA mengalami depresi berat adalah 12% dan yang

mengalami kualitas hidup yang buruk adalah 34% (BMC Public Health 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa

Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan Tren penurunan

(5)

program pencegahan HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP).

Trend kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010

berbeda disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang

meninggal karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah

dan Afrika Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga

meningkat dari 24.000 menjadi 56.000 (WHO, Progress Report 2011).

Di Indonesia, sejak pertama kali kasus AIDS ditemukan di Bali pada tahun

1987, perkembangan jumlah kasus HIV maupun AIDS cenderung meningkat

setiap tahunnya. Pada 10 tahun pertama, penularan HIV masih tergolong rendah.

Akhir tahun 1987, jumlah penderita AIDS kumulatifnya hanya 153 orang dan

HIV positif 486 orang. Namun, pada akhir abad ke-20 terlihat kenaikan jumlah

kasus HIV/AIDS yang sangat berarti dan dibeberapa daerah pada populasi

tertentu, angka prevalensinya mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia

dimasukkan ke dalam kelompok negara dengan endemi terkonsentrasi (Komisi

Penanggulangan AIDS, 2007).

Data terbaru dari Departeman Kesehatan RI (2013), laporan

perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai bulan Maret 2013, jumlah infeksi

baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.369 orang. Persentase infeksi HIV

tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 29-49 tahun (74,2%), diikuti kelompok

umur 20-24 tahun (14,0%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (4,8%). Rasio HIV

antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Sementara jumlah AIDS baru yang

dilaporkan sebanyak 460 orang. Persentase AIDS tertinggi adalah pada kelompok

(6)

kelompok umur 40-49 tahun (16,5%). Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan

adalah 2:1 (Depkes RI, 2013).

Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara terus meningkat dari tahun ke tahun.

Bahkan melalui data yang diperoleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara sejak tahun

1994 hingga Maret 2013, jumlah AIDS mencapai 2580 orang dan jumlah

penderita HIV (+) mencapai 1417 orang, hingga totalnya ada sebanyak 3997

(Depkes, RI, 2013). Demikian, halnya di kota Medan, kasus HIV/AIDS terus

mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Medan, dari

Januari 2006 sampai Juli 2013, jumlah penderita HIV/AIDS yang terdata adalah

3.369 orang (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2012).

Penyakit HIV/AIDS ini telah menimbulkan masalah yang cukup luas pada

individu yang terinfeksi yaitu meliputi masalah fisik, sosial, dan emosional (Bare

& Smeltzer, 2005). Masalah secara fisik terjadi akibat penurunan daya tahan

tubuh progresif yang mengakibatkan ODHA rentan terhadap berbagai penyakit

terutama penyakit infeksi dan keganansan seperti TB paru, pneumonia, herpes

simpleks/zoster, diare kronik, hepatitis, sarcoma kaposi, limpoma, dan infeksi

/kelamin (Ignativicius & Bayne, 1998). Bahkan serangan penyakit yang biasanya

tidak berbahayalam a-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan

meninggal.

Selain masalah fisik, pasien HIV/AIDS juga menghadapi masalah sosial

yang cukup memprihatinkan sebagai dampak dari adanya stigma terhadap

penyakit ini. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit ini identik dengan akibat

(7)

dan seks sesama jenis (homoseksual) sehingga pasien dianggap pantas untuk

mendapatkan hukuman akibat perbuatannya tersebut. Selain itu stigmanya juga

muncul karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap penyakit

HIV/AIDS. HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit mematikan yang mudah sekali

menular, hal yang menyebabkan pasien sering sekali dikucilkan dan mendapatkan

prilaku diskriminatif dari masyarakat (Purnama & Haryati, 2006).

Berdasarkan pendekatan Psychoneuroimunology dapat dijelaskan bahwa

keadaan stress atau depresi yang dialami pasien HIV/AIDS akan memodulasi

sistem imun melalui jalur HPA (Hipothalamic-Pituarity-Adrenocortical) axis dan

system limbic (yang mengatur emosi dan learning process). Kondisi stress tersebut akan menstimulasi hyphotalamus untuk melepaskan neuropeptida yang

akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin yang merupakan hormon-hormon

yang bereaksi terhadap kondisi stress. Peningkatan kadar glukokortikoid akan

mengganggu system imunitas, yang menyebabkan pasien akan rentan terhadap

infeksi opportunistik (Gunawan & Sudirman, 2007).

Hal tersebut didukung oleh penelitian Robinson (2003) yang melaporkan

bahwa penderita ODHA yang mengalami depresi akan mengalami penurunan

yang tajam dalam jumlah sel CD4. Hal ini yang memperburuk derajat kesehatan

fisik pasien. Selain itu kondisi pasien depresi juga mempengaruhi motivasi pasien

untuk melakukan self care secara adekuat (Rubin & Peyrot, 2001). Depresi ini

(8)

menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara

rutin.

Penelitian Williams dkk (2005) tentang prevalensi, korelasi, dan biaya

depresi pasien dengan HIV/AIDS di Ontario menemukan bahwa depresi

mempengaruhi kualitas hidup, dukungan sosial dan status serta pengggunaan

layanan kesehatan bagi pasien HIV/AIDS. Hasil penelitian Azwiddihwi dkk

(2009) yang meneliti tentang pengalaman keluarga yang merawat pasien dengan

HIV/AIDS di provinsi Limpopo, Afrika Selatan menjelaskan anggota keluarga

mengalami perasaan negatif yang dicirikan oleh kesedihan, rasa sakit,

kemarahan, depresi, dan frustasi.

Penelitian Rotheram dkk (2009) di Thailand menunjukkan bahwa

hubungan keluarga dan sosial merupakan dukungan struktural yang penting yang

mempengaruhi kesehatan dan kesehatan mental seseorang dengan HIV.

Dukungan sosial berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih baik dan gejala

depresif yang lebih kecil. Penelitian Basavaraj dkk (2010) di India tentang

kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS menemukan kualitas hidup merupakan

konsep multidimensi yang defenisi dan penilaiannya tetap menjadi kontroversial.

HIV/AIDS menghadirkan dampak ekonomi yang sangat tinggi dari sudut pandang

masyarakat. Karena HIV/AIDS merupakan penyakit yang parah, memiliki efek

besar pada semua aspek kehidupan, sehingga evaluasi terhadap kualitas hidup

(9)

Penelitian Simoni dkk (2010) tentang depresi pada pasien HIV

menunjukkan bahwa depresi merupakan salah satu co-morbiditas infeksi HIV,

dengan perkiraan prevalensi gangguan depresi utama diantara orang-orang

dengan HIV sebesar 20% sampai dengan 37%. Angka ini tiga kali lebih besar

daripada depresi yang dialami masyarakat biasa. Penelitian yang dilakukan

Monahan dkk (2007) tentang depresi pada pasien HIV/AIDS di Kenya bagian

barat menunjukkan bahwa lebih dari 70% dari kematian berkaitan dengan

HIV/AIDS di Afrika dan 61% orang dewasa penderita HIV mengalami depresi.

Studi yang dilakukan Basavaraj dkk (2010) tentang kualitas hidup pada

HIV/AIDS menunjukkan penyakit psikiatris termasuk depresi merupakan hal

umum yang terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV. Prevalensi depresi pada

populasi klinik yang terinfeksi HIV mencapai 22% sampai dengan 38%.

Pasien dengan HIV berusia diatas 35 tahun kemungkinan mengalami depresi,

kecemasan, kebingungan, dan keletihan.

Saragih (2008) meneliti tentang sindrom depresif pada penderita

HIV/AIDS dengan menggunakan BDI (Beck Depression Inventory) di RS Haji Adam Malik menemukan bahwa hasil mean untuk skor BDI pada subjek dengan

sindrom depresif sedang (22,7), depresif ringan (12,9) dan tidak depresi (6,4)

dan sindrom depresi berat (33,1). Gaynes (2005) dalam penelitiannya melakukan

perbandingan pasien depresi dengan HIV menggunakan IDS, QIDS dan HRS-D.

Selain depresi, hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam

penanganan pasien HIV/AIDS adalah dukungan keluarga. Dalam hal ini, keluarga

(10)

unsur penting dalam kehidupan seseorang karena keluarga merupakan system

yang di dalamnya terdapat anggota-anggota keluarga yang saling berhubungan

dan saling ketergantungan dalam memberikan dukungan, kasih sayang, rasa aman,

dan perhatian yang secara harmonis menjalankan perannya masing-masing untuk

mencapai tujuan bersama (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Oleh karena itu

dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai support

system atau sistem pendukung utama sehingga dapat mengembangkan respon atau

koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor

maupun depresi pasien HIV/AIDS.

Penelitian Lakshmi M G (2013) dalam penelitian pengaruh

pshyco-education pada kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Sebuah sampel kenyamanan dari

120 orang yang hidup dengan HIV/AIDS antara usia 20-40 tahun yang memiliki

skor kualitas hidup yang rendah dalam skala QOL, dipilih dan dibagi menjadi

kelompok eksperimen dan kontrol setelah pemeriksaan awal. Kelompok

eksperimen diberi psiko-education dengan pendekatan dukungan emosional,

menunjukkan peningkatan kualitas hidup.

Dukungan keluarga sangat penting bagi pasien HIV/AIDS dalam rangka

upaya pencegahan dan penanggulangan. Keluarga sebagai unit terkecil

masyarakat mempunyai tugas penting dan sangat mulia sebagai benteng pertama

dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Ketahanan keluarga

dalam arti yang sesungguhnya perlu tetap diupayakan dan ditingkatkan. Selain itu

keluarga mampu memberikan lingkungan yang kondusif bagi pasien HIV/AIDS

(11)

RI, 2010). Pada penelitian Li, et al (2004) ditemukan bahwa orang yang hidup

dengan HIV/AIDS sangat membutuhkan bantuan dan dukungan dari keluarga

karena penyakit ini bersifat kronis dan membutuhkan penanganan yang

komprehensif. Dukungan keluarga tersebut meliputi dukungan finansial,

dukungan informasi, dukungan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, dukungan

dalam kegiatan pengobatan dan perawatan serta dukungan psikologis. Lebih

lanjut diketahui bahwa dukungan keluarga dapat memberikan dampak positif

terhadap peningkatan kualitas hidup bagi pasien HIV/AIDS (Nirmal, et al, 2008).

Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai support system atau sistem pendukung utama sehingga pasien dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani

stressor yang dihadapi terkait penyakit baik fisik, psikologis maupun sosial

(Lasserman & Perkins, 2005).

Penelitian Richard (2011) menemukan adanya pengaruh dukungan

keluarga terhadap program pengobatan HIV/AIDS di POSYANSUS Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011 yang dibuktikan dari uji chi

square dimana nilai P= 0,003 (P<0,05), dengan uraian yang lebih rinci ada

pengaruh dukungan informasional keluarga dengan nilai P= 0,040 (P<0,05),

dukungan penilaian keluarga dengan nilai P= 0,001 (P<0,05), pengaruh dukungan

instrumental keluarga dengan nilai P= 0,041 (P<0,05), pengaruh dukungan

emosional keluarga dengan nilai P= 0,003(P<0,05).

Hasil penelitian yang dilakukan Nojomi, Anbary dan Ranjbar (2008)

(12)

maupun non-simptomatik serta pasien AIDS masih memiliki kualitas hidup yang

rendah. Hasil yang sama juga diketahui dari penelitian Douaihy (2001) yang juga

mendapatkan 62,6% pasien HIV memiliki kualitas hidup yang buruk. Bahkan

menurut Rachmawati (2013) yang meneliti kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang

mengikuti terapi anti retroviral mengemukakan menjadi ODHA merupakan suatu

yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi

setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi

penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif. Stigma dan

diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA

yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA.

Penelitian Abiodun (2008) mengenai hubungan antara depresi dan kualitas

hidup pada orang dengan infeksi HIV di Nigeria dengan HIV Infeksi (n=87)

menyelesaikan kuesioner sosiodemografi dan variabel terkait HIV. Subyek dinilai

untuk diagnosis depresi menggunakan Wawancara Mini Internasional

Neuropsikiatrik (MINI) dan kesehatan subyektif mereka terkait kualitas hidup

(QOL) dinilai menggunakan versi pendek dari skala kualitas hidup WHO

(WHOQOL-BREF). Ditemukan 27,8% pasien HIV mengalami depresi seluruhnya

memiliki kualitas hidup yang buruk.

Penelitian Ginting (2009) yang mengkaji hubungan konstruk

kepemimpinan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit

Rujukan Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 menyebutkan kualitas hidup

penderita HIV/AIDS sewaktu-waktu dapat memburuk karena, penyakit HIV

(13)

Viral (ARV) seumur hidup, kegagalan terapi, infeksi oportunistik, depresi, dijauhi masyarakat, semua hal tersebut di atas mempengaruhi kualitas hidup penderita

HIV/AIDS.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti di RSU.P.H.Adam

Malik Medan selama 3 bulan terakhir yaitu bulan Oktober sampai dengan

Desember 2013 jumlah pasien HIV/AIDS sebanyak 120 orang yang dirawat inap,

sebanyak 20 orang setiap hari. Dari 120 orang pasien HIV/AIDS sebanyak 80

orang setelah mengetahui diagnosa penyakit HIV/AIDS keluarga tidak datang lagi

ke rumah sakit. Sebagian besar pasien HIV/AIDS mempersepsikan tingkat

kualitas hidupnya rendah. Oleh karena itu, hal ini memerlukan perhatian khusus

dari keluarga dan tenaga kesehatan.

Pelaporan dan pencatatan VCT PUSYANSUS RSUP.H. Adam Malik

Medan, pada tahun 2011 penderita positif HIV sebanyak 381 orang laki-laki dan

167 orang perempuan dan yang didampingi kelurga saat konseling hanya 125

orang. Pada tahun 2012 penderita positif HIV sebanyak 337 orang laki-laki dan

195 orang perempuan dan yang didampingi saat konseling hanya 150 orang. Dan

pada tahun 2013 penderita positif HIV sebanyak 409 orang laki-laki dan

perempuan sebanyak 181 orang dan yang didampingi keluarga sebanyak 110

orang.

Dari beberapa kajian riset sebelumnya, belum ada penelitian yang

mengkaji secara khusus mengenai hubungan dukungan keluarga dan depresi

dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Maka, belum diketahui secara jelas

(14)

kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Sedangkan hal tersebut sangat diperlukan

sebagai acuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan yang dapat lebih

berkontribusi positif untuk pasien HIV/AIDS khususnya yang menjalani

perawatan di RSUP.H.Adam Malik Medan. Oleh karena itu, peneliti merasa

tertarik untuk meneliti fenomena masalah ini.

1.2 Permasalahan

Aspek kualitas hidup pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan

karena penyakit ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas pada

masalah fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Masalah psikososial depresi

merupakan faktor yang berpengaruh pada penurunan kualitas hidup pasien

HIV/AIDS. Selain itu, dukungan keluarga yang non suportif juga dapat

menyebabkan kualitas hidup yang rendah bagi pasien HIV/AIDS. Oleh karena

itu, perlu untuk mengetahui faktor mana di antara depresi dan dukungan keluarga

yang paling mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Hal ini diharapkan

dapat memberikan acuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan yang

lebih berkontribusi positif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

Mengacu kepada fenomena diatas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan

dukungan keluarga dan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di

(15)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dan depresi dengan

kualitas hidup pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi karakteristik pasien HIV/AIDS di RSUP. H.Adam

Malik Medan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status marital,

pekerjaan, penghasilan, suku, lama menderita penyakit.

b. Untuk mengetahui hubungan dukungan informasi dengan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan.

c. Untuk mengetahui hubungan dukungan penilaian dengan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan.

d. Untuk mengetahui hubungan dukungan instrumental dengan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS di RSUP.H.Adam Malik Medan.

e. Untuk mengetahui hubungan dukungan emosional dengan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS di RSUP. H.Adam Malik Medan

f. Untuk mengetahui hubungan jaringan sosial dengan kualitas hidup pasien

HIV/AIDS di RSUP. H.Adam Malik Medan.

g. Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS di RSUP.H. Adam Malik Medan

h. Untuk mengetahui hubungan depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS

(16)

1.4. Hipotesis

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan dukungan keluarga dan

depresi dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Pelayanan

a. Menambah pengetahuan dan kesadaran perawat tentang pentingnya

memperhatikan aspek psikososial pada penanganan pasien HIV/AIDS

sehingga pelayanan yang diberikan semakin berkualitas dan professional.

b. Sebagai bahan masukan agar perawat memberikan asuhan keperawatan

secara holistic bio-psiko-sosio-spiritual sehingga akan meningkatkan kualitas

hidup pasien HIV/AIDS secara menyeluruh.

c. Sebagai bahan acuan dalam mengemban intervensi keperawatan yang dapat

lebih berkontribusi positif pada pasien HIV/AIDS khusus masalah psikososial

(dukungan keluarga dan depresi) untuk dapat meningkatkan kualitas hidup

secara optimal.

1.5.2 Bagi Pendidikan

Penelitian ini dapat menambah keilmuan keperawatan tentang hubungan

antara aspek psikososial (dukungan keluarga dan depresi) dengan kualitas hidup

(17)

1.5.3 Bagi Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam

melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan

Referensi

Dokumen terkait

Perbaikan saluran irigasi Dukuh Tanjungarum Desa Glagahw angi Kecamat an Polanharjo (Eks.

Adanya permasalahan tersebut dapat berakibat hasil belajar kognitif siswa tidak mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi guru khususnya guru bimbingan dan konseling melalui teknik home room dengan menggunakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap kinerja lingkungan perusahaan, sedangkan ukuran dewan

Bahan-bnhan yang aangandung Hltrogon aabagal Aaina atau aalda dapat dltantukan aaeara tapat dangan aanggu- nakan aatoda Kjaldahl, aadang dales bentuk yang lain

Melalui hasil tersebut disimpulkan bahwa orang tua dengan pekerjaan buruh dan karyawan swasta dapat lebih memperhatikan kegiatan anak diluar sekolah terutama

Setelah kita memahami apa yang telah di paparkan di atas,kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa bahasa itu tidak terlepas dari yang namanya tata ejaan dan tanda baca.dan

Hasil penelitian ini adalah; 1). Pengelolaan pendidikan di SMK Muhammadiyah 1 Klaten dalam meningkatkan pelayanan kepada stake holder telah berupaya dengan menerapkan