1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya, pendidikan adalah usaha untuk memberi tuntunan dan
bekal baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik kepada peserta
didik. Hal ini didasari dari kesadaran bahwa tiap anak memiliki potensi untuk
berkembang. Agar potensi-potensi ini dapat berkembang dengan optimal dan
terarah maka diperlukan tuntunan baik itu dari keluarga, masyarakat maupun
lembaga pendidikan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memegang peran
penting dalam upaya melaksanakan pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan bertanggung jawab terhadap perkembangan
potensi yang dimiliki oleh siswa, baik dari segi pengetahuan, keterampilan,
maupun sikap. Dalam pengembangan aspek afektif siswa, salah satu mata
pelajaran yang mendukung adalah Pendidikan Kewarganegaraan.
Wahidin (2010: 37), menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda
menjadi warga Negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu
pendidikan yang dialogial. Sementara itu, Winataputra (2012: 2),
mendefinisikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan yang
dibangun untuk membina dan mengembangkan warga Negara yang cerdas dan
baik dalam latar subsistem pendidikan formal, nonformal, dan informal, pada
dasarnya sudah menjadi bagian inhern dari idea, instrumentasi dan praksis
pendidikan nasional Indonesia.
Menurut Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
menitikberatkan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya menjadi warga Negara Indonesia
yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila
dan,UUD 1945. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa Pendidikan
agar menjadi warga Negara yang baik dan cerdas melalui pendidikan formal,
nonformal, dan informal.
Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma bahwa
PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Secara teoretik,
PKn dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling
berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan
moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Secara
programatik, PKn dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan
pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan
pengalaman belajar (learning experience) dalam bentuk berbagai perilaku yang
perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Budimansyah, 2006: 37).
Dari pendapat tersebut, dapat dimaknai bahwa salah satu ciri dan
pendekatan PKn adalah sebagai pendidikan nilai dan moral. Pendidikan nilai
adalah suatu proses penyelenggaraan pendidikan dimana penekanannya pada
aspek afektif, bukan lagi kognitif dan diwujudkan dalam bentuk perilaku
kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu. Oleh karena itu,
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar (SD) seharusnya
diarahkan untuk penanaman nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam diri siswa.
Sasaran pembelajaran lebih kepada aspek afektif, sehingga diharapkan siswa
tidak hanya sebatas memahami, tetapi juga dapat menerapkan nilai-nilai dan
norma ini dalam kehidupan sehari-hari.
Namun pada kenyataannya, pembelajaran PKn masih belum sesuai
dengan tujuan. PKn hanya sekedar pengetahuan tanpa ada pemahaman dan
pemaknaan terhadap nilai di dalamnya, apalagi sampai pada tahap penerapan
nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari siswa. Belum berhasilnya
pembelajaran PKn ini dapat dilihat dari banyaknya kegiatan-kegiatan anarkis
yang dilakukan oleh para pelajar, mulai dari kegiatan kerusuhan antar pelajar
santun dan saling menghormati yang terjadi di kalangan pelajar kita (N. L. P.
Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I Nyoman Murda, 2015: 3).
Hal ini, bahwa belum berhasilnya pembelajaran PKn salah satunya
dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Dalam
pembelajaran PKn, banyak guru yang masih menggunakan metode
konvensional yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Metode
konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran menggunakan metode
ceramah atau penjelasan yang kemudian disertai tugas dan latihan dan sumber
belajar berupa buku ajar cetak. Dalam pembelajaran konvensional ini, siswa
lebih pasif, karena hanya menerima penjelasan dari guru, sehingga dapat
dikatakan bahwa pembelajaran konvensional ini bersifat teacher centered.
Penelitian Ardhana seperti dikutip I Wayan Sukro (2009) menemukan
bahwa 80% guru menyatakan paling sering menggunakan metode ceramah
untuk pembelajaran. Sedangkan dari pandangan siswa, 90% menyampaikan
bahwa gurunya mengajar dengan cara menerangkan, 58,8% berpendapat
dengan cara memberikan PR, dan 43,6% menyampaikan dengan cara
meringkas, serta jarang sekali melakukan pengamatan di luar kelas. Temuan ini
dapat dimaknai bahwa pembelajaran masih bersifat teacher centered, sehingga
siswa cenderung pasif karena hanya menerima informasi dari guru. Hal ini akan
mengakibatkan pembelajaran yang tidak bermakna.
Praktik pembelajaran konvensional untuk pembelajaran PKn ini tentu
bertentangan dengan hakikat PKn itu sendiri. Bahwa inti dari pembelajaran PKn
adalah penanaman nilai-nilai dan moral dalam diri siswa. Pembelajaran PKn itu
sendiri lebih berorientasi pada aspek afektif siswa. Sehingga, apabila
pembelajaran dilakukan dengan metode konvensional, perkembangan siswa
hanya akan sampai pada aspek pengetahuan (kognitif) saja. Siswa akan kaya
akan pengetahuan tetapi sangat rendah dalam penghayatan nilai-nilai dari
sesuatu yang dipelajarinya. Kondisi seperti ini mengakibatkan peserta didik
tidak memiliki kompetensi untuk dapat melaksanakan suatu pilihan nilai
sebagai dasar untuk berperilaku. Oleh karena itu, diperlukan penerapan model
Salah satu model pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan
aspek afektif yaitu wahana penanaman nilai, moral dan norma-norma baku
seperti rasa sosial, nasionalisme, bahkan sistem keyakinan adalah model
pembelajaran Value Clarification Tachnique (VCT). Menurut Tukiran
Taniredja, Efi Miftah Faridli, Sri Harmianto (2011: 87), Pendidikan
Kewarganegaraan seharusnya mampu mengeksplorasi internal side dari
seseorang, dan salah satu hasil dari internal side ini adalah sikap. Sikap
merupakan posisi seseorang atau keputusan seseorang sebelum berbuat,
sehingga sikap merupakan ambang batas seseorang antara sebelum melakukan
suatu perbuatan atau perilaku tertentu dengan berbuat atau berperilaku tertentu.
Untuk mengembangkan sikap ini dapat menggunakan model pembelajaran
VCT.
Sanjaya (2006: 283) mengemukakan bahwa VCT akan membantu siswa
dalam mencari dan menentukan nilai yang dianggap baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa. Adisusilo (2012: 160) mengemukakan bahwa dalam
pelaksanaan Model VCT, dilakukan dengan menyajikan dilema, tugas mandiri,
membentuk diskusi kelompok kecil, diskusi kelas serta menutup diskusi kelas.
Berdasarkan pendapat tersebut, Model VCT dapat diartikan sebagai
teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu
nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses
menganalisis nilai yang sudah ada sebelumnya dan tertanam dalam diri siswa.
Salah satu karakter VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap
adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang
sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan
nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.
Menurut Taniredja (2012: 91) keunggulan dari model VCT yaitu mampu
mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan melalui pemahaman nilai
moral dalam kehidupan nyata. Sehingga kegiatan pembelajaran lebih mudah
dipahami karena menghubungkan antara konsep dan informasi baru dengan
sebelumnya. Hal ini tentu akan berdampak pada hasil belajar ranah afektif
Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih baik.
Keampuhan penggunaan model VCT ini telah dibuktikan oleh beberapa
peneliti yang mengungkapkan bahwa model pembelajaran VCT dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada ranah afektif. Diantaranya yaitu
penelitian yang dilakukan oleh N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I
Nyoman Murda (2015) dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran VCT
Terhadap Hasil Belajar Ranah Afektif Mata Pelajaran PKn”. Kd. Dewi
Anggarini, I Nym. Murda, I Wyn. Sudiana (2013) dengan judul penelitian
“Pengaruh Model Pembelajaran Value Clarification Technique Berbantuan
Media Gambar Terhadap Nilai Karakter Siswa Kelas V Sd Gugus VI Tajun”.
Si Ayu Sri Wahyuni, Ni Nyn. Ganing, I Md. Suara (2013) dengan judul
penelitian “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Klarifikasi Nilai
terhadap Hasil Belajar PKn Siswa Kelas IV SD Gugus 8 Kecamatan Mengawi,
Kabupaten Badung Tahun Ajaran 2012/2013”.
Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh N. L. P. Eka
Agustini, Ndara Tanggu Renda, I Nyoman Murda; Kd. Dewi Anggraini, dan Si
Ayu Sri Wahyuni yang telah membuktikan model pembelajaran VCT lebih
unggul, Farida Herna Astuti (2014) menemukan hasil yang berbeda.
Penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan skor rata-rata yang
signifikan setelah dilakukan pembelajaran dengan model VCT.
Mencermati hasil penelitian terdahulu tersebut, muncul keragu-raguan
penulis dalam memilih dan menerapkan model pembelajaran untuk ranah
afektif. Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa model VCT lebih
efektif mengembangkan sikap dibandingkan dengan model konvensional, akan
tetapi ada peneliti lain yang menemukan bahwa pembelajaran dengan model
VCT tidak lebih efektif dari pembelajaran konvensional.
Berpijak dari perbedaan hasil penelitian terdahulu yang telah diuraikan
di atas terhadap keampuhan penerapan model pembelajaran VCT pada mata
pelajaran PKn sehingga menimpulkan keragu-raguan bagi pengajar, peneliti
pembelajaran VCT lebih unggul dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional melalui kegiatan penelitian yang berjudul: Perbedaan Penerapan
Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) dengan
Pembelajaran Konvensional Ditinjau dari Hasil Belajar Ranah Afektif pada
Mata Pelajaran PKn Kelas Tinggi SDN Gendongan 01 Salatiga. Penelitian ini
akan membandingkan model pembelajaran VCT dan konvensional pada materi
Globalisasi ditinjau dari hasil belajar ranah afektif. Hasil penelitian ini nantinya
akan menjadi acuan bagi guru untuk memilih model yang relevan diterapkan
dalam pembelajaran, terutama pada pembelajaran PKn.
1.2 Batasan Istilah
Hasil belajar pada ranah afektif yang dimaksudkan dalam penelitian
eksperimen ini adalah ranah sikap.
1.3 Rumusan Masalah
Berpijak dari uraian latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan :
apakah hasil belajar berupa sikap terhadap Globalisasai pada pembelajaran PKn
menggunakan VCT lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil
pembelajaran menggunakan model pembelajaran konvensional?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui secara pasti hasil belajar berupa sikap terhadap
Globalisasai pada pembelajaran PKn menggunkan VCT lebih tinggi
secara signifikan dibandingkan dengan hasil pembelajaran
menggunakan model pembelajaran konvensional.
1.4.2 Manfaat Penelitian
1. Secara teoritik : Hasil penelitian ini dapat melegitimasi/mendukung
teori tentang model pembelajaran Value Clarification Tachnique
(VCT)
2. Secara praktis : Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam
memberikan panduan berupa data bagi guru untuk memilih model