i
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN PENCABULAN MENURUT UNDANG
-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
(Studi di Kepolisian Resor Kota Denpasar)
Oleh :
I GUSTI PUTU ARY SEPTIAWAN NIM: 101 605 1117
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN PENCABULAN MENURUT UNDANG
-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
(Studi di Kepolisian Resor Kota Denpasar)
Skripsi ini di buat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I GUSTI PUTU ARY SEPTIAWAN NIM: 101 605 1117
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
v
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami saya panjatkan kehadapan Ida Sang Yang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kertha wara nugrahanya -Nya skripsi yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Pencabulan Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002” dapat di
selesaikan tepat pada waktunya.
Skripsi ini di susun sebagai salah satu syarat bagi setiap mahasiswa,
khususnya bagi yang akan menempuh ujian sarjana lengkap, dan skripsi ini akan di
ajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Hukum Universitas Udayana sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Di dalam skripsi ini mungkin terdapat kekurangan-kekurangan yang di
sebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan pengalaman, tetapi berkat bantuan dan
dukungan dari banyak pihak, skripsi ini dapat di selesaikan tepat pada pada
waktunya. Dalam kesempatan ini, ingin menyampaikan terimakasi yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H, M.H selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas
vi
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H, M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H, M.H selaku Ketua Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak I Dewa Nyoman Sekar,S.H., MM., M.H selaku Pembimbing
Akademi
7. Bapak A.A.Ngurah Wirasila, S.H., MH selaku Pembimbing I
8. Bapak I Made Walesa Putra, S.H., M.Kn selaku Pembimbing II
9. Seluruh Bapak-bapak dan Ibu Dosen, Yang telah memberikan ilmu
kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
10.Semua Staf Pegawai, baik itu pegawai Tata Usaha maupun Pegawai
Perpustakaan yang telah banyak membantu dan memberikan pelayanan
administrasi serta kepustakaan kepada penulis selama ini mengikuti
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11.Kepada Ajik dan Ibu yang selalu memberi semangat dan selalu sabar
tanpa henti memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.
12.Kepada sahabat-sahabat saya di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bali
vii
13.Kepada semua pihak yang tidak saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga Ida Sang Yang Widi Wasa Membalas segala kebaikan dan ketulusan
hati semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata, besar
harapan agar skripsi ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum pada
khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya. Saran ataupun kritik yang
membangun sangat di harapkan demi kesempurnaan sekripsi ini
Denpasar, 22 Desember 2015
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... I
HALAMAN PRASYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... II
HALAMAN GENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... III
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... IV
KATA PENGANTAR ... V
DAFTAR ISI ... VIII
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... XI
ABSTRAK ... XII
ABSTRACT ... XIII
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 8
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8
ix
1.5.1. Tujuan Umum ... 10
1.5.2. Tujuan Khusus ... 10
1.6. Manfaat Penelitian ... 10
1.6.1. Manfaat Teoritis ... 11
1.6.2. Manfaat Praktis ... 11
1.7. Landasan Teoritis ... 11
1.7.1. Teori Pemidanaan ... 12
1.7.2 Teori Perlindungan Hukum ... 18
1.7.3 Teori-teori Efektivitas Hukum ... 23
1.8. Metode Penelitian ... 24
1.8.1. Jenis Penelitian ... 24
1.8.2. Jenis Pendekatan ... 24
1.8.3. Jenis Pengumpulan Data ... 25
1.8.4. Teknik Analisis Data ... 26
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tinjauan tentang Perlindungan Hukum ... 27
2.2 Tinjauan Tentang Anak ... 29
x
2.4 Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang
Perkawinan) ... 31
2.5 Tinjauan tentang Perlindungan Anak ... 32
2.6 Tinjauan Tindak Pidana Pencabulan ... 35
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUIM TERHADAP ANAK
KORBAN PENCABULAN
3.1 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum di Polresta Denpasar ... 40
3.2 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum di Lembaga Perlindungan
Anak ... 48
BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA DALAM PELAKSANAAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
PENCABULAN
4.1 Hambatan Dalam Pelaksaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Pencabulan di Polresta Denpasar dan Lembaga Perlindungan
Anak ... 51
4.2 Upaya Penggulangan Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak di
Polresta Denpasar dan Lembaga Perlindungan Anak ... 54
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ... 59
5.2 Saran ... 60
DAFTAR BACAAN ... 61
xii ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PECABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2002.
( STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA DENPASAR)
Masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku orang dewasa yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan mendorong diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemberlakuan Undang-Undang ini dalam rangka pemenuhan hak-hak anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Setiap anak yang menjadi korban pencabulan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih memahami mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan studi kasus di Kota Denpasar.
Dalam penulisan ilmiah ini digunakan pendekatan empiris sosiologis dengan menggunakan pendekatan masalah. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan yaitu dengan wawancara kepada informan yaitu kepada polisi di Polresta Denpasar yang berkompeten dalam hal pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan dan Lembaga Perlindungan Anak Kota Denpasar serta dengan melakukan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hambatan yang dihadapi oleh pihak Polresta Denpasar dan Lembaga Perlindungan Anak Kota Denpasar dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan, yaitu korban (saksi) tidak berani memberikan kesaksian karena adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu atau takut aibnya diketahui oleh masyarakat banyak.Upaya penanggulangan tindak pidana pencabulan terhadap anak oleh Polresta Denpasar dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan menggunakan sarana spenal (melalui jalur hukum pidana) dan non penal (di luar jalur hukum pidana), sedangkan upaya yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak Kota Denpasar yaitu dengan mendorong penguatan di pemerintahan untuk mendorong perubahan kebijakan dalam melaksanakan upaya-upaya perlindungan bagi korban pencabulan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka saran yang diberikan yaitu agar aparat penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Anak dapat bersinergi dan menguatkan perannya dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan, sehingga korban (saksi) dan keluarga merasa terlindungi sehingga berani melaporkan dan memberikan kesaksian.
xiii ABSTRACT
LEGAL PROTECTION OF ABUSED CHILDREN VICTIMS ACCORDING TO CONSTITUTION NUMBER 23 YEAR 2002
(A STUDY IN THE POLICE RESORT OF THE CITY DENPASAR)
Frequent occurred various form of adult behavior which are violate the
Indonesian children’s right in many aspects, encourages the enactment of
Constitution number 23 year 2002 on children protection. Enforcement of this
constitutuion in order to meet the childrren’s right in legal form which are including
the right to survive, the right to grow, the right to be protected and the right to participate in community without discrimination. Every abused children victims has the right to be protected by the law as their human right. Based on those fenomena, the aim of this research is to understand the Legal protection of abused children victims according to the constitution number 23 year 2002 case study in Denpasar City.
This research used an empirical approach using sociological approach to the problem. Data was collected by field studies, interviewing informants of Denpasar Police whose competent in terms of the implementation of legal protection for abused children victims, interviewing the officer of sexual abuse Child Protection Institution of Denpasar and by conducting a literature study.
The results showed that there were barriers faced by the Denpasar Police Department and Child Protection Institution of Denpasar in the implementation of legal protection for child victims of sexual abuse, the victim (witness) did not dare to testify because of threats from certain parties or scared her shame known to the public. Countermeasures to the crime of sexual abuse of children by the Denpasar Police carried out through two (2) ways, namely by means spenal (through criminal law) and non-penal (criminal law outside lane), while the efforts made by the Children Protection Agency Denpasar city is to encourage the strengthening of government to encourage policy changes in implementing protection measures for victims of abuse.
Based on these results, the advice given is that law enforcement and Children Protective Services can synergize and strengthen its role in the implementation of legal protection for child victims of abuse, so that victims (witnesses) and family feel protected so courageous report and testified.
1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Setiap individu yang hidup dalam masyarakat, sudah pasti menginginkan
adanya suatu ketertiban dan keamanan serta perasaan yang nyaman dalam
menjalankan aktifitas kegiatannya sehari-hari. Untuk menjamin adanya ketertiban dan
kenyamanan tersebut, maka perlu di bentuklah suatu peraturan perundang-undangan
yang mengatur tata tertib dan keamanan dalam pengatur pergaulan di masyarakat.
Sehingga setiap individu atau manusia akan merasa aman terutama di dalam
melakukan segala aktifitas kehidupan sehari-hari.1
Krisis moral yang melanda sebagian masyarakat dan lemahnya pengawasan
dari orang tua merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka pencabulan,"
selama ini pengawasan yang diberikan para orang tua dinilai sangat kurang oleh
kesibukan mereka sehari-hari dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Para orang tua sekarang lebih mementingkan bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan inilah salah satu lemahnya pengawasan orang tua terhadap
anak, kejadian ini ada hubungannya dengan kelainan yang dialami oleh pelaku, tak
menutup kemungkinan disebabkan oleh hal-hal seperti itu dan antara lain dikarenakan
faktor maraknya peredaran VCD porno yang banyak ditemukan di pasaran. "Faktor
kelainan atau penyakit dari pelaku mungkin juga merupakan terjadinya kasus
pencabulan dan tak menutup kemungkinan juga mudahnya mendapatkan VCD porno.
1
2
Bahwa perkembangan teknologi juga salah satu faktor yang menimbulkan terjadinya
kejahatan pencabulan terhadap anak di antaranya penggunaan media sosial seperti
tweeter, bbm, facebook dll yang memudahkan akses pelaku kejahatan seksual dengan
korban anak mencari atau memilih para korbanya. Untuk itu perlunya koordinasi
antar instansi agar kasus seperti ini tak lagi terulang dan memakan banyak korban
lagi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disingkat dengan
(KUHP) ini diatur salah satunya adalah mengenai tindak pidana kesusilaan, Tindak
pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah
kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji lebih lanjut untuk
mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak mudah karena pengertian dan
batas-batas kesusilaan. Diantaranya adalah pencurian, perkosaan, pencabulan,
pembunuhan dan banyak lagi kejahatan-kejahatan lainnya.
Sejak Tahun 1976 pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk
meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang dengan tegas
merumuskan bahwa setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak
dalam kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan. Dalam koridor tersebut,
terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang dapat menghambat
baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh orang tua2.
Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan Undang-Undang No 11 tahun
2012 tentang system peradilan anak, tentang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat
membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap untuk mendapatkan
hak-haknya.
Terakhir, pemerintah menetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang secara tegas pula menggariskan bahwa anak
adalah penerus generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala
bentuk kekerasan dan diskriminasi. Meskipun Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak disahkan, tetapi pelaksanaan dilapangan belum berjalan
seperti yang diharapkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa penyidik jaksa dan
hakim belum adanya kesamaan persepsi dalam menangani kasus yang menyangkut
perlindungan anak. Seringkali penegak hukum lebih memilih memakai KUHP dari
pada menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Padahal Undang-Undang
Perlindungan Anak ini di adakan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
2
4
Upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi korban
pencabulan dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem dan mekanisme
perlindungan hukum dan sosial bagi bagi anak yang beresiko atau menjadi korban
pencabulan.3 Selain itu sangat penting pula dilakukan upaya pemulihan dan
reintregasi anak korban pencabulan. Caranya antara lain dengan mengutamakan
pendekatan yang baik kepada anak-anak yang menjadi korban pencabulan dalam
keseluruhan prosedur perundangan, memberi pelayanan medis, psikologis terhadap
anak dan keluarganya, mengingat anak yang menjadai korban pencabulan biasanya
mengalami trauma yang akan berpotensi mengganggu perkembangan kejiwaan
mereka.
Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pencabulan menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 terdiri dari dua sisi yaitu dari sisi terdakwa dan
dari sisi korban tindak pidana pencabulan dengan memberikan upaya rehabilitasi,
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental, maupun sosial dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan
informasi mengenai perkembangan perkara. Hambatan dan solusi di dalam
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan antara
lain hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak
korban diabaikan sehingga korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan
3
hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil.
Penyelesaian hambatan ini adalah dengan memberikan perlindungan kepada korban
tindak pidana pencabulan yang masih anak-anak dengan berbagai upaya yang harus
dilakukan oleh pihak pengadilan dengan keluarga korban. Korban pencabulan
merupakan individu yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan
kejahatan, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan, hal ini
dikarenakan korban pencabulan selain menderita secara fisik, juga mengalami
tekanan batin yang hebat akibat tindakan tersebut, Penyelesaian dari adanya
hambatan tersebut adalah bahwa korban tindak pidana pencabulan terus diberikan
dukungan baik dari keluarga dan masyarakat sehingga dapat menghilangkan trauma
atas kejahatan yang telah menimpanya. Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak
menyediakan pidana ganti rugi bagi korban pencabulan, upaya penyelesaian
hambatan tersebut adalah perlunya korban memperoleh atau mendapatkan ganti rugi
secara material untuk membiayai berbagai biaya yang telah dikeluarkan oleh korban4.
Upaya perlindungan hukum kepada Anak pada dasarnya telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 287 KUHP yang
mengatur:
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan sorang wanita yang bukan istrinya, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum
4
Leden Marpaung, 1996, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya,Sinar
6
lima belas tahun, atau kalau umumya tidak jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu
belum sampai dua belas tahun atau bila ada salah satu hal seperti tersebut
dalam Pasal 291 dan Pasal 294.
Perkembangan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban pencabulan
selanjutnya diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Latar belakang pemberlakuan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 adalah masih sering terjadinya berbagai bentuk perilaku orang dewasa
yang melanggar hak-hak anak di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh
karena itu Nomor 23 Tahun 2002 diberlakukan dalam rangka pemenuhan hak-hak
anak dalam bentuk perlindungan hukum yang meliputi hak atas kelangsungan hidup,
hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat tanpa diskriminasi. Setiap anak yang menjadi korban
pencabulan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum secara pasti sesuai
dengan Hak Asasi Manusia.
Upaya perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban pencabulan
dikoordinasikan dan tingkatkan dalam bentuk kerjasama secara lokal, nasional,
regional dan internasional, dengan strategi antara lain dengan mengembangkan
kekerasan seksual kepada anak. Pencegahan tindak pidana pencabulan dapat
ditempuh dengan strategi mengutamakan hak anak dalam semua kebijakan dan
program pemerintah dan masyarakat, memberdayakan anak sebagai subyek dari
hak-haknya dalam menentang pencabulan, serta menyediakan akses pelayanan dasar bagi
anak di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.
Kota Denpasar sebagai pusat segala kegiatan mulai dari bidang pendidikan
perdagangan sampai dengan pariwista, sehingga mobilitas pergerakan mobilitas
pergerkan menusia semakin cepat karena pada waktu tenaga dan sebagiannya. Oleh
karena itu sering terjadi gesekan dan pengaruh negative yang berhubungan dengan
dunia criminal salah satunya seperti kasus pencabulan terhadap anak – anak dengan
berbagai fakto penyebab.
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka penulis
mengajukan sebuah judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN PECABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2002.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah di sampaikan dari latar belakang di atas, maka
dapat di tarik suatu permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban
8
2. Apakah hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap anak korban pencabulan ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlulah adanya suatu pembahasan dalam ruang
lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut: perlindungan hukum
terhadap anak korban pencabulan menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak. Bahasan uraian ini terbatas pada kajian normatif
berdasarkan buku-buku dan undang-undang yang telah ada.Untuk jelasnya, bahasa ini
dapat diketahui dalam bab-bab yang berikutnya.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran di internet dengan ini penulis menyatakan penulisan
skripsi ini merupakan hasil karya asli dari penulis demi orisinalitas penelitian yang
dibuat dan dikembangkan sendiri oleh penulis. Telah ditentukan dua (2) judul skripsi
yang berkaitan dengan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
PECABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
adapun judul-judul tersebut :
No. Judul Penulis Rumusan Masalah
10
Oleh karena itu judul yang penulis angkat jelas berbeda dengan judul-judul di tabel
diatas sehingga skripsi yang penulis angkat tentu masih original dalam artian belum
ada yang menulis.
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam tahap akhir perkuliahan mahasiswa, di perlukan suatu karya tulis yang
bersifat ilmiah sebagai perwujudan atas kemampuan akademik selama mengikuti
perkuliahan. Penulisan sekripsi memiliki tujuan yang dapat di bedakan menjadi
tujuan umum dan tujuan khusus. Ada pun tujuan tersebut yaitu;
1.5.1 Tujuan umum
Untuk lebih memahami mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban
pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
1.5.2. Tujuan khusus
Tujuan khusus yang ingin di peroleh dalam penulisan ini adalah;
1. Untuk memahami pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban
pencabulan di Polresta Denpasar.
2. Untuk mengetahui hambatan dan upaya dalam pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap anak korban pencabulan di Polresta Denpasar.
1.6Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengemban ilmu pengetahuan,
1.61 Manfaat Teoritis
Penulisan tugas akhir ini diharapkan agar dapat membantu memberikan suatu
pemikiran dalam bidang pendidikan di bidang ilmu hukum khususnya Hukum Pidana
untuk memahami Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak
korban pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
1.6.2Manfaat Praktis
Penulisan tugas akhir ini diharapkan agar dapat bermanfaat dalam
pelaksanaan serta prakteknya. Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut Undang-Undang nomor 23
tahun 2002.
1.7Landasan Teoritis
Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi
korban pencabulan, sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang tidak
diuntungkan sebagai korban kejahatan. Korban pencabulan seringkali menjadi korban
ganda, ketika harus ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri
biaya transportasi dan perawatan rumah sakit. Penyelesaian hambatan tersebut adalah
perlunya korban memperoleh atau mendapatkan ganti rugi secara material untuk
membiayai berbagai biaya yang telah dikeluarkan oleh korban.5
1.71 Teori pemidanaan
5
12
Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum
pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam
menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam
hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana
subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi
yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi
pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan
bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya
dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat
disebut hukum sanksi istimewa.6
Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila
diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang
sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini
sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan
organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan
mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu,
maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk
menjatuhkan dan menjalankan pidana.
6
1. Teori Absolut
Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan
pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada
hak dan kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang
setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap kejahatan
tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat
akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatihan masa depan, baik
terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk
mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi
penjahat.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
2. Teori Relatif
Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan
tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat,
dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.7 Untuk mencapai tujuan
ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
7
14
1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)
3. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken)
Sementara itu sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu:
1). Teori pencegahan umum
Di antara teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat
menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan
umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum)
menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana ini dijadikan
contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang
serupa dengan penjahat itu8.
Penganut teori ini misalnya seneca (romawi), berpandangan bahwa supaya
khalak ramai menjadi takut untuk melakukan kejahatan maka perlu dibuat pidana
yang ganas dengan eksekusinya yang kejam dilakukan di muka umum. Penjahat yang
dipidana ini dijadikan tontonan orang banyak agar semua orang takut untuk berbuat
serupa.
Dalam perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi kejam ini
banyak ditentang. Menurut Beccaria, hukum pidana harus diatur dalam suatu
kodifikasi dan sistematis agar semua orang bisa tahu perbuatan apa yang diancam
pidana. Ia juga meminta pidana mati dan penyiksaan yang kejam diganti dengan
8
pidana yang memerhatikan perikemanusiaan, pidana yang dijatuhkan ini jangan
sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat itu.
Von Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut
dengan psychologische zwang, menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana
itu bukan ada penjatuhan pidana inkonkrito, tetapi pada ancaman yang ditulis dalam
UU. Ancaman ini harus diketahui khalayak umum dan membuat setiap orang takut
melakukan kejahatan. Karena ancaman pidana ini dapat menimbulkan tekanan
kejiwaan bagi setiap orang. Namun teori yang paling maju pada masa itu ini memiliki
beberapa kelamahan, antara lain:
a. Penjahat yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan menjalani
pidana, perasaan takut terhadap ancaman pidana itu menjadi tipis bahkan hilang.
b. Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat tidak sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan.
c. Orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau juga yang tidak mengetahui
perihal ancaman pidana itu, sifat menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada
sama sekali. Karena kelemahan itulah muncul teori pencegahan umum yang
menitikberatkan sifat menakut-nakuti itu tidak pada ancaman pidana dalam UU
maupun pada eksekusi yang kejam, melainkan pada penjatuhan pidana secara
konkret oleh hakim pada penjahat. Menurut Muller, dengan tujuan memberi rasa
takut pada penjahat tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang
16
terkejut dan menyadari perbuatannya dapat dijatuhi pidana berat dan takut
melakukan perbuatan serupa.
2). Teori Pencegahan khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah
dipidana agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang yang berniat
buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan
itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam,
yaitu:
a. Menakut-nakutinya
b. Memperbaikinya
c. Membuatnya menjadi tidak berdaya
Maksud menakut-nakuti adalah pidana harus dapat memberi rasa takut bagi
orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi
kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak
lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Pidana yang
dijatuhkan terhadap orang-orang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya.
Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki, pidana yang
dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau
bersifat membinasakan.
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat. Dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan
pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan teori ini didukung oleh
Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada
penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar
kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana
yang besifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi
pertahanan tata tertib (hukum) masyarakat.Zevenbergen berpandangan
bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai
maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah
mengembalikan dan mempertahankan ketaatan ada hukum dan
pemerintahan. Pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain
untuk mempertahankan tata tertib hukum itu.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat
Menurut simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar
sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana terutama ditujukan pada
pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam UU.
Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan
umum itu, maka barulah diadakan pencegahan khusus yang terletak dalam
hal menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat tidak berdayanya penjahat.
18
dengan hukum dari masyarakat. Menurut Thomas Aquino, dasar pidana ialah
kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku
perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang
melakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan. Sifat membalas
pidana adalah sifat umum pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab
tujuan pidana pada hakikatnya adalah perlindungan tata tertib masyarakat.
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap
hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum
dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.
Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan
keberadaan hukum. Hukum sejatinya harus memberikan perlindungan terhadap
semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan
yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat penegak hukum jelas wajib menegakkan
hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula
hukum akan memberikan perlindungan terhadap setiap hubungan hukum atau segala
aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.
1.7.2 Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatai berbagai kepentingan di
lain pihak.Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,
sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia
yang perlu diatur dan dilindungi.9 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni
perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum
yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan
masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara angota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingan masyarakat Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya
fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif
maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak
tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Hakekatnya setiap orang berhak
mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus
mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam
perlindungan hukum10.
Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang
jelas, dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban
lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”.
9
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan,2001,Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT Retika Aditama,Bandung,h.30
10
20
Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung
terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.
Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum
mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia
menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin
kepastian dan rasa keadilan.
1. Perlidungan Hukum Terhdap Korban Tindak Pidana Pencabulan
Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan adalah suatu kegiatan
pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia. Perhatian dan
perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan harus diperhatikan karena
mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman gangguan mental, fisik, dan
sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara,
membela serta mempertahankan dirinya.11
Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan, maka perlu diadakan
pengelolaan korban tindak pidana pencabulan, yang meliputi prevensi, terapi dan
rehabilitasi. Perhatian seseorang yang ditujukan pada korban, keluarga, lingkungan
dan masyarakat luas. Jelasnya dalam pengelolaan korban tindak pidana pencabulan
itu akan dapat melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin :
11
a. Pencegahan timbulnya pencabulan dan dapat pula dimaksudkan sebagai
pencegahan timbulnya masalah seksual di kemudian hari. Untuk menghindari
terjadinya tindak pidana pencabulan maka disarankan agar para wanita untuk
tidak bepergian seorang diri terutama pada waktu malam hari dan ke tempat yang
lenggang dan sunyi. Ada baiknya kalau wanita belajar juga olahraga beladiri,
sekedar untuk melindungi diri dari orang-orang yang berbuat jahat. Hindari
membawa senjata tajam pada waktu bepergian, bila terjadi usaha pencabulan
maka bertindaklah wajar, sedapat mungkin tidak panik atau ketakutan.
b. Terapi pada korban tindak pidana pencabulan memerlukan perhatian yang tidak
hanya terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari para korban, perlu pula
didengar keluhan dari keluarga, keterangan orang yang menolongnya pertama kali
dan informasi dari lingkungannya. Kebutuhan akan terapi justru sering
ditimbulkan oleh adanya gangguan keluarga atau lingkungannya. Tujuan terapi
pada korban tindak pidana pencabulan adalah untuk mengurangi bahkan
dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya. Disamping itu juga untuk
memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk membuat dan
mempertahankan pergaulan sosialnya. Hal ini berarti bahwa terapi yang diberikan
harus dapat mengembalikan si korban pada pekerjaan atau kesibukannya dalam
batas-batas kemampuannya dan kebiasaan peran sosialnya. Terapi harus dapat
memberi motivasi dan rangsangan agar korban tindak pidana pencabulan dapat
22
c. Rehabilitasi korban tindak pidana pencabulan adalah tindakan fisik dan psikososial
sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal
dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam
kehidupannya dimasa mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik,
psikologik dan sosial. Aspek medik bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek
psikologik serta sosial bertujuan kearah tercapainya penyesuaian diri, harga diri
dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehat dari keluarga dan
masyarakat terhadap para korban tindak pidana pencabulan. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka para korban tindak pidana pencabulan selalu mendapatkan
pelayanan medik psikiatrik yang intensif.
Perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan tidak lepas dari
akibat yang dialami korban setelah pencabulan. Korban tidak saja mengalami
penderitaan secara fisik tetapi juga mengalami penderitaan secara psikis. Adapun
penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari pencabulan dapat dibedakan
menjadi:
1. Dampak secara fisik
2. Dampak secara mental
3. Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial
Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang
ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan
agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan
positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak
melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji. )Diperlukan
kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai pengaruh
terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada adalah
antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan.
1.7.3 Teori-teori Efektivitas Hukum
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku
yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional,
sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang
memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode
berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya
sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan
tertentu
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila
seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak.
Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin
dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar
supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan
24
maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan
tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
1.8 Metode Penelitian
Agar dapat suatu karya tulis dikatakan sebagai suatu karya yang bersifat
ilmiah hendaknya menggunakan metode antara lainnya;
1.8.1Jenis penelitian
Jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto ada 2 yaitu
jenis penelitian hukum normatif dan jenis penelitian hukum empiris atau sosiologis12.
Penelitian empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk
melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam
hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat
dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian
hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan
hukum atau badan pemerintah.Penelitian kaitannya dengan penulisan skripsi ini
termasuk jenis penelitian empiris.
1.8.2Jenis Pendekatan
Dalam penulisan ilmiah ini digunakan pendekatan empiris sosiologis dengan
menggunakan pendekatan masalah bagaiman peranaan yang berhubungan dengan
12
perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut undang-undang
nomor 23 tahun 2002.
1.8.3Teknik Pengumpulan Data
Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan yang penulis
teliti, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :
1. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah teknik pengumpulan data dengan jalan terjun langsung
ke tempat obyek penelitian untuk memperoleh data yang dikehendaki mengenai
perilaku pada saat itu juga. Hal tersebut dilakukan dengan wawancara (interview)
yaitu pengumpulan data melalui tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang
terkait dengan penelitian. Dalam wawancara (interview) ini penulis menggunakan
wawancara terarah dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah diper
siapkan secara garis besar.
2. Studi Kepustakaan
Pengumpulan data dengan mempelajari, mengkaji buku-buku ilmiah,
literature-literatur, dan peraturan-peraturan yang ada kaitannya atau berhubungan
dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data diperlukan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
dengan cara menggunakan teknik wawancara dan teknik studi dokumen teknik
wawancara yaitu tehnik pengumpulan data dengan menajukan pertayaan kepada
informan yaitu kepada polisi di Polresta Denpasar yang berkompeten dalam hal
26
nomor 23 tahun 2002. Tehik studi dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan
dokumen yang terkait per masalah penelitian. Tujuan dari tehik dokumen ini adalah
untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau pun
penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan permasalahan dalam penelitian ini.
1.8.4Teknik Analisis Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data yang dikumpulkan, sehinga
siap untuk di analisis dalam hal ini data tersebut terlebih dahulu disusun secara
sistematis, kemudian diolah dan di analisis secara kualitatif, sehingga dapat memberi
jawaban atas permasalahan penelitian.
Dalam mengolah dan menganalisis data-data yang telah terkumpul baik data
primer dan sekunder ini peneliti menggunakan tehnik analisis deskriptiv kualitatif
yaitu menguraikan semua data dan peristiwa hukum yang ada di lapangan yang
kemudian di hubungkan dengan teori-teori yang ada.Setelah itu, kemudian di ambil
27
TINJAUAN UMUM
2.1 Tinjauan tentang Perlindungan Hukum
Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun
wanita, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan
perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu perlindungan hukum tersebut
akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama13. Dalam kehidupan dimana
hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan
hak warga, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang
terkandung sebagai substansi maknawi didalamnya (imperatif : hak-hak warga yang asasi harus
dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga
ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya
proses pembuatan kebijakan publik. Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak
(subyek hukum) dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada saat ia
meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1
dan 2 KUH Perdata Indonesia “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap
sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya, mati sewaktu di
lahir kannya dianggap ia tidak pernah telah ada”.14 Berlakunya seseorang manusia sebagai
13
Gatot,Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan,Jakarta.h.145.
14
28
pembawa hak (subyek hukum) ialah dimulai saat berada dalam kandungan ibunya sudah
dianggap telah dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama
dia hidup. Setiap anak Indonesia adalah aset bangsa yang sangat berharga, generasi penerus dan
sumber daya manusia Indonesia yang bakal menjadi penentu masa depan bangsa dan negara.
Negara berkewajiban menciptakan rasa aman dan memberikan perlindungan hukum kepada
setiap anak Indonesia agar mereka tumbuh serta berkembang secara wajar dan berperan serta
dalam pembangunan. Tujuan perlindungan hukum itu sendiri untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, berkembang dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Dalam Pasal 2
KUH Perdata yang berbunyi: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap
sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendaki”.
Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak sejak ia masih dalam kandungan dan
lahirnya harus hidup. Dalam Hukum Perdata Indonesia perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin dan melindungi hak-haknya agar dalam hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan, diskriminasi dan kekejaman. Yang dinamakan perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi
atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik/mental, ataupun anak yang terkena korban perlakuan salah dan penelantaran.15
15
2.2 Tinjauan Tentang Anak
Anak adalah merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan manusia,
karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang
bersumber dari fungsi otak maupun emosionalnya. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa
dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa
kanak-kanaknya. Dengan kata lain, kondisi seseorang di masa dewasa adalah merupakan hasil dari
proses pertumbuhan yang diterima di masa anak-anak. Adapun faktor-faktor dominan yang
mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan anak adalah orang tua, sekolah dan lingkungan.
Ketiga faktor tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal mengenai
pembahasan anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud dengan anak, termasuk
mengenai batasan umur. Sampai saat ini ternyata masih banyak, terdapat perbedaan dan pendapat
mengenai pengertian anak. Di Indonesia sendiri pengertian anak beserta umurnya diatur menurut
bidang hukum masing-masing dan juga terdapat dalam penggunaan berdasarkan kebutuhan.
Dalam hal ini dapat dilihat pengertian anak beserta batasan umur menurut ketentuan hukum
terdapat perbedaan tolak ukur. Batasan usia dewasa merupakan hal penting untuk menentukan
ada tidaknya tanggung jawab seseorang. Dalam melakukan suatu perbuatan. Kenyataannya,
dewasa ini batasan usia masih merupakan permasalahan yang belum mendapat pemecahan final.
Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari berbagai macam peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :16
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Menurut KUHPerdata batas kedewasaan anak diatur dalam Buku I bab kelima belas
bagaian kesatu yang terdapat dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Belum
16
30
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu kawin”.17
Dari pernyataan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak menurut
KUH Perdata yaitu seseorang yang usianya belum mencapai dua puluh satu tahun atau belum
pernah kawin sebelum mencapai usia dua puluh satu tahun.Dari pernyataan selanjutnya dalam
Pasal 330 KUH Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang yang telah kawin sebelum
usia dua puluh satu tahun dan kemudian perkawinannya itu bubar sebelum usianya mencapai
satu tahun pula, maka ia tidak dapat kembali pada satu “anak”.18
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Di dalam Pasal 45 KUHP disebutkan bahwa “dalam menuntut anak yang belum cukup
umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat
memutuskan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya
atau pemeliharanya, tanpa dipidana apaupun ; atau memerintahkan supaya yang bersalah
diserahkan kepada pemerintah, tanpa dipidana apapun”.19
Memberikan batasan umur anak dalam Pasal 45, Pasal 283 angka
1. Pasal 287 angka 1 dan Pasal 290 angka 2 KUHP, yang isinya adalah sebagai berikut :
1) Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa pidana apapun.
2) Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah.
3) Menghukum si pelaku pidana Sedangkan di dalam pasal-pasal lain diterangkan sebagai
Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus
rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu,
menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan,
maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup
umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas
tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah diketahuinya.20
2) Pasal 287 angka 1 KUHP
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya, padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sebilan
tahun.
3) Pasal 290 angka 2 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya
harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata,
bahwa belum mampu dikawin.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan
tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia belum berumur enam belas tahun.
2.3 Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Pasal 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2.4 Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan definisi yang
tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua pasal yang dapat kita analisis untuk mencari
20
32
batasan mengenai anak yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengemukakan : “Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua”. Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengemukakan : “Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun”.21
Dari kedua ketentuan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun masih
dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin orangtua ketika akan melaksanakan
perkawinan (Pasal 6 ayat 2). Secara lebih khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak
antara pria dan wanita, yaitu untuk pria batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari
sembilan belas tahun sedangkan untuk. Wanita batasan anak adalah seseorang yang belum
kurang dari enam belas tahun (Pasal 7 ayat (1). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir
bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat batasan yang
berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak” untuk pria yaitu seseorang yang
berumur kurang dari sembilan belas tahun. Sedangkan batasan “anak” untuk wanita yaitu
seseorang yang berumur kurang dari enam belas tahun.22
2.5 Tinjauan tentang Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak yang
sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya Perlindungan anak merupakan perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat yang dengan demikian harus diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan dan bermasyarakat. Perlindungan anak merupakan bidang
21
Ibid, h. 99 22
pembangunan nasional, melindungi anak berarti melindungi manusia, yaitu membangun manusia
seutuhnya.
Hakekat dalam pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Dengan mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan
pembangunan nasional, sehingga akibat dari tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan
berbagai permasalahan sosial yang akan mengganggu ketertiban, keamanan, dan pembangunan
nasional, yang berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin
mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Perlindungan anak dalam suatu
masyarakat dan bangsa merupakan tolak ukur peradaban masyarakat dan bangsa tertentu.23
Jadi, demi pengembangan manusia seutuhnya dan beradab, maka kita wajib untuk
mengusahakan perlindugan anak sesuai dengan kemampuan demi kepentingan nusa dan bangsa.
Dalam hal ini yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai
dengan kemampunya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu.
Pelaksanaan perlindungan anak agar nantinya perlindungan terhadap anak dapat efektif, nasional
positif, bertanggung jawab dan bermanfaat haruslah memenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut :24
a. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksanakannya perlindungan anak harus
mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan
anak agar dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi
permasalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak.25
23
Ibid, h.67
24
R,Sughandi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Penjelasannya. Surabaya, Usaha Nasional.h.35
25
34
b. Perlindungan anak “harus dilakukan bersama” antara setiap warga negara, anggota
masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama
dan kepentingan nasional.
c.“Kerjasama dan kordinasi” diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak
yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat antara para partisipan yang
bersangkutan.
d. Perlunya diusahakan inventarisasi faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan
perlindungan anak.
e. Harus dicegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, mencari kesempatan yang
menguntungkan dirinya sendiri dalam membuat ketentuan yang mengatur masalah
perlindungan anak.
f. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
g. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan kemampuan dan
kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri dan kelak dikemudian hari dapat
menjadi orang tua yang berperan aktif dalam kegiatan perlindungan anak.
h. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi
pada pihak yang bersangkutan dan oleh karena adanya penimbulkan penderitaan,
kerugian pada para pertisipan tertentu.
i. Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban
2.6 Tinjauan Tindak Pidana Pencabulan
Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan
dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh
kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk
kesusilaan.Definisi pencabulan menurut The National Center on Child Abuse and Neglect US,
’sexual assault’ adalah “Kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak
tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam
posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban’26.
Termasuk kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau
pornografi, menggunakan seorang anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat
genital orang dewasa kepada anak. Sedangkan di Belanda memberikan pengertian yang lebih
umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang yang diancam
pidana. Indonesia sendiri tidak memiliki pengertian kata ’pencabulan’ yang cukup jelas. Bila
mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual,
maka definisi pencabulan adalah semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Namun, tidak ada definisi
hukum yang jelas yang menjelaskan arti kata pencabulan itu sendiri, baik dalam KUHP, UU
Perlindungan Anak maupun UU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KUHP
menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum
mendefinisikan dengan jelas maksud daripada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampur
adukkan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuhan. Sedangkan dalam rencana
KUHP yang baru ditambahkan kata ”persetubuhan” disamping pencabulan dan persetubuhan
26
36
dibedakan. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat
menimbulkan kehamilan. pencabulan dan persetubuhan dibedakan. Perbuatan cabul tidak
menimbulkan kehamilan akan tetapi persetubuhan dapat menimbulkan kehamilan. Dewasa ini
diperkirakan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus makin besar. Kasus-kasus
yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang
membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Indonesia sebenarnya telah banyak pula
memberikan perhatian terhadap hak-hak anak.27 Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta
Indonesia dal;am menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right
of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi
dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990.
Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif,
kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat
dalam permasalahan anak. Perlindungan anak juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dijelaskan mengenai perlindungan anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang,dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
27
Laden Marpaung, 2004,Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, cet 2 Siunar Grafika,