• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS - ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASAS - ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

ASAS - ASAS

HUKUM PERDATA

IN T E R N A S IO N A L

OLEH

'

M r W /R/ONO PRODJODiKORO

KETUA

AGUNG

D /

j

WDONES/A

^.rfiTAKAN jiED U A

N. V. v/k G. C .

’f

- VAN D o R P

&

Co.

3JAKARTA - BANDU*^ -

sem

AR

a n g

. SURAB

ata

(2)

}? er pus takaran

Pakulÿas Hukum Unive r si t as Indonesia

M o h o n dikembalikan Tg,

Ts"b dibawah ini.

/ y f ' a o ■£ ^ ^ 7Q

*1

¡ 'h ? f / ¡ - |-y, K 9 G > / ? A j

!^ - 7

;

2

W ®

^

( l7

.".i'. ( 'n t o l

v\

x< zoos'

8 AP8 «UT«

m

f a

(3)

M . , I * - r t *

/p

s3

A S A S - A S A S H U K U M P E R D A T A IN T E R N A S IO N A L

(4)

L i S'M Co+M lu-KW

ASAS-ASAS

HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

OLEH

M r W 1 R JO N O P R O D J O D 1 K O R O

KETUA MAHKAMAH AGUNG

DI INDONESIA

TJ ET AK A N K ED UA

N . V . v/h G . C. T. V A N D O R P & Co.

D JAKARTA - BANDUNG - SEMARANG - SURABAJA

(5)

PAK. HUKUM dan PENG. MASJ.

(6)

ISI

Halam an Kala p e n d a h u lu an ... 7

B A G IA N I

Pengertian hukum perdata internasional ... 9 B A G IA N II

Tempat pendiaman atau hewarganegaraati sebagai

ukuran ... 22 B A G IA N III

V Ketertiba ri umum ... 55 B A G IA N IV

Pelandjutan keadaan hukum ... 45 B A G IA N V

Penundjukan kembali ...'... 52 B A G IA N V I

Penghindaran pelaksanaan hukum ... 61 B A G IA N V II

V' H al pilih hukum ... 65 B A G IA N V III

Pengakuan putusan hakim a s in g ... 71 B A G IA N IX

H ukum nasional bagi orang2 asing ... 80 B A G IA N X

Tjara melakukan perbuatan h u k u m ... 91 B A G IA N X I

(7)

Halam an B A G IA N X II Kedudukan anak ... ¡05 B A G IA N X III Perbendaan ... ... I ¡0 B A G IA N X IV H al perikatan perdata ... /22 B A G IA N X V

H al hukum atjara perdata ... i 52 B A G IA N X V I

V'Badan hukum ... ¡42 B A G IA N X V II

(8)

K A T A P E N D A H U L U A N

Sedjak Negara Republik Indonesia, sebagai negara merdeka dan berdaulat, langsung turut serta dalam pergaulan hidup ber­ sama-sama negara- lain, terang nampak keperluan bagi negara Indonesia dan bagi orang2 warganegara Indonesia untuk menge­ tahui betul2 kesulitan2 jang timbul dari pergaulan hidup itu. Sebagian dengan adanja Perserikatan Bangsa2, makin lama, ma­ kin eratlah hubungan jang ada antara pelbagai negara. D juga dalam hal perhubungan2 hukum perdata makin lama, makin ba- rijak termasuknja anasir2 asing berupa warganegara2 pelbagai negara asing jang di Indonesia sini turut serta dalam hidup di- tengah2 masjarakal. Sebaliknja djuga selalu tambah djumlah orang2 Indonesia jang berada diluar-negeri dan disana tentunja turut serta pula dalam pergaulan hidup di-tengah masjarakat.

Baik di Indonesia, maupun di negara2 asing akan selalu tambah adanja perhubungan2 hukum jang sedemikian tjoraknja, hirigga hukum nasional dari Indonesia sendiri tidak mentjukupi guna mengaturnja se-baik2-nja. Maka dibutuhkan adanja hukum per­ data internasional jang akan memenuhi rasa keadilan, tidak hanja dari masjarakat Indonesia, melainkan djuga dari masjarakat asing jang anggota2nja berada di-tengah2 masjarakat Indonesia.

Buku ini bermaksud mengutarakan setjara sederhana beberapa asas hukum perdata internasional jang sekiranja perlu diketahui oleh orang2 Indonesia jang ada minat untuk mempeladjari hal itu, terutama oleh para mahasiswa dari fakultet hukum dan fakultet ekonomi, oleh para hakim dan djaksa, oleh para penga- tjara dan oleh para pegawai pelbagai kementerian, terutama Kementerian Kehakiman dan Kementerian Urusan Luar-negeri, lebih2 jang akan dan sudah ditempatkan diluar-negeri dalam

(9)

Sam a sekali bukan maksud saja akan menindjau asas2 hukum perdata internasional setjara luas dan dalam. Untuk itu pada saja tiada tjukup waktu dan ketjakapan. Buku ini harus d ip a n ­ dang sebagai usaha sederhana untuk menggambarkan garis2 besar sadja dari hukum perdata internasional.

Bahw a usaha ini sangat djauh dari sempurna adalah hal fang lajak.

M u d ah2han sadja buku ini dapat sedikit bermanfaat bagi N usa dan Bangsa Indonesia.

Djakarta, Nopember 1951. W . P.

T J E T A K A N K E D U A

D alam tjetakan ke-2, buku ini terutama ditambah dengan bahan2 jang diperoleh dari :

a. rantjangan persetudjuan internasional (..ontwerp-conventie ) jang ditentukan dalam „Konpercnsi D en Haag ketudjuh menge­ nai H ukum Perdata Internasional (tanggal 9-51 Oktober 1951). b. rantjangan undang-undang seragam ( >>°ntwerp-uniforme wet”) untuk djual-beli internasional jang dibitjarakan dalam suatu konperensi internasional jang diadakan di D en H aag pada tanggal 1-10 Nopember 1951,

c. rantjangan undang-undang seragam tentang hukum perdata internasional seluruhnja bagi negara2 Benelux (Belgi, N ederland

dan Luxemburg).

Selandjutnja hampir tidak diadakan perubahan sama sekali dalam buku ini.

Mudah-mudahan djuga tjetakan ke-2 ini dapat sekadar meme­ nuhi kebutuhan para pembatja.

(10)

A S A S - A S A S H U K U M P E R D A T A IN T E R N A S IO N A L B A G IA N I

Pengertian Iiukuin perdata internasional. Arti kata.

Tiap2 negara mempunjai hukum jang mengalur tindakan- clalam masjarakat, masing2 untuk keselamatan masjarakat itu. Sebagian dari hukum ini adalah hukum perdata jang mengalur perhubungan hukum antara pelbagai orang2 perseorangan, dalam- mana titik berat berada pada kepentingan orang perseorangan- Penambahan dengan perkataan „internasional”, sehingga terben­ tuk rangkaian kata2 „hukum perdata internasional”, menimbul­ kan pelbagai pertanjaan.

Pertanjaan pertama mengenai arti kata dari perkataan „inter­ nasional”. Mengingat perkataan2 „inter” dan „nasional”, maka- „internasional dapat diartikan sebagai „antara bangsa2 dalam- pelbagai negara’ , dengan akibat, bahwa hukum perdata inter­ nasional dianggap se-olah2 mengatur perhubungan antara pelba­ gai negara dan mengenai tindakan2 negara satu terhadap negara lain atau terhadap orang perseorangan. M emang biasanja dalam memakai perkataan „hukum internasional”, pada umumnja orang mengingat kepada arti kata jang sempit ini.

A kan tetapi tidak mungkin perkataan „internasional” dalam- rangkaian kata2 „hukum perdata internasional” mempunjai arti jang sempit ini, oleh karena hukum perdata mengatur perhu­ bungan hukum antara orang2 perseorangan, tidak antara pelbagai negara. M aka bagi orang jang hanja mau memakai perkataan- ..internasional” dalam arti jang sempit ini, tidak dapat diadakan penggabungan perkataan „internasional” dengan kata2 „hukum perdata” .

T im bul pertanjaan, apakah perkataan „internasional” hanja dapat dipakai dalam arti jang sempit ini ? A pakah tidak dapat

(11)

perkataan „internasional” diberi arti jang lebih luas ? D alam praktek diantara chalajak umum sudab njata, bahwa ber- matjam? arti jang lebih luas diberikan kepada perkataan ,,inter­ nasional”.

Sering tertulis dalam suratkabar2 atau m adjalah2. bahwa suatu kota, dimana ternjata dan terasa berdiam tidak sedikit golongan2 orang dari pelbagai bangsa, dinamakan kota ,,internasional”. Pakaian jang sudah lazim dipakai oleh orang2 dipelbagai tempat

diseluruh dunia, sering dinamakan pakaian internasional”.

Suatu pameran dari hal2 jang tidak berasal dari satu negara melainkan dari beberapa negara matjam2, atjapkali djuga d in a ­ makan pameran „internasional”.

M aka dari itu* sekiranja sama sekali tiada keberatan untuk t- ?■ / - menggabungkan perkataan „internasional dengan kata2 ,,hukum . • ~ perdata , asal sadja perkataan ..internasional diartikan lebih

juas j ar. pac{a an[ara bangsa2”, jaitu untuk mewudjudkan suatu . hukum perdata jang. setelah dipengaruhi oleh keadaan pelbagai negara jang masing2 rnempunjai peraturan hukum sendiri2 jang berlainan satu sama lain, menjimpang dari hukum perdata jang lazim nja terlaksana dalam suatu negara.

Perhubungan hukum antara orang2 perseorangan dalam suatu negara, lazimnja berada antara orang2 warganegara dari negara itu. jang pada umum nja takluk pada s alu hukum perclala, jaitu jang berlaku di negara itu dan djuga lazim nja mengenai barang2 jang berada didaerah hukum negara itu. D alam hal in i tiada kesulitan untuk menentukan hukum perdata jang m ana harus dianut.

Kesulitan tentang hal ini m ulai timbul, apabila misalnja salah suatu pihak atau kedua belah pihak jang bersangkutan dalam perhubungan hukum itu adalah seorang asing, jaitu seorang w ar­ ganegara dari suatu negara asing atau apabila Perhubungan hukum itu mengenai barang tak bergerak jang berada diri I'-4I<JcUcUTl

(12)

claerah hukum suatu negara asing atau apabila suatu perhubung­ an hukum dilahirkan didaerah hukum negara asing menurut tjara jang ditentukan disana, akan tetapi harus dilaksanakan disini atau sebaliknja dilahirkan disini dan harus dilaksanakan disana. Maka dengan pendek : adanja suatu anasir asinglah jang menim­ bulkan .kesulitan dalam menentukan hukum perdata jang mana harus dilakukan. Hukum perdata negara awakkah atau hukum perdata negara asingkah atau hukum perdata istimewakah jang tida k masuk salah suatu dari dua matjam hukum perdata itu ?

Hukum perdata jang harus dianggap berlaku inilah jang lazim- nja dinamakan hukum perdata internasional.

Tudjuan.

Peraturan hukum perdata dimanapun djuga bertudjuan meme­ nuhi rasa keadilan dari golongan2 orang manusia jang takluk pada peraturan itu. Dengan adanja anasir asing tersebut diatas jang takluk pada suatu peraturan hukum di negeri asing, jang tidak sama dengan peraturan hukum di negeri awak, maka timbul pertanjaan, apakah rasa keadilan masih dipenuhi, djika hukum asing itu diabaikan ataukah rasa keadilan itu baru mendapat kepuasan, djika hukum asing itu dilaksanakan sepenuhnja atau sebagian ?

Rasa keadilan berada dalam hati sanubari tiap2 orang manusia, maka pada pokoknja adalah hal orang perseorangan. Akan tetapi dalam tiap2 masjarakat mulai dengan masjarakat desa, sehingga masjarakat jang merupakan suatu negara, sebagai akibat pergau­ lan hidup bersama, ada rasa keadilan jang pada umumnja dianut oleh segenap atau sebagian besar dari anggota2 masjarakat itu.

O rang2 asing jang berada di-tengah2 masjarakat suatu negara mengandung dalam hati sanubari masing2 suatu rasa keadilan,

(13)

jang pada um umnja dianut oleh segenap atau sebagian besar dari masjarakat, dari mana mereka berasal.

Kalau dua golongan rasa keadilan ini tidak sama, maka seha- rusnja ada djalan untuk menemukan suatu peraturan hukum jang sedapat mungkin memuaskan ke-dua2 rasa keadilan itu. Ini berarti, bahwa masiiig2 pihak harus mengorbankan sebagian dari rasa keadilan masing2 itu untuk menjelamatkan masjarakat masing2.

Tjara jang paling radikal ialah usaha untuk menemukan s u a t u

peraturan hukum perdata internasional jang tidak hanja m e m u a s ­

kan dua masjarakat jang bersangkutan itu, melainkan jang dapat' diterima oleh seluruh dunia dan untuk selama-lamanja.

Ini memang suatu tjita2 jang patut diingini oleh segenap orang manusia. A kan tetapi dapat diragu-ragukan, apakah tjita2 ini" mungkin terlaksana. Selama dunia masih terdiri dari negara2, jang masing2 berdaulat penuh, sekiranja tidak akan m ungkin mereka semuanja tunduk pada suai u peraturan hukum perdata internasional.

A d a setengah orang jang pertjaja pada kemungkinan ada suatu hukum alam („natuurrecht”), jang seharusnja dianut oleh segenap orang manusia, dim anapun djuga dan untuk selama-lamanja. Kepertjajaan ini berdasar atas kenjataan, bahwa seorang manusia- . oleh Tuhan dititahkan berbeda dari hewan dengan diberikan f f ^ T T - T e m a m p u a n berpikir. D a n pikiran inilah jang seharusnja menje- babkan adanja asas2 hukum perdata, jang sama diseluruh dunia.

oran62 ini dilupakan, bahwa tjara berpihirpun l e r n j a t a sudah berbeda dipelbagai negara. M isalnja pada um um nja di negara2 barat tjara berpikir ini bersifat sangat perseorangan ( in ­ dividualistis”), sedang di negara2 timur pada

umumnja

tiJ ak begitu, melainkan lebih bersifat kekeluargaan.

(14)

D a n lagi kenjataannja : pun diantara negara2 barat perbe­ daan dalam bukum perdata rnasing2 nampak benar2.

A d a satu soal jang, menurut hemat saja, seharusnja mudah diadakan kata sepakat antara semua negara2 didunia, jaitu soal wesel. Dengan wesel ini, jang merupakan suatu suruhan oleh A kepada B supaja membajar sedjumlah uang kepada C , tertjipta suatu tjara pembajaran uang jang amat praktis didalam alam para pedagang, djuga dalam perdagangan inter­ nasional.

Tentunja sudah amat lajak, apabila perihal wesel oleh se­ genap pedagang diseluruh dunia dibutuhkan satu peraturan, jang berlaku di-inana-. D a n memang usaha untuk mentjapai tudjuan jang sedemikian itu telah dilakukan. D alam tahun 1950 dikota Djenewa dari negeri Swis telah tertjipta suatu per- djandjian internasional jang bermaksud mengadakan satu per­ aturan hukum tentang wesel.

Negeri Belanda, jang turut menandatangani traktat itu, menje- suaikan undang-undangnja, jaitu Kitab Hukum Dagang, dengan penentuan2 dari traktat tersebut setjara mengubah titel V I dari Buku I jang mengatur hal wesel. Ini terdjadi dalam tahun 1932. D an pada tahun 1933 (Staatsblad Negeri Belanda 1933-224) traktat ini oleli undftng-undang negeri Belanda ditetapkan ber­ laku djuga Lagi Indonesia. Sudah lebih dahulu, jaitu dengan Staatsblad 1934-562, Kitab H ukum D agang di Indonesia diubah djuga, supaja sesuai dengan Kitab H ukum Dagang negeri Be­ landa, jaitu titel V I dari Buku I, djuga jang mengenai wesel. Perubahan ini mulai berlaku pada tanggal 1 D januari 1936.

Harapan Djenewa pada 1930 akan memperoleh kesatuan dalam peraturan wesel diseluruh dunia, ternjata sia2 belaka.

Inggeris dengan Commonwealth-nja dan Amerika Serikat mi- salnja tidak turut menandatangani perdjandjian internasional tentang wesel itu.

(15)

Pengalaman pahit tentang wesel ini menandakan, bahwa se- kiranja sama sekali belum boleh diharapkan terbajang suatu saat, dalam mana seluruh dunia mempunjai satu peraturan hukum perdata internasional.

Tetapi, kalau hal ini dipikir lebih dalam dengan mengingat keadaan2 jang njata ditiap2 negara, maka pengalaman jang pahit ini sebetulnja sudah lajak, se-tidak2-nja m udah dapat dimengerti.

Hukum perdata ditiap2 negara terbentuk sebagian besar oleh pembentuk undang-undang dan dilaksanakan oleh para hakim. Pembentuk undang-undang dan para hakim ini barangkali ada jang sangat internasional-minded, jaitu berhasrat untuk betul2 memperhatikan rasa keadilan, jang tidak terbatas pada lingkung­ an daerah hukum negaranja. Akan tetapi pada umumnja, jang dipahami betul2 oleh mereka ialah hanja hukum perdata dari negara awak. Hukum perdata dari negara asing hanja dapat diketahui setjara membatja buku2 jang mentjeriterakan hal itu atau setjara mendengarkan orang2 ahli hukum dari negara2 asing itu.

Oleh karena tjara mengetahui ini adalah tidak langsung, dengan akibat, bahwa hal sesuatu sangat -tergantung daripada dapat atau tidaknja dipertjaja buku2 atau ahli2 itu, maka pem­ bentuk undang-undang dan para hakim dengan sendirinja agak ragu2 dalam hal memperhatikan segala sesuatu jang disadjikan kepada mereka sebagai hukum perdata dari negara2 asing itu.

Dengan ini mudah dapat dimengerti kegagalan sampai seka­ rang dari segala usaha untuk mengadakan salu hukum perdata internasional bagi seluruh dunia.

Sekarang ada usaha lagi untuk mengadakan suatu peraturan seragam („uniform”) bagi seluruh dunia tentang djual-beli inter­ nasional.

(16)

Pada tanggal 1-10 Nopember 1951 di Den Haag ada kon- perens! internasional jang berlangsung atas usul suatu lembaga internasional di Roma (Itali), bernama ”L ’ Institut International pour I’Unification du Droit Prive” ( = „Lembaga Internasional untuk mentjapai Kesatuan Hukum Perdata ). Konperensi inter­ nasional ini membitjarakan suatu rantjangan undang-undang seragam mengenai djual-beli internasional. Pembitjaraan belum selesai, jaitu baru terbentuk suatu Panitia jang akan mengubah rantjangan semula itu dengan memperhatikan pembitjaraan- jang diadakan pada konperensi tersebut.

Peraturan seragam ini dimaksudkan untuk dimasukkan dalam perundang-undangan nasional dari tiap2 negara jang turut serta dalam konperensi itu. Dikemudian hari akan diadakan konpe­ rensi internasional lagi jang akan membitjarakan lebih Iandjut rantjangan jang sudah diperbaiki itu.

Disamping usaha ini ada usaha lain untuk membentuk per­ aturan hukum perdata internasional mengenai djual-beli inter­ nasional itu, jaitu pada „Konperensi Den Haag ketudjuh ten­ tang Hukum Perdata Internasional”, jang berlangsung pada tanggal 9-51 Oktober 1951 di Den Haag d juga. Komperensi' sematjam ini dulu sudah enam kali diadakan, selalu di Den Haag, jaitu ber-turut2 pada tahun2 1895. 1894, 1900, 1904, 1925' dan 1928.

Konperensi Den Haag ketudjuh ini merantjangkan tiga buah-, persetudjuan internasional (traktat) antara pelbagai negara,, diantaranja ialah suatu rantjangan persetudjuan („ontwerp-con- ventie”) mengenai djual-beli internasional. Tetapi jang diran- tjangkan ini ialah suatu traktat, jang menentukan suatu per­ aturan hukum perdata internasional, djadi jang hanja memberr djalan untuk memetjahkan soal pertentangan antara pelbagai undang-undang nasional dari pelbagai negara perihal djual-belf

(17)

jang bersifat internasional setjara menundjukkan unclang-unclang .nasional mana jang harus dianggap berlaku.

Pada dua rantjangan tersebut tentunja harus ada persesuaian tentang beberapa hal. M isalnja lentang pengertian dan Iuasnja istilah djual-beli internasional.

Rantjangan undang-undang seragam menetapkan sebagai hakekat-pokok („hoofdbeginsel ), bahwa suatu djual-beli diang­

gap bersifat internasional, apabila sipendjual dan sipembeli masing2 mempunjai perusahaan atau berdiam di-Iain2 negara, dalam hal mana soal kebangsaan atau kewarganegaraan dari kedua belah pihak tidak berpengaruh.

Perlu djuga dikatakan disini, bahwa djual-beli internasional jang akan diatur ini, hanja meliputi barang-barang bertubuh .serta bergerak (roerende Iichameiijke zaken). D a n lagi dari per­

aturan seragam ini diketjualikan : uang (geldswaarden), surat“ berharga (waardepapieren), kapal laut (zeeschepen), kapal pada umumnja (vaartuigen), kapal udara (vliegtuigen) dan hewan- .hewan jang masih hidup.

Sifat.

Kegagalan tersebut diatas mengakibatkan, bahwa pada waktu sekarang tiap2 negara mengatur sendiri'- bagaimana halnja dengan hukum perdata, apabila dalam perhubungan hukum jang bersangkutan terselip suatu anasir asing. Dengan ini ter- njata, bahwa sifat suatu peraturan hukum perdata internasional pada waktu sekarang adalah tidak berbeda dari hukum perdata biasa jang berlaku di-tiap2 negara, jaitu merupakan sebagian dari hukum perdata itu. Dengan lain perkataan hukum perdata internasional pada waktu sekarang masih bersifat nasional belaka.

A p a dan sampai dimana hakim harus memperhatikan suatu kenjataan, bahwa suatu anasir asing tersangkut dalam s u a t u

(18)

perhubungan hukum perdata, melulu tergantung dari apa jang ditentukan oleh pembentuk undang-undang dari negara awak.

Betul ada kalanja suatu perdjandjian internasional atau suatu kesusilaan internasional harus diperhatikan sepenuhnja oleh pembentuk undang-undang atau oleh para hakim, akan tetapi ini pada pokoknja harus berdasar atas hukum nasional. Mereka baru mentjurahkan perhaliannja kepada hukum perdata jang berlaku di negara asing, apabila hukum dari negara awak me- njuruhnja bertindak demikian. D a n dalam hal mentafsirkan pasal2 jang menjuruh ini, bagi pembentuk undang-undang dan para hakim tjukuplah, djika mereka melakukan tjara2 pentafsiran jang lazim terpakai dinegeri awak.

Sampai disini tetaplah sifat nasional dari suatu hukum per­ data internasional. Baru, kalau pembentuk undang-undang dan haki m sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa pada suatu perhubungan hukum jang tertentu berlakulah suatu peraturan hukum perdata dari suatu negara asing jang tertentu, maka tidak boleh tidak harus diperhatikan segala sesuatu jang ber­ laku di negara asing itu mengenai peraturan asing tersebut. Buku2 penting jang terbit di negara asing itu mengenai soal jang bersangkutan, sebaiknja harus dipeladjari, putusan2 prin- sipil dari para hakim di negara asing itu harus diketahui, pentaf­ siran2 hukum jang lazim dipergunakan dinegeri asing itu, harus ditindjau seperlunja.

H anja dengan bertindak demikian hakim nasional, dalam soal2 perhubungan hukum perdata jang bersifat internasional, dapat mendjatuhkan suatu putusan jang akan dirasakan adil.

Pembagian dalam dua bagian.

Suatu hukum perdata internasional dapat dibagi mendjadi dua bagian, jaitu ke-1 jang merupakan suatu penundjukan kepada peraturan hukum lain, jaitu jang berlaku disuatu

(19)

negara asing dan ke-2 jang merupakan suatu peraturan istimewa jang menjimpang dari peraturan hukum perdata biasa.

1. Penundjukan kepada hukum negara asing.

Diatas telah disebutkan, babw a tudjuan hukum internasional ialah memenuhi rasa keadilan. M aka dalam hal penundjukan kepada hukum negara asingpun tudjuan ini harus dipertahan­ kan dengan mengedjar seberapa boleh suatu irama perhubungan antara hukum 2 perdata pelbagai negara („Harmony of laws’ ). H an ja dengan begini dapat tertjapai suatu keadaan jang men­ dekati rasa kepuasan dari para pihak jang bersangkutan.

Ukuran ini jang berdasar atas pemenuhan rasa keadilan, mungkin sekali tidak dapat memuaskan semua orang jang me­

mikirkan hal hukum perdata internasional. K enjataannja ialah, bahwa setengah orang berusaha menemukan suatu alasan jang lebih njata, lebih konkrit untuk mengadakan suatu peraturan penundjukan kepada hukum perdata asing.

M isalnja dikemukakan hal memperlindungi hak2 jang sudah tertanam menurut hukum asing (..protection of vested rights . „bescherming van verkregen rechten ). H ak ini dirasakan sebai nja harus diperlindungi, meskipun hukum perdata dari negara

awak tidak mengenal hak2 itu. D ibaw ah akan diterangkan, b ah­ wa sebaiknja kini dipakai istilah pelandjutan keadaan hukum. H al ini memang adalah suatu asas penting dari hukum perdata internasional jang dalam banjak soal merupakan alasan jang djitu untuk m enundjuk kepada hukum perdata asing, akan tetapi ternjata, bahw a bukan hal ini sadja merupakan alasan untuk menundjuk kepada hukum perdata asing- D an lagi sebetulnja ukuran mengenai perlindungan hak2 jang sudah tertjapai ini tidak lebih konkrit dari pada ukuran mengena* rasa keadilan, oleh karena masih mendjadi pertanjaan besar,

(20)

Imk2 jang mana harus diperlindungi dan apa ada kata sepakat diantara pelbagai negara tentang penentuan hak2 jang harus diperlindungi itu.

A d a lain alasan jang mungkin dapat dikemukakan untuk mengadakan penundjukan kepada hukum negara asing, jaitu hal saling menghormati dari pelbagai negara jang hukum per- datanja tersangkut paut oleh suatu keadaan. Dengan tersangkut- nja beberapa negara jang masing- berdaulat, maka alam pikiran kita dengan sendirinja disalurkan kearah hukum antarnegara („Volkenrechl ’) dan timbul pertanjaan, apakah barangkali da­ lam hukum antarnegara ada pasal2 jang menentukan perihal berlakunja hukum perdata dari suatu negara didalam wilajah negara lain. Sekiranja pasal2 seperti ini tidak ada dalam hukum antarnegara.

Betul, barangkali antara beberapa negara ada perdjandjian internasional jang mengatur hal ini berhubung dengan suatu soal jang tertentu, akan tetapi tidak adalah suatu peraturan jang bersifat umum dan jang menetapkan ukuran2 tertentu untuk meliputi semua soal2.

2. Peraturan istimewa.

Peraturan seperti ini, jaitu jang tidak menundjuk begitu sadja kepada suatu hukum suatu negara, paling lajak mungkin dike- temukan dalam suatu traktat antara dua negara atau lebih jang mengatur hal sesuatu, misalnja perihal wesel atau perihal tu­ brukan antara kapal2 ditengah lautan.

Tetapi mungkin ada peraturan dalam hukum perdata suatu negara jang memuat suatu peraturan istimewa itu.

Sebagai tjontoh dapat disebut pasal 85 Kitab H ukum Perdata di Indonesia (Burgelijk W etboek) mengenai perkawinan war- ganegara Indonesia jang berbangsa Eropah dan Tionghoa, jang

(21)

dilakukan diluar-negeri. Perkawinan itu harus dilakukan menu­ rut tjara jang lazim dianut ditempat perkawinan itu, tetapi jang akan kawin harus memenuhi sjarat2 jang ditentukan dalam Burgelijk W ethoek, pasal2 27 — 49.

Bagi negeri Belanda pasal 110 B .W ., jang sama bunjinja dengan pasal 83 B.YV. Indonesia, akan dihapuskan, oleh karena sudah termuat dalam suatu undang-undang seragam („eenvor- mige wet”) tentang hukum perdata internasional jang akan d i­ adakan oleh negara2 Benelux (Belgi, Nederland dan Luxemburg).

Lain tjontoh ialah pasal 945 Kitab H ukum Perdata tersebut jang menentukan, bahwa, apabila seorang warganegara Indo­ nesia dinegeri asing akan membikin surat hibah wasiat („testament” ), ini harus terdjadi dengan akta otentik. M enurut Kitab H ukum Perdata di Indonesia dan dinegeri Belanda, Ijara membikin surat hibah wasiat ini tidak terbatas pada akta o t e n t i k dan peraturan sematjam ini m ungkin sekali djuga berada dine-

gara asing.

Bagi negeri Belanda baru diusulkan, supaja pasal 992 B .W . Belanda, jang sama b u n jin ja dengan pasal 945 B. W - Indo ­ nesia ini, ditam bah dengan ajat ke-5 jang menentukan, bahw a ajat ke-1 jang menetapkan harus ada akta otentik itu. tidak ber­ lak u bagi seorang w arganegara B elanda jang berdiam atau wafat

dinegeri asing, dim ana ia membikin surat hibah wasiat itu. D engan ini penetapan dari ajat ke-1 tadi ham pir sama sekali ti­ dak berarti lagi.

L ain tjontoh lagi ialah Staatsblad 1872-11 jis 1915-299. 642 (m u lai berlaku tanggal 1 D jan u ari 1916), pengganti pasal 857 K itab H u ku m Perdata di Indonesia jang menentukan : A p ab ila ada barang2 warisan, sebagian berada di Indonesia, sebagian di- Iuar Indonesia dan harus dibagi2 antara warganegara Indonesia (jang berbangsa Eropah dan Tionghoa) dan orang2 asing, sedang

(22)

menurut hukum asing ada beberapa barang jang tidak boleh diwaris oleh warganegara Indonesia, maka untuk warganegara Indonesia, ini boleh diambilkan dulu dari barang2 Iainnja jang

sepadan dengan bagiannja.

Bagi negeri Belanda peraturan jang sematjam ini akan di­ hapuskan, oleh karena djuga sudah termuat dalam undang- undang seragam tersebut diatas tentang hukum perdata inter­ nasional jang akan diadakan oleh negara2 Benelux.

A da beberapa hal jang, untuk mendjernihkan soal pengertian hukum perdata internasional, perlu dikemukakan berhubung dengan hal, bahwa dalam hukum perdata internasional tersang­

kut paut pelbagai hukum perdata, jaitu :

a. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai hukum perdata jang pada suatu waktu bersama-sama berlaku masing- untuk daerah sendiri-. M aka harus diperbedakan dari pada jang dinamakan hukum interlemporaal, jaitu jang menge­ nai pelbagai hukum perdata jang ber-turul2 berlaku dan jang

meliputi satu keadaan ;

b. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai hukum perdata dari pelbagai negara jang masing2 berdaulat, maka harus diperbedakan dari-pada jang dinamakan hukum in ­ terlokal, jaitu jang mengenai pelbagai hukum perdata jang berla­ ku dalam pelbagai daerah dari satu negara ;

c. hukum perdata internasional hanja mengenai pelbagai hukum perdata dari pelbagai daerah hukum, maka harus di perbedakan daripada jang dinamakan hukum intergentiel, jaitu jang mengenai pelbagai hukum perdata jang ber-sama2 berlaku dalam satu daerah hukum untuk pelbagai golongan penduduk.

Dengan memadjukan perbedaan2 ini harus diingati pula, bahwa dalam empat matjam hukum perdata ini ada hal2 jang sama sifatnja, hal mana sering memperbolehkan atau mengha­ ruskan melaksanakan asas2 jang sama atau jang hampir sama.

(23)

B A G I A N II

Tempat pendiaman atau kcwargancgaraan sebagai ukuran

D iatas telah diutarakan, bahw a soal hukum perdata inter­ nasional m untjul kemuka, apabila ada anasir asing dalam sualu perhubungan hukum perdata disuatu tempat. Anasir asing ini jang terpenting ialah mengenai orang~ jang tersangkut paut dalam perhubungan hukum itu, jaitu perihal kedudukan hukum dan kekuasaan2 hukum mereka.

H a l ini sebagian besar mengenai kedudukan orang- jang belum dewasa atau jang berada dibawah sualu pengawasan .(„curateele” ). kedudukan seorang dalam perkawinan, perizinan atau kemungkinan untuk kawin atau untuk mendjadi ahli waris dan lain2 sebagainja.

Perlu ditegaskan bahwa anasir asing mengenai orang2 dalam hal ini tidak hanja berarti orang2 asing, jaitu orang2 warga- negara dari negara asing, melainkan djuga melipuli orang- war ganegara dari negara awak jang bertempat diam (berdomisili) ^ dinegara asing.

Pentjiptaan hukum dalam suatu negara dalam arti jang

se-Iuas2-nja, jaitu tidak hanja mengenai pembentukan undang- undang, melainkan djuga meliputi pentjiptaan hukum oleh adat kebiasaan, oleh putusan hakim, oleh ilm u pengetahuan hukum dan lain2 — pada hakekatnja m e n g a n d u n g dua anasir, jaitu ke-1.

bahwa hukum itu dimaksudkan untuk berlaku dalam daerah

hukum negara itu („territoir”) dan ke-2, bahwa hukum itu d i­ maksudkan untuk berlaku bagi para warganegara dari negara itu. Hakekatnja, ini berhubungan dengan soal kedaulatan setiap negara merdeka jang terbatas pada dua anasir itu, jaitu kedae- rahan-hukum dan k e w a r g a n e g a r a a n . Ini adalah hal jang njata

pada waktu sekarang dan masih dipertahankan penuh terhadap pengaruh hukum antar-negara dalam keadaan sekarang.

(24)

D u a anasir ini clapat diterobos oleh anasir asing jang termak­ sud diatas. Kalau penerobosan ini mengenai dua2nja anasir itu, jaitu apabila suatu soal mengenai- perhubungan hulcum antara orang2 asing jang sama berdiam dinegara asing, maka sudah barang tentu hukum negeri asing itulah jang berlaku. K ini tidak tersinggung anasir asing lain jang tidak mengenai orang2, mi- salnja mengenai barang2 atau mengenai tjara melakukan tindak­ an hukum, hal mana akan saja bitjarakan kemudian.

A pabila penerobosan ini mengenai salah suatu dari dua anasir tersebut, jaitu apabila ada suatu perhubungan hukum perdata antara dua orang asing dari suatu negara asing misalnja Negara India, jang dua2-nja berdiam di-Indonesia, atau antara dua orang warganegara Indonesia jang dua2-nja berdiam di Negara India misalnja, maka timbul pertanjaan : hukum perdata manakah jang berlaku, hukum perdata Indonesia-kah atau hu­ kum perdata India-kah ?

D jaw aban atas pertanjaan ini dipelbagai negara didunia pada waktu sekarang adalah tidak sama, melainkan bermatjam dua.

A d a suatu golongan negara jang mengambil sebagai ukuran untuk djawaban itu ialah tempat pendiaman, maka menganggap hukum perdata dari negara tempat pendiaman sebagai hukum jang berlaku, sedang golongan negara ke-2 mengambil sebagai ukuran kewarganegaraan orang2 jang bersangkutan dan meng­ anggap berlaku hukum perdata dari negara jang orang" itu mendjadi warganegaranja.

Perlu diterangkan disini, bahwa buku2 tentang hukum per­ data internasional pada umumnja untuk pengertian kewarga­ negaraan memakai perkataan „nationality atau ..nationaliteit , jang lebih mendekati pengertian kebangsaan.

Menurut penjelidikan oleh Martin W o lff dalam bukunja „Private International Law , jang terbit pada tahun 1930 di

(25)

Oxford, negara2 jang menganut prinsip-domisili adalah A m e­ rika Serikat, British Commonwealth, Denmark, Iceland, Norway, Brasil, Negara2 Baltic, dari Amerika Selatan : Argentina, B oli­ via, Paraguai, Peru dan U ruguai, dari Amerika Tengah : N ic a ­ ragua dan Guatemala ; sedang jang menganut prinsip-kewarga- negaraan ialah dari Eropah : Perantjis, Belanda, Belgi, Luxem­ burg, Monaco. D om inican Republik, Junani, Itali, Rum ani, Por- tugal, Spanjol, Swis, Djerman, Hungaria, Liechtenstein, C ze­ choslovakia, Bulgaria, Yugoslavia, A lbania, Turki, F inland ia dan Swedia.dari Asia : Djepang, C h in a Iran, M u a ng Thai dan Indonesia, dari Amerika Selatan dan Tengah : Ecuador, C h ili, Salvador, Colombia, Costarica, C uba, Honduras, Panam a dan Mexico.

Kemudian dalam tahun 1951 Swedia menjeberang kepada prinsip-domisili.

D i Sovjet Rusia, Austria dan Venezuela djuga dianut prinsip- kewarganegaraan, tetapi tidak setjara timbal-balik, jaitu w'arga- negara mereka tunduk kepada hukum perdata negara awak, mes­ kipun berdiam dim anapun djuga, sedang orang asing jang ber­ diam di-negara2 itu dianggap tunduk kepada hukum dari negara, dimana mereka berdiam.

Mula-mula diseluruh Eropah dianut prinsip-domisili. Peran- tjis, pada waktu mengadakan kodifikasi pada permulaan abad ke-19, m ulai mengubah sikap ganti menganut prinsip-kewarga- negaraan. Kemudian lain 2 negara meniru tindakan Perantjis ini.

Di-Indonesia pada zaman Belanda m ula2 menurut pasal 16 (lama) A .B . („Algemeene Bepalingen van W etgeving” — „Pe­ nentuan2 umum perihal perundang-undangan ) dianut prinsip- domisili, dengan menjimpang dari peraturan di-negeri Belanda sendiri jang sedjak tahun 1829 telah menganut prinsip-kewar’ga-

(26)

Pasal 16 (lama) A. B. itu berbunji : ,,De wettelijke bepalingen betreflende de staat en de bevoegdheid der personen blijven verbindend voor ingezeienen van Nederlandsch-Indie, wanneer zij zicli buitcn ’s Lands bevinden”. ( = „Peraturan2 undang- undang tentang kedudukan dan kekuasaan hukum bagi pendu­ duk Hindia-Belanda tetap berlaku bagi mereka, apabila, mereka berada diluar-negeri").

D alam Slaalsblad 1915 ^ 299 jo 642 pasal 16 A . B. diubah, sehirrgga „ingezetenen van Nederlands ch-lnd ie diganti dengan ..Nederlandsche onderdanen” ( = „warganegara Keradjaan Be­ la n d a ”, jang meliputi djuga Indonesia sebagai Hindia-Belanda) dan ditambahkan 'suatu kalimat jang mengatakan, bahwa apa­ bila „Nederlandsch onderdaan" dari Hindia-Belanda berada di Negeri Belanda atau di-Iain tanah djadjahan dari negeri Belan­ da, maka mereka takluk pada bagian tersebut dari hukum per­ data jang berlaku ditempat beradanja itu.

Dengan perubahan ini, maka sedjak tahun 1915 di Indonesia dianut prinsip-kewarganegaraan, tetapi dalam hubungan antara negeri Belanda dan tanah-tanah djadjahannja dianut prinsip- domisili.

Baik pada zaman Djepang, maupun pada zaman Republik Indonesia dari tahun 1945, zaman Republik Indonesia Serikat dan zaman Negara Kesatuan lagi, tidak diadakan perubahan tentang hal ini, artinja hal pasal 16 A.B. ini sama sekali tidak di-singgung2. Hanja dalam pasal 51 Konstitusi R. I. S. dan sekarang dalam pasal 52 Undang-undang Dasar Sementara R.I. jang hampir sama bunjinja ditentukan, bahwa „setiap orang jang ada didaerah Negara harus patuh kepada undang-undang, termasuk aturan2 Hukum jang tak tertulis .

Penentuan dari pasal 52 U. D . Sementara ini barangkali menimbulkan kesan, bahwa tidak lagi pasal 16 A .B . diartikan bertimbal-balik. Dengan bertimbal-balik, djuga untuk orang2 asing jang bertempat tinggal di Indonesia perihal kedudukan

(27)

•dan kekuasaan hukum tetap berlaku hukum perdata dari negara- nja sendiri. Pertimbal-balikan ini dianggap ada. oleli karena pasal 5 A . B. menentukan, bahwa, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang, maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama untuk \varganegara2 dan orang2 asing. Prinsip dari pasal 16 A . B. sendiri dianggap sebagai bagian dari hukum perdata, maka prinsip-kewrarganegaraan djuga berlaku bagi orang2 asing jang berada di Indonesia.

Kalau pasal 5 dan 16 A .B . sekarang masih dianggap berlaku — dan menurut hemat saja memang masih berlaku —- maka sesuai dengan pasal 52 U . D . Sementara R. I. orang- asing jang berada di Indonesia, djuga patuh kepada pasal 5 dan pasal 16 A . B. itu, maka tetaplah pertimbal-balikan dari pasal 16 A . B.

Uraian diatas ini hanja mengenai pasal 16 kalimat ke-1 dari A . B.

Bagaimanakah halnja sekarang dengan perhubungan Indo- nesia-Belanda mengenai pasal 16 A .B., kalimat ke-2 7 A pakah kalimat ke-dua ini sekarang masih berlaku ?

Sebetulnja kalimat ini hanja menentukan prinsip-domisili bagi ..Nederlandsch Onderdaan dari „Hindia-Belanda J an& berada dinegeri Belanda. D ja d i tidaklah disinggung keadaan orang2 Belanda asli jang berada di Indonesia. Tetapi jurispru- densi dizaman Belanda menganggap prinsip-domisili 1°^ ':,er’ laku djuga bagi mereka.

Biasanja istilah ,,NederI andsch-Onderdaan” diperundang-

undangan Hindia-Belanda dulu, sekarang diartikan sebagai ..warganegara Republik Indonesia” . K alau ini djuga diperlukan terhadap pasal 16, kalimat ke-2 dari A .B . maka andaikata kali­ mat ini sekarang masih dianggap berlaku, sekarang masih dilan- djutkan prinsip-domisili bagi orang2 warganegara Indonesia jang berada dinegeri Belanda.

Tetapi kalau pasal 16 A .B ., kalimat ke-2 ini, d itindjau lebih ■dalam, maka ada ke-ragu2-an, apakah kini istilah

(28)

,,Neder-lancIsch-OnclercIaan” dapat diartikan sebagai „warganegara Indonesia begilu sadja. Sebab dalam pasal. 16, kalimat ke-2 dari A .B . ini penibentuk-undang-undang („wetgever ) dalam mema­

kai istilah „Nederlandsch-Onderdaan ini menitikberatkan

pemandangannja pada kewarganegaraan dari ,.Negeri Belanda

dan tanah-tanah djadjabannja (termasuk djuga Hindia-Be­

landa).

M aka kesatuanlah dari negeri Belanda dan tanah- djadjahan- nja jang mendorong untuk mengadakan kalimat ke-2 ini. D an kesatuan ini berdasar alas anggapan, bahwa negeri Belanda dan tanah- djadjabannja (termasuk Indonesia) betul- merupakan sal u Negara K.eradjaan Belanda (,.een Ivoninkrijk der Neder- landen ) dengan satu matjam warganegara, jang dinamakan „Nederlandsch-Onderdaan .

M aka dari itu. istilali „Nederlandsch-Onderdaan dalam pasal 16. kalimat ke-2. dari A.B. ini, tidaklah dapat disalin begitu sadja dengan „warganegara Indonesia , melainkan harus disalin dengan „orang2 Belanda .

Kalau demikianlah halnja, maka saja lebih suka pada penda­ pat. bahwa kalimat ke-2 dari pasal 16 A.B. ini pada waktu seka­ rang tidak lagi berlaku, oleh karena dalam perundang-undangan dari negara Indonesia jang sudah merdeka, tiada tempat untuk suatu penentuan mengenai warganegara dari suatu negara asing. D a n akibat dari pendapat ini ialah, bahwa pada waktu sekarang untuk warganegara Indonesia jang berada dinegeri Belanda berlakulah prinsip-kewarganegaraan menurut pasal 16, kalimat ke-1 A .B .

A d a p u n sebagai pertimbal-balikan harus dianggap pula, bah­ w a bagi warganegara Belanda jang berada di-Indonesia, pada waktu sekarang berlakulah prinsip-kewarganegaraan djuga, djadi tentang kedudukan dan kekuasaan hukum, mereka tetap takluk pada B .W . Belanda dan lain-lain peraturan undang-undang jang berlaku dinegeri Belanda.

(29)

M a n a jang baik, prinsip-kewarganegaraan atau prinsip- domisili, adalah amat sukar untuk ditetapkan. Sebetulnja, ini berhubungan erat dengan maksud orang2 asing untuk bertempat tinggal didaerah suatu negara. K alau maksud mereka itu ialah untuk melepaskan ikatan dengan negara asli, maka sekiranja sesuailah dengan maksud itu, apabila mereka dalam segala~-nja takluk kepada hukum perdata seluruhnja dari negara tempat pendiaman. Tetapi sudah amat sulitlah untuk menetapkan apa maksud itu betul2 ada. Sebab Iazim nja orang asing jang memin­ dahkan tempat pendiam annja kesatu negara, tidak sadar atas

suatu maksud melepaskan atau tidak ikatannja dengan negara asli. D a n apabila maksud itu memang dapat ditentukan, masih mendjadi pertanjaan, apa negara asli itu, mengingat kepentingan negara, memperbolehkan pelepasan ikatan dari warganegaranja itu. M aka disamping kepentingan perseorangan djuga ada ke­ pentingan negara jang menentukan hal ini. O le h karena ada dua

negara tersangkut paut dalam soal ini, maka akan selalu ada pertentangan antara kepentingan2 dua negara masing2 itu.

M isalnja sadja bagi Amerika Utara dan Amerika Selatan jang penduduknja sebagian besar terdiri dari golongan2 orang jang berasal dari amat banjak matjam negara, maka akan amat sukar untuk menentukan hukum perdata jang in c o n c r e t o ber­ laku, apabila masing2 golongan orang itu tetap takluk kepada hukum perdata dari negara asli masing2. Kepastian hukum, jang dalam setiap negara didjundjung tinggi, akan amat ter­ ganggu. M aka dari itu sudah sepatutnja, apabila di Amerika dianut prinsip-domisili.

Sebaliknja, dalam suatu negara jang diantara penduduk hanja sedikit adanja orang asing, sekiranja dari sudut ini tiada kebe­ ratan untuk menganut prinsip-kewarganegaraan. A k a n tetapi bagaimanakah halnja dengan Inggeris ? D i Inggeris, lain dari­

(30)

pada di Amerika, penduduknja liampir semua terdiri dari bangsa Inggeris asli. ¡Meskipun demikian, Inggeris tetap meng­ anut prinsip-domisili djuga. Sekiranja ini berhubungan dengan pengertian istimewa dari „domisili” di-Inggeris (djuga di-Ame- rika), jang mengenal pengertian „domicilie of origin” (— tempat pendiaman asli).

„Domicilie of origin” ini menurut hukum Inggeris dimiliki oleh seorang pada waktu lahirnja. D an domisili ini bukanlah tempat dimana orang lahir, melainkan ditempat domisili dari ajahnja. O rang dewasa dapat mengubah domisilinja („domicilie of choice’ = ,,tempat tinggal pilihan ). U ntuk ini ada sjarat-, diantaranjn ialah maksud untuk ietcip tinggal ditempat itu sampai malinja. K alau sjarat2 ini tidak dipenuhi, maka tetaplah „domi­ cilie of origin” berlaku. M aka sebetulnja domisili sematjam ini mendekati soal tempat negara asli, djadi djuga mendekati soal kewarganegaraan dari negara asli itu.

D apat dikatakan djuga, bahwa ukuran kewarganegaraan adalah lebih tetap, lebih stabil daripada ukuran domisili, jang pada hakekatnja lebih mudah dapat diganti atas kemauan orang jang berkepentingan. D a n djuga lebih mungkin adanja orang pura- mengubah domisili daripada kewarganegaraan, misalnja melulu supaja dapat kawin.

Sebagai keberatan dari prinsip kewarganegaraan sering diadjukan, bahwa kesulitan akan muntjul, apabila seorang mempunjai clua matjam kewarganegaraan („bipatriden ) atau sama sekali tidak mempunjai kewarganegaraan (,,apatriden ). D alam hal ini terpaksalah diambil lain ukuran dan ukuran lain itu jang lepat ialah ukuran domisili.

M enurut hemat saja, soal jang seharusnja diperhatikan penuh ialah bukan mana jang lebih baik dari dua prinsip tersebut, melainkan soal perlu sekali adanja satu prinsip jang dianut oleh seluruh dunia. Kesulitan2 jang sekarang didjumpai adalah akibat dari adanja bersampingan berlaku dua matjam prinsip

(31)

tadi. K alau kepentingan ini dapat diinsjafi benar2 oleh peme­ rintah2 disemua negara, maka sekiranja dapat dikelemukan suatu modus, suatu djalan jang berada di-lengah2 antara dua prinsip tadi. Selama keinsjafan ini belum ada, maka perbedaan prinsip dan kesulitan sebagai akibat dari itu akan tetap ada.

Suatu tjontoh dari kesulitan ini. Seorang warganegara Inggeris jang berumur 20 tabun, berdiam dinegeri Swis. melakukan suatu perbuatan hukum. M enurut hukum perdata internasional Swis, jang menganut prinsip kewarganegaraan dan menundjuk kepada kukum Inggeris, orang itu belum tjukup umur, oleh karena hukum Inggeris mengenal perbatasan 21 tahun untuk mendjadi orang dewasa, maka perbuatan hukum jang bersang­ kutan adalah batal. A kan tetapi hukum perdata internasional Inggeris menganut prinsip domisili dan menundjuk kepada hukum Swis dan menurut hukum Swis batas umur itu adalah 20, maka orang itu sudah dewasa dan dapat melakukan per­ buatan hukum dengari sah.

D alam undang-undang seragam tentang hukum perdata in­ ternasional, jang akan diadakan di-negara2 Benelux (Belgi, Ne-

derland dan Luxemburg) akan diperlakukan prinsip kewargane­ garaan („nationaliteitsbeginsel”) dengan beberapa keketjualian. Lazim dikatakan, bahw a pasal 16 A . B. ini mengenai ,,per- soneel statuut” („Statut perseorangan”), oleh karena berhubung­ an dengan kedudukan dan kekuasaan hukum dari orang perseo­ rangan. Disam ping ini ada „reeel statuut” atau „zakelijk statuut”

( = ,,Statut kenjataan” atau „perbendaan”), jaitu jang termuat dalam pasal 17 A . B. jang menentukan, bahwa tentang barang2 tak bergerak berlakulah hukum dari tempat Ietaknja barang itu. A d a lagi pasal 18 A . B. jang menentukan, bahwa tjara mela­ kukan suatu tindakan hukum jang sesuai dengan hukum jang

berlaku ditempat, mana tindakan itu dilakukan adalah sah. Pasal ini, oleh karena tidak se-mata~ mengenai orang perseorang­

(32)

an clan suatu bencla, dinamakan „gemengd statuut” ( = „statut

tjf'.m p u ra n ” ).

Perka tnan ,,statuut” ini tidak mempunjai arti jang njata- Sc-olali- tiga pasal dari A . B. ini meliputi seluruh hukum per­ data internasional, jaitu pasal 16 A . B. („personeel statuut” ) mengatur hal kedudukan hukum orang2, pasal 17 A . B. („reeel statuut”) mengatur hal perbendaan seluruhnja dan pasal 18 A.B. („gemengd statuut") mengatur hal2 jang mengenai dua2-nja itu. Sebetulnja tiga pasal ini hanja sedikit sekali memberi djawaban alas seribu satu pertanjaan tentang hukum perdata internasional-Pemakaian perkataan „statuut” adalah sisa dari suatu teori jang dulu pernah dianut dibenua Eropah pada abad ke-14 dalam usaha mentjari djalan untuk menghindarkan kesulitan, apabila hukum perdata dari suatu tempat tidak dapat begitu sadja dilakukan, oleh karena dalam suatu perhubungan hukum tersangkut djuga orang2 asing. Untuk memetjahkan soal ini, semua peraturan hukum („statuut”) dibagi mendjadi tiga bagian, jaitu peraturan mengenai orang perseorangan („persoonlijk” ) ,. peraturan mengenai perbendaan („zakelijk ”) dan peraturan mengenai tjampuran dari dua anasir tersebut („gemengd”)- Orang pada waktu itu berpendapat, bahwa tjukuplah ditentu­ kan, suatu perhubungan hukum tertentu masuk golongan mana dari tiga golongan peraturan hukum itu. Kemudian dianggap, bahwa dengan sendirinja orang dapat mengetahui, apakah da­ lam perhubungan hukum itu harus diturut hukum asing atau hukum awak. Teori ini ternjata tidak berdjalan. oleh karena orang2 sangat berlainan pendapat tentang apa jang dimaksud­ kan dengan tiga matjam peraturan itu dan apa jang harus di­ maksudkan dalam salah suatu peraturan itu. D an ternjata djuga, bahwa kalau sudah ditentukan satu sama lain, toh penjelesaian soal masih belum memuaskan, oleh karena orang kurang mem­

(33)

perhatikan sifat masing2 perhubungan hukum jang sebenarnja <Jan banja mengumpulkan hal sesuatu clalam salah salu golong­

an peraturan hukum jang dianggap sudah memberi penjelesaian akan tetapi sebetulnja tidak. M aka dari itu boleh dibilang ,.sla- tuten-theorie” itu sekarang tidak beri aku lagi.

A kan tetapi, djustru oleh karena hal hukum perdata inter­ nasional belum rapi teraturnja dan dalam banjak bagian masih bersifat agak kabur, maka toh ada gunanja, bahwa masih ter­ dengar dan terpakai perkataan2 jang mengenai tiga matjam „statuut” ini. Sebab pemakaian perkataan2 ini memperingatkan orang2 jang mempunjai minat untuk mempeladjari hal hukum perdata internasional, bahwa ada tiga pasal dari undang-undang jang setjara terang memuat peraturan dari hukum perdata inter­

nasional jang mengandung penundjukan („verwijzingsregel”)

kepada suatu hukum jang tertentu dipakai. Asal sadja selalu di-ingat2 djuga, bahwa penundjukan ini sangat kurang daripada sempurna. Statut perseorangan dari pasal

16

A . B. tidak meliputi ■seluruh hukum perdata jang mengenai perseorangan, melainkdn hanja sebagian sadja, jaitu hal kedudukan dan kekuasaan hu­ kum dari jang berkepentingan. Statut „perbendaan” dari pasal

A . B. tidak meliputi semua hukum perdata mengenai hak2

atas benda, melainkan hanja sebagian sadja, jaitu hal2 jang berhubungan dengan barang tak bergerak. Statut ..tjampuran dari pasal 18 A . B. tidak meliputi semua soal jang mengandung sifat tjampuran dari hal perseorangan dan perbendaan, melain­ kan hanja mengenai tjara melakukan sualu perbuatan hukum sebagai sjarat untuk sahnja perbuatan hukum itu, hal mana tidak hanja mengenai sebagian sadja dari soal2 tjampuran tadi, tetapi djuga tidak selalu mengenai sifat tjampuran dari hal per­ seorangan dan perbendaan, jaitu mungkin hanja bersifat perse­ orangan sadja, seperti tjara melakukan pengakuan seorang anak jang dilahirkan diluar perkawinan jang menurut pasal 281 Bur- gelijk YVetboek harus dengan akta „authentiek” .

(34)

B A G IA N III Kelertiban umum

D alam pelaksanaan hukum perdata internasional oleh para hakim atau oleh pemerintah dan dalam buku- ilmu pengetahuan hukum jang meneropong pelaksanaan itu, seringkali terdengar daniatau terpakai perkataan „ketertiban umum ( = „openbare orde ”, „ordre public ”).

Pcnjebutan ,,ketertiban umum dalam hal hukum perdata

internasional hampy^selalu dilakukan untuk memberi alasan, bahwa pada halvjang pada umumnja hukum asing harus diturut dalam suatu peristiwa jang tertentu sebagai keketjualian toh hukum perdata dari negara awak harus diturut.

Tjontoh ke-1 : dinegeri Belanda dalam hukum perdata dianut prinsip perkawinan monogami, jailu bahwa tidak diperbolehkan seorang laki-laki mempunjai isteri dua atau lebih dalam perka­ winan. Menurut pasal 6 berhubung dengan pasal 9 A . B. dari negeri Belanda (jang sama bunjinja dengan pasal 16 dan pasal 3 A . B. dari Indonesia) kedudukan hukum seorang Arab jang berada dinegeri Belanda, tetap diatur oleh hukum perdata dari negaranja jang memperbolehkan seorang laki-laki beristeri sam­ pai empat. Orang Arab itu, jang sudah mempunjai isteri, di­ negeri Belanda ingin kawin lagi. Perkawinan jang ke-2 ini oleh penguasa Belanda, jaitu Pegawai Pentjatatan D jiw a („Ambte- naar Burgelijke Stand ”) tidak akan dilaksanakan atau apabila perkawinan jang kedua kali itu toh dilaksanakan, perkawinan itu dianggap lidak sah oleh para hakim dinegeri Belanda. Tin­ dakan menolak dari penguasa Belanda dalam praktek sudah pernah terdjadi dan oleh para penulis Belanda ahli hukum di­ benarkan sepenuhnja.

Alasan jang dipakai untuk menjimpang dari pasal 6 juncto pasal 9 A . B. itu ialah, bahwa ketertiban umum dinegeri Be­ landa menuntut penjimpangan itu. Didjelaskan lebih landjut, bahwa prinsip monogami adalah begitu meresap dalam djiwa

(35)

dan perasaan rakjat Belanda pada umumnja, sehingga Undakan beristeri dua atau lebih dinegeri Belanda dianggap tidak boleh dilakukan oleh siapapun djugci.

Tim bul pertanjaan : A pabila seorang Arab, pada waktu meng- indjak tanah Belanda, sudah beristeri dua, jaitu dua-nja per­ kawinan dilakukan dinegeri sendiri, dimana hukum perdata memperbolehkan beristeri dua itu dan kemudian dinegeri Belanda isteri jang nomer dua itu melahirkan anak, dicuiggap sah-kah anak itu ? Ini tergantung dari djawaban atas pertanjaan. apa perkawinan jang ke-2 itu dianggap sah atau tidak.

Saja tidak tahu, apa soal sematjam ini sudah pernah diadju- kan dimuka hakim Belanda, akan tetapi sekiranja hakim Belanda akan menganggap sah anak itu. Menurut hemat saja adalah keterlaluan, apabila perkawinan ke-2 jang dilakukan dinegeri asing Asli setjara sah menurut hukum perdata jang berlaku

disana untuk suami-isteri jang berkepentingan, dianggap

tidak sah. Bagaimanapun djuga meresapnja prinsip monogami dalam perasaan rakjat Belanda, harus dihormati dan dihargai semustinja, bahwa dilain negeri ada perasaan rakjat jang lain sifatnja.

Kalau seandainja hakim Belanda tidak mengakui sah per- awinan ke-2 jang termasuk diatas, maka sebagai pertimbal- alikan harus diperbolehkan, apabila dianlara orancj2 Belanda jnng herndn dinegeri A rab dilakukan poligami. Sekiranja konsekwensi ini tidak dipertanggung djawabkan oleh rakjat Belanda.

Tjontoh ke-2 : Seandainja masih ada suatu negara, dimana seorang boleh diperbudak, sedang negara Indonesia misalnja dalam pasal 10 Undang-undang Dasar Sementara melarang hal itu, dan seorang dari negara asing itu datang di Indonesia dan memperbudak seorang lain dari bangsanja sendiri, maka m udah apat dimengerti, bahwa pemerintah Indonesia tidak akan

(36)

mengakui perbudakan itu, oleh karena larangan perbudakan boleh dibilang sangat meresap dalam perasaan rakjat Indonesia. D alam hal inipun alasannja dapat dimasukkan dalam golongan ketertiban umum.

Akan tetapi apabila seorang dari negara tersebut dinega- ranja sendiri sudah kedjadian diperbudak, kemudian ia datang di Indonesia dan disini ia lantas menuntut hal- dari bekas madjikannja jang dinegerinja sendiri tentu tidak akan dapat dikabulkan, oleh karena ia adalah seorang budak, maka dapat­ lah d f ragu 2kan. apakah tuntutannja di Indonesia ada ke mungkinan akan dikabulkan.

Tjontoh ke-5 : D i Djerman dibawah penguasaan Pemerintah Hitler ada peraturan hukum jang menentukan, bahwa perwira- Djerman dari tentara Djerman hanja boleh kawin dengan izin pembesamja dalam ketenteraan. Hukum perdata internasional di Perantjis dan Belgi menentukan, bahwa dalam soal perizinan untuk kawin, orang asing tunduk kepada hukum perdata dari negara asli, djadi in casu dari negara Djerman. A da kedja­ dian beberapa perwira Djerman jang melarikan diri kedaerah negeri Perantjis atau Belgi. Disana mereka ingin berkawin, akan tetapi tidak mempunjai izin dari pembesamja dalam ketenteraan di Djerman. Penguasa di Perantjis dan di Belgi menganggap, bahwa perizinan itu tidak perlu dengan alasan berdasar atas ..ketertiban um um ”. Ini mungkin sekali, akan tetapi sangat mung­ kin djuga, bahwa kalau kemudian orang jang berkawin tidak de­ ngan izin itu kembali ke Djerman, perkawinannja oleh para

penguasa

di Djerman tidak dianggap sah, dengan akibat, bahwa anak2-nja jang lahir dari perkawinan itu, djuga tidak dianggap sah.

Tjontoh ke-4 : D i negeri Belanda pasal 115 Kitab Hukum Perdata (sama dengan pasal 58 Kitab Hukum Perdata di Indo­ nesia) menentukan, bahwa orang2 jang bertunangan, tidak dapat dipaksa oleh hakim untuk kawin atau untuk memberi ganti

(37)

kerugian. D i Djerm an ada peraturan hukum lain jang mem­ perbolehkan paksaan itu. D alam hal inipun, jaitu apabila ada dua orang Djerman laki -perempuan berada di negeri Belanda dan bertunangan satu sama lain, para hakim dinegeri Belanda menganggap pasal 115 B .W . adalah masuk golongan ketertiban umum, maka dari itu mereka menjimpang dari ketentuan hukum perdata internasional dinegeri Belanda (pasal 6 jo pasal 0 A . B. Belanda), jang pada um um nja mengakibatkan berlakunja hukum perdata Djerman perihal kekuasaan hukum bagi orang2 Djerman jang berada dinegeri Belanda, Pendirian para hakim Belanda ini, tentunja tidak diakui kebenarannja oleh hakim Djerman.

Tjonloh ke-5 : U ntuk memetjahkan suatu perkawinan, harus ada sjarat2. Peraturan tentang sjarat2 ini adalah berlainan di pelbagai negara. Biasanja hal inipun oleh para hakim dinegeri Belanda dianggap sebagai mengenai ketertiban umum, sehing­ ga dinegeri Belanda, misalnja suatu perkawinan antara orang2 Arab jang berdiam dinegeri Belanda hanja dapat dipeljahkan oleh hakim Belanda, apabila dipenuhi salah suatu dari empat sjarat, termuat dalam pasal '264 K.itat> Vlukum Perdana clati negeri Belanda (sama dengan pasal 209 B. W . Indonesia), jaitu ke-1, berzina dengan lain orang, ke-2, apabila satu pihak mening­

galkan pihak lain dengan sengadja, ke-5, apabila satu pihak selama perkawinan mendapat hukum an pendjara selama 4 tahun atau lebih, ke-4, apabila satu pihak melukai atau menganiaja berat pihak lain, sehingga membahajakan djiw anja.

A d a kalanja suatu hukum perdata asing tidak mengenal sa­ lah suatu dari empat sjarat ini, misalnja jang mengenai huku­ man pendjara selama 4 tahun atau lebih. R u p a 2-nja dinegeri Belanda orang berpendapat, bahwa, meskipun demikian, pe­ m enuhan sjarat ini sudah tjukup bagi hakim negeri Belanda untuk memetjahkan suatu perkawinan antara dua orang asing jang dalam negeri aslinja tunduk pada hukum perdata asing

(38)

sematjam tersebut cliatas. Pendirian hakim Belanda ini tidak diperbolehkan oleh pasal 2 traktat multilateral jang dibentuk pada tabun 1902 di Den Haag perihal pertjeraian perkawinan. Pasal ini menentukan, bahwa pertjeraian perkawinan hanja boleh dilakukan, apabila diperbolehkan, baik oleh hukum per­ data nasional dari suami-isteri, maupun oleh hukum perdata dari tempat hakim jang akan memutuskan perkaranja. Tetapi traklat ini hanja berlaku bagi negara2 jang turut menanda- tanganinja atau jang diperbolehkan kemudian turut serta dan jang turut serta djuga. Oleh karena negeri- Arab tidak turut serta pada traklat tersebut, maka dalam tjontoh jang dikemuka- kan dialas, hakim negeri Belanda leluasa untuk melakukan penuh hukum perdata dari negeri Belanda.

Sebaliknja, kalau pendirian para hakim negeri Belanda ini djuga dianut oleh negeri Ilali, jang hukum perdatanja sama sekali tidak mengizinkan suatu pertjeraian perkawinan, maka dua orang suami-isteri berbangsa Belanda jang berdiam dine- geri 1 tali, sama sekali tidak akan mungkin mendapat pertjeraian dari hakim Itali. Maka mengingat prinsip timbal-balik, masih dapat dipersoalkan, apakah pendirian hakim Belanda dapat di­ pertanggung djawabkan.

D ari tjontoh2 tersebut diatas ternjata, bahwa sukar sekah untuk mengadakan ukuran bagi pengertian ketertiban umum jang dipakai dalam pelaksanaan hukum perdata internasional. Penentuan suatu ukuran tertentu ini djuga amat dipersukar oleh kenjataan, bahwa pengertian ketertiban umum kini mengandung anasir2 mengenai perasaan, sedang penentuan ukuran adalah hasil pekerdjaan pikiran belaka.

D alam Kitab Hukum Perdata jang berlaku di Indonesia bagi orang2 Eropah, Tionghoa dan Arab („Burgerlijk Wet- boek”) ada terpakai perkataan ketertiban umum dalam pasal 1357 jang menentukan antara lain, bahwa dalam hal persetudjuan antara dua pihak tidak diperbolehkan suatu causa jang ber­ tentangan dengan ketertiban umum.

(39)

Causa dalam perhubungan hukum ialah hal jang menj ebab- kan adanja perhubungan hukum, jaitu rangkaian kepentingan2 jang harus didjaga dan diperhatikan setjara jang termaktub dalam isi perhubungan hukum itu.

K inipun adalah sukar untuk menetapkan, apa in concrelo ada terdjadi suatu pertentangan dengan ketertiban umum. Perlu dikemukakan, bahwa ketertiban umum, jang termaksud dalam pasal 1557 B. YV., mempunjai arti lain daripada ketertiban umum dalam hukum perdata internasional.

D alam hukum perdata internasional ketertiban umum

menundjukkan suatu sifat dari hukum perdata nasional, terma­ suk djuga undang-undang, jang mengakibatkan, bahwa per­ aturan nasional itu harus tetap dilaksanakan, m eskipun ada anasir asing tertjampur dalam perhubungan hukum jang ber­ sangkutan.

D alam pasal 1537 B. W . ketertiban umum disebut tlisamping undang-undang dan kesusilaan. Causa jang tidak diperbolehkan, ialah jang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka ketertiban um um disitu merupakan

suatu anasir jang berada diluar suatu undang-undnng.

Tetapi maknanja adalah sama, jaitu bahwa ke-dua2nja adalah terpakai dalam usaha untuk menjesuaikan hal sesuatu dengan apa jang di-tengah2 masjarakat dinegeri awak dirasakan sebagai hal jang tidak boleh diabaikan.

Jang lebih mendekati pengertian ketertiban um um dalam u um perdata internasional ialah ketertiban um um jang dise-ut dalam pasal 25 A . B . jang menentukan, bahw a orang dengan perbuatan atau perdjandjian tidak boleh menghilangkan keku­ atan dari peraturan2 hukum jang mengenai ketertiban um um atau kesusilaan.

D isitu ketertiban umum djuga menundjukkan suatu sifat

(40)

di Indonesia jang mengakibatkan, bainva peraturan itu tidak boleh disampingkan oleh orang2 perseorangan, meskipun ada persetudjuan antara orang2 jang berkepentingan. Oleh ilmu pengetahuan hukum peraturan hukum seperti ini dinamakan dalam bahasa Belanda „dwingend recht” ( = hukum jang ber­ sifat memaksa).

Sifat „tidak boleh disampingkan" dari sebagian hukum ini in concrelo djuga tidak selalu mudah dikenal, oleh karena sifat ini tidak selalu setjara terang dikatakan dalam isi peraturan, melainkan sering harus disimpulkan dari keadaan2 jang meliputi segala sesuatu jang berhubungan dengan peraturan itu.

Perbedaan jang praktis antara ketertiban umum dari pasal 25 A . B. dan ketertiban umum dalam hukum perdata inter­ nasional terletak pada djumlah peraturan hukum jang dapat disampingkan. Ketertiban umum dari pasal 25 A. B. meliputi lebih banjak peraturan hukum daripada ketertiban umum dalam hukum perdata internasional.. Sebabnja demikian.

Selelah untuk lingkungan daerah hukum dari negeri awak ditetapkan, bagian mana dari peraturan hukum jang tidak boleh disampingkan, oleh karena ketertiban umum, maka ada hukum perdata internasional jang dalam beberapa hal menundjuk kepada hukum, perdata asing untuk dilaksanakan dengan nienjimpang dari hukum perdata nasional, djadi mungkin sekali djuga dari bagian hukum perdata nasional jang termasuk hukum ..memaksa” jang tidak boleh disampingkan oleh kemauan orang perseorangan. Dari hal menjampingkan hukum perdata nasional ini diketjualikan sebagian lagi dari bagian hukum perdata na­ sional itu jang tidak boleh disampingkan, oleh karena ketertiban umum lagi, akan tetapi ketertiban umum jang mengingat kepen­ tingan masjarakat nasional ter'hadap kepentingan dunia inter­ nasional.

M enurut M artin VVolff dai am bukunja „Private International Law . halaman 176, para hakim di Inggeris agak ragu2 untuk

(41)

mempersoalkan, apakah sualu hukum asing ja atau tidak sesuai dengan asas2 keadilan jang dianut dinegeri Inggeris. R u p a 2-nja orang Inggeris sangat menghormati hukum negara asing jang menjimpang dari hukum negara Inggeris.

Barangkali ini akibat dari dianutnja prinsip-domisili oleh Inggeris dalam peraturan hukum perdata internasional mengenai penundjukan kepada hukum perdata asing.

Sekiranja ada lebih banjak kemungkinan seorang hakim dalam suatu negara akan menghadapi soal perhubungan hukum antara dua orang asing jang berdomisili dinegeri itu daripada menghadapi soal perhubungan hukum antara dua orang nasional jang berdomisili dinegara asing. D alam soal jang belakangan ini biasanja hakim dari negeri asing itulah jang menghadapi perne- tjahan. soal. D a n oleh karena prinsip-domisililah jang dianut oleh Inggeris, maka dalam kebanjakan perkara jang mengenai hukum perdata internasional orang2 adalah berdomisili dinegeri Inggeris dan dengan sendirinja hukum Inggeris-Iah jang dilak­ sanakan oleh hakim2 dinegeri Inggeris.

M artin W o lff menuturkan lagi dalam bukunja tersebut (ha­ lam an 177), bahwa hakim2 dinegeri Inggeris gemar menganggap

banjak peraturan hukum sebagai peraturan mengenai atjara

pemeriksaan perkara dimuka hakim. D a n Iazim nja dalam hu­ kum perdata internasional tentang atjara ini dianut peraturan2 jang berlaku bagi hakim jang akan memutuskan perkaranja.

O leh karena tiada patokan jang tertentu bagi suatu negara untuk dengan mempergunakan pengertian ketertiban um um menjampingkan hukum perdata asing dalam h a l2 jang menu­ rut hukum perdata internasional sebetulnja takluk pada hukum asing itu, maka tiap2 negara praktis leluasa penuh untuk mengadakan keketjualian itu. Ini tentunja, pada hakekatnja, bertentangan dengan maksud semula dalam mengadakan hukum perdata internasional, jaitu untuk seberapa boleh menghargai

Referensi

Dokumen terkait

Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan

Adapun Yang menjadi sumber hukum perdata yang berasal dari peraturan perundang-undangan terdapat dalam KUH Perdata. Sumber

Hukum Acara Perdata adalah Peraturan- peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan atau di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus

Hukum acara perdata menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, S.H. ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara

hubungan hukum antara orang atau badan hukum yang satu dengan yang lain dalam masyarakat dengan menitikberatkan pada kepentingan perseoranganc. • Sisi fungsi, hukum perdata

Makalah pengerjaan tugas Pengantar Hukum Indonesia dengan tema Hukum Internasional Publik dan Hukum Perdata Internasional, makalah ini adalah makalah

Perbedaan Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Perdata Internasional dikarenakan adanya perbedaan mendasar yang terletak pada subjek hukumya - Hukum Internasional yang menjadi

Reformasi hukum perdata di negara berkembang dipengaruhi oleh hukum perdata Barat, terutama Hukum Sipil dari Eropa dan Hukum Umum dari Inggris, yang telah membentuk arsitektur hukum di banyak negara