Hembusan Topo Tawui
dalam Persalinan
Sri Handayani
Lia Churniawati
Salahuddin
Niniek Lely Pratiwi
dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis
Sri Handayani Lia Churniawati
Salahuddin Niniek Lely Pratiwi
Editor
Niniek Lely Pratiwi
Desain Cover Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id
ISBN 978-602-1099-14-8
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina : Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam
Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Metode
1.4. Sekilas tentang Kabupaten Mamuju Utara 1.5. Pemilihan Lokasi Penelitian
1.6. Waktu Penelitian
1.7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data BAB 2 KEBUDAYAAN SUKU KAILI DA’A 2.1. Sejarah
2.1.1 Asal Usul (Babat)
2.1.2 Sejarah Suku Kaili Da’a Di Desa Wulai 2.1.3 Perkembangan Desa
2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi
2.2.2. Kependudukan 2.2.3. Pola Tempat Tinggal 2.3. Sistem Religi
2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional 2.3.2 Praktek Keagamaan
2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
v vii x xi xiii 1 1 5 5 5 8 10 10 13 13 13 15 18 18 18 23 25 30 30 40 43
2.5. Pengetahuan
2.5.1. Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit 2.5.2. Penyembuhan Tradisional
2.5.3. Teknik Penyembuhan
2.5.4. Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal
2.5.5. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.5.6. Pengetahuan Makanan dan Minuman 2.6. Bahasa
2.7. Kesenian
2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan BAB 3 POTRET KESEHATAN 3.1. Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja
3.1.2. Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil 3.1.3. Hamil 3.1.4. Menjelang Persalinan 3.1.5. Proses Persalinan 3.1.6. Masa Nifas 3.1.7. Masa Menyusui 3.1.8. Neonatus dan Bayi 3.1.9. Anak dan Balita
3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.2.1. Pemakaian Jamban
3.2.2. Penggunaan Air Bersih
3.2.3. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.2.4. Kebiasaan Merokok 51 51 56 59 60 61 68 70 71 72 76 79 79 79 86 88 92 95 101 104 106 113 117 118 120 122 123
3.3. Penyakit Menular
3.3.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas 3.3.2. Diare
3.3.3. Malaria 3.3.4. Tuberkulosis
3.4. Penyakit Tidak Menular 3.4.1 Hipertensi
3.4.2 Diabetes Mellitus 3.4.3 Penyakit Gondok 3.4.4. Penyakit Jantung
BAB 4 HEMBUSAN TOPO TAWUI DALAM PERSALINAN 4.1. Latar Belakang
4.2. Kasus Kematian Bayi
4.3. Pemilihan Penolong Persalinan antara Topo Tawui dengan Bidan Kesehatan
4.4. Kematian Bayi di Mata Masyarakat Kaili Da’a Wulai 4.5. Kasus Kematian Bayi di Desa Wulai dari Perspektif
Kesehatan
4.6. Potensi dan Kendala
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak 5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan secara Umum INDEKS
GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH
128 128 130 133 134 144 144 146 147 148 151 151 152 171 190 192 197 205 205 209 209 210 211 216 219 224
Tabel 1. 1. Persentase dan Luas Wilayah Desa Tabel 2. 1. Fasilitas Pendidikan di Desa Wulai Tabel 2. 2. Fasilitas Ibadah di Desa Wulai
Tabel 2. 3. Data Kunjungan Pasien Poskesdes Wulai Mei-Juni 2014
Tabel 2. 4. Tenaga Kesehatan Puskesmas Randomayang Tabel 3. 1. Distribusi Jenis Alat Kontrasepsi yang Digunakan
PUS di Desa Wulai Tahun 2013
Tabel 3. 2. Kunjungan Balita ke Posyandu di Desa Wulai
8 25 43 66 68 103 115
Gambar 1. 1. Peta Mamuju Utara Gambar 1. 2. Peta Desa Wulai Gambar 2. 1. Pipa Sumber Air Bersih Gambar 2. 2. Sumur Gali dan Pompa air
Gambar 2. 3. Aktivitas Masyarakat di Sungai Pinora’a Gambar 2. 4. Air sungai saat meluap dan Kondisi Jalan
Desa
Gambar 2. 5. Rumah tinggi suku Kaili Da’a
Gambar 2. 6. Rumah di Perkampungan Desa Wulai Gambar 2. 7. Rumah di Perkampungan di Desa Wulai Gambar 2. 8. Bantaya
Gambar 2. 9. Pasar di Desa Wulai
Gambar 2. 10. Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual Gambar 2. 11. Aktivitas Keagamaan Sekolah Minggu Gambar 2. 12. Penyembuhan yang dilakukan Topo tawui Gambar 2. 13. Daun-daunan untuk pengobatan tradisional Gambar 2. 14. Poskesdes Wulai
Gambar 2. 15. Puskesmas Randomayang
Gambar 2. 16. Makanan Sehari-hari Masyarakat Wulai Gambar 2. 17. Alat musik tradisional (musik bambu) Gambar 2. 18. Coklat yang sedang dikeringkan Gambar 2. 19. Aktivitas menanam jagung
Gambar 2. 20. Tungku yang digunakan untuk memasak Gambar 2. 21. Ayunan (lou)
Gambar 3. 1. Proses persalinan yang dilakukan dirumah Gambar 3. 2. Alat untuk memotong tali pusat bayi Gambar 3. 3. Ibu yang sedang menyusui bayinya Gambar 3. 4. Bayi yang sedang tidur di ayunan Gambar 3. 5. Ritual nitau
Gambar 3. 6. Balita disuapi nasi dicampur dengan air
7 9 20 20 21 22 27 27 28 29 30 34 41 59 61 65 67 69 71 73 73 77 78 97 98 105 107 109 111
Gambar 3. 9. Pelaksanaan posyandu di Dusun Saluwu Gambar 3. 10. Jamban milik warga bantuan dari Dinas
Sosial
Gambar 3. 11. Warga menggali sumur untuk sumber air bersih
Gambar 3. 12. Perempuan Desa Wulai yang sedang merokok
Gambar 3. 13. Perlengkapan mompongo Gambar 3. 14. Rumah di Desa Wulai Gambar 4. 1. Kondisi sungai yang kering
Gambar 4. 2. Kondisi sungai setelah turun hujan Gambar 4. 3. Ibu yang mau melahirkan ditandu ketika
116 119 122 124 125 137 184 185 186
Grafik 1. 1. Jumlah Kematian Bayi menurut Puskesmas Grafik 3. 1. Suspek TB dan Penderita TB di Desa Wulai
4 135
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 359 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 32 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global MDGs
(Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun
2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di Negara maju dan di Negara berkembang seperti Indonesia.
Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, balita stunting 36,8% dan akses sanitasi 43%, hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah penyakit tidak menular, gizi dan PHBS.
Data Riskesdas 2010 menunjukkan masih banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan, terbukti 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2 % melahirkan di rumah. Jumlah ibu yang melahirkan di rumah 51,9 persen ditolong bidan dan masih ada 40,2 persen yang ditolong dukun bersalin (Riskesdas 2010).
Berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa setahun sebelum survei, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan namun masih ada kesenjangan antara pedesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah, terkait dengan berbagai faktor sosial budaya.
Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktifitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga bisa menjadi pedoman masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005:16).
Hasil penelitian riset etnografi kesehatan 2012 di 12 etnik di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait dengan budaya kesehatan yang ada pada masyarakat. Kepercayaan tentang hal mistis masih melekat kuat pada budaya mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari gangguan roh jahat. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.
Guna melengkapi penelitian Riset Etnografi Kesehatan tahun 2012 maka perlu dilakukan riset serupa di kabupaten lain dengan komunitas etnik yang berbeda. Pada tahun 2014 dilaksanakan riset etnografi kesehatan di 20 kabupaten salah satunya adalah di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Kondisi kesehatan Kabupaten Mamuju Utara belum
termasuk baik, terlihat dari rangking Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) kabupaten ini yang berada di rangking 405 dari 440 kabupaten di Indonesia (Data IPKM 2007).
Kondisi kesehatan Kabupaten Mamuju Utara terlihat dari profil kesehatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara. Pada tahun 2009 AKB sebesar 32 per 1000 KH atau 36 dari 1.811 KH, Pada tahun 2010 angka kematian bayi sebesar 15.8 per 1000 KH atau 36 dari 2.274 KH. Sedangkan tahun 2011 mengalami peningkatan yakni sebesar 19.2 per 1000 KH atau 47 dari 2.449 KH. Pada tahun 2012 menurun menjadi 16.6 per 1000 kelahiran hidup atau 43 dari 2.598 Kelahiran Hidup. Jumlah Kematian Bayi pada tahun 2012 terendah ada di wilayah kerja PKM Karossa dan wilayah kerja PKM Lilimori masing-masing satu kasus. Jumlah kematian tertinggi terjadi di wilayah kerja PKM Pasangkayu (10 kasus) (Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara, 2012).
Berdasarkan wawancara dengan staf Sub bid KIA Dinkes Mamuju Utara didapatkan informasi jumlah kematian ibu absolut sebanyak enam kasus selama enam bulan dari bulan Januari sampai Juni 2014. Angka ini cukup besar jika dilihat jumlah penduduk kabupaten Mamuju Utara yaitu sebanyak 142.075 penduduk, maka proporsi ibu hamil diprediksi sebanyak 3.552 (2.5%xjumlah penduduk). Setahun jumlah kematian diperkirakan 12/3.552 kelahiran yang artinya dalam 1000 kelahiran ada 4 ibu bersalin yang meninggal. Hal ini sesuai dengan angka SDKI tahun 2012 yaitu sebesar 3,59/1000 kelahiran (SDKI 2012).
Disamping AKB yang cukup tinggi, Kabupaten Mamuju Utara juga masih menghadapi masalah AKI yang cukup tinggi. AKI di Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2012 sebanyak 13 orang dari 2.598 kelahiran hidup, yang terdiri dari kematian ibu hamil 1 orang, ibu bersalin 10 orang dan ibu nifas 2 orang.
Grafik 1.1.
Jumlah Kematian Bayi Menurut Puskesmas Tahun 2012 Sumber: Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara Tahun 2012
Selain masalah AKI dan AKB Kabupaten Mamuju Utara juga masih menghadapi masalah dalam penanggulangan penyakit menular seperti malaria dan Tubercolosis (TB). Kabupaten Mamuju Utara merupakan daerah endemis sedang malaria. Jumlah Kasus malaria klinis di Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2012 tercatat sebesar 3.908 penderita dan malaria positif (pemeriksaan sediaan darah) sebesar 27,5 %. Untuk kasus TB, salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/CDR) , yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Pada tahun 2012 pencapaian CDR sebesar 36,2 % dari 282 perkiraan kasus. Pada tahun 2011, Kejadian KLB diare terjadi di empat Kecamatan enam Desa dengan jumlah penderita sebanyak 55 orang, jumlah kematian sebanyak 3 orang. Sedangkan data tahun 2012 penderita Diare sebanyak 5.211 orang, dengan persentase 86,7 %
dari 6.010 kasus (Profil Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara, 2012).
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Kabupaten Mamuju Utara.
1.3. Metode
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode etnografi. Etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna ini terekspresikan secara langsung dalam bahasa, dan banyak yang diterima dan disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan untuk memahami orang lain, serta untuk memahami dunia dimana mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka. (Spradley, 1997: 5)
1.4. Sekilas tentang Kabupaten Mamuju Utara
Kabupaten Mamuju Utara adalah salah satu dari lima kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan yang resmi berdiri pada tahun 2004. Kabupaten Mamuju Utara
merupakan pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang
Mamuju Utara dan Mamuju Tengah pada tahun 2003. Slogan Kabupaten Mamuju Utara adalah Smart yang artinya Sejahtera, Mandiri, dan Bermartabat. Logo slogan smart adalah tugu kelapa sawit yang menandakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Mamuju Utara adalah bertanam kelapa sawit.
Kabupaten Mamuju Utara terletak di bagian Utara Propinsi Sulawesi Barat yang jaraknya sekitar 276 km dari ibukota provinsi (Mamuju). Lama perjalanan dari Mamuju ke Pasang Kayu (ibukota Mamuju Utara) kurang lebih sekitar tujuh jam jika menggunkan mobil travel. Jarak yang cukup jauh dari Mamuju membuat masyarakat lebih memilih untuk pergi ke Palu untuk membeli berbagai barang yang mereka butuhkan dengan jarak hanya 130 Km dari Pasang Kayu. Apabila ditempuh menggunakan mobil travel lama perjalanannya sekitar tiga jam.
Kabupaten Mamuju Utara terdiri dari 12 kecamatan dengan luas wilayah 3.043,75 km. Secara geografis Kabupaten Mamuju Utara terletak pada koordinat antara 3° 39° - 4° 16° LS dan 119° 53° - 120° 127° BT dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah;
Sebelah Selatan : Kabupaten Mamuju;
Sebelah Timur : Kabupaten Luwu Utara;
Sebelah Barat : Selat Makassar.
Berdasarkan data proyeksi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mamuju Utara, jumlah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 142.075 jiwa yang terdiri dari 74.272 penduduk laki-laki dan 67.803 penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin dengan kepadatan adalah 46,7. Rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Mamuju Utara tahun 2012 sebesar 109 yang artinya jumlah penduduk laki-laki 9% lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Nilai ini berarti
bahwa setiap 100 perempuan terdapat 109 laki-laki. (Profil Kesehatan Kab. Mamuju Utara, 2012).
Gambar 1.1. Peta Mamuju Utara
Sumber: Profil Kesehatan Dinkes Kab. Mamuju Utara 2012 Wilayah Kabupaten Mamuju Utara sebagian besar adalah wilayah perkebunan (133.197 ha) yang terdiri dari perkebunan coklat, kelapa sawit dan jeruk. Sisanya adalah wilayah pemukiman sebesar 2.315 ha , persawahan 1.211 ha, lahan tambak 1.281 ha dan wilayah hutan yang cukup luas yaitu sebesar 165.187 ha (http://mamujuUtarakab.go.id).
Sektor perekonomian utama yang berkembang di Kabupaten Mamuju Utara adalah sektor pertanian. Tahun 2002 sektor pertanian menyumbang Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) sebesar Rp 238,67 miliar yang setara dengan 78,32% dari total kegiatan ekonomi sebesar Rp 304,72 miliar. Sektor pertanian didominasi oleh perkebunan sebagai sektor utama yang menghasilkan kurang lebih Rp 195,62 miliar. (http://kemendagri.go.id).
Setelah Mamuju Utara menjadi Kabupaten maka terbentuklah Kecamatan Bambalomotu yang terdiri dari Desa Randomayang, Desa Kalola, Desa Wulai, Desa Polewali dan Desa Pangiang. Berikut tabel luas wilayah desa-desa tersebut:
Tabel 1.1. Persentase dan Luas Wilayah Desa di Kecamatan Bambalamotu
Nama Desa Persentase Luas Wilayah
Randomayang 6.94% 16.92 km²
Wulai 24.67% 60.11 km²
Kalola 40.11% 97.72 km²
Polewali 14.18% 34.54 km²
Pangiang 8.63% 21.03 km²
Sumber: Profil Kecamatan Bambalamotu, BPS 2013.
Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat luas wilayah Desa Wulai adalah kedua terbesar (24.67%) setelah Desa Kalola di Kecamatan Bambalamotu.
1.5. Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Wulai yang terletak di Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara. Pertimbangan pemilihan Desa Wulai dikarenakan mayoritas penduduknya merupakan Etnik Kaili Da’a dan di Desa tersebut terdapat permasalahan kesehatan terkait kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan data dari bidan desa setempat, pada bulan
Januari hingga Maret tahun 2014 terdapat dua kasus kematian bayi dan satu kematian neonatus.
Desa Wulai terdiri dari lima dusun yaitu Dusun Watubete, Dusun Wulai Satu, Dusun Saluwu, Dusun Sinjanga dan Dusun Ujung Baru. Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a kecuali di Dusun Ujung Baru. Oleh karena itu masyarakat yang tinggal di Dusun Ujung Baru tidak termasuk masyarakat yang diteliti karena mayoritas penduduk dusun ini adalah etnik pendatang seperti Mandar, Bugis dan Makassar.
Gambar 1.2. Peta Desa Wulai
Sumber: Dokumentasi Aparat Desa Wulai
Desa Wulai berbatasan dengan Desa Kalukunangka di sebelah Utara. Dusun yang berbatasan langsung dengan Desa Kalukunangka adalah Dusun Saluwu. Namun tidak ada jalan penghubung yang dapat dilalui sepeda motor, jalan yang ada hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Desa Wulai berbatasan
dengan wilayah Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Timur, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kalola dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Randomayang.
1.6. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 10 (sepuluh bulan) dengan waktu pengumpulan data selama dua bulan (60 hari). Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 4 Mei 2012 dan berakhir pada tanggal 2 Juli 2014.
1.7. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa
cara/teknik di antaranya; observasi partisipatif, wawancara
mendalam, wawancara sambil lalu, penelusuran
dokumen/tinjauan pustaka dan data visual. Hal ini dimaksudkan supaya data yang diperoleh lebih valid dan akurat.
a. Observasi partisipasi
Observasi partisipasi adalah cara yang dapat digunakan untuk memahami perilaku masyarakat dan mengetahui apa makna dari tindakan yang dilakukan masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti berbaur dengan masyarakat dengan cara tinggal bersama dengan masyarakat Desa Wulai selama kurang lebih 60 hari. Dengan cara ini peneliti dapat mengamati keseharian kehidupan masyarakat Wulai terutama aktivitas atau kegiatan yang berhubungan dengan masalah kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS). Observasi partisipasi dilakukan dengan cara mengikuti aktivitas keseharian masyarakat Wulai seperti aktivitas dalam kegiatan rumah tangga, pekerjaan, dan acara-acara yang berlangsung di Desa Wulai.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari masalah yang sedang diteliti. Informan yang diwawancarai adalah masyarakat yang mengetahui budaya masyarakat dan yang mengetahui masalah kesehatan di Desa Wulai. Wawancara mendalam dilakukan terhadap tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, remaja, pasangan suami istri yang belum memiliki anak, ibu hamil, ibu nifas, ibu yang memiliki bayi dan balita, ibu nifas, suami ibu hamil/nifas/bayi dan balita. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada masyarakat yang menderita penyakit tertentu, pengobat tradisional, penolong persalinan tradisional, kader kesehatan dan tenaga kesehatan.
c. Wawancara Sambil Lalu
Selain wawancara mendalam, dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara sambil lalu atau sepintas. Wawancara ini dilakukan kapan saja dan di mana saja, dalam artian waktu dan tempat wawancara dapat tidak terduga. Hasil dari wawancara sambil lalu dapat digunakan sebagai data penunjang dari hasil data observasi dan wawancara mendalam.
d. Penelusuran dokumen/tinjauan pustaka
Sebagai pelengkap data primer maka penelitian ini ditunjang dengan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Utara, Kecamatan Bambalamotu, Puskesmas Randomayang Kecamatan Bambalamotu, data profil Desa Wulai, dan Poskesdes Wulai. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari buku, artikel, atau publikasi di media cetak dan elektronik terkait masalah kesehatan.
e. Data visual
Data visual diperoleh dari hasil dokumentasi peneliti, berupa foto atau rekaman video, terkait dengan gambaran kehidupan masyarakat Desa Wulai terutama tentang masalah
kesehatan. Data visual bertujuan untuk menunjang atau memperjelas data hasil observasi dan wawancara sehingga diperoleh gambaran menyeluruh dari sebuah peristiwa atau kejadian.
BAB 2
KEBUDAYAAN ETNIK KAILI DA’A
2.1. Sejarah 2.1.1. Asal Usul
Pada awalnya Desa Wulai merupakan nama sebuah dusun yang merupakan bagian dari wilayah Desa Randomayang. Pada saat itu Desa Randomayang merupakan bagian dari Kecamatan Pasang Kayu yang terletak di wilayah Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Selatan. Dahulu Dusun Wulai merupakan perkampungan biasa yang tidak ada namanya. Asal usul nama Wulai terkait dengan adanya sumber mata air yang sering digunakan sebagai sumber air bersih. Mata air ini merupakan satu-satunya sumber mata air yang ada di pemukiman tersebut. Penduduk yang bermukim di wilayah ini sangat menjaga kebersihan mata air. Oleh karena itu masyarakat menamakan perkampungan ini dengan sebutan Wulai yang artinya adalah air.
Berawal dari kesepakatan warga untuk membentuk desa sendiri, maka pada tahun 2007 Wulai yang awalnya hanyalah sebuah dusun dari Desa Randomayang berubah menjadi sebuah desa. Sebelum pemilihan kepala desa dilaksanakan, dipilihlah bapak AR selaku pejabat sementara. Pada tahun 2009 barulah diselenggarakan pemilihan kepala desa yang diikuti oleh dua calon kepala desa yaitu bapak SI dan bapak AR. Berdasarkan
perolehan suara terbanyak maka bapak SI terpilih menjadi kepala desa pertama Wulai yang berasal dari etnik Kaili Da’a.
Pada awalnya, Desa Wulai terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Bendungan, Wulai Satu dan Wulai Dua. Dusun Wulai satu merupakan pemukiman tertua sedangkan Dusun Wulai Dua sebelumnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Satu. Saat ini Desa Wulai sudah mulai berkembang menjadi lima dusun dengan tambahan dua dusun yaitu Dusun Sinjanga dan Dusun Saluwu. Dusun Sinjanga pada awalnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Dua dan Dusun Saluwu bagian dari Desa Kalukunangka. Selain penambahan jumlah dusun, juga terjadi pergantian nama yaitu Dusun Bendungan menjadi Dusun Ujung baru dan Dusun Wulai Dua menjadi Dusun Watubete.
Dusun Watubete terbentuk ketika masyarakat mulai membuka lahan untuk berkebun yang kemudian berkembang menjadi areal pemukiman hingga akhirnya terbentuk menjadi sebuah dusun. Watubete dalam bahasa setempat berarti batu besar. Dinamakan Dusun Watubete dikarenakan di dusun tersebut terdapat sebuah batu besar yang terletak di tepi sungai. Dari Dusun Watubete penduduk menyebar lagi membentuk pemukiman baru yaitu Dusun Sinjanga yang berada di sebelah Selatan Watubete. Daerah Dusun Watubete juga terdiri dari beberapa perkampungan seperti perkampungan Salo’otu dan Pinora’a yang letaknya cukup jauh dari pusat dusun. Perkampungan Salo’otu ditempuh dengan jalan pendakian dari pusat Dusun Watubete. Jika berjalan kaki, diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk menuju perkampungan tersebut. Jalan menuju perkampungan tersebut berupa jalan setapak bebatuan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Untuk melintasi jalan setapak ini cukup sulit karena harus mendaki dan apabila turun hujan jalan menjadi licin. Selain melewati jalan setapak, untuk
menuju perkampungan Salo’otu sebelumnya melewati sungai dan perkebunan sawit dan coklat.
Kondisi jalan yang sulit juga terjadi jika hendak menuju perkampungan Pinora’a. Perkampungan ini harus ditempuh dengan melewati sungai. Apabila hujan lebat akses menuju perkampungan tersebut menjadi sulit dikarenakan arus sungai yang cukup deras. Perkampungan Pinora’a terdiri dari sekitar 20 rumah yang sebagian diantaranya ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki melewati sungai atau dapat pula menumpang truk milik perusahaan batu dan pasir milik PT Pasako Utama Jaya. Perkampungan tersebut terletak di sebelah Timur dari pusat Dusun Sinjanga dan untuk menuju kampung tersebut ditempuh dengan jalan mendaki serta harus melewati sungai Sinape. 2.1.2. Sejarah Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai
Etnik Kaili Da’a merupakan salah satu rumpun dari Etnik Kaili yang berasal dari Sulawesi Tengah. Dalam bahasa Kaili, para etnik Kaili menyebut kelompok etnik mereka sebagai to kaili yang berarti orang Kaili. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kata “kaili” tersebut diambil dari nama sebuah pohon yang dikenal dengan nama pohon kaili. Jenis pohon ini biasanya tumbuh di kawasan hutan yang terdapat di kawasan tepi sungai palu dan teluk palu. Di daerah lain, pohon kaili disebut dengan pohon woea, rao atau rago. Pada zaman dahulu, kerajan etnik kaili membentuk sebuah dewan permusyawaratan rakyat yang disebut Libu Nto Dea. Forum ini merupakan forum perwakilan rakyat dari Kota Pitunggota (tujuh penjuru wilayah) atau Patanggota (empat penjuru wilayah). Forum ini dketuai oleh salah seorang perwakilan yang disebut Baligau. Menurut salah seorang budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing, anggota Pitunggota tersebut adalah perwakilan dari tujuh sub-etnik etnik Kaili. Pada dasarnya, sub-sub etnik dalam etnik kaili tersebut
dibedakan berdasarkan pada dialek bahasa yang digunakan dalam kesehariannya. Dalam hal ini, sub etnik etnik Kaili tersebut antara lain adalah kaili ledo, kaili ija, kaili ado, kaili unde, kaili rai,
kaili da’a dan, kailitara. Selain ketujuh sub-etnik yang tergabung
dalam Pitunggota atau Patanggota tersebut, sebenarnya masih ada beberapa sub-etnik etnik kaili. Secara keseluruah, sub-etnik etnik kaili terhitung mencapai 21 sub-etnik (Faidi, 2013).
Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai awalnya berasal dari daerah Pinembani di Sulawesi Tengah. Menurut sejarahnya, di daerah Pinembani terdapat dua kerajaan yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik yaitu Kerajaan Pinembani dan Kerajaan Dombu. Pada perkembangannya Kerajaan Dombu lebih memiliki pengaruh dibandingkan dengan Kerajaan Pinembani. Sebagian besar penduduk Wulai berasal dari kerajaan Dombu sedangkan keturunan kerajaan Pinembani berada di daerah Pakawa.
Menurut informan Wa yang merupakan ketua lembaga adat Etnik Kaili Da’a, sejarah Etnik Kaili Da’a tidak bisa diceritakan sembarangan. Ketika seseorang membahas tentang sejarah Etnik Kaili Da’a maka orang tersebut akan menyebut nama nenek moyang mereka. Apabila dalam penyebutan nama ataupun silsilah ada ada yang tidak tepat maka orang yang bercerita akan sakit. Penyakit timbul karena arwah nenek moyang akan marah karena nama mereka salah disebut. Dalam bahasa Kaili Da’a penyakit seperti ini disebut dengan istilah kabuaga artinya kurang sehat, seperti penjelasan informan Wa berikut ini:
“...kalo salah ngomong, kalo menurut bahasa orangtua akan menimbulkan kabuaga kaya kurang sehat begitu, inikan bicara sejarah, nama orangtua kalo mengikuti jalur mengikuti nama pertamanya, kalo semua nama disebutkan dilarang itu.”
Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai pada awalnya hidup berpindah-pindah (nomaden) di daerah pegunungan Tasinamawu. Mereka akan berpindah ke lahan baru jika sudah selesai masa panen karena mereka menganggap lahan baru lebih subur dan akan lebih banyak mendatangkan hasil. Cerita asal usul Etnik Kaili Da’a dituturkan informan Al berikut ini:
“Sebagian orang disini dari Pinembani Sulawesi Tengah dan dari Dombu. Disini ada banyak gunung tapi gunung yang tertinggi yaitu Gunung Tasinamawu jadi patokan mereka. Dari pegunungan itu mereka kan nomaden sampai mereka ke tempat ini. Karena habis buka lahan setelah panen dianggap sudah tidak subur lagi, buka lagi lahan baru. Kalo mereka lihat hasil panen sudah berkurang itu berarti tidak subur kemudian mereka buka lahan baru.”
Pada awalnya Etnik Kaili Da’a tidak mengetahui batas wilayah provinsi, mereka hanya mengetahui bahwa hutan adalah milik mereka. Mereka mulai mau turun dari pegunungan dan tinggal di perkampungan ketika ada prajurit TNI yang melakukan pendekatan kepada mereka. Prajurit TNI tersebut awalnya bertugas untuk menumpas pemberontak Permesta yang terjadi pada akhir tahun 1950-an awal tahun 1960-an. Setelah pemberontak berhasil ditumpas prajurit TNI melakukan pendekatan ke masyarakat agar mereka mau tinggal di perkampungan. Perkampungan pertama yang terbentuk adalah perkampungan Pinora’a.
Arti kata Tasinamawu adalah air laut sampai di sana. Pada pinggiran gunung Tasinamawu terdapat susunan beberapa batu cadas yang biasanya hanya ada di pantai. Hal ini membuat masyarakat beranggapan bahwa di tengah gunung tersebut terdapat sebuah laut. Menurut legenda yang berkembang, pada saat masyarakat tinggal di Gunung Tasinamawu, air laut sampai
disana. Menurut mitos mereka air laut ini turun karena digonggong oleh anjing yang berukuran sebesar kuda dan merupakan peliharaan rajanya (madikanya). Bukti dari mitos tersebut terlihat dari adanya batu cadas di pinggir pantai yang dekat dengan daerah pinggiran Gunung Tasinamawu.
2.1.3 Perkembangan Desa
Pada awalnya etnik Kaili Da’a di Desa Wulai lebih banyak yang tinggal di bukit atau gunung dibandingkan yang tinggal di perkampungan. Mereka tinggal di beberapa pondok kecil terbuat dari bambu yang tingginya mencapai 20 meter dari permukaan tanah. Pada tahun 1994, kehidupan etnik Kaili Da’a sudah mulai berubah dengan mulai banyaknya masyarakat pendatang seperti etnik Bugis, Makassar atau Mandar. Mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat dari etnik lain. Walaupun pada awalnya Etnik Kaili Da’a akan lari jika bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya.
Kemudian tahun 1997 Dinas Sosial memberikan bantuan perumahan untuk Etnik Kaili Da’a karena dikategorikan sebagai etnik terasing. Saat mendapat bantuan perumahan semua penduduk dipanggil turun gunung. Pada awalnya sebagian besar masyarakat etnik Kaili Da’a kurang dapat menerima bantuan perumahan tersebut sehingga banyak rumah yang dijual karena mereka merasa kepanasan tinggal di rumah bantuan tersebut. Selain itu Desa Wulai juga semakin berkembang dengan dibangunnya jalan desa yang dibangun sekitar tahun 1995. 2.2. Geografi Dan Kependudukan
2.2.1. Geografi
Berdasarkan profil Desa Wulai tahun 2013, luas wilayah Desa Wulai adalah 57,97 km² yang terdiri dari area pertanian 2,5
km², area perkebunan 20 km², area hutan 22,87 km², area pegunungan 10 km² dan tanah kosong seluas 0,5 km². Desa Wulai dilewati beberapa sungai yang dalam bahasa setempat disebut dengan koala. Sungai yang terdapat disekitar Desa Wulai yaitu Sungai Wulai, Sungai Ujung Baru, Sungai Sinape, Sungai Pinora’a, Sungai Sinjanga, Sungai Saluwu dan Sungai Salo’otu.
Sumber air bersih di Desa Wulai salah satunya berasal dari sumber mata air yang terdapat di gunung yang kemudian disambungkan melalui pipa ke beberapa rumah warga. Namun pipa ini tidak dapat memenuhi kebutuhan air bersih seluruh masyarakat di lima dusun. Pipa ini hanya mengalir di Dusun Watubete, Dusun Wulai dan Dusun Saluwu, itupun tidak semua masyarakat di dusun tersebut dapat memanfaatkannya. Pipa air ini bukanlah pipa permanen sehingga jika hujan turun dengan deras maka sambungan pipa akan terlepas dan air tidak dapat mengalir. Air kembali mengalir jika sudah ada penduduk desa yang naik ke gunung untuk membetulkan sambungan pipa. Pipa air minum dibangun sekitar awal tahun 2000-an dan dana pembangunannya merupakan bantuan dari Australia. Pembuatan pipa dilakukan secara bergotong royong oleh warga masyarakat. Selain bantuan dari Australia, sekitar tahun 2010 juga ada bantuan pembuatan sumur air dari Pamsimas. Pamsimas membangun tempat penampungan air dan pipa yang nantinya mengalirkan air ke rumah penduduk. Agar mesin air dapat terus berjalan diperlukan bahan bakar, oleh karena itu masyarakat diminta untuk membayar iuran setiap bulannya. Pada awalnya mesin air dapat berjalan namun karena masyarakat keberatan untuk membayar iuran maka program ini tidak dapat dilanjutkan. Tidak hanya sumber air perpipaan yang dimanfaatkan sebagai sumber air bersih, masyarakat Wulai juga memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih. Masyarakat mengambil air sungai dengan cara membuat sumur. Sumur dibuat dengan cara
menggali pasir yang ada di tepi sungai. Setelah pasir digali maka air yang keruh dibuang terlebih dahulu. Setelah air agak jernih barulah air dimasukkan ke jerigen untuk persediaan air bersih.
Gambar 2.1. Pipa Sumber Air Bersih
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.2. Sumur Gali dan Pompa air Sumber: Dokumentasi Peneliti
Biasanya jika akan turun hujan, masyarakat secepatnya mengambil air untuk disimpan sebagai persediaan air bersih sebelum hujan turun. Pada saat turun hujan air sungai akan meluap dan airnya menjadi keruh. Sumber air bersih lainnya adalah air yang berasal dari sumur atau pompa. Sumur ada yang bentuknya sudah permanen dan ada juga sumur yang berupa lubang tanpa disemen. Pompa kebanyakan ada di Dusun Sinjanga yang dibangun oleh PNPM.
Selain dimanfaatkan sebagai sumber air minum, kebanyakan masyarakat Wulai menggunakan sungai untuk sarana mandi cuci kakus (MCK). Biasanya orang dewasa akan mandi di sungai ketika matahari sudah terbenam agar tidak terlihat orang lain. Kebanyakan mereka juga buang air besar di sungai karena mereka menganggap buang air besar di sungai lebih praktis. Berbeda dengan buang air besar di MCK yang ada di Desa Wulai, mereka harus mengangkat air terlebih dahulu. Fasilitas MCK di Desa Wulai memang masih sedikit dan kebanyakan MCK yang ada letaknya jauh dari sumber air.
Gambar 2.3.
Aktivitas Masyarakat di Sungai Pinora’a Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.4.
Kondisi Jalan Desa dan Air sungai saat meluap Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada mulanya sarana transportasi di Desa Wulai terdapat ojek namun saat kini masyarakat jarang memanfaatkan ojek tersebut. Masyarakat lebih memilih berjalan kaki atau menggunakan kendaraan motor pribadi atau menumpang truk perusahaan batu (Pasakora) yang melewati jalan desa tersebut untuk menuju jalan Trans Sulawesi Randomayang. Biaya ojek dari desa jalan Trans Sulawesi Randomayang dengan jarak ± 6 km sekitar Rp. 10.000,- sedangkan untuk menuju Pasangkayu, Ibukota Kab. Matra dengan jarak ± 40 km diperlukan biaya Rp. 50.000 untuk sekali jalan. Jika menggunakan sepeda motor diperlukan waktu sekitar 20 menit dari pusat Desa Wulai menuju jalan Trans Sulawesi Randomayang, sedangkan untuk tiba di Pasang Kayu dibutuhkan waktu sekitar 45 menit.
Beberapa masyarakat di Desa Wulai sudah memiliki kendaraan sebagai sarana transportasi dan diperkirakan secara keseluruhan terdapat sekitar tujuh puluh motor dan tujuh unit mobil. Dari tujuh unit mobil tersebut dua diantaranya merupakan taksi yaitu pick up yang biasa disewa masyarakat untuk mengirim
hasil panen kelapa, cokelat maupun jagung ke Kab. Donggala, Sulawesi Tengah.
Sarana transportasi yang digunakan ketika merujuk penduduk yang sakit atau melahirkan ke RSUD Ako yang terletak di Pasang Kayu adalah ambulans Puskesmas. Namun ambulans ini tidak gratis, untuk sekali pulang pergi pasien mesti membayar sekitar tiga ratus ribu rupiah.
2.2.2. Kependudukan
Berdasarkan data profil Desa Wulai tahun 2013, jumlah penduduk Desa Wulai adalah 1.918 jiwa dimana 1061 berjenis kelamin laki-laki dan 857 perempuan. Penduduk paling banyak tinggal di Dusun Watubete yaitu sebanyak 564 jiwa, sisanya di dusun lain yaitu sebanyak 386 jiwa di Dusun Wulai Satu, 226 jiwa di Dusun Sinjanga, 370 jiwa di Dusun Ujung Baru, dan 185 jiwa di Dusun Saluwu. Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a yaitu sebanyak 1040 jiwa. Namun orang di luar etnik Kaili Da’a menyebut mereka sebagai etnik Binggi atau Bunggu. Sebutan Binggi diperuntukkan untuk etnik Kaili Da’a yang tinggal di daerah pantai sedangkan Bunggu untuk mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Masyarakat Kaili Da’a sendiri tidak suka jika mereka disebut dengan Etnik Binggi atau Bunggu karena mengesankan mereka adalah masyarakat yang terbelakang. Komunitas Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai oleh Dinas Sosial digolongkan sebagai komunitas etnik terasing karena dulunya mereka hidup berpindah-pindah dan hidup terpisah dari komunitas etnik lainnya. Hal ini dikemukakan oleh informan Si yang adalah Kepala Desa Wulai berikut ini:
“Orang luar sering menyebut kami dengan etnik Binggi atau Bunggu padahal kami ini adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah. Menurut pandangan
mereka kami adalah etnik terasing karena menurut mereka kami ini masih terbelakang.“
Namun seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan mereka sekarang telah berubah, sudah banyak yang tinggal di perkampungan berbaur dengan masyarakat dari etnik lain. Masuknya etnik pendatang di Desa Wulai dimulai dari tahun 1994. Mereka awalnya datang ke Desa Wulai sebagai buruh pekerja proyek pembangunan jalan yang kemudian menetap tinggal di Desa Wulai. Sampai saat ini beberapa etnik pendatang yang tinggal di Desa Wulai adalah Etnik Mandar 437 jiwa, Bugis 58 jiwa, Makassar 27 jiwa, dan Toraja 19 jiwa. Dari lima dusun, mayoritas etnik pendatang tinggal di Dusun Ujung Baru, oleh karena itu masyarakat yang tinggal di Dusun Ujung Baru tidak termasuk subjek penelitian ini.
Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Wulai antara lain lima sekolah dasar dan dua Sekolah Menengah Pertama. Hampir di setiap dusun ada sekolah dasar kecuali di Dusun Sinjanga. Siswa SD yang tinggal di Dusun Sinjanga bersekolah di SD yang ada di Dusun Watubete dimana di dusun ini ada dua SD yaitu satu SD negeri dan satu SD swasta yang didirikan oleh gereja Bala Keselamatan.
Kebanyakan remaja di Desa Wulai yang berusia 16 tahun keatas akan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga diluar desa bahkan hingga keluar kota. Hal itu dikarenakan ketiadaan fasilitas sekolah menengah atas (SMA) didesa. Adapun remaja yang melanjutkan ke pendidikan tingkat SMA lebih memilih untuk bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) daripada di SMA dengan harapan keahlian yang dimiliki setelah sekolah dan dapat segera bekerja.
Tabel 2.1. Fasilitas Pendidikan di Desa Wulai
Nama Sekolah Murid Laki-laki Murid Perempuan
SDN Bendungan 53 49 SDN Watubete 45 46 SDN Saluwu 31 29 SDS BK Watubete 47 54 SDS BK Wulai 26 54 SMP Satu Atap SMP Ujung Baru
Sumber: Profil Kec.Bambalamotu Tahun 2012 2.2.3. Pola Tempat Tinggal
Pada awalnya etnik Kaili Da’a hidup berpindah-pindah (nomaden). Mereka akan tinggal di tempat mereka membuka lahan. Setelah selesai masa panen mereka akan pindah ke tempat lain karena mereka menganggap kesuburan tanah akan berkurang dan hasil panen berikutnya tidak akan sebanyak hasil panen pertama. Pada masa ini rumah yang mereka tempati adalah rumah yang tingginya sekitar 20 meter, terbuat dari bambu. Letak rumah satu dengan rumah yang lainnya berjauhan.
Pada perkembangannya pola tempat tinggal etnik Kaili Da’a pun berubah seiring dengan adanya bantuan rumah dari Dinas Sosial. Saat ini kebanyakan etnik Kaili Da’a tinggal di perkampungan tetapi ada juga yang tinggal di daerah pegunungan. Salah satu lokasi pemukiman yang terletak di pegunungan berada di Salo’otu yang termasuk wilayah Dusun Watubete. Rumah penduduk yang tinggal di Salo’otu berupa rumah-rumah tinggi seperti rumah yang mereka tempati ketika mereka masih hidup nomaden.
Pada umumnya rumah di daerah Salo’otu lantai dan dindingnya terbuat dari bambu dengan atap terbuat dari daun sagu. Tinggi rumah sekitar dua sampai tiga meter bahkan ada juga yang mencapai enam meter. Rumah tersebut kebanyakan tidak menggunakan paku, hanya diikat dengan menggunakan rotan yang diperoleh dari hutan. Hal ini dijelaskan oleh informan To berikut ini yang merupakan ketua adat:
“Rumah kami terbuat dari bambu dimana tiangnya terbuat dari bambu, lantainya dari bambu dan kami tidak menggunakan paku, kami mengikatnya dengan menggunakan rotan, pemilihan bambu juga tidak sembarang bambu usianya minimal harus 5 tahun”.
Proses pembangunan rumah masyarakat Kaili Da’a memerlukan persiapan yang matang. Pemilihan bahannya juga diperlukan waktu yang cukup lama terutama bahan untuk pembuatan tiang. Bahan untuk pembuatan tiang adalah bambu yang sudah siap untuk ditebang, minimal berumur lima tahun. Atapnya terbuat dari daun sagu yang pembuatannya memakan waktu satu minggu untuk satu rumah, itupun tergantung dari besarnya rumah tersebut.
Untuk naik ke atas rumah tinggi maka digunakan sebilah bambu yang dilubangi sedikit setiap 50 cm sebagai tempat pijakan kaki. Ruangan dalam rumah biasanya terdiri dari tiga ruang yaitu ruang bagian depan, ruang tidur dan dapur. Dapur biasanya juga berada di dalam rumah. Untuk mencegah lantai yang terbuat dari bambu terbakar maka tungku dapur dialasi tanah liat.
Gambar 2.5. Rumah Tinggi Etnik Kaili Da’a Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.6.
Rumah di Perkampungan Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kebanyakan rumah di Desa Wulai baik rumah tinggi ataupun bukan tidak memiliki tempat khusus pembuangan sampah. Mereka biasanya mengumpulkan sampah di belakang atau pekarangan rumah kemudian membakarnya. Saat ini kebanyakan masyarakat Kaili Da’a sudah tinggal di perkampungan, namun mereka juga memiliki rumah pondok di kebun mereka. Sehari-hari masyarakat lebih banyak tinggal di pondok yang ada di kebun mereka dan mereka akan turun pada hari Sabtu sore karena hari minggunya mereka akan beribadah di gereja.
Gambar 2.7.
Rumah di perkampungan di Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti
Masyarakat Kaili Da’a memiliki bangunan khusus tempat diadakannya pertemuan atau upacara adat. Bangunan ini disebut dengan bantaya. Jika ada permasalahan yang harus diselesaikan dengan adat maka masyarakat akan berkumpul di bantaya. Pertemuan ini akan dipimpin oleh ketua adat dengan mengundang pihak yang bermasalah beserta beberapa orang
masyarakat sebagai saksi. Selain itu bantaya juga digunakan untuk acara perkawinan atau upacara adat. Setiap dusun di Desa Wulai memiliki bantaya kecuali di Dusun Ujung Baru karena hanya sedikit etnik Kaili Da’a yang tinggal di dusun ini.
Gambar 2.8. Bantaya
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Desa Wulai memiliki dua pasar yaitu yang berlangsung di Dusun Watubete setiap hari minggu pukul 07.00-10.00 WITA dan pasar di Dusun Ujung Baru setiap hari Rabu jam 07.00-12.00 WITA. Pasar ini bersifat sementara dan orang yang berjualan pun tidak banyak. Pasar yang cukup besar adalah Pasar Randomayang yang berlangsung setiap hari Sabtu dari pukul 07.00-12.00 WITA. Pasar ini terletak di pinggir jalan trans Sulawesi Randomayang.
Untuk menuju Pasar Randomayang terdapat dua jalan yang dapat dilalui. Jalan pertama melewati sungai Ujung baru yang merupakan muara dari semua aliran sungai di Desa Wulai. Pada saat musim hujan, sungai ini sulit dilalui karena air sungai meluap. Jalan kedua melewati bukit di Dusun Wulai yang baru selesai dibuat oleh perusahaan. Kondisi jalan di bukit tersebut
berkerikil dan cukup terjal membuat masyarakat harus berhati-hati jika melewati jalan ini terlebih saat hujan turun, jalan akan menjadi licin.
Gambar 2.9. Pasar di Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti
2.3. Sistem Religi
2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional
Pada awalnya etnik Kaili Da’a adalah penganut animisme. Mereka menyembah arwah leluhur melalui perantara gunung, pohon atau batu. Kemudian pada akhir tahun 1960-an agama Kristen mulai masuk yang dibawa oleh seorang pendeta dari etnik Kaili Da’a yang berasal dari Sulawesi Tengah. Pendeta tersebut menyebarkan agama Kristen dengan cara masuk ke hutan di daerah pegunungan tempat etnik Kaili Da’a tinggal. Dengan pendekatan yang dilakukannya pendeta tersebut dapat membuat etnik Kaili Da’a memeluk agama Kristen.
Sebelum memeluk agama Kristen masyarakat Kaili Da’a memiliki ritual-ritual adat yang rutin mereka lakukan seperti
ritual membuka lahan, pesta panen ataupun ritual menyambut hari lahir seorang anak yang disebut dengan Powati. Ketika masyarakat Kaili Da’a sudah memeluk agama Kristen berbagai ritual tersebut sudah tidak rutin dilakukan. Hal ini disebabkan pendeta melarang masyarakat melakukan ritual adat karena beberapa diantaranya dianggap masih terpengaruh animisme, seperti uraian informan Al berikut ini yang adalah pendeta di Desa Wulai:
“Contohnya mereka membuat adat salah satunya ‘Powati’, akan dibuatkan. Setiap anak didandani dengan memakai pakaian kulit kayu supaya anak itu bebas dari gangguan roh-roh jahat. Setelah dibuatkan adatnya anak itu akan selamat. Kadang-kadang ada hal yang bertentangan dengan agama seperti sesajen yang diperuntukkan untuk roh-roh itu.”
Penduduk Desa Wulai yang masih melakukan ritual adat adalah masyarakat Kaili Da’a yang tinggal di Dusun Saluwu. Untuk dusun lainnya mereka melakukan beberapa ritual adat secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh pendeta. Dusun yang seperti ini adalah dusun yang ada Gereja Bala Keselamatan yaitu Dusun Watubete, Wulai Satu dan Sinjanga. Pendeta dari Gereja Bala Keselamatan melarang masyarakat melakukan ritual adat tertentu karena ada perbuatan yang dianggap menyekutukan Tuhan. Ritual pesta panen dilarang untuk dilakukan karena memanggil roh-roh yang sudah meninggal ditambah lagi dengan adanya sesajian yang dipersiapkan untuk arwah leluhur. Meskipun pelaksanaan acara tersebut dilarang oleh gereja Bala Keselamatan namun mereka masih sering melakukan ritual adat secara sembunyi-sembunyi atau melaksanakan ritual tersebut di desa lain.
2.3.1.1. Ritual Adat Nompo Poyu
Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, penduduk Desa Wulai adalah etnik Kaili Da’a yang berasal dari daerah Gunung Pinembani di Sulawesi Tengah. Mereka sampai ke daerah Mamuju Utara untuk mencari lahan perkebunan baru. Setelah menemukan lahan perkebunan baru sebelumnya mereka akan mengadakan ritual adat nompo poyu.
Tujuan dari ritual adat nompo poyu adalah untuk meminta keselamatan dan perlindungan terhadap hal-hal ghaib yang dapat mengganggu kehidupan mereka. Ritual ini dimulai ketika pemimpin adat menyembelih seekor ayam jantan kemudian jantung dan empedunya dipisahkan dari dagingnya. Setelah jantung dan empedunya dipisahkan, pemimpin adat akan memperhatikan dengan saksama kedua organ ayam tersebut. Apabila kondisinya baik menurut kepercayaan mereka maka mereka akan pindah ke tempat yang telah mereka pilih sebagai lahan perkebunan dan pemukiman baru. Namun apabila kondisi kedua organ ayam kurang baik maka mereka tidak dapat menempati lokasi lahan perkebunan yang telah mereka pilih karena dianggap belum direstui oleh arwah leluhur mereka.
Masyarakat Kaili Da’a mempercayai setiap tanah itu ada penghuninya maka setiap mereka hendak menempati tanah baru mereka harus menyembelih seekor babi dan darahnya dicurahkan ke tanah. Kegiatan ini disebut porantana yang dalam bahasa Kaili Da’a artinya tanah itu meminta darah. Darah yang dicurahkan ke tanah bertujuan untuk meminta keselamatan kepada makhluk ghaib yang menempati tanah tersebut.
2.3.1.2. Ritual Adat Pesta Panen
Ritual adat lain yang biasa dilakukan Etnik Kaili Da’a adalah ritual pesta panen. Ritual ini dilakukan ketika masa panen
tiba sebagai ucapan syukur kepada leluhur mereka atas hasil panen yang mereka peroleh selama setahun. Sebelum ritual ini dimulai, dipersiapkan sesajian makanan, daun sikakuri dan daun salembangu yang digunakan untuk menyadarkan orang yang kemasukan setan. Sebagai makanan khas dibuatlah nasi yang dibungkus daun kemudian dimasukkan ke dalam bambu untuk disantap bersama-sama. Selama ritual ini ada prosesi pemanggilan arwah-arwah leluhur melalui nyanyian yang mereka lantunkan yang disebut dengan povae.
Nyanyian dalam povae menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa keseharian masyarakat Kaili Da’a. Bahasa nyanyian ini adalah bahasa yang digunakan oleh leluhur mereka yang mengandung arti penyembahan, hal ini membuat tidak sembarang orang bisa menyanyikannya. Povae biasanya dilakukan sambil duduk oleh lebih dari lima orang yang bernyanyi sambil bersahut-sahutan. Dahulu povae dilakukan sambil memakai pakaian kulit kayu yang merupakan pakaian khas Etnik Kaili Da’a. Namun saat ini pemakaian pakaian kulit kayu sudah jarang dilakukan dikarenakan yang memiliki pakaian kulit kayu jumlahnya tinggal sedikit.
Povae biasanya dilakukan sambil barego atau potaro. Barego adalah tarian persahabatan, tarian pesta. Potaro adalah
tarian perang karena terdapat unsur magisnya ditandai dengan adanya orang yang dapat berjalan di atas api, memegang besi panas, badan ditusuk benda tajam, namun orang tersebut tidak apa-apa.
Saat ini di Desa Wulai ritual pesta panen sudah jarang dilakukan dikarenakan adanya larangan dari Gereja Bala Keselamatan. Sebagai penggantinya dilakukan acara ucapan syukur di gereja untuk bersyukur kepada Tuhan atas hasil panen yang didapat. Selain itu pesta panen juga jarang dilakukan karena
saat ini hanya sedikit masyarakat yang menanam padi jagung di lahan mereka.
Gambar 2.10.
Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual Sumber: Dokumentasi Peneliti 2.3.1.3. Ritual Adati Powati
Powati biasa dilakukan untuk memperingati ulang tahun
yang dilakukan sekali seumur hidup dan biasanya dilakukan pada masa kanak-kanak. Powati dilakukan agar anak tidak diganggu oleh makhluk halus dan terhindar dari penyakit. Pantangan bagi orang yang belum melakukan Powati yaitu tidak boleh mengkonsumsi minyak kelapa, tidak boleh memegang kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), dan tidak boleh memegang bunga warna merah yang dipakai saat acara Powati. Apabila hal tersebut dilanggar menurut kepercayaan masyarakat dipercayai nantinya muncul luka di kepala, gatal-gatal, sering sakit seperti sakit malaria, seperti penjelasan ibu NK berikut ini:
“Powati tidak terhitung dari umur berapa, sekali seumur hidup diundang semua. Kalau Powati tidak dilaksanakan nanti pertumbuhan anak tidak sehat.”
Ritual Powati dapat dilakukan secara bersama-sama hingga pesertanya bisa mencapai sepuluh orang, dimana setiap peserta harus menyerahkan satu ekor babi. Sebelum ritual ini dimulai, beberapa perlengkapan perlu disiapkan seperti piring batu, loyang, dulang, kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), satu ekor ayam, tiga hingga sepuluh bulu burung siora. Semua perlengkapan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya dibacakan mantera.
Sehari sebelum ritual Powati dimulai, anak yang akan
di-Powati tidak boleh keluar rumah. Kemudian seekor ayam
dipotong dan dibakar. Sebelumnya agar makhluk halus tidak mengganggu ayam dibacakan mantera terlebih dahulu. Keesokan paginya ritual Powati dilaksanakan, anak-anak keluar rumah dengan menuruni anak tangga untuk menginjak babi yang masih hidup di bawah tangga rumah. Sebagai tanda bahwa ritual
Powati sedang dilaksanakan maka di depan rumah diletakkan
bambu kuning yang diikat di batang kayu dan ketupat yang digantung. Selepas babi tersebut diinjak, maka salah seorang anggota keluarga membunuh babi tersebut dengan tombak kemudian memotong dan membakar babi tersebut. Tiga bagian tubuh babi seperti usus dan kedua telinga babi disimpan untuk dimakan oleh anak yang di Powati pada hari ketiga usai acara. Hal ini bertujuan agar anak tidak gampang sakit. Kemudian ketua adat memakaikan kalung adat ke anak yang di Powati secara bergantian.
Ritual Powati tidak boleh sembarang dilakukan dan harus mengikuti rangkaian adat orangtuanya terdahulu. Misalnya, jika anak yang di-Powati anak dari pihak ayah maka perlengkapan yang harus disiapkan adalah perlengkapan yang sama dengan ketika ayah anak tersebut di-Powati. Apabila perlengkapannya tidak sama maka Powati harus diulang karena dianggap tidak sah.
pernah melakukan Powati. Bagi sebagian masyarakat menganggap jika Powati terlambat dilakukan atau baru dilakukan saat dewasa maka penyakit akan cepat datang.
2.3.1.4. Perkawinan
Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai mengenal dua jenis perkawinan yaitu perkawinan secara adat dan secara agama. Perkawinan secara agama dilakukan di gereja dan disahkan oleh pendeta sedangkan perkawinan secara adat disahkan oleh ketua adat. Kebanyakan masyarakat Wulai melakukan perkawinan secara agama dan adat. Namun terkadang ada masyarakat yang melakukan perkawinan secara adat saja. Hal ini biasanya dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama.
Jika ada pasangan yang hendak menikah, pertama kali harus memberitahu ketua adat. Selanjutnya ketua adat akan mencari tahu apakah kedua pasangan ini masih memiliki hubungan keluarga atau tidak. Selain itu jika perkawinan terjadi karena pihak keluarga perempuan melapor kepada ketua adat maka ketua adat akan mempelajari kesalahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Kemudian denda disesuaikan dengan adat yang dimiliki oleh perempuan.
Dalam hukum adat masyarakat Kaili Da’a ada aturan yang melarang laki-laki dan perempuan yang belum menikah berduaan di malam hari. Jika ketahuan berduaan dan ada yang pihak yang melapor ke ketua adat maka mereka akan dikenakan denda adat. Biasanya yang melapor dari pihak perempuan dan yang harus membayar denda adat adalah pihak laki-laki.
Bila ditinjau secara adat, mahar seorang wanita ialah babi satu ekor, ayam dan dulang. Secara adat terdapat larangan menikah bagi masyarakat yang masih memiliki hubungan darah atau keluarga dekat. Keluarga dekat seperti saudara sepupu
sekali hingga dua kali maupun kemenakan yang menikah dengan pamannya.
Perkawinan yang paling dilarang adalah ketika paman hendak menikahi keponakannya. Apabila perkawinan ini terjadi maka pihak laki-laki ini harus membayar denda adat minimal lima ekor babi. Jika terjadi perkawinan antar sepupu maka yang paling berat dendanya adalah pernikahan antar sepupu satu kali. Selain tambahan babi, denda adat juga berupa tambahan kain adat (mesa), kalung yang terbuat dari kuningan yang tahan terbakar api (putiara goronasi), gelang kuningan asli, dan biji-biji kalung (wuku saya).
Untuk menentukan mahar dilihat dari adat yang dipakai oleh orangtua calon pengantin perempuan ketika menikah. Adat ini berlaku turun temurun dari nenek moyang calon pengantin perempuan. Dalam menentukan mahar terdapat dua adat yaitu adat tujuh (poki papitu) dan adat sembilan (poki sasio). Perbedaan adat tujuh dengan adat sembilan ialah jumlah dulang atau piring batu yang dipakai. Apabila menggunakan adat tujuh maka diperlukan tujuh buah dulang atau piring batu sedangkan dalam adat sembilan diperlukan sembilan buah dulang. Saat ini untuk mendapatkan dulang atau piring batu cukup sulit sehingga berdasarkan keputusan ketua adat piring batu tersebut dapat diganti dengan menggunakan piring keramik. Apabila dulang tersebut diganti dengan piring keramik maka adat tujuh dan adat sembilan dikalikan dengan sepuluh buah piring, untuk adat tujuh maka diperlukan 70 buah piring sedangkan adat sembilan diperlukan 90 buah piring. Mahar untuk pernikahan dapat dicicil atau dibayarkan setelah pernikahan berlangsung.
Setelah mahar ditetapkan dan semua perlengkapan perkawinan dipersiapkan maka tibalah waktu perkawinan. Pada malam sebelum perkawinan dilangsungkan maka dilaksanakan pemotongan ayam dan babi yang darahnya dicurahkan ke tanah.
Tujuan pemotongan hewan ini agar pasangan yang hendak menikah diberikan keselamatan dan terhindar dari masalah atau bencana.
Setelah babi dipotong kemudian jantung babi dipisahkan dari dagingnya. Menurut kepercayaan etnik Kaili Da’a, jantung babi merupakan benda sakral yang dapat menjadi petanda kelanjutan hidup dari mereka dalam segi kesehatan, keselamatan, rejeki. Jantung babi yang dianggap memberi petanda baik adalah jantung babi yang sudah keras dan warnanya merah kebiruan. Selain memotong babi juga dilakukan pemotongan ayam.
Ketika hari perkawinan, jika perkawinan dilakukan secara agama dan adat maka pada pagi harinya pengantin menikah dulu di gereja yang disahkan oleh pendeta. Kemudian dilanjutkan dengan acara adat yang biasanya dilakukan di bantaya. Jika calon pengantin berusia dibawah umur maka pernikahan biasa dilakukan di rumah yang disahkan oleh pendeta.
Saat ini tidak semua perkawinan di Desa Wulai dilaksanakan dengan mengikuti adat Etnik Kaili Da’a. Beberapa perkawinan sudah dilakukan secara modern baik dari segi pakaian ataupun hiburan yang ditampilkan. Dari segi pakaian, pengantin menggunakan busana modern yaitu jas bagi pengantin pria dan gaun putih bagi pengantian wanita. Hiburan yang ditampilkan adalah musik organ tunggal yang terkadang diiringi dengan ma’dero. Ma’dero dilakukan oleh penonton pria dan
wanita, mereka menari dengan diiringi dengan irama musik dari organ tunggal.
2.3.1.5. Kematian
Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai biasaya akan mengadakan acara peringatan hari kematian jika ada anggota keluarganya yang meninggal. Acara ini dilakukan mulai dari
malam ketiga, malam ketujuh, malam ke-40 dan malam ke-100. Tujuan pelaksanaan upacara adat keagamaan ini adalah untuk mengenang dan mendoakan orang yang meninggal.
Sebagian masyarakat memiliki kepercayaan jika orang yang meninggal belum 14 hari, maka keluarga yang ditinggalkan belum dapat beraktifitas. Setelah 14 hari anggota keluarga yang ditinggalkan baru boleh beraktifitas seperti bercocok tanam. Apabila hal ini dilanggar maka mereka tidak akan mendapatkan hasil dari bercocok tanam.
Pada acara malam ke-40 atau ke-100 malam acara yang dilakukan termasuk ke dalam pesta besar. Maka untuk menyediakan tamu yang diundang dilakukan pemotongan babi. Pada malam ketiga atau ketujuh cukup dilakukan pemotongan ayam atau menyediakan kue-kue untuk para tamu. Selain memotong babi pada acara malam ke-40 terkadang juga disertai dengan acara madero. Acara ini biasanya dilakukan setelah selesai acara berdoa.
Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga mempercayai adanya makhluk ghaib atau setan yang dapat menyebabkan kematian. Mereka menyebutnya pok-pok dimana pok-pok adalah manusia biasa yang memiliki ilmu hitam yang bisa terbang melayang-layang pada waktu malam hari. Biasanya orang yang pok-pok datangi meninggal karena isi perutnya dipercaya sudah tidak ada lagi karena telah dimakan oleh pok-pok.
Pada siang hari pok-pok adalah manusia namun pada malam hari dia berubah menjadi hantu pok-pok. Ketika malam hari kepalanya dapat meninggalkan tubuhnya dan mencari orang-orang yang dapat diganggu. Kehadiran pok-pok biasa diketahui dari langkahnya yang berbunyi “pok..pok” ketika melewati atap rumah sehingga masyarakat menyebutnya hantu
pok. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pok-pok seringkali mendatangi orang yang akan meninggal selain itu
pok-pok dipercaya dapat menjadi penyebab kematian. Menurut
masyarakat untuk mengetahui siapa pok-pok yang datang menganggu saat malam hari biasanya mereka berbicara dari dalam rumah seraya memberikan janji untuk memberi garam atau cabe esok hari. Pada pagi buta biasanya pok-pok akan datang menagih janjinya.
2.3.2. Praktek Keagamaan
Mayoritas penduduk Desa Wulai adalah penganut agama Kristen Protestan. Terdapat tiga gereja Bala Keselamatan di Desa Wulai yaitu Gereja Pinora’a yang ada di Dusun Watubete, Gereja Wulai di dusun Wulai Satu, gereja Sinjanga di dusun Sinjanga sedangkan di Dusun Saluwu gereja yang ada adalah Gereja Toraja-Mamasa. Pada dusun yang terdapat Gereja Bala Keselamatan ibadah biasa dipimpin oleh opsir atau pendeta yang tinggal di dusun tersbut. Di Dusun Saluwu pendeta tidak menetap tinggal di dusun tersebut dan biasanya pendeta akan datang setiap hari Minggu. Pendeta tersebut tinggal di Desa Kalukunangka yang bersebelahan dengan Dusun Saluwu. Apabila pendeta tidak datang pemimpin kegiatan peribadatan dapat digantikan oleh asisten pendeta yang tinggal menetap di Dusun Saluwu.
Kegiatan keagamaan yang dilakukan gereja Bala Keselamatan berbeda dengan Gereja Toraja Mamasa. Kegiatan ibadah Gereja Bala Keselamatan terdiri dari Ibadah pemuda jumat malam (malam sabtu). Ibadah ini diperuntukkan untuk pemuda yang berumur 12-25 tahun. Pada hari sabtu pukul empat sore diadakan ibadah untuk kaum ibu disebut juga Persekutuan Kaum Wanita (PKW). Biasanya jumlah jamaat yang datang sekitar 30 orang. Kadang kala di PKW ada acara seperti berbagai lomba untuk kaum wanita.
Kemudian setiap bulan di mingggu ketiga PKW juga mengadakan penyuluhan kesehatan yang diisi oleh ibu bidan. Topik penyuluhan tergantung dari buku penuntun PKW dari pusat yang memberi penyuluhan kesehatan adalah ibu bidan. Pada hari minggu pagi dari pukul delapan sampai sembilan pagi diadakan sekolah minggu untuk anak-anak dan dilanjutkan dengan ibadah umum untuk jamaat laki-laki dan perempuan dari pukul 10.00-11.00. Kemudian dilanjutkan dengan ibadah kaum bapak pada pukul 11.00-12.00. Bagi mereka yang tidak sempat beribadah pada minggu pagi maka ada ibadah pengganti yang dilaksanakan pada pukul 18.00-19.00.
Gambar 2.11.
Aktivitas Keagamaan Sekolah Minggu Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain itu setiap senin pagi juga dilaksanakan doa pagi di gereja dari jam 05 - 5.30. Ibadah ini bisa dilakukan semua orang tidak hanya untuk sedang melakukan pergumulan pribadi. Ibadah doa pagi ini untuk mengawali awal minggu agar tuhan menjauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Berbeda dengan Gereja Bala Keselamatan, kegiatan ibadah Gereja Toraja-Mamasa di Dusun Saluwu berlangsung pada