POTRET KESEHATAN
3.1. Kesehatan Ibu Dan Anak 1. Remaja
3.1.5. Proses Persalinan
Kebanyakan ibu hamil di Desa Wulai lebih memilih melahirkan (mangote ngana) di rumah dengan dibantu keluarga dan dukun (topo tawui) daripada melahirkan di fasilitas kesehatan seperti di Poskesdes dengan ditolong tenaga kesehatan (bidan). Mereka menganggap persalinan normal adalah persalinan yang dilakukan di rumah tanpa dibantu bidan. Selain itu menurut mereka melahirkan di rumah merupakan sesuatu yang wajar dan sudah turun temurun dilakukan oleh
keluarga mereka. Adapun alasan lain untuk melahirkan di rumah dikarenakan mereka merasa malu apabila melahirkan ditolong bidan alat kelamin mereka akan terlihat.
Pihak yang terlibat dalam persalinan yang dilakukan di rumah adalah keluarga dari ibu bersalin dan dukun tiup (topo
tawui). Topo tawui adalah dukun yang dapat menyembuhkan
semua penyakit namun tidak semua topo tawui dapat membantu melahirkan. Selain topo tawui terkadang keluarga juga memanggil pendeta untuk turut berdoa agar proses persalinan berjalan lancar. Sedangkan anggota keluarga yang terlibat dalam persalinan adalah suami dan orang yang dituakan seperti ibu dari ibu bersalin, kakek atau nenek atau tante.
Adapun teknik melahirkan di rumah yang dilakukan yaitu dengan cara duduk diatas bangku kecil yang terbuat dari kayu. Dalam posisi duduk kaki ditekuk dan dibuka lebar sembari berpegang pada kain yang digantungkan di tiang rumah. Pada saat akan melahirkan ibu biasa memakai sarung yang digunakan untuk menutupi dada hingga kaki. Terkadang perut bagian atas diikat dengan menggunakan sarung atau bisa juga dipegangi sendiri. Suami ibu hamil memeluk ibu yang akan melahirkan dari belakang.
Pada saat persalinan berlangsung topo tawui memberikan tiupan dan mantera agar bayi segera lahir dengan selamat. Selain itu topo tawui juga akan memberikan air putih yang telah ditiup kepada ibu pada saat menjelang persalinan. Topo tawui menganggap sakit perut yang dialami ibu yang akan melahirkan dikarenakan bayi didalam kandungan sedang mencari jalan keluar. Topo tawui akan mengusap bagian punggung dan kepala ibu sembari membacakan dowa (mantera) apabila bayi sudah mau keluar. Menurut mereka apabila setelah ditiup maka rasa sakit di perut ibu akan berkurang. Apabila sakit perut kembali
datang dan dalam satu jam bayi belum keluar, maka topo tawui akan meniupnya kembali. Berikut penuturan topo tawui SM:
“…kita liat dulu to sakitnya kalo mau keluar baru kita ditiup karena itu anak-anak didalam begitu satu jam atau setengah jam dia masih berputar-putar to. Kalo satu jam belum keluar ditiup lagi.”
Tiupan yang dilakukan topo tawui sembari membaca mantera dimaksudkan agar bayi segera lahir. Tiupan ini juga bertujuan untuk mengusir roh halus atau setan yang dapat mengganggu ibu selama proses persalinan. Selain topo tawui yang mendampingi ibu bersalin, keluarga ibu yang dituakan akan duduk di dekat lutut ibu untuk mengambil bayi ketika sudah lahir.
Gambar 3.1.
Proses persalinan yang dilakukan dirumah Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bayi yang telah lahir kemudian diangkat oleh orang yang dituakan. Selain itu orang yang dituakan juga akan menunggu hingga ari-ari bayi keluar. Apabila tali pusat atau air-ari tidak
keluar, maka orang yang dituakan akan membantu mengeluarkannya. Ketika tali pusat (valaampuse) sudah dikeluarkan maka tali pusat dipotong dengan menggunakan bambu (volo) yang diruncingkan.
Gambar 3.2.
Alat untuk memotong tali pusat bayi Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kemudian panjang tali pusat diukur terlebih dahulu hingga sepanjang lutut bayi. Setelah itu untuk menentukan bagian mana yang akan dipotong akan dicari bagian yang tipis pada bagian tulang rawan tali pusat untuk selanjutnya dilakukan pemotongan. Pemotongan tali pusat dilakukan dengan menggunakan bambu yang diruncingkan dengan ubi jalar sebagai alas penopang. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pemotongan tali pusat yang licin. Tali pusat yang telah dipotong kemudian diikat dengan benang jahit atau benang yang lebih kuat dari benang jahit yang didapat dari hutan (valagombe). Tali pusat diberi kunyit yang telah ditumbuk halus atau obat merah untuk mengobati luka bayi akibat pemotongan tali pusat.
Tali pusat bayi yang baru lahir biasanya dikeringkan. Setelah kering kemudian dibungkus dengan kain untuk dijadikan kalung, diikat di pinggang maupun disimpan begitu saja. Pada umumnya masyarakat Wulai menganggap plasenta adalah saudara si bayi dan harus diperlakukan dengan baik. Plasenta (tavuni) bayi dicuci hingga bersih kemudian dibungkus dengan kain kemudian diikat dan selanjutnya dikubur di pekarangan yang berdekatan dengan tiang rumah oleh ayah si bayi. Apabila pada malam hari bayi rewel maka orangtuanya akan meletakkan pelita diatas tempat mengubur ari-ari.
Proses persalinan di rumah salah satunya terjadi pada ibu SH. Ketika peneliti menemui ibu SH pertama kali, ibu SH sedang hamil sembilan bulan dan dari pertemuan awal dengan ibu SH terlihat bahwa ibu SH berencana melahirkan dibantu dengan bidan. Dua minggu kemudian ibu SH melahirkan di rumah dengan dibantu keluarganya dan topo tawui. Berikut penuturan tante ibu SH yaitu ibu SR yang menceritakan kronologis proses melahirkan ibu SH:
“Ibu Sh sudah melahirkan jam 7 pagi tadi. Melahirkan dengan cara berduduk pakai bantal. Sakitnya tidak sampai satu jam. Saya bantu di depan memegang perutnya, kasih turun anak. Suaminya Sherly di belakang, baku ganti. Tidak sampai satu jam keluar bayi. Tali pusar dipotong oleh papa Steven pakai bambu. Ketika melahirkan banyak mengeluarkan darah, ditiup saja. Ibu Sherly sudah melahirkan jam 7 pagi tadi. Melahirkan dengan cara berduduk pakai bantal. Sakitnya tidak sampai satu jam. Saya bantu di depan memegang perutnya, kasih turun anak. Suaminya Sherly di belakang, baku ganti. Tidak sampai satu jam keluar bayi. Tali pusar dipotong oleh papa Steven pakai bambu. Ketika melahirkan banyak mengeluarkan darah, ditiup saja.”
Apabila bidan mengetahui ada ibu hamil yang akan melahirkan, biasanya bidan akan menyarankan agar ibu melahirkan di Poskesdes. Seringkali bidan mendapatkan penolakan apabila harus meminta ibu ke Poskesdes. Hingga mereka pun ada yang seolah terpaksa melahirkan di Poskesdes. Seperti halnya penuturan TR berikut ini:
“Ya melahirkan di Pustu dulu itu, mau gimana bidan tidak mau pergi-pergi (pergi dari rumah). Dia (bidan) tunggu disini lama terus bawa letnan (pendeta), ya mau gimana lagi.”
Untuk mendapatkan informasi siapa saja ibu hamil yang sudah melahirkan di rumah, biasanya bidan meminta bantuan kader kesehatan untuk memberikan informasi. Jika ada ibu hamil yang melahirkan di rumah akan didenda 300-500 ribu. Namun peraturan ini tidak dapat diterapkan ke semua warga. Hal itu harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian keluarga di Desa Wulai. Jika tidak mampu maka denda tidak diterapkan. Jika ibu hamil melahirkan di rumah tidak memiliki jamkesmas dan memanggil bidan untuk membantu melakukan persalinan di rumah dikenakan biaya Rp. 300-500 ribu.
Apabila ada ibu yang akan melahirkan dan bidan tidak dapat menangani persalinan biasanya ibu akan dirujuk ke RSUD Kab. Mamuju Utara atau Rumah Sakit Undata di Palu. Bidan akan berkonsultasi terlebih dahulu melalui telepon apakah pasien dapat ditangani di RSUD Kab Mamuju Utara dan apabila tidak dapat ditangani biasanya bidan akan segera melakukan rujukan ke Palu. Bidan membantu mengurus proses rujukan pasien, apabila pasien tidak memiliki kartu jamkesmas bidan akan
membantu mengusahakan dengan meminjamkan kartu
jamkesmas milik orang lain. Pasien yang akan dirujuk biasanya dijemput dengan menggunakan ambulans. Apabila merujuk pasien ke rumah sakit kabupaten maka harus membayar biaya
ambulans sebesar Rp. 150.000 untuk sekali jalan. Sedangkan apabila dirujuk ke Rumah sakit Undata Palu maka biaya ambulans sebesar Rp. 850.000 untuk sekali jalan.