HEMBUSAN TOPO TAWUI DALAM PERSALINAN
4.3. Pemilihan Penolong Persalinan antara Topo Tawui dengan Bidan Kesehatan
Berdasarkan dua studi kasus kematian bayi yang terjadi di Desa Wulai maka cukup memperlihatkan kecenderungan masyarakat Wulai yang memilih melahirkan ditolong dukun (topo
tawui) dibandingkan ditolong tenaga kesehatan (bidan).
Persalinan dengan ditolong dukun merupakan salah satu bentuk permasalahan kesehatan yang masih banyak terjadi di Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat lebih memilih melahirkan dengan ditolong oleh dukun. Tradisi dan adat istiadat setempat menjadi salah satu alasan pemilihan penolong persalinan (Anggorodi, R., 2009).
Masyarakat Kaili Da’a Wulai terbiasa melahirkan di rumah dengan bantuan dukun atau yang mereka sebut dengan topo
tawui (orang yang bisa bertiup). Topo tawui adalah orang yang
dapat menyembuhkan penyakit, ada yang laki-laki dan perempuan, namun tidak semua topo tawui dapat membantu persalinan. Saat ini topo tawui yang terkenal dapat membantu persalinan di Desa Wulai ada tiga orang yaitu Bapak AS, LI, dan SI. Bapak AS biasa membantu persalinan masyarakat yang tinggal di Dusun Wulai Satu dan Sinjanga. Bapak LI membantu persalinan masyarakat yang tinggal di perkampungan Pinora’a Dusun Watubete dan Bapak SI di Dusun Saluwu. Usia mereka sekitar 50 tahun ke atas dan terkadang masyarakat menyebut mereka dengan sebutan orang tua.
Teori perilaku kesehatan dari Lawrence Green digunakan untuk membahas mengapa masyarakat Wulai lebih memilih melahirkan di rumah dengan ditolong topo tawui. Menurut
Lawrence Green kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor yaitu (Sarwono, 1993: 65):
1. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. 2. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya
sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan
Faktor Predisposisi
Pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka perubahan pola pikir dan perilaku dalam masyarakat (Amilda, 2010). Faktor predisposisi yang terlihat pada masyarakat Kaili Da’a Wulai adalah masyarakat memiliki pengetahuan bahwa melahirkan di rumah dengan dibantu keluarga atau topo tawui adalah hal yang biasa saja atau sesuatu yang wajar dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Mereka terbiasa melahirkan di rumah karena sudah dilakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka dan sudah merupakan tradisi, seperti pernyataan informan NT berikut ini:
"Bagaimana mau takut yang begitu (melahirkan di rumah) tidak ada yang perlu ditakuti. Kalo dikejar dengan parang memang baru takut apa luka kita itu, pasti luka mati, kalo yang begitu kan jalannya bayi lahir. Orang-orang dari nenek moyang sudah itu memang. Penyakit orang banyak itu bukan hanya satu...”
Persalinan dianggap hal yang biasa juga terlihat pada pengalaman ibu ET ketika melahirkan anak kelimanya. Ketika ia melahirkan tidak ada seorang pun yang mengetahui. Saat itu ibu ET baru saja berjalan keluar mengambil air kemudian perutnya terasa sakit. Ia merasa sudah waktunya ia melahirkan maka ia segera mengambil sarung kemudian menggantungkannya ke tiang rumah. Tidak ada rasa kekhawatiran pada dirinya ketika hanya seorang diri melahirkan karena keempat anak sebelumnya juga lahir di rumah tanpa bantuan bidan. Setelah itu ia duduk di atas bangku kayu kecil. Ia pun mengedan sambil tangannya memegang sarung yang diikat ke tiang sebagai tumpuan. Sesudah bayinya lahir, baru adiknya datang kemudian memanggil bidan untuk memotong tali pusat.
Kalo yang si kecil itu, berapa e 2 jam itu. Disini saya bawa jalan-jalan saja beambil air, kalo tidak bisa berjalan ini sudah mi keluar dulu dia. Jadi tidak ditau orang. Nanti kalo sudah ada suara anak-anak baru di tau.
Masyarakat Kaili Da’a Wulai lebih memilih melahirkan ditolong topo tawui dibandingkan ditolong bidan dikarenakan mereka lebih mempercayai kemampuan topo tawui dalam menolong persalinan. Masyarakat lebih mempercayai topo tawui karena topo tawui dapat menolong persalinan tanpa menggunakan alat. Topo tawui hanya meniup kepala dan perut ibu hamil sambil mengucapkan mantera (dowa). Berbeda dengan bidan yang menggunakan peralatan medis ketika membantu persalinan, seperti penuturan topo tawui SM berikut ini:
“…kita liat dulu to sakitnya kalo mau keluar baru kita ditiup karena itu anak-anak didalam begitu satu jam atau setengah jam dia masih berputar-putar to. Kalo satu jam belum keluar ditiup lagi”.
Hal serupa diungkapkan oleh ibu SE yang menyatakan jika melahirkan ditolong topo tawui cukup dengan ditiup saja. Berbeda jika ditolong bidan dimana tangan bidan akan masuk ke kemaluan dan jika bayi tidak kunjung keluar maka kemaluan akan digunting, berikut penuturan ibu SE:
“Yang batiup itu topo tawui, ditiup kepala dan perut. Kalo sama ibu bidan kemaluan dilihat pake senter, dipegang-dipegang, tangan bidan masuk. Kalo tidak keluar anak, kemaluan digunting.”
Masyarakat Kaili Da’a mempercayai bahwa makhluk ghaib seperti setan dapat mengganggu manusia. Salah satu alasan yang dikemukakan masyarakat mengapa tidak mau melahirkan di Poskesdes adalah karena banyak setan. Jika ibu yang akan melahirkan diganggu setan maka proses persalinannya akan
terganggu yang dapat mengancam keselamatan ibu dan bayinya, seperti diungkapkan oleh ibu TE berikut, “Kalau melahirkan di Poskesdes atau Puskesmas itu banyak yang mengganggu.”
Selain itu sebagian masyarakat juga mempercayai bahwa ibu tidak boleh melahirkan di rumah yang ia tinggali sehari-hari. Ibu mesti melahirkan di pondok kecil yang dibangun disamping rumah. Untuk menentukan lokasi pondok ini maka topo tawui akan melakukan ritual membawa air di dalam bambu dalam posisi terbalik kemudian mengelilingi tiang pondok tersebut. Jika air di dalam tumpah tidak maka lokasi pondok tersebut sudah tepat karena disitulah tinggal makhluk yang dapat menjaga keselamatan ibu dan anak. Hal ini dijelaskan oleh informan RI berikut ini:
“Diisi air di dalam bambu itu kemudian ditawui baru dikasih keliling mana tiang yang kita tanam disitu, kalo balik kesini kesana itu tidak tetumpah air maka disitulah tempat pondok itu, bisa untuk tempat melahirkan.”
Faktor lain yang membuat masyarakat Kaili Da’a Wulai lebih memilih melahirkan di rumah dibandingkan di Poskesdes atau Puskesmas adalah adanya kepercayaan bahwa bayi yang baru lahir tidak boleh dibawa keluar sebelum tiga malam setelah dilahirkan. Mereka mempercayai jika bayi yang belum berusia tiga malam dibawa keluar rumah maka bayi akan diganggu setan yang dapat mendatangkan penyakit bagi bayi. Setelah tiga malam bayi boleh keluar rumah karena telah melakukan ritual adat Nitau, seperti uraian ibu ET berikut ini:
“Kalo kita melahirkan di Puskesmas kalo belum cukup 3 malam belum bisa pulang begitu, itu anak-anak kecil itu belum bisa turun itu. Itu kalo kita melahirkan di Puskesmas jauh begitu usahakan hari itu lahir usahakan hari itu juga pulang jangan bermalam. Kalo sudah bermalam kita disitu kita tidak bisa pulang itu. Nanti tiga
malam tu. Habis semua itu anu adatnya kita baru bisa pulang.”
Senada dengan penuturan ET, informan MW
menjelaskan apabila bayi yang lahir di pelayanan kesehatan seperti Poskesdes sebaiknya segera dibawa pulang setelah dilahirkan agar dapat melakukan adat turun tanah (nitau) setelah ketiga malamnya. Biasanya pihak keluarga akan membawa pulang bayi setelah dilahirkan. Sedangkan ibu bayi berada di Poskesdes untuk menjalani tahap pemulihan pasca melahirkan. Berikut penuturan informan MW, “Kalo lahir di pustu bawa pulang memang satu hari baru nanti tiga hari tidak boleh kemana-mana sampai di nitau.”
Terlepas dari hal tersebut masyarakat Wulai mempercayai bahwa setiap penyakit ada sumbernya dan sumber penyakit bisa bermacam-macam. Penyakit bisa bersumber dari binatang, adat yang tidak terselesaikan atau melanggar pantangan. Dalam kasus persalinan, jika ibu tidak kunjung melahirkan setelah dua atau tiga hari sakit perut, maka topo tawui akan mencari sumber dari kesulitan ibu.
Cara yang dilakukan topo tawui adalah dengan melakukan
ntari yaitu menjengkalkan jari tangannya dari bahu sampai
telapak tangan sambil membaca mantera. Ketika kedua telapak tangan topo tawui sudah bertemu itu artinya topo tawui sudah mengetahui binatang apa yang harus dipotong untuk menghilangkan sumber penyakit. Berikut penjelasan informan SM yang adalah topo tawui:
“…seumpama dia tidak keluar to baru dia bikin biasa dibikin itu ayam, babi, atau anjing. Sebelumnya juga ada manteranya to (menjengkalkan tangan ke lengan). Apabila tidak sampai lagi. Itu namanya ntari. Kalo sudah setuju atau pas kedua telapak tangan bertemu berarti itu babi. Dibunuh ato dipotong terserah itu, kalo tidak
sampai pas kita cari lagi berapapun itu kita punya ayam atau babi kita cari lagi. Kalo tidak anu babinya pindah ke ayam lagi to.”
Apabila setelah melakukan adat ntari bayi tidak kunjung lahir maka topo tawui akan membuat adat yang disebut sebagai
sambulu. Adat sambulu juga biasa ditemui pada saat upacara
pernikahan adat berlangsung. Topo tawui kemudian menyiapkan daun sirih, pinang yang dibelah dua dan abu dari kerangka siput (tela). Sembari membacakan mantera ia meminta bantuan pada penguasa alam agar persalinan berjalan lancar. Sambulu merupakan upaya terakhir yang dibuat oleh topo tawui. Kebanyakan masyarakat menganggap setelah melakukan
sambulu maka beberapa saat kemudian anak akan lahir. Jika
kedua adat ini sudah dilakukan hingga kemudian topo tawui menyerah maka barulah meminta pertolongan bidan, seperti pernyataan informan DC berikut ini:
“Jadi pada saat barangkali belum itu lahir itu lama biar satu hari satu malam tidak dipanggil itu bidan, kalo sudah menyerah dukun baru itu panggil bidan. Karena itu dukun banyak mantra-mantranya”.
Namun tidak semua topo tawui melakukan hal ini, yang biasa melakukan adat ini topo tawui yang tinggal di Dusun Saluwu, seperti yang terjadi pada kasus kematian bayi ibu Yani. Suami ibu Yani membunuh anjing karena menurut topo tawui anjing tersebut kemasukan roh jahat yang menyebabkan istrinya sulit melahirkan. Setelah anjing dibunuh istrinya belum juga melahirkan sehingga keluarga memanggil bidan. Bidan juga tidak bisa menangani maka istrinya harus dirujuk ke rumah sakit.
Keputusan kapan saatnya memanggil bidan terletak pada
topo tawui. Jika semua adat telah dilaksanakan dan bayi tidak
menyarankan keluarga untuk memanggil bidan. Apabila topo
tawui tidak dapat menangani maka masyarakat baru akan
memanggil bidan, seperti diungkapkan informan RJ berikut ini:
“Disini kebanyakan melahirkan dirumah, dia kembali di tauwi (ditiup) tadi itu bahasa disini. Dia kembali ditawui melalui dukun yang betawui itu tadi. Kalo topo tawui tidak bisa baru kita kembali ke bidan kesehatan itu tadi”
Penyebab sulitnya persalinan juga dapat disebabkan adanya adat yang tidak terselesaikan pada saat perkawinan. Dalam artian ketika menikah mahar ibu yang akan melahirkan ada yang belum diberikan oleh suaminya. Suami kemudian diminta untuk mengingat mahar apa yang belum ia berikan ke istrinya. Jika misalnya ternyata suami belum memberikan piring-piring zaman dulu maka suami harus mencari piring-piring-piring-piring tersebut, seperti penjelasan informan RI berikut ini:
“Misalnya istri saya punya adat wukusaya, butiga, buyabalatu, barangkali suaminya belum selesai adatnya itu nah itu nanti dikasih keluar baru topo tawui karena sumbernya penyakit barangkali dari situ adatnya belum lunas ketika menikah.”
Pelaksanaan adat ini terjadi pada kasus ibu PI yang ketika bayinya tidak kunjung lahir dikarenakan saat menikah ada mahar yang belum dibayarkan suaminya. Ibu PI pun dirujuk ke rumah sakit namun ketika sampai di halaman rumah sakit bayi ibu PI sudah keluar tetapi dalam keadaan tidak bernyawa, tetapi ibu PI tidak mau turun dari ambulans, ia mau pulang saja. Pihak rumah sakit mengizinkan dengan syarat keluarga ibu PI menandatangani surat bahwa pihak rumah sakit tidak bertanggungjawab jika terjadi sesuatu dengan ibu PI.
Salah satu faktor lain yang menyebabkan ibu hamil di Desa Wulai tidak mau melahirkan ditolong oleh bidan adalah
karena adanya perbedaan posisi ketika melahirkan. Jika melahirkan di rumah ditolong topo tawui posisi ibu ketika melahirkan adalah duduk di bangku kayu kecil. Ibu juga akan memakai sarung sampai menutupi kakinya. Berbeda dengan melahirkan ditolong bidan dimana posisi ibu terlentang dengan alat kelamin terbuka.
Posisi melahirkan telentang dengan alat kelamin yang terlihat dianggap sebagai hal yang tabu bagi masyarakat Kaili Da’a Wulai. Mereka merasa malu jika harus melahirkan dengan posisi alat kelamin terlihat oleh bidan. Hal tersebut juga dibenarkan oleh bidan Desa Wulai seperti penuturannya berikut, “Dorang itu malu diliat anu nya. Barangnya (kemaluannya) begitu.”
Hal senada juga diungkapkan oleh asisten bidan yang bertugas di Desa Wulai bahwa ibu hamil di Desa Wulai merasa malu melahirkan kemaluannya dilihat dan dipegang-pegang oleh bidan. Beberapa diantara mereka yang melahirkan di Poskesdes ada yang menolak kemaluannya dipegang oleh bidan. Jika hal itu terjadi bidan hanya menunggu bayi keluar sendiri.
Berbeda halnya apabila melahirkan dirumah. Persalinan dirumah tidak boleh dilihat secara langsung. Adapun yang boleh melihat hanya keluarganya saja. Seperti ibu SH yang lebih memilih untuk melahirkan di rumah daripada di pelayanan kesehatan seperti Poskesdes dikarenakan malu bila melahirkan dilihat orang lain yang tidak ada hubungannya saudara serta tidak suka bila orang lain (bidan) melihat kemaluannya dengan senter apalagi memasukkan jari-jarinya di jalan lahir bayi. Berikut pernyataan ibu SH, “Enak melahirkan dirumah, kalau di rumah sakit sambil tidur. Ah.. banyak sekali orang, disenter lagi.”
Untuk melihat kemajuan janin, bidan biasanya akan
memasukkan jari tangannya ke kemaluan ibu atau
Desa Wulai karena mereka terbiasa dengan metode persalinan tradisional yang tanpa alat, seperti pernyataan ibu MA berikut, “Contohnya saya, lima orang anak saya tidak ada yang lahir di bidan, semuanya lahir di rumah karena saya malu dipegang.”
Masyarakat Kaili Da’a Wulai menganggap apabila kemaluan dilihat orang lain adalah dosa. Apalagi sebelumnya jika ada yang melahirkan di Poskesdes masyarakat banyak yang berkumpul di Poskesdes.
“Inde mala mu na enta (menunjuk bagian bawah perut/kemaluan) roa na nanu na dosa, iyo na dosa na kita…” (informan NW).
(Tidak boleh kita melihat kemaluan orang lain karena dosa, iya dosa kamu..)
“Orang-orang takut memang itu tidak mau dia melahirkan di bidan. Takut diliat-liat apalagi banyak teman-teman, orang-orang yang menonton” (informan Li).
Faktor Pendukung (enabling factors)
Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan masyarakat untuk mau mendatangi sarana dan fasilitas kesehatan adalah biaya. Salah satu kemudahan yang diinginkan masyarakat adalah tidak adanya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mempergunakan sarana dan fasilitas kesehatan. Dalam konteks masyarakat Desa Wulai, pekerjaan mereka sebagai petani tidaklah dapat mendatangkan penghasilan yang cukup banyak. Besarnya penghasilan mereka setiap bulan cenderung tidak menentu. Kebanyakan masyarakat Wulai bercocok tanam coklat atau jagung di kebun mereka. Coklat dan jagung dapat dipanen tiga
sampai empat kali dalam setahun. Hal ini membuat mereka mendapatkan uang hanya ketika masa panen tiba. Uang ini dipergunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sampai masa panen berikutnya. Namun terkadang uang hasil panen sudah habis sebelum masa panen tiba kembali. Situasi ini membuat masyarakat Wulai tidak memiliki tabungan jika suatu saat terjadi keperluan yang mendesak seperti untuk membiayai persalinan atau biaya pengobatan di rumah sakit.
Apabila persalinan ditolong oleh bidan dan dilakukan di rumah maka masyarakat harus membayar sebesar Rp 500.000. Biaya persalinan akan gratis apabila persalinan dilaksanakan di Poskesdes. Biaya yang cukup besar ini dirasakan sangat membebani masyarakat sedangkan kebanyakan ibu hamil tidak mau melahirkan di Poskesdes. Mereka yang tidak mau melahirkan di Poskesdes kebanyakan adalah mereka yang rumahnya cukup jauh dari Poskesdes Wulai yang terletak di Dusun Watubete. Masyarakat Dusun Watubete sendiri ada yang tidak mau melahirkan di Poskesdes terutama mereka yang tinggal di perkampungan Pinora’a dan Salootu.
Seperti informan JN yang menceritakan ketika istrinya melahirkan ia diharuskan membayar Rp 500.000 padahal ketika memanggil bidan. Padahal waktu itu bidan juga tidak dapat menangani istrinya yang mengharuskan istrinya dirujuk ke rumah sakit Kabupaten Mamuju Utara yaitu RSUD AKO di Pasang Kayu. Pada kasus ibu Sari yang telah diceritakan di atas juga memperlihatkan faktor biaya juga menyebabkan dirinya enggan untuk melahirkan ditolong bidan, seperti penyataannya berikut ini:
“Kalo melahirkan panggil bidan ke rumah bayar 500 ribu nanti kalo bidan tidak bisa menangani dikirim ke RS Ako kalo tidak bisa lagi di RS Ako dikirim ke Palu, jauh.”
Masyarakat lebih memilih melahirkan ditolong topo tawui karena tidak mengeluarkan biaya. Biasanya jika melahirkan ditolong topo tawui cukup memberikan satu ekor ayam, rokok satu bungkus dan beras yang berasal dari padi gunung sebanyak satu liter, seperti pernyataan informan RI berikut, “Kalau melahirkan panggil topo tawui hanya memberi ayam satu ekor, rokok 1 bungkus, beras dulu (padi gunung) 1 liter.”
Selain itu masyarakat Wulai takut jika melahirkan ditolong oleh bidan akan dirujuk ke rumah sakit di Pasang Kayu bahkan sampai ke Palu. Mereka melihat contoh kasus yang terjadi pada persalinan sebelumnya jika bidan tidak bisa ditangani kemudian dirujuk ke rumah sakit. Jika harus melahirkan di rumah sakit mereka khawatir akan biaya yang mesti mereka keluarkan. Apalagi jika mereka tidak memiliki Jamkesmas maka mereka harus membayar biaya persalinan di rumah sakit. Bagi yang memiliki Jamkesmas pun mereka masih mengkhawatirkan biaya yang mesti keluarkan untuk keluarga yang menemani di rumah sakit terutama untuk biaya makannya, seperti penuturan informan JO berikut, “…yang kita pikir lagi disana keluarga ini menjaga yang sakit disana apalagi yang kita makan disana, di Palu…”
Biaya untuk ambulans pun dirasakan masyarakat cukup memberatkan. Mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp 150.000 sekali jalan dari Desa Wulai ke RSUD AKO. Apabila harus dirujuk ke Palu biaya untuk ambulans lebih besar lagi yaitu sekitar Rp 800.000 untuk sekali jalan.
Mekanisme yang dilakukan bidan apabila akan merujuk ibu bersalin ke RSUD AKO di Pasang Kayu atau Rumah Sakit Undata di Palu adalah bidan akan menghubungi pihak RSUD AKO terlebih dahulu. Jika pasien dapat ditangani di RSUD AKO maka pasien akan dikirim ke rumah sakit tersebut. Jika RSUD AKO tidak dapat menangani misalnya dikarenakan dokter obgyn tidak ada
maka bidan akan segera membuat rujukan ke rumah sakit di Palu. Bidan Desa Wulai membantu keluarga pasien dalam mengurus proses rujukan. Apabila pasien tidak memiliki kartu Jamkesmas, bidan akan membantu mengusahakan dengan meminjamkan kartu Jamkesmas milik orang lain. Pasien yang akan dirujuk biasanya dijemput dengan menggunakan ambulans. Kasus serupa dialami oleh informan AB yang baru pertama kali mengunjungi rumah sakit untuk mengantar istrinya melahirkan saat dirujuk ke RSUD AKO di Pasang Kayu. Dengan ditemani oleh tiga orang keluarga yang turut menjaga istrinya, ia berangkat dari Desa Wulai ke RSUD AKO. Selama satu minggu menemani istrinya, ia mengeluarkan uang sekitar satu juta rupiah untuk biaya makan dirinya dan tiga orang keluarganya. Menurutnya apabila baru pertama kali ke rumah sakit seringkali merasakan kebingungan dalam menjawab pertanyaan pihak
rumah sakit, beruntung dia mempuyai teman yang
berpengalaman dan dapat membantunya selama di rumah sakit. Dengan berbekal kartu Jamkesmas, kartu keluarga dan KTP yang dibawa menuju rumah sakit, ia berharap sama sekali tidak mengeluarkan biaya perawatan istrinya di rumah sakit.
Untuk menyelamatkan nyawa bayi dan istrinya maka dokter menyarankan untuk segera dilakukan operasi. Pada saat itu diharuskan membayar Rp. 1.200.000 untuk biaya benang, obat bius dan infus padahal ia memiliki kartu Jamkesmas dan berkas pendukungnya pun sudah lengkap. Pada saat itu ia juga mempertanyakan mengapa peserta Jamkesmas masih diharuskan untuk membayar, seperti penuturan informan AB berikut ini:
“…masalahnya macam benang jahitan dengan obat bius, infus kenapa itu dibayar semua katanya tidak dibayar itu. Obat dikasih anu kuitansinya, mo hamma seratus lebih satu botol anu obat apa itu apotik. Ya mau diapa kita