I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penanganan pasca panen secara garis besar dapat meningkatkan daya
gunanya sehingga lebih bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Hal ini dapat
ditempuh dengan cara mempertahankan kesegaran atau mengawetkannya dalam
bentuk asli maupun olahan sehingga dapat tersedia sepanjang waktu sampai ke
tangan konsumen dalam kondisi yang dikehendaki konsumen.
Umumnya produk hasil pertanian bersifat bulky, segar dan mudah rusak.
Hasil pertanian setelah dipanen merupakan bahan biologis yang masih memiliki
kandungan air yang tinggi. Oleh sebab itu, bahan tersebut masih akan
melangsungkan proses kehidupan yang jika tidak dikendalikan akan dapat
menurunkan mutunya sendiri. Kerusakan hasil pertanian dapat disebabkan oleh
dua faktor yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Kerusakan
tersebut mengakibatkan penurunan mutu baik secara kuantitatif maupun kualitatif
yang berupa susut berat karena rusak, memar, cacat dan lain-lain. Kelemahan lain
yang juga mempengaruhi fluktuasi dan kontinuitasnya adalah hasil pertanian
biasanya musiman.
Teknologi pascapanen dapat mengamankan hasil panen dan mengolah hasil
menjadi komoditas bermutu, siap dikomsumsi, selain dapat pula meningkatkan
daya guna hasil maupun limbah hasil olahan. Petani melaksanakan proses
pengamanan produksi pada tahap paling rawan, yakni panen (pengumpulan,
perontokan, pembersihan, dan pengangkutan), pengeringan (penjemuran,
pembalikan dan pembersihan) dan pengolahan (penggilingan, pengemasan,
penyimpanan, pengangkutan). Upaya ini lebih banyak ditujukan untuk
menyelamatkan kehilangan hasil daripada mengurangi susut maupun
meningkatkan mutu karena terbatasnya kemampuan petani, baik dalam
penguasaan teknologi, penyediaan sarana, maupun permodalan.
Proses pascapanen merupakan rangkaian masalah yang luas dan kompleks,
yang tidak hanya ditentukan oleh masalah teknis tetapi juga melibatkan sosial dan
ekonomi. Teknologi pascapanen tepat guna mutlak diperlukan karena berkaitan
dengan jumlah dan mutu komoditas. Masalah pendayagunaan hasil dan limbah
hasil panen serta hasil olahan juga perlu mendapatkan perhatian untuk dapat
menunjang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
B. Tujuan
1. Mengetahui kadar air dan beberapa produk paca panen yang diperdagangkan
dalam kondisi kering
2. Membandingkan kadar air anatar produk segar dan produk kering dari spesies
tanaman yang sama
3. Membandingkan daya simpan antara produk kering dan segar dari spesies
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pascapanen atau lepas panen atau purna panen adalah bahan hasil pertanian
baik nabati maupun hewani yang merupakan hasil suatu pemetikan, penangkapan
atau bentuk pengambilan lainnya.Teknologi Pascapanen yang telah ada belum
dapat mengimbangi teknologi Pra-Panen, khususnya di tingkat Petani, sehingga
banyak terjadi susut maupun penurunan mutu yang tidak diinginkan. Pengalaman
masa lalu membuktikan bahwa banyak produksi pangan, seperti palawija dan
hortikultura, hasil ternak dan komoditi perikanan, yang hilang muspra (sia-sia)
sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap proses pasca panen. Perlu diketahui
bahwa kehilangan produksi setelah panen adalah sebagai berikut :
1. Untuk beras, mencapai : 11% - 13%
2. Untuk buah-buahan dan sayuran : 20% - 40%
3. Untuk hasil-hasil peternakan : 15% - 20%
4. Untuk hasil perikanan lebih kurang : 20%
(Sulardjo, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penanganan pascapanen buahan dan
sayuran adalah sebagai berikut:
1. Musim saat panen (hujan atau kemarau)
2. Waktu panen (pagi atau siang)
3. Cara penumpukan
4. Cara dan kemasan dalam pengangkutan
5. Cara pembersihan
6. Cara trimming
7. Cara dan bahan pengemasan
8. Cara dan suhu penyimpanan
(Aqil, 2013).
Buah atau hasil tanaman lainnya yang melangsungkan pemasakan pada
lingkungan alami, dalam menghadapi fluktuasi (ketidaktetapan) temperatur
lingkungan yang bagaimanapum. Kemungkinan untuk menerima pengaruh atau
akibat ketidaktetapan tadi tidak boleh diabaikan, seperti pengaruh atau akibat yang
dapat menimbulkan perlambatan atau sebaliknya percepatan reaksi-reaksi unsur.
Dalam keadaan ini metabolisma akan berubah, namun demikian tekanan
fisiologinya tidak menunjukan kejadiaan yang jelas, sehingga buah atau hasil
tanaman tampaknya tetap melangsungkan pemasakan (juga senescence) secara
wajar (Kartasapoetra, 1989).
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan
pindah massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di
transfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan
air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium
sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida di mana cairan harus di
transfer melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi
udara pengeringan makin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Makin
tinggi suhu udara pengering, makin besar energi panas yang di bawa udara
sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang di uapkan dari permukaan
bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka
makin cepat massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer
(Halimatuddahliana, 2013).
Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Pada
kelembaban udara tinggi, perbedaan tekanan uap air didalam dan diluar bahan
kecil, sehingga pemindahan uap air dari dalam bahan keluar menjadi terhambat.
Pada pengeringan dengan menggunakan alat umumnya terdiri dari tenaga
penggerak dan kipas, unit pemanas (heater) serta alat-alat kontrol. Sebagai sumber
tenaga untuk mengalirkan udara dapat digunakan blower. Sumber energi yang
dapat digunakan pada unit pemanas adalah tungku, gas, minyak bumi, dan elemen
pemanas listrik (Halimatuddahliana, 2013).
Pressure Bomb menukur potensi air dalam xylem, atau potongan buah dan
sayuran. Potongan daun atau batang tanaman dimasukkan dalam ruang
pengukuran yang kedap udara. Sampel tersebut dibungkus penutup yang fleksibel,
dan bagian terpotong bebas kontak dengan udara disekitarnya. Air dalam jaringan
dipaksa keluar dengan tekanan yang diberikan dalam ruang pengukuran. Tekanan
untuk mengeluarkan air dari sampel tersebut biasanya berkisar 5-4 bar
(Widjarnako, 2012).
III.METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat pengukur kadar air (moisture tester),
kantong plastik, karet gelang dan kertas label. Bahan yang digunakan adalah biji
jagung kering, biji jagung segar, gabah kering, gabah segar, kacang tanah kering
dan kacang tanah segar.
B. Prosedur Kerja
Kegitan 1
1. Produk pasca panen segar dan kering disiapkan
2. Produk pasca panen tersebut diukur kadar airnya menggunkan moisture tester
3. Perbangingan kadar air dibuat dengan membuat grafik batang.
Kegiatan 2
1. Produk pasca panen kering dan segar disiapkan
2. Produk kering dan segar dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda
3. Produk tersebut disimpan dilaboratorium selama 5 hari
4. Dilakukan pengamatan selama 5 hari secara berturut-turut
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Tabel Kadar Air Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
No Jenis Produk Warna Kadar Air
1. Jagung Kering Orange 12,4 %
2. Jagung Basah Kuning 27,0 %
3. Kacang Tanah Basah Putih 28,5 %
4. Kacang Tanah Kering Putih Kecoklatan 15 %
5. Gabah Kering Kuning 15 %
6. Gabah Basah Kuning Kecoklatan 22,8 %
2. Grafik Kadar Air Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
Jagung Kacang Tanah Gabah
0 5 10 15 20 25 30
12.4
14.9 15
27 28.5
22.8
Kering Basah
3. Tabel Pengamatan Daya Simpan Produk Pasca Panen (Basah/Kering) No Tanggal Indika
tor
Hasil pengamatan
Gabah Jagung Kacang tanah Kering Basah Kering Basah Kering Basah
1. 5/5/2015 W K KH O K C P
Be T T T T T T
P S S S S S S
B TBk TBk TBk TBk TBk TBk
2. 6/5/2015 W K KH O K C P
Be T T T T T T
P S S S S S S
B TBk TBk TBk TBk TBk TBk
3. 7/5/2015 W K C O K PK C
Be T T T T T T
P S TS S S S S
B TBk TBk TBk TBk TBk TBk
4. 8/5/2015 W K CH O K PK C
Be T T T T T T
P S S S S S S
B TBk TBk TBk TBk TBk TBk
5. 9/5/2015 W K CH O K PK C
Be T T T T T T
P S S S S S S
B TBk TBk TBk TBk TBk TBk
Keterangan:
1. W (Warna) : K (Kuning), KH (Kuning Kehitaman), C (Coklat), CH (Coklat Kehitaman, O (Orange), P (Putih), PK (Putih Kehitaman)
2. B (Bentuk) : T (Tetap), K (Keriput)
3. P (Penampilan) : S (Segar), TS (Tidak Segar) 4. B (Bau) : B (Busuk), TBk (Tidak Busuk)
B. Pembahasan
pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu agar dapat disimpan lama. Pada
bawang merah pengeringan hanya dilakukan sampai kulit mengering. Tujuan
pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan
organisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat
atau bakteri terhenti sama sekali. Dengan demikian bahan yang dikeringkan
mempunyai waktu simpan lebih lama (Halimatuddahliana, 2013).
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami dan buatan. Pengeringan
alami dapat dilakuakan dengan cara menjemur produk pasca panen dibawah sinar
matahari. Efektifitas penjemuran sangat ditentukan oleh: 1) ketebalan lapisan
pengeringan, 2) suhu dan lama pengeringan, 3) bulk density serta 4) frekuensi
pembalikan yang dilakukan (Aqil, 2013). Menurut Marsaningtyas (2011), cara
pengeringan secara buatan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:
1. Pengeringan kontinyu/berkesinambungan (continuous drying), dimana
pemasukan dan pengeluaran bahan berjalan terus menerus.
2. Pengeringan tumpukan (batch drying), bahan masuk ke alat pengering sampai
pengeluaran hasil kering, kemudian baru dimasukkan bahan berikutnya.
Cara pengeringan secara umum ke dalam empat golongan menurut suhu
udara pengeringnya, yaitu :
1. Cara pengeringan dengan suhu sangat rendah (ultra low temperature drying
system)
2. Cara pengeringan dengan suhu rendah (low temperature drying system)
3. Cara pengeringan dengan suhu tinggi (high temperature drying system)
4. Cara pengeringan dengan suhu sangat tinggi (ultra high temperature drying
system).
Pengeringan secara mekanis adalah pengeringan dengan bantuan alat
pengering yang dioperasikan secara mekanis. Beberapa alat pengering mekanis
yang banyak dijumpai adalah: (a) alat pengering dengan sumber panas energi
bahan bakar minyak (solar, minyak tanah); (b) alat pengering dengan sumber
panas energi bahan bakar limbah pertanian; (c) alat pengering dengan sumber
panas energi sinar matahari (Firmansyah, et all. 2011).
Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa
pengering konvensional dibagi atas 8 bagian, yaitu : (Sitanggang, 2011)
1. Baki atau wadah
Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media pengering. Cara perpindahan panas yang umum digunakan adalah konveksi dan perpindahan panas secara konduksi juga dimungkinkan dengan memanaskan baki tersebut. 2. Rotary
dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium pengering dan proses pengeringan terjadi saat aliran medium pengering ikut membawa produk yang dikeringkan. Setelah proses pengeringan selesai, produk yang dikeringkan akan dipisahkan dengan menggunakan hydrocyclone.
4. Spray
Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan produk yang berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat. Contohnya, proses pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan pengeringan produk-produk farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk tetesan oleh atomizer dan dijatuhkan dari bagian atas. Medium pengering (umumnya udara panas) dialirkan dengan arah berlawanan atau searah dengan jatuhnya tetesan. Produk yang dikeringkan akan berbentuk padatan dan terbawa bersama medium pengering dan selanjutnya dipisahkan dengan hydrocyclone. 5. Fluidized bed
Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif tinggi menjamin medium yang dikeringkan terjangkau oleh udara. Jika dibandingkan dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang lebih besar.
6. Vacum
Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah. Dimana pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang terjadi adalah perpindahan massa pada suhu rendah.
7. Membekukan
Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya digunakan pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk farmasi dan zat-zat kimia lainnya.
8. Batch dryer
Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang sangat sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas kimia.
Metode penentuan kadar air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode
langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung menerapkan metode oven
dan metode destilasi. Pada metode oven, sampel bahan diletakkan ke dalam oven
hingga diperoleh berat konstan pada bahan. Penentuan kadar air pada metode
oven didasarkan pada banyaknya air yang hilang dari produk. Adapun pada
metode destilasi, kadar air dihilangkan dengan memanaskan biji ke dalam air dan
selanjutnya menentukan volume atau massa air yang hilang pada biji dalam uap
yang terkondensasi atau dengan pengurangan berat sampel. Pada prinsipnya
mekanisme penggunaan oven untuk pengukuran kadar air dapat diperoleh dengan
mengurangi bobot awal benih sebelum dioven terhadap bobot benih sesudah
dioven (Suma, 2009).
Moisture meter merupakan suatu instrumen atau peralatan yang dipakai
untuk mengukur jumlah kandungan air yang tedapat pada suatu zat. Alat tersebut
juga bisa digunakan untuk mengukur tingkat kelembaban suatu zat. Secara umum
penimbangan. Selisih berat sebelum pemanasan dan setelah pemanasan
merupakan nilai dari kandungan air yang ditentukan tersebut.
2. Konduktometri
Prinsip atau cara inilah yang dilakukan oleh alat moisture meter tersebut,
yakni salah satu teknik pengukuran kadar air dengan teknik elektrik, dimana
pengukura didasarkan pada konduktivitas atau hantaran listrik. Kadar air akan
berbanding linear terhadap kapasitas listrik yang diukur. Hantaran listrik
tersebut akan ditangkap oleh alat yang dinamakan detektor.
(Nuhasbi, 2008).
Menurut Utama dan Pratiwi (2009), biji dan bagian tanaman pascapanen
dapat pula bertahan akibat stress kelebihan air. Kadar air optimal untuk
penyimpanan adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang normal
mengalami perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan dan siklus
reproduksi. Dalam hal ini, kadar air rendah adalah diinginkan untuk menjaga
mutu dalam jangka panjang untuk kebanyakan biji. Pada kebanyakan biji,
peningkatan kadar air di atas optimum untuk penyimpanan berakibat pada
perubahan mutu yang tidak diinginkan, dimana dari pandangan pascapanen
mewakili stress, akibatnya akan mempengaruhi daya simpan produk pasca panen.
Stress kelebihan air juga umum terjadi untuk produk pascapanen bila air dibiarkan
tetap pada permukaan produk. Pada kondisi dimana bila suhu di bawah titik
embun dari uap air udara disekitar produk, maka akn terjadi kondensasi
dipermukaan produk dan akan merangsang invasi patogen.
Gamabar 1. Hubungan kadar air dengan pola respirasi yang mempengaruhi masa simpan produk pasca panen.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, praktikum dilakanakan
di lab Hortikultura Universitas Jenderal Soedirman. Pengamatan dilakukan selama
5 hari dan diamati warna dari tiap komoditas (jagung, kacang tanah dan gabah).
Dihari pertama dilakukan pengukuran kadar air dari setiap komoditas baik
komoditas yang segar maupun kering (jagung, gabah dan kacang tanah). Dari
hasil praktikum yang telah dilakukan di hari pertama didapatkan data mengenai
jenis produk jagung kering berwarna orange dengan kadar air 12,4%, jagung
basah berwarna kuning dengan kadar air 27,0%. Komoditas kacang tanah basah
berwarna putih dengan kadar air 28,5% dan kacang tanah kering berwarna putih
(kering dan basah). Dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna dari warna,
bentuk, penampilan dan bau. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan
didapatkan data dari tiap komoditas. Variabel yang diamati yaitu warna, bentuk,
penampilan dan bau yang mengalami perubahan yaitu warnanya saja, sedangkan
untuk vaiabel bentuk, penampilan dab bau tidak mengalami perubahan selama 5
hari penyimpanan.
Hal ini dibuktikan dengan pendapat Marsaningtyas (2011), bahwa Salah satu penanganan pasca panen kacang tanah yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan pengeringan dengan segera setelah panen. Dengan melakukan proses pengeringan, kadar air kacang tanah akan mengalami penurunan sampai batas aman tidak ditumbuhi mikroorganisme. Kadar air biji kacang tanah saat panen berkisar antara 35 – 50 %, dan pada kondisi tersebut jamur dari jenis Aspergillus akan tumbuh dan membentuk Aflatoksin. Kadar air yang aman untuk mencegah kontaminasi jamur pada kacang tanah adalah ≤ 10 %.
Dari literatur yang telah dilihat dapat disimpulkan untuk beberapa komoditas diperlukan penanganan pasca panen dengan cara pengaringan. Pengeringan mampu menurunkan kadar air pada produk pasca panen sehingga menghambat mikroorganime untuk tumbuh, dari hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukan hasil bahwa komoditas yang diuji (jagung, kacang tanah dan gabah) tidak mengalami pembusukan yang menunjukan bahwa komoditas itu tidak terserang dengan patogen pascapanen. Sehingga daya simpan dari komoditas pascapanen lebih lama umur simpannya.
Menurut Chailani (2010), Kandugan air sangat berpengaruh terhadap
perkembangan jasad renik. Sebagai contoh beras dan gabah dapat disimpan pada
waktu tertentu, tanpa atau sedikit menurunkan kualitas bila kandungan airnya
antara 13-14%, sedang di atas 13-14% akan mempercepat perkembangan jasad
renik terutama jamur. Penyimpanan beras dengan kandungan air lebih dari 14%
akan menyebabkan proses metabolisme jasad renik dan serangan hama bertambah
cepat. Batas kemunduran air yang baik untuk penyimpanan gabah dengan
mempertimbangkan serangan jasad renik dan hama diperkirakan sekitar 13,5%
dengan lengas nisbi udara sekitar 70-75%. Jadi jelas bahwa untuk penyimpanan
beras maupun gabah diperlukan kandungan air sekitar 14%, dengan lengas nisbi
udara 75% dan suhu 27˚-32˚%.
V. SIMPULAN DAN SARAN
2. Kadar air jagung kering 12,4 sedangkan kadar air jagung segar 27, kadar air
kacang tanah kering 14,9 sedangkan kadar air kacang tanah segar 28,5 dan
kadar air gabah kering 15 sedangkan kadar air gabah segar 22,8.
3. Daya simpan antara produk pascapanen gabah, jagung dan kacang tanah baik
dalam keadaan kering dan basah yang memiliki daya simpan yang lebih lama
yaitu prouk pascapnen dalam keadaan kering karena tiap variabel yang
diamati tidak ada yang berubah.
B. Saran
Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang dilakukan,
dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja yang telah
diakukan dari tiap acara.
DAFTAR PUSTAKA
Aqil, M. 2013. Pengelolaan Proses Pasca Panen Sorgum Untuk Pangan. Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Chailani, S.R. 2010. Penyakit-penyakit pasca panen tanaman pangan. UB press. Universitas Bawijaya, Malang. 152 hlm.
Firmansyah, et all. 2011. Penanganan Pasca Panen. Baalai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Halimatuddahliana. 2013. Jenis-jenis Alat Pengering. Departemen Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kartasapoetra, A.G. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Bina Aksara, Jakarta, 252 p.
Marsaningtyas, E. 2011. Penerapan DCS pada Rotary Dryer Untuk Pengeringan Kacang Tanah. Laporan Tugas Akhir. Universitas Diponegoro. Semarang.
Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
Nurhasbi, J. 2008. Pengembangan Standar Pengujian Kadar Air dan Perkecambahan Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Untuk Menunjang Program Penanaman Hutan Di Daerah Bogor. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor.
Sitanggang, H. 2011. Pengujian dan Simulasi Mesin Pengering Produk Pasca Panen.(Online)repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25988/3/Chapter %20II.pdf. Diakses 18 Mei 2015.
Sulardjo. 2014. Penanganan Pasca Panen Padi. Magistra. No. 88. Th. XXVI. ISSN 0215-9511. Hal: 44-58.
Suma, D. 2009. Teknologi Pasca Panen Untuk Peningkatan Mutu Jagung. Fakultas Teknik. UGM, Yogyakarta.
Utama, I.M.S dan Pratiwi, I.D.R. 2009. Stres Produk Pascapanen Hortikultura. Juruan Teknologi Pertanian. Universitas Udayana.
Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB Press. Universitas Brawijaya.
pada keadaan mentah maupun setelah mencapai kematangannya. Sebagian besar
buah yang dimakan adalah buah yang telah mencapai tingkat kematangannya.
Untuk meningkatkan hasil buah yang masak baik secara kualias maupun
kuantitasnya dapat diusahakan dengan substansi tertentu antara lain dengan zat
pengatur pertumbuan Ethylen. Dengan mengetahui peranan ethylene dalam
pematangan buah kita dapat menentukan penggunaannya dalam industri
pematangan buah atau bahkan mencegah produksi dan aktifitas ethylen dalam
usaha penyimpanan buah-buahan.
Proses pematangan buah didahului dengan klimakterik (pada buah
klimakterik). Klimakterik dapat didefinisikan sebagai suatu periode mendadak
yang unik bagi buah dimana selama proses terjadi serangkaian perubahan biologis
yang diawali dengan proses sintesis ethylene. Meningkatnya respirasi dipengaruhi
oleh jumlah ethylene yang dihasilkan, meningkatnya sintesis protein dan RNA.
Proses klimakterik pada Apel diperkirakan karena adanya perubahan
permeabilitas selnya yang menyebabkan enzym dan susbrat yang dalam keadaan
normal terpisah, akan bergabung dan bereaksi satu dengan lainnya.
Perubahan warna dapat terjadi baik oleh proses-proses perombakan
maupun proses sintetik, atau keduanya. Pada jeruk manis perubahan warna ni
disebabkan oleh karena perombakan khlorofil dan pembentukan zat warna
karotenoid. Sedangkan pada pisang warna kuning terjadi karena hilangnya
khlorofil tanpa adanya atau sedikit pembentukan zat karotenoid. Sisntesis likopen
dan perombakan khlorofil merupakan ciri perubahan warna pada buah tomat.
Menjadi lunaknya buah disebabkan oleh perombakan propektin yang tidak
larut menjadi pektin yang larut, atau hidrolisis zat pati (seperti buah waluh) atau
lemak (pada adpokat). Perubahan komponen-komponen buah ini diatur oleh
enzym-enzym antara lain enzym hidroltik, poligalakturokinase, metil asetate,
selullose.
Seiring dengan perubahan tingkat ketuaan dan kematangan, pada umumnya
buah-buahan mengalami serangkaian perubahan komposisi kimia maupun
fisiknya. Rangkaian perubahan tersebut mempunyai implikasi yang luas terhadap
metabolisme dalam jaringan tanaman tersebut. Diantaranya yaitu perubahan
kandungan asam-asam organik, gula dan karbohidrat lainnya. Perubahan tingakat
keasaman dalam jaringan juga akan mempengaruhi aktifitas beberapa enzim
diantaranya adalah enzim-enzim pektinase yang mampu mengkatalis degradasi
protopektin yang tidak larut menjadi substansi pectin yang larut. Perubahan
komposisi substansi pektin ini akan mempengaruhi kekerasan buah-buahan.
Peningkatkan hasil buah yang masak baik secara kualias maupun
kuantitasnya dapat diusahakan dengan substansi tertentu antara lain dengan zat
pengatur pertumbuan Ethylene. Dengan mengetahui peranan ethylene dalam
pematangan buah kta dapat menentukan penggunaannya dalam industri
pematangan buah atau bahkan mencegah produksi dan aktifitas ethyelen dalam
1. Mengetahui dapat tidaknya pematangan buah dipacu dengan gas pematangan
buah
2. Membandingkan kecepatan pematangan buah secara alami dengan secara
dipacu dengan gas pematangan buah
3. Membandingkan mutu dari buah yang dimatangkan secara alami dan secara
dipacu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dari segi penampilan termasuk didalamnya ukuran, bentuk, warna, dan ada
tidaknya kerusakan dan luka pada buah. Sedangkan yang dimaksud dengan flavor
adalah pengukuran tingkat kemanisan (sweetness), keasaman (acidity),
astringency, rasa pahit (bitterness), aroma, dan off-flavor. Kandungan nutrisi pada
buah dapat berupa vitamin A dan C, kandungan mineral, dietari fiber, karbohidrat,
protein, antioxidan phytochemical (carotenoid, flavonoid, dan senyawa fenol
lainnya). Faktor-faktor keamanan yang juga mempengaruhi kualitas buah segar
adalah residu dari pestisida, keberadaan logam berat, mikotoxin yang diproduksi
oleh berbagai spesies fungi dan kontaminasi dari mikroba (Winarno, 2004).
Pematangan merupakan perubahan yang terjadi pada tahap akhir
perkembangan buah atau merupakan tahap awal penuaan (senescence) pada buah.
Selama perkembangan buah terjadi berbagai perubahan biokimiawi dan fisiologi.
Pada umumnya buah yang masih muda berwarna hijau karena memiliki kloroplas
sehingga dapat mengadakan fotosintesis, tetapi sebagian besar kebutuhan
karbohidrat dan protein diperoleh dari bagian tubuh tumbuhan lainnya. Buah
muda yang sedang tumbuh mengadakan respirasi sangat cepat sehingga dihasilkan
banyak asam karboksilat dari daur Krebs, misalnya asam isositrat, asam fumarat,
asam malat. Kadar asam-asam ini berkurang sejalan dengan berkembangnya buah
karena asam-asam ini digunakan untuk mensintesis asam amino dan protein yang
terus berlangsung dalam buah sampai buah masak (Sinay, 2008).
Pengaruh penting etilen dalam meningkatkan deteriorasi komoditi yang
3. “Russet spoting” pada selada
4. Pembentukan rasa pahit pada wortel
5. Pertunasan kentang
6. Gugurnya daun (kol bunga, kubis, tanaman hias)
7. Pengerasan pada asparagus
8. Mempersingkat masa simpan dan mengurangi kualitas bunga
9. Gangguan fisiologis pada tanaman umbi lapis yang berbunga
10. Pengurangan masa simpan buah dan sayuran
(Mutiarawati, 2007).
Pemeraman merupakan tindakan menaikkan konsentrasi etilen di sekitar
jaringan buah untuk mempercepat pemasakan buah. Pematangan dengan
menggunakan karbit adalah tindakan pembentukan asetilen (etuna atau gas
karbid), yang di udara sebagian akan tereduksi oleh gas hidrogen menjadi etilen.
Kalsium karbida berupa batu berwarna abu-abu dimana bersama air atau ruang
lembab, batu karbit akan terurai menjadi gas asetilen (C2H2) dan air kapur yang
berwarna putih (Ca(OH)2 ), gas asetilen akan merangsang aktivitas sel buah
sehingga akan memacu kematangan buah (Sunarjono, 2002).
Terjadi perubahan fisioko-kimia dan organoleptik selama buah dan sayur
memasuki fase perkembangan dan kemasakan sel. Konsumen menginginkan suatu
kualitas tertentu untuk komoditas buah dan sayur. Sayur biasanya enak untuk
dimakan pada saat masih muda, misalnya: kacang panjang, rebung, kapri,
mentimun, sayuran berdaun (kangkung, sawi dll), nangka dan lain-lain. Sedang
buah enak untuk dimakan bila telah masak (mangga, durian dll) (Widjanarko,
2012).
Alat yang digunakan adalah ember plastik, kain, kertas koran, karet gelang
dan kertas label. Bahan yang digunakan adalah buah pisang mentah, buah pisang
matang dan kalsium karbida (CaC2).
B. Prosedur Kerja
1. Alat dan bahan yang akan diguunakan disiapkan
2. Dari ketiga ember pada tiap ember diberi keterangan dengan kertas label,
ember 1 diberi keterangan PA (Pematangan Alami), ember kedua PPM
(Pematangan dengan Pisang Matang), ember ketiga menggunakan PK
(Pematangan dengan Karbit)
3. Kertas koran dimasukkan kedalam ketiga ember
4. Karbt dibungkus dengan kain secukupnya dan diikiat dengan karet gelang
5. Karbit diletakkan pada kertas koran yang ada di ember berlabel PK
6. 2 buah pisang matang diletakkan pada kertas koran yang ada pada ember
berlabel PPM
7. Kemudian dimasukkan 3 buah pisang mentah pada setiap ember
8. Kertas koran diletakkan diatas pisang mentah
9. Ember ditutup dengan penutupnya dengan rapat
10. Kemudian diberi keterangan pada etiap ember dengan tanggal dan nama
kelompok
11. Selama 10 hari dilakukan pengamatan setiap hari terhadap perubahan warna
kulit pisang mentahnya
12. Setelah warna pisang kuning merata dan kekerasan buahnya cukup dilakukan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
V. Tabel Hasil Pengamatan pisang dengan PA, PPM dan PK. VI.
VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII.XIV. XV. XVI. XVII.XVIII.XIX. XXI.
XXII. XXIII. XXVI.XXVII. XXX. XXXI. XXXV.
XXXVI.XXXVII. XL. XLI. XLIV. XLV. XLIX.
L. LI. LIV. LV. LVII. LVIII. LIX. LXI. LXIII.
LXIV. LXV. LXVIII.LXIX. LXXI. LXXII.LXXIII. LXXV. LXXVII.
LXXVIII.LXXIX. LXXXII.LXXXIII.LXXXV.LXXXVI.LXXXVII.LXXXIX. XCI.
XCII. XCIII. XCVI.XCVII. XCIX. C. CI. CIII. CV.
CVI. CVII. CX. CXI. CXIII. CXIV. CXV. CXVII. CXIX.
CXX. CXXI. CXXIV.CXXV. CXXVII.CXXVIII.CXXIX. CXXXI. CXXXIII.
CXXXIV.CXXXV.CXXXVII.CXXXVIII.CXXXIX.CXLI. CXLII.CXLIII. CXLV. CXLVII.
VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.
XVI.
XVII. FOTO HARI PERTAMA
XIX.
XX. Pematangan Pisang Matang Pematangan Alami Pematangan Karbit
XXI.
XXII. FOTO HARI TERAKHIR
XXIII.
B. Pembahasan
XXV. Menurut Santoso (2013), kebanyakan masyarakat mengartikan
matang (mature) dan masak (ripe) dengan konsep yang sama pada komoditi
hortikultura, terlebih-lebih terhadap komoditi buah. Dalam fisiologi pasca panen,
matang dan masak adalah istilah yang berbeda untuk stadia yang berbeda pada
masing-masing tingkat perkembangan. Matang didefinisikan sebagai komoditi
yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lengkap. Khususnya pada
buah, oleh US Grade mendefinisikan matang sebagai suatu tahapan atau stadia
yang akan menjamin penyelesaian proses pemasakan. Kebanyakan ahli teknologi
paska panen mendefinisikan matang sebagai suatu stadia pada saat komoditi
mencapai stadia perkembangan cukup setelah panen dan pada saat penanganan
paska panen keadaan kualitasnya masih dapat diterima oleh konsumen.
XXVI. Menurut Winarno (2004), dapat diketahui bahwa ethylene
merangsang pemasakan klimakerik. Buah-buahan non klimakterik akan
mengalami klimakterik setelah ditambahkan ethylene dalam jumlah yang besar.
Sebagai contoh buah non klimakterik untuk percobaannya adalah jeruk. Di
samping itu pada buah-buahan non klimakterik apabila ditambahkan ethylene
beberapa kali akan terjadi klimakterik yang berulang-ulang.
XXVII. Menurut Utama (2001), Etilen dalam ruang penyimpanan dapat berasal dari produk atau sumber lainnya. Sering selama pemasaran, beberapa jenis komoditi disimpan bersama, dan pada kondisi ini etilen yang dilepaskan oleh satu komoditi dapat merusak komoditi lainnya. Gas hasil bakaran minyak kendaraan bermotor mengandung etilen dan kontaminasi terhadap produk yang disimpan dapat
menginisiasi pemasakan dalam buah dan memacu kemunduran pada produk non-klimakterik dan bunga-bungaan atau bahan tanaman hias. Kebanyakan bunga potong sensitive terhadap etilen.
XXVIII. Etilen adalah senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4) berupa gas berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami untuk penuaan dan pemasakan dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentarsi sangat rendah
XXIX. Menurut Winarno (2004) Karbit yang terkena uap air akan
menghasilkan gas asetilen yang memiliki struktur kimia mirip dengan etilen
alami, zat yang membuat proses pematangan di kulit buah. Proses fermentasi
berlangsung serentak sehingga terjadi pematangan merata. telah menunjukkan
bahwa C2H2 meningkatkan kegiatan enzym-enzym katalase, peroksidase, dan
amylase dalam irisanirisan mangga sebelum puncak kemasakannya. Serta selama
pemacuan juga diketemukan zat-zat serupa protein yang menghambat pemasakan,
dalam irisan-irisan itu dapat hilang dalam waktu 45 jam. Perlakuan dengan C2H2
mengakibatkan irisan-irisan menjadi lunak dan tejadi perubahan warna yang
menarik dari putih ke kuning, yang memberi petunjuk timbulnya gejala-gejala
kematangan yang khas.
XXX. Menurut Mutiarawati (2007), menentukan waktu panen atau
kematangan yang tepat juga tergantung dari komoditas dan tujuan/ jarak
dapat disimpan lama, kita harus mempertimbangkan jarak atau waktu tersebut
dengan proses kematangan yang terjadi dari tiap komoditas.
XXXI. Bila panen terlalu awal, kualitas hasil akan rendah, begitu juga bila
panen terlambat, komoditas tidak tahan lama disimpan. Selain menentukan
kematangan yang tepat, saat akan melakukan panen juga harus memperhatikan
kondisi lingkungan yang sesuai. Menentukan “kematangan” yang tepat dan saat
panen yang sesuai, dapat dilakukan berbagai cara, yaitu :
1. Cara visual / penampakan : misal dengan melihat warna kulit, bentuk buah,
ukuran, perubahan bagian tanaman seperti daun mengering dan lain-lain
2. Cara fisik : misal dengan perabaan, buah lunak, umbi keras, buah mudah
dipetik dan lain-lain
3. Cara komputasi, yaitu menghitung umur tanaman sejak tanam atau umur buah
dari mulai bunga mekar
4. Cara kimia, yaitu dengan melakukan pengukuran/analisis kandungan zat atau
senyawa yang ada dalam komoditas, seperti: kadar gula, kadar tepung, kadar
asam, aroma dan lain-lain.
XXXII. Menurut Setyabudi (2013), Buah-buahan secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam buah-buahan klimaterik dan non-klimaterik.
Karakteristik buah-buahan klimaterik berbeda dengan non-klimaterik, sehingga
penanganan yang diterapkan juga berbeda. Identifikasi buah-buahan klimaterik
dan non-klimaterik dapat dilakukan melalui pola-pola respirasi terhadap produksi
karbon dioksida (Co2) dan etilen (C2H4). Buah-buahan klimaterik menunjukan
peningkatan produksi karbon dioksida dan etilen selama pematangan. Disamping
terjadi fase pelunakan, fase peningkatan kemanisan dan fase berkurangnya rasa
asam. Sementara buah non-klimaterik fase-fase seperti pelunakan, peningkatan
produksi karbon dioksida dan fase kemanis-keasaman tidak terjadi, tetapi tetap
landai selama pematangan dan tidak terjadi fase pelunakan.
XXXIII.
XXXIV. Sumber: Utama, 2001. XXXV.
XXXVI. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, pada ember
yang berisi pematangan alami (mentah) pisang tersebut baru matang pada hari
ke-9 dengan tekstur keras dan rasa yang manis dan berwarna kuning. Dihari ke 1-7
pisang yang berada dalam ember pematangan alami warna masih hijau dan pada
hari ke 8 warna berubah menjadi hijau kekuningan, untuk tekstur pisang dengan
pematangan alami di hari ke 1-9 pisang masih bertekstur keras dan di hari ke 10
tekstur pisang dengan pematangan alami mulai terasa cukup lunak.
pisang matang tekstur berubah menjadi lunak dengan rasa sangat manis. Warna
pisang pada hari pertama berwarna hijau, di hari ke-3 warna berubah menjadi
warna hijau kekuningan dan di hari ke 4-6 warna pisang berubah menjadi warna
kuning sedangkan pada hari ke 7-10 warna pisang yang diperam menggunkan
pematangan pisang alami warna kulit pisang berubah menjadi kuning kehitaman.
XXXVIII. Ember yang berisi pematangan karbit, pisang tersebut
dihari ke-4 sudah matang. Tekstur pisang pada hari ke 1-2 tekstur pisang masih
keras dengan rasa netral. Pada hari ke 3-4 tekstur pisang cukup lunak dengan rasa
yang manis. Pada hari ke 5-10 tekstur pisang berubah menjadi lunak dengan rasa
sangat manis. Warna kulit pisang berwarna hijau pada hari ke 1-2. Pada hari ke
3-10 warna kulit pisang berubah menjadi hijau kekuningan. Berdasarkan hasil
pengamatan yang telah dilakukan warna pisang yang lebih cepat berubah
dibandingkan dengan pemtangan pisang oleh karbit.
XXXIX. Selanjutnya, buah pisang pada suhu 16-20˚C mengalami puncak
klimakterik pada 19 hari penyimpanan dan pada saat tersebut buah berwarna
kuning namun tekstur keras dan rasa manis asam sedikit sepat sedangkan buah
pada suhu 27˚C mencapai puncak klimakterik pada 12 hari simpan dengan warna
buah kuning, ujung hijau, tekstur lunak dan rasa manis. Buah yang berada pada
suhu 27˚C, cepat lunak dan buah mudah lepas dari sisirannya. Dengan demikian,
pematangan pada suhu sejuk menghasilkan buah dengan warna kuning, rasa
manis, namun tekstur belum lunak dan tidak mudah rontok.
XL. Cara pemeraman sederhana dilakukan dengan menempatkan buah
pisang di dalam tanah, selanjutnya dilakukan pengasapan dari bahan pertanian,
misalnya daun kelapa, sabut kelapa yang dikenal dengan cara pengomposan.
Disamping itu, yang juga banyak dilakukan pedagang pisang, yakni menggunakan
peti kayu yang dilapisi kertas semen, kemudian ditambahkan karbit, dan
selanjutnya ditutup menggunakan kertas bekas pembungkus semen (Prabawati, et
all, 2008).
XLI. Deskripsi kematangan buah pisang berdasarkan indeks warna kulit
XLII.
XLIII.
XLIV.
XLV.
XLVI.
XLVII. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Pematangan buah pisang dapat dilakukan dengan cara menggunakan pemacu
gas pematangan buah
2. Kecepatan buah pisang yang lebih cepat yaitu pematangan menggunakan
pematangan karbit
3. Mutu dari buah pisang yang lebih bermutu baik yaitu pematangan
menggunakan pematangan pisang matang.
XLVIII.
B. Saran
XLIX. Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang
dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja
yang telah diakukan dari tiap acara.
L.
LI.
LII.
LIII.
LIV.
LV.
LVI. DAFTAR PUSTTAKA
LVII.
LVIII. Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
LIX.
LX. Prabawati, Suyanti dan Setyabudi. 2008. Teknologi Pescapanen dan Teknik Pengolahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
LXI.
LXII.Santoso, B. 2013. Kematangan Produk dan Indeks Panen. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara, Sumatera.
LXIII.
LXIV. Setyabudi, D.A. 2013. Memperpanjang Daya Simpan Segar Buah-buahn dengan Edible Coating. Buletin Teknologi Pasca Panen. 9(1): 10-19.
LXV.
LXVI. Sinay, H. 2008. Kontrol Pemasakan Buah Tomat Menggunakan Rna Antisesne. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
LXVII.
LXVIII. Suhaidi, I. 2003. Pengaruh Pencelupan Banlate Dan Pelapisan Lilin Terhadap Mutu Buah Pisang Barangan Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
LXIX.
LXX. Sunarjono, dkk. 2002. Penanganan Pasca Panen. Pustaka Jaya. Yogyakarta.
LXXI.
LXXVI. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia. Jakarta.
LXXVII. LXXVIII. LXXIX. LXXX. LXXXI. LXXXII. LXXXIII. LXXXIV. LXXXV. LXXXVI.
LXXXVII.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
LXXXVIII. Buah-buahan dan sayur-sayuran setelah dipanen masih
melangsungkan proses fisiologi, antara lain ditandai dengan proses respirasi dan
transpirasi. Penanganan pasca panen buah-buahan dan sayur-sayuran untuk
kesegaran atau memperpanjang daya simpan diawali penekanan atau melalui
pendekatan proses penghambatan respirasi dan transpirasi. Cara mempertahankan
komoditas hasil hingga kepada konsumen tetap bermutu prima memerlukan dasar
keilman yakni teknologi penanganan pasca panen.
LXXXIX. Faktor penyebab tingginya tingkat kehilangan atau
keruakan pasca panen adalah kurangnya memahami perubahan karakteristik, daya
beli konsumen yang berhubungan dengan standar mutu, dan penerapan
penanganan pasca panen yang baik dan benar, disamping kebijakan dan
implementasi peraturan yang ada. Oleh karena itu, penanganan pasca panen
seharusnya ditujukan untuk mengurangi susut bobot, mempertahankan mutu dan
memperpanjang daya simpan segarnya. Hal ini dapat ditempuh melalui
pemahaman karakteristiknya, interaksi terhadap lingkungan dan penanganan
pasca panen yang layak secara teknis maupun ekonomis dan mudah diterapkan.
XC. Aktivitas metabolisme pada buah dan sayuran segar dicirikan
dengan adanya proses respirasi. Respirasi menghasilkan panas yang menyebabkan
terjadinya peningkatan panas. Sehingga proses kemunduran seperti kehilangan air,
pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme akan semakin meningkat.
Mikroorganisme pembusuk akan mendapatkan kondisi pertumbuhannya yang
ideal dengan adanya peningkatan suhu, kelembaban dan siap menginfeksi sayuran
melalui pelukaan-pelukaan yang sudah ada. Selama transportasi ke konsumen,
produk sayuran pascapanen mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan pada
kondisi dimana suhu dan kelembaban memacu proses pelayuan. Oleh karena itu
diperlukan pengemasan yang baik pada produk buah maupun sayuran.
XCI.
B. Tujuan
1. Dapat menbedakan komoditas yang dikemas maupun yang tidak dikemas dari
segi masa kesegaran, estetik dan ekonomis
2. Dapat mendemostrasikan proses pengemasan suatu komoditas.
XCII.
XCVII.
XCVIII.
XCIX.
C.
CI.
CII.
CIII.
II. TINJAUAN PUSTAKA
CIV. Besarnya tingkat kerusakan komoditas akan membuat harga
komoditas menjadi makin mahal setalah sampai di tingkat pedagang eceran.
Besarnya tingkat kebusukan pada setiap jalur perdagangan, baik di tingkat
pedagang, gudang transportasi dsb. Buah dan sayuran merupakan komoditas yang
mudah rusak, faktor-faktor ini yang menyebabkan harga jual beberapa komoditas
terutama jenis buah dan sayuran mudah rusak dan bernilai ekonomis (Widjarnako,
2012).
CV. Dalam keseluruhan sistem penanganan pascapanen, pengemasan
dapat sebagai baik alat bantu maupun sebagai penghambat untuk mencapai masa
simpan mutu yang maksimum. Pengemas membutuhkan ventilasi namun harus
cukup kuat untuk mencegah kerusakan karena beban. Jika produk dikemas untuk
memudahkan penanganan, karton berlapis lilin, krat kayu dan kemasan plastik
yang kaku adalah lebih baik dibandingkan kantongan atau keranjang terbuka,
karena kantongan dan keranjang tidak memberikan perlindungan terhadap produk
jika ditumpuk. Terkadang kemasan yang dibuat secara lokal dapat lebih kuat
untuk memberikan perlindungan tambahan terhadap produk (Utama. 2002).
CVI. Kemasan transportasi untuk komoditi hortikultura perlu
diperhatikan persyaratan-persyaratan berikut:
1. Ventilasi kemasan harus cukup, sehingga dapat mengeluarkan gas hasil
metabolisme produk dan menurunkan panas yang timbul. Selain itu, juga dapat
menahan laju transpirasi dan respirasi dari produk.
2. Bahan untuk kemasan harus cukup kering sehingga beratnya tetap (konstan),
dan tidak mengabsorpsi air dan perisa (flavour) produk.
3. Kemasan harus benar-benar berfungsi sebagai wadah yang dapat diisi produk
4. Kemasan harus bersih dan tidak memindahkan infeksi penyakit ke produk,
bahan kemasan juga harus tahan serangan jamur, gigitan serangga dan tikus.
5. Kemasan harus ekonomis dan bahan kemasan terdapat di sentra produksi.
6. Kemasan harus mudah diangkat dan dapat disusun pada bak-bak alat angkut
dengan sistem pallet (khusus untuk ekspor).
7. Permukaan bagian dalam kemasan harus halus sehingga produk tidak rusak
selama pengangkutan
8. Kemasan harus tahan dan tidak berubah bentuk selama pengangkutan.
(Mutiarawati, 2007).
sebagaimana layaknya tanaman hidup, karena produk tersebut terdiri ats sel-sel
yang masih hidup. Sebagi sel-sel hidup, maka respirasi masih tetap berjalan,
bahkan pada produk tertentu respirasi justru makin meningkat setelah dipanen.
Tingginya laju respirasi akan menyebabkan cepatnya degredasi mutu produk,
bahkan dapat terjadi pembusukan oleh bakteri dan cendawan (Zulkarnain, H.
2009).
CVIII.
CIX. Kebanyakan pascapanen produk hortikultura segar sangat ringkih
dan mengalami penurunan mutu sangat cepat. Berbeda dengan bagian tanaman
yang masih melekat pada tanaman induknya yang mendapat suplay air dan nutrisi
atau makanan secara berlanjut, bagian tanaman yang telah dipanen atau dilepas
dari tanaman induknya tidak lagi mendapatkan suplai air dan makanan. Untuk
aktifitas hidupnya setelah panen, produk segar tersebut melulu menggunakan
bahan yang ada pada dirinya sendiri untuk bertahan hidup pada kondisi
lingkungan yang sering diluar dari kondisi untuk dapat menjalankan fungsi
metabolisme optimalnya (Utama, 2004).
CX.
CXI.
CXII.
CXIII.
CXIV.
CXV.
CXVI.
III.METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
CXVII. Bahan yang digunakan pada praktikum acara tiga yaitu sayuran
dan buah-buahan (buncis, wortel, cabai, tomat, dan duku), bayclin, serta mama
lemon. Sedangkan alat yang digunakan yaitu ember/baskom, pisau, nampan,
sendok, saringan, cutting board, styrofoam, strech film plastik/plastik
pembungkus.
CXVIII.
B. Prosedur kerja
1. Sterilkan peralatan (pisau, sendok, dll) dan tangan dengan merendam dalam
larutan Bayclin 10 cc/liter dan mama lemon 1 cc/liter selama 5 menit.
2. Rendam sayuran dalam larutan bayclin 10 cc/liter dan mama lemon 1 cc/liter
6. Angkat dan atur sayuran di atas piring styrofoam dan tutup dengan plastik
pembungkus.
CXIX.
CXX.
CXXI.
CXXII.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
V. Tabel hasil pengamtan produk pengemsan pada produk pasca panen VI.
XXX. K
t LXXVIII. Tidak
kulkas
a CLIX. Kemas kulkas CLX. W
n CLXXXII. Tidak
a d a
n
Tidak ada Tidak ada CCXLI. Tidak ada
Tidak ada Tidak a CCLII. Kemas kulkas CCLIII.
a CCCV. Tidak kemas
n
Tidak ada ga
r CCCXXXVIII. Ada
Tidak ada Tidak ada Tidak a CCCLII. Kemas
CDXX. 5 CDXXI.
CDXXII. Kemas terbuka CDXLV. Kemas
kulkas CDXLVI.Warna CDXLVII.
CDLXVII.CDLXVIII. Tid CDLXIX. CDLXXII. CDLXXV. CDLXXVIII. CDLXXXI. CDLXXXIV. CDLXXXVII.
ak kemas CDXCI. Tidak
a
a
DCXVII. 7 DCXVIII.
DCXIX. Kemas terbuka
DCLII. DCLV. K
Tidak ada r
DCLXVII.
i DCCIV. Tidak kemas
a si DCCXXXI.
B. Pembahasan
C. Menurut Mareta (2011), Pengemasan merupakan sistem
yang terkoordinasi untuk menyiapkan barang menjadi siap untuk
ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual, dan dipakai. Adanya
wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi
kerusakan, melindungi produk yang ada di dalamnya, melindungi dari
bahaya pencemaran serta gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran). Di
samping itu pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil
pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk-bentuk yang
memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Dari segi
promosi wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya
tarik pembeli. Karena itu bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu
diperhatikan dalam perencanaannya. Dalam perkembangannya di bidang
pascapanen, sudah banyak inovasi dalam bentuk maupun bahan pengemas
produk pertanian.
D. Menurut Utama (2011), Panduan tahapan proses kerja
untuk bangsal pengemasan merupakan panduan penunjang untuk
melaksanakan proses kendali kerja lainnya seperti standard operating
procedurs (SOP), sanitary standard operating procedures (SSOP), hazard
E.
F. Produk dapat dikemas dengan tangan untuk membuat
kemasan yang menarik, sering digunakan perhitungan jumlah dari
unit-unit ukuran yang seragam. Bahan pengemasan seperti nampan,
mangkokan, pembungkus, bahan sekat dan bantalan dapat ditambahkan
untuk membantu menghalangi pergerakan produk. Sistem pengemasan
mekanik sederhana sering mengunakan metode pengisian volume atau
metode pengisian ketat dalam mana produk yang telah disortasi
dihantarkan dalam box-box, sehingga vibrasi terbatasi. Kebanyakan alat
pengisi volume dirancang menggunakan berat sebagai estimasi volume,
dan penyesuaian akhir dilakukan dengan tangan (Kader, 2002).
G. Menurut Sulchan (2007), Plastik dibuat dengan cara
polimerisasi yaitu menyusun dan membentuk secara sambung
menyambung bahan-bahan dasar plastik yang disebut monomer. Misalnya,
plastik jenis PVC (Polivinil Chlorida), sesungguhnya adalah monomer
dari vinil klorida. Disamping bahan dasar berupa monomer, di dalam
plastik juga terdapat bahan non plastik yang disebut aditif yang diperlukan
untuk memperbaiki sifat-sifat plastik itu sendiri. Bahan aditif tersebut
berupa zat-zat dengan berat molekul rendah, yang dapat berfungsi sebagai
pewarna, antioksidan, penyerap sinar ultraviolet, anti lekat, dan masih
banyak lagi. Berikut jenis-jenis plastik yang biasanya digunakan dalam
pengemasan:
1. Politen/Polietilen (PE)
H. Merupakan polimerasi adisi gas etilen dari hasil samping
industri minyak.
2. Poliester/Polietilen Tereptalat (PET)
I. Biasa digunakan untuk kemasan buah kering, makanan beku dan permen. 3. Polipropilen (PP)
J. Syarat utama PP antara lain ringan, mudah dibentuk, transparan, jernih
(kemasan kaku tidak transparan) 4. Polistirene (PS)
K. Sifat utamanya adalah kekuatan tarik dan tidak mudah sobek; titik lebur
rendah (80°C) L.
M.
5. Polivinil Khlorida (PVC)
N. Ada tiga jenis yaitu plasticized vinyl chloride, vinyl co polimer, dan
oriented film. Sifat umumnya adalah tembus pandang 6. Film Plastik
O. Contoh dari plastik film adalah film larut air dan dapat dimakan, yaitu
amilosa pada bungkus permen dan sosis; 7. Kertas Plastik
P. Merupakan modofikasi plastik yang dimbuat mirip dengan kertas. Kertas
tertentu yang dilapisi oleh polistiren adalah Q-kote (lapisan polistiren dua sisi)
dan Q-per (tidak dilapisi, tetapi permukaan kertas diolesi oleh larutan yang
mengandung stiren); penemu: Japan Synthetic Paper co. Sifatnya tahan
minyak; tahan air/lembab; tidak ditumbuhi kapang; dan sering disebut kertas
sintetik
8. Kemasan Gelas
Q. Tergolong bahan yang tua dilihat dari segi pemakaian oleh manusia,
pangsa total kemasan. Wadah plastik besar, misalnya botol gamma; wadah
fleksibel tinggi, misalnya retort pouch; teknologi kemasan tinggi, misalnya
aseptic packaging
R. Penggunaan mama lemon dan larutan bayclin
berguna untuk mencegah agar selama penyimpanan produk pasca panen
tidak mudah mengalami kontaminasi. Pada saat praktikum sebelum
dilakukan pengemasan dilakukan pencucian menggunakan mama lemon
dan bayclin. Pertama seluruh komoditas dicuci kedalam larutan mama
lemon, lalu ditiriskan setelah itu dicelupkan lagi kedalam bayclin dan
ditiriskan kembali. Setelah semua komoditas kering dengan perlakuan
kering angin kemudian produk dikemas dan ada yang dibiarkan terbuka
serta ada yang dimasukkan ke dalam kulkas dan dibiarkan di tempat yang
terbuka.
S. Menurut Utama (2006) Beberapa fungisida terdapat
digunakan untuk pengendalian pembusukan oleh mikroorganisme,
dibandingkan dengan fungisida pra-panen yang jenisnya banyak, jenis
fungisidia pascapanen lebih sedikit. Beberapa jenis fungisida yang
digunakan pascapanen, sekarang ini tidak lagi diijinkan karena kaitannya
residu yang diidentifikasi berpengaruh toksik kaitannya dengan kesehatan
manusia dan factor lingkungan. Beberapa produk sudah kehilangan daya
racunnya karena tumbuhnya resistansi pada mikroorganisme pembusuk.
Contoh bahan fungisida pascapanen yang sedang digunakan adalah
thiabendazole, dichloran, dan imazalil. Akan tetapi, resistansi terhadap
thiabendazole dan imazalil meningkat maka penggunaan sebagai bahan
kimia efektif berkurang. Perlakuan pencucian dengan detergen dan
aplikasi pelilinan dapat mengendalikan false red mite (Brevipalvus
chilensis) dari anggur. Sedangkan penggunaan surfaktan dan klorin dapat
mengendalikan semut hitam pada buah manggis dan rambutan
T. Berdasarkan hasil praktikum yng telah dilakukan adalah
mengamati kualitas produk pasca panen yang dikemas dan tidak dikemas.
Antara produk kemas dan tidak kemas ada yang disimpan di lemari
pendingin dan di tempat terbuka. Setelah itu produk pasca panen diamati
warna, kesegaran dan kontaminasinya. Pengamatan dilakukan selama 7
hari.
U. Pada hari pertama pada produk kemas terbuka, kemas
kulkas, tidak kemas terbuka dan tidak kemas kulkas dengan indikator
warna, kesegaran dan kontaminasi seluruh komoditas seprti tomat, cabai,
caisim, buncis, wortel dan duku warnanya masih tetap, kesegaran segar
dan kontaminasi tidak ada. Sedangkan pada hari ke 7, pada produk kemas
terbuka warna buah tomat tetap, kesegaran tidak segar dan kontaminasi
tidak ada. Pada komoditas wortel warna berubah, kesegaran tidak segar
dan ada kontaminasi. Komoditas buncis warna tetap, dengan kesegaran
segar dan tidak ada kontaminasi. Pada komoditas duku warna berubah
dengan kesegaran tidak segar dan ada kontaminasi. Untuk produk pasca
V. Produk pasca panen dengan perlakuan kemas kulkas semua
komoditas seperti tomat, wortel, buncis cabe dan caisim produk masih
berwarna tetap dan tidak berubah serta masih segar dan tidak ada
kontaminasi sedangkan untuk buah duku produk mengalami kontaminasi.
Pada produk tidak kemas terbuka pada komoditas tomat, buncis dan cabe
produk masih berwarna tetap, namun kesegarannya berkurang serta tidak
ada kontaminasi dan untuk komoditas wortel, duku dan caisim warnanya
berubah dan produk tidak segar dan terdapat kontaminasi. Untuk produk
tidak kemas kulkas pada produk wortel, cabe dan caisim warna masih
tetap, segar dan tidak ada kontaminas, sedangkan bada komoditas wortel
dan duku warna dari produk tersebut berubah, tidak segar dan untuk duku
ada kontaminasi. Sedangkan pada komoditas wortel dengan perlakuan
tidak kemas kulkas warna dari produk tersebut tetap, dengan kesegaran
yang berkurang dan tidak ada kontaminasi.
W. Menurut Mutiarawati (2007), untuk buah-buahan dan
sayuran buah. Buah setelah dipanen segera disimpan di tempat yang
dingin/sejuk, tidak terkena sinar matahari, agar panas yang terbawa dari
kebun dapat segera didinginkan dan mengurangi penguapan, sehingga
kesegaran buah dapat bertahan lebih lama. Bila fasilitas tersedia,
precooling ini sebaiknya dilakukan pada temperatur rendah (sekitar 10°C)
dalam waktu 1 – 2 jam. X.
Y. Z. AA. BB. CC.
DD. EE. FF.
DCCXXXII. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan
1. Pembusukan pada produk pasca panen yang dimasukkan ke dalam kulkas
lebih segar dan tahan lama dibandingkan dengn produk yang tidak
dimasukkan ke dalam kulkas.
2. Untuk mngurangi kontak udara secara langsung terhadap produk pasca panen
dapat dilakukan dengan cara mengemas menggunakan plastik pengemas. 3. Untuk menjaga kesegaran komoditas pasca panen dapat dilakukan dengan cara
menyimpannya dalam lemari pendingin dan melakukan pengemasan. GG.
B. Saran
HH. Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara
yang dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih
mengerti apa saja yang telah diakukan dari tiap acara.
II.
JJ. KK. LL. MM.
NN. DAFTAR PUSTAKA
SS. Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
TT.
UU. Sulchan, M. 2007. Pengemasan Bahan Pangan. Ebookpangan.com. www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0CDs QFjAF&url. Diakses 19 Mei 2015.
VV.
WW. Utama, M.S. 2002. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala Kecil: Manual untuk Produk Hortikultura. Universitas Udayana Denpasar. Bali. XX.
YY. Utama, M.S. 2004. Teknologi Pasca Panen Hortikultura: Permasalahan dan Usaha Perbaikan. Lokakarya Srategi Pengembangan Hotikultura di Bali. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali. 30-31 Juli 2004.
ZZ.
AAA. Utama, M.S. 2006. Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produk Hortikultura dalam Mendukung GAP. Pemberdayaan Petugas dalam Pengelolaan OPT Hortikultura dalam Rangka Mendukung Good Agriculture Practies (GAP). Bali 3-8 Juli 2006.
BBB.
CCC.Utama, M.S. 2011. Peta Tahapan Proses Penanganan Passcapanen Hortikultura di Bangsal Pengemasan. Universitas Udayana Begudul. Tabanan.
DDD.
EEE. Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB Press. Universitas Brawijaya.
FFF. GGG. HHH. III. JJJ. KKK. LLL. MMM.
NNN.
I. PENDUHULUAN A. Latar Belakang
OOO. Meningkatnya permintaan buah dan sayuran segar yang
dapat dikonsumsi secara langsung berdampak pada peningkatan
permintaan terhadap produk buah dan sayuran terolah minimal (fresh cut).
Penyediaan produk buah dan sayuran terolah minimal masih banyak
menghadapi kendala terkait umur simpannya yang pendek dan mudah
mengalami perubahan komposisi kandungan gizi dan rasa. Hal ini terjadi
karena jaringan tumbuhan merupakan jaringan hidup yang dapat
mengisolasi berbagai reaksi dan substrat. Dalam proses penanganan
produk terolah minimal terjadi luka pada jaringan tanaman, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja.
PPP. Salah satu rangkaian kegiatan penting dalam penanganan
pasca panen adalah penyimpanan. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan
mempertahankan kondisi bahan pangan dari susut bobot dan susut mutu
sebelum digunakan atau diproses lebih lanjut. Teknologi penyimpanan
yang tepat perlu diterapkan terutama untuk komoditas pangan musiman
dan mudah rusak seperti misalnya produk buah-buahan dan sayuran jenis
daun.
QQQ. Produk pascapanen hortikultura segar juga sangat mudah
mengalami kerusakankerusakan fisik akibat berbagai penanganan yang
dilakukan. Kerusakan fisik ini terjadi karena secara fisik-morfologis,
produk hortikultura segar mengandung air tinggi (85-98%) sehingga
benturan, gesekan dan tekanan sekecil apapun dapat menyebabkan
kerusakan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata dan dapat tidak
pencegahan dan penanggulangannya tidak direncanakan dan dilakukan
dengan baik. RRR.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui perubahan kualitas awal komoditas setelah panen
2. Untuk menentukan dan membuat grade kualitas awal komoditas setelah panen 3. Untuk mengdentifikasi kualitas pasca panen
4. Untuk mengetahui perlakuan pasca panen yang mampu mempertahankan
kualitas.
SSS.
TTT. UUU. VVV. WWW. XXX. YYY. ZZZ.
II. TINJAUAN PUSTAKA
AAAA. Setelah diketahui bahwa produk hortikultura sudah cukup
tua untuk dipanen, panen dapat segera dilakukan dan produk harus
dikumpulkan di lahan secepat mungkin. Panen harus dilakukan secepat
mungkin, dengan kerusakan produk sekecil mungkin, dan biaya semurah
mungkin. Umumnya panen masih dilakukan secara manual menggunakan
tangan dan peralatan-peralatan sederhana. Meskipun memerlukan banyak
tenaga kerja, panen secara manual masih lebih akurat, pemilihan sasaran
panen juga dapat lebih baik dilakukan, kerusakan fisik yang berlebihan
dapat dihindari, dan membutuhkan biaya yang lebih kecil dibandingkan
dengan panen menggunakan peralatan mekanis (Suparlan, 1990).
BBBB. Produk hortikultura yang telah dipanen dari induk
tanamannya masih melakukan aktivitas metabolisme namun aktivitas
metabolismenya tidaklah sama dengan pada waktu produk tersebut masih
melekat pada induknya. Berbagai macam stress atau gangguan dialaminya
mulai dari saat panen, penanganan pascapanen, distribusi dan pemasaran,
ritel dan saat ditangan konsumen seblum siap dikonsumsi atau diolah.
Stress terjadi karena kondisi hidupnya tidak pada kondisi normal saat di
lapangan. Kondisi stress diakibatkan oleh perlakuan-perlakuan
pascapanennya seperti kondisi suhu, atmosfer, sinar serta
perlakuan-perlakuan fisik diluar batas kehidupan normalnya. Stress adalah gangguan,
hambatan atau percepatan proses metabolisme normal sehingga dipandang
tidak menyenangkan atau suatu keadaan negatif (Utama, 2006).
CCCC. Di Indonesia penyebab kerusakan dan kehilangan produk
holtikultura atau buah-buahan terutama pada tingkat petani karena
penanganan dan perlakuan pasca panen masih dengan cara sederhana
(tradisional) dan tidak efisien. Salah satu bentuk kerusakan yang terjadi
selama transportasi dan distribusi biasanya adalah kerusakan fisik dan
mekanis yang terjadi pada tahap-tahap pengangkutan, grading dan
pengemasan sebelum produk diangkut (Gunarto, 1996). Mutu yang baik
diperoleh apabila pemanenan hasilnya dilakukan pada tingkat kemasakan
DDDD. Kualitas komoditi hortikultura segar merupakan kombinasi
dari ciri-ciri, sifat, dan nilai harga yang mencerminkan nilai total komoditi
tersebut baik untuk bahan pangan (buah dan sayuran) maupun sebagai
bahan kesenangan (tanaman hias bunga potong). Sedangkan kualitas akhir
dari suatu komoditi panenan sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek
kualitas pula. Aspek-aspek yang mempengaruhi kualitas akhir suatu
komoditi sangat relatif tergantung dari mana kita melihatnya. Bagi petani
sebagai produsen, kualitas dilihat pada aspek potensi hasil tinggi, tahan
penyakit, mudah dipanen, dan tahan bilamana dikirim jauh. Sedangkan
bagi konsumen ataupun distributor (penjual), aspek kualitas yang
diutamakan berupa kualitas penampilan. Kedua belah pihak juga tertarik
untuk menilai komoditi pada aspek kualitas ketahanan simpan yang
panjang dan tingkat kekerasan komoditi (Kamarani,1986). EEEE.
III.METODE PRAKTIKUM A. Alat dan Bahan
FFFF. Alat yang digunakan adalah lemari pendingin, penetro
meter, hand refraktometer, pisau, dan gunting. Bahan yag digunakan
meliputi buah duku, sayuran wortel, cabai, cabe, caisim dan buncis.
Styrofoam, dan streech film plastik/plastik pembungkus. GGGG.
B. Prosedur Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan dipergunakan
2. Dipilih beberapa komoditas buah dan sayur yang akan diidentifikasi dan
diperlakukan dari kelompok yang segar dan tidak segar