• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal

KEBUDAYAAN ETNIK KAILI DA’A

2.4. Organisasi Sosial Dan Kemasyarakatan 1. Sistem Kekerabatan

2.4.2 Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal

Pada adat masyarakat Kaili Da’a tidak ada aturan yang secara jelas membagi masyarakat menjadi lapisan atas atau bawah. Namun pada kenyataannya anggota masyarakat yang masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Dombu atau Pinembani akan lebih dihormati dibandingkan dengan anggota masyarakat yang lain. Keturunan raja yang paling dihormati adalah yang disebut ummah. Ummah adalah keturunan raja dari kalangan etnik Kaili Da’a. Apabila raja memiliki tiga orang anak

maka bukan ke tiga-tiganya akan mendapat gelar ummah karena untuk mendapatkan gelar ummah seseorang harus memiliki sifat yang menyerupai orangtua dari raja tersebut.

Selain keturunan raja, posisi ketua adat juga mendapat penghormatan yang lebih di masyarakat. Ketua adat memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat. Ketua adat memiliki peranan menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi di masyarakat. Masing-masing dusun di Desa Wulai memiliki satu orang ketua adat kecuali di Dusun Ujung Baru yang mayoritas penduduknya bukan etnik Kaili Da’a. Ketua adat dipilih oleh masyarakat tiap dusun secara musyawarah. Ketua adat yang dipilih adalah mereka yang memahami tentang tata cara dan hukum adat.

Penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Kaili Da’a Wulai dilakukan secara musyawarah. Jika konflik terkait dengan sengketa tanah maka pada awal penyelesaian dilakukan oleh kepala dusun. Jika kepala dusun tidak dapat menemukan titik temu maka akan dilaporkan ke kepala desa. Pada jenis masalah yang terkait dengan pelanggaran hukum adat maka akan diselesaikan di bantaya dengan memanggil ketua adat. Hal ini diutarakan informan SO berikut ini:

“Iya masing-masing dusun ada ketua adat, jadi kalau ada masalah yang tidak bisa yang mereka selesaikan disana baru ada kebersamaan di setiap dusun itu untuk menyelesaikan. Saling memanggil mereka, tokoh-tokoh adat itu bagaimana merampungkan sampai bisa selesai.”

Pada kehidupan masyarakat Kaili Da’a terdapat hukum adat yang mengatur tata cara kehidupan. Hukum adat ini mengatur perbuatan atau perilaku apa saja yang tidak boleh dilakukan. Apabila masyarakat melakukan perbuatan yang dilanggar maka akan terkena sanksi adat berupa denda yang besarnya bervariasi tergantung pelanggaran yang dilakukan.

Salah satu hukum adat dalam masyarakat Kaili Da’a mengatur tentang tata cara pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Mereka yang belum menikah tidak boleh terlihat berduaan di malam hari tanpa ada orang lain yang dapat menjelaskan alasan mereka berdua-duaan. Jika hal ini terjadi dan dari pihak perempuan ada yang melapor ke ketua adat maka akan terkena sanksi adat.

Pada umumnya denda tersebut berupa satu ekor babi dan tiga buah dulang dimaksudkan untuk denda adat sedangkan satu ekor babi dan tiga dulang untuk mahar. Apabila dari pihak laki-laki bertanggung jawab maka akan diurus atau dinikahkan, sedangkan apabila tidak mau menikah maka akan berlaku denda berupa satu ekor babi, piring batu (dulang) dan lima belas piring keramik dan jumlah denda tersebut tergantung dari keputusan ketua adat.

Denda yang cukup berat bagi masyarakat berlaku manakala perempuan sudah hamil dan laki-laki tidak mau bertanggungjawab. Laki-laki tersebut akan didenda babi tiga ekor dan loyang jaman dahulu (dulang) sesuai dengan adat yang dimiliki oleh perempuan yaitu adat tujuh atau adat sembilan. Total jumlah piring tersebut dapat ditambah dua buah piring jadi dari jumlah tujuh puluh menjadi tujuh puluh dua untuk adat tujuh sedangkan untuk adat sembilan dari yang mulanya sembilan puluh menjadi sembilan puluh dua. Satu ekor babi dan tiga buah dulang digunakan untuk keselamatan tanah leluhur atau desa tersebut. Ada bahasa tertentu atau mantera yang dibacakan oleh ketua adat untuk berbicara dengan penguasa alam sebagai permohonan maaf atas apa yang dilakukan oleh anak cucu mereka agar ditanah tersebut tidak ditimpa bencana ke masyarakat sekitar. Tidak hanya itu laki-laki tersebut juga akan didenda berupa uang dan memberikan makan perempuan yang

dihamili tersebut sampai dengan tiga bulan setelah anaknya lahir. Berikut penjelasan ketua adat SG:

“Misalnya perempuan hamil kalo laki-laki tidak mau itu berat lagi itu dendanya, kalo dia hamil dan perempuannya tidak mau dia kawini itu berat lagi itu. Tidak hanya babi itu, kalo orang disini mahal. Uang, Berat.. Babi, Uang, baru dikasih makan mamanya dikasih makan anaknya didalam sampai 3 bulan. Misalnya lahir bulan ini maka sampai 3 bulan kemudian baru lepas”.

Pada kasus perceraian juga mendapat perhatian khusus secara adat. Apabila terjadi perceraian maka ketua adat akan memanggil pasangan suami istri tersebut dan mencari penyebab dari akar permasalahan tersebut. Apabila sumber dan penyebab dari perceraian tersebut diketahui maka akan diputuskan siapa yang bersalah dan kemudian ketua adat memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak. Pertanyaan pertama ditujukan pada pihak perempuan yaitu apakah ia ingin mengakhiri pernikahannya. Apabila ia menginginkan bercerai dengan suaminya maka pihak perempuan akan mendapatkan denda sekalipun perempuan tersebut tidak bersalah. Denda tersebut berupa mengembalikan mahar pernikahan. Apabila suami yang memutuskan untuk bercerai maka suami harus membayar denda berupa dua ekor babi. Jika suami masih mempunyai tanggungan mahar yang belum dibayar maka pada saat itu suami juga harus membayar semua mahar istrinya.

Selain tentang pergaulan antara laki-laki dan perempuan, dalam hukum adat juga ada larangan untuk mencuri. Jika seseorang mencuri maka akan terkena denda adat yaitu harus mengganti benda yang sama dengan yang baru dan jumlahnya dilipatgandakan. Denda dilipatgandakan untuk memberikan efek jera supaya orang tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Denda adat juga berlaku bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain (membunuh). Orang yang membunuh dikenakan denda memberikan lahan kepada keluarga yang dibunuh yang luasnya seperti luas satu gunung. Denda lahan ini diterapkan sebagai pengganti nyawa manusia. Menurut keterangan informan SM, di Desa Wulai pernah terjadi kasus pembunuhan. Kasus tersebut terjadi pada seorang perempuan yang dicekik oleh teman laki-lakinya. Untuk menggantikan nyawa perempuan tersebut maka orangtua perempuan meminta diberlakukan denda berupa lima puluh pohon kelapa dengan luas tanah sekitar satu hektar. Si pembunuh juga diwajibkan merawat dan memperbaiki makam perempuan tersebut serta membiayai acara peringatan kematian.

Selain denda lahan, seorang pembunuh juga dikenakan denda menyerahkan piring dulu yang berbentuk seperti mangkok sejumlah dua buah. Piring dulu digunakan untuk menutupi bagian tubuh tertentu dari orang yang dibunuh sebelum dikuburkan. Apabila pembunuh kesulitan mencari piring dulu maka dapat diganti dengan uang untuk memudahkan. Berbeda dengan zaman dulu dimana barang tersebut harus diberikan dan tidak boleh diganti uang.

2.5. Pengetahuan