• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN ETNIK KAILI DA’A

2.3. Sistem Religi

2.3.1. Praktek Kepercayaan Tradisional

2.3.1.3. Ritual Adati Powati

Gambar 2.10.

Ritual Pesta Panen dan Sesajian Ritual Sumber: Dokumentasi Peneliti

2.3.1.3. Ritual Adati Powati

Powati biasa dilakukan untuk memperingati ulang tahun

yang dilakukan sekali seumur hidup dan biasanya dilakukan pada masa kanak-kanak. Powati dilakukan agar anak tidak diganggu oleh makhluk halus dan terhindar dari penyakit. Pantangan bagi orang yang belum melakukan Powati yaitu tidak boleh mengkonsumsi minyak kelapa, tidak boleh memegang kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), dan tidak boleh memegang bunga warna merah yang dipakai saat acara Powati. Apabila hal tersebut dilanggar menurut kepercayaan masyarakat dipercayai nantinya muncul luka di kepala, gatal-gatal, sering sakit seperti sakit malaria, seperti penjelasan ibu NK berikut ini:

“Powati tidak terhitung dari umur berapa, sekali seumur hidup diundang semua. Kalau Powati tidak dilaksanakan nanti pertumbuhan anak tidak sehat.”

Ritual Powati dapat dilakukan secara bersama-sama hingga pesertanya bisa mencapai sepuluh orang, dimana setiap peserta harus menyerahkan satu ekor babi. Sebelum ritual ini dimulai, beberapa perlengkapan perlu disiapkan seperti piring batu, loyang, dulang, kain dari kulit kayu (ambo), sarung adat (mesa), satu ekor ayam, tiga hingga sepuluh bulu burung siora. Semua perlengkapan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya dibacakan mantera.

Sehari sebelum ritual Powati dimulai, anak yang akan

di-Powati tidak boleh keluar rumah. Kemudian seekor ayam

dipotong dan dibakar. Sebelumnya agar makhluk halus tidak mengganggu ayam dibacakan mantera terlebih dahulu. Keesokan paginya ritual Powati dilaksanakan, anak-anak keluar rumah dengan menuruni anak tangga untuk menginjak babi yang masih hidup di bawah tangga rumah. Sebagai tanda bahwa ritual

Powati sedang dilaksanakan maka di depan rumah diletakkan

bambu kuning yang diikat di batang kayu dan ketupat yang digantung. Selepas babi tersebut diinjak, maka salah seorang anggota keluarga membunuh babi tersebut dengan tombak kemudian memotong dan membakar babi tersebut. Tiga bagian tubuh babi seperti usus dan kedua telinga babi disimpan untuk dimakan oleh anak yang di Powati pada hari ketiga usai acara. Hal ini bertujuan agar anak tidak gampang sakit. Kemudian ketua adat memakaikan kalung adat ke anak yang di Powati secara bergantian.

Ritual Powati tidak boleh sembarang dilakukan dan harus mengikuti rangkaian adat orangtuanya terdahulu. Misalnya, jika anak yang di-Powati anak dari pihak ayah maka perlengkapan yang harus disiapkan adalah perlengkapan yang sama dengan ketika ayah anak tersebut di-Powati. Apabila perlengkapannya tidak sama maka Powati harus diulang karena dianggap tidak sah.

pernah melakukan Powati. Bagi sebagian masyarakat menganggap jika Powati terlambat dilakukan atau baru dilakukan saat dewasa maka penyakit akan cepat datang.

2.3.1.4. Perkawinan

Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai mengenal dua jenis perkawinan yaitu perkawinan secara adat dan secara agama. Perkawinan secara agama dilakukan di gereja dan disahkan oleh pendeta sedangkan perkawinan secara adat disahkan oleh ketua adat. Kebanyakan masyarakat Wulai melakukan perkawinan secara agama dan adat. Namun terkadang ada masyarakat yang melakukan perkawinan secara adat saja. Hal ini biasanya dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama.

Jika ada pasangan yang hendak menikah, pertama kali harus memberitahu ketua adat. Selanjutnya ketua adat akan mencari tahu apakah kedua pasangan ini masih memiliki hubungan keluarga atau tidak. Selain itu jika perkawinan terjadi karena pihak keluarga perempuan melapor kepada ketua adat maka ketua adat akan mempelajari kesalahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki. Kemudian denda disesuaikan dengan adat yang dimiliki oleh perempuan.

Dalam hukum adat masyarakat Kaili Da’a ada aturan yang melarang laki-laki dan perempuan yang belum menikah berduaan di malam hari. Jika ketahuan berduaan dan ada yang pihak yang melapor ke ketua adat maka mereka akan dikenakan denda adat. Biasanya yang melapor dari pihak perempuan dan yang harus membayar denda adat adalah pihak laki-laki.

Bila ditinjau secara adat, mahar seorang wanita ialah babi satu ekor, ayam dan dulang. Secara adat terdapat larangan menikah bagi masyarakat yang masih memiliki hubungan darah atau keluarga dekat. Keluarga dekat seperti saudara sepupu

sekali hingga dua kali maupun kemenakan yang menikah dengan pamannya.

Perkawinan yang paling dilarang adalah ketika paman hendak menikahi keponakannya. Apabila perkawinan ini terjadi maka pihak laki-laki ini harus membayar denda adat minimal lima ekor babi. Jika terjadi perkawinan antar sepupu maka yang paling berat dendanya adalah pernikahan antar sepupu satu kali. Selain tambahan babi, denda adat juga berupa tambahan kain adat (mesa), kalung yang terbuat dari kuningan yang tahan terbakar api (putiara goronasi), gelang kuningan asli, dan biji-biji kalung (wuku saya).

Untuk menentukan mahar dilihat dari adat yang dipakai oleh orangtua calon pengantin perempuan ketika menikah. Adat ini berlaku turun temurun dari nenek moyang calon pengantin perempuan. Dalam menentukan mahar terdapat dua adat yaitu adat tujuh (poki papitu) dan adat sembilan (poki sasio). Perbedaan adat tujuh dengan adat sembilan ialah jumlah dulang atau piring batu yang dipakai. Apabila menggunakan adat tujuh maka diperlukan tujuh buah dulang atau piring batu sedangkan dalam adat sembilan diperlukan sembilan buah dulang. Saat ini untuk mendapatkan dulang atau piring batu cukup sulit sehingga berdasarkan keputusan ketua adat piring batu tersebut dapat diganti dengan menggunakan piring keramik. Apabila dulang tersebut diganti dengan piring keramik maka adat tujuh dan adat sembilan dikalikan dengan sepuluh buah piring, untuk adat tujuh maka diperlukan 70 buah piring sedangkan adat sembilan diperlukan 90 buah piring. Mahar untuk pernikahan dapat dicicil atau dibayarkan setelah pernikahan berlangsung.

Setelah mahar ditetapkan dan semua perlengkapan perkawinan dipersiapkan maka tibalah waktu perkawinan. Pada malam sebelum perkawinan dilangsungkan maka dilaksanakan pemotongan ayam dan babi yang darahnya dicurahkan ke tanah.

Tujuan pemotongan hewan ini agar pasangan yang hendak menikah diberikan keselamatan dan terhindar dari masalah atau bencana.

Setelah babi dipotong kemudian jantung babi dipisahkan dari dagingnya. Menurut kepercayaan etnik Kaili Da’a, jantung babi merupakan benda sakral yang dapat menjadi petanda kelanjutan hidup dari mereka dalam segi kesehatan, keselamatan, rejeki. Jantung babi yang dianggap memberi petanda baik adalah jantung babi yang sudah keras dan warnanya merah kebiruan. Selain memotong babi juga dilakukan pemotongan ayam.

Ketika hari perkawinan, jika perkawinan dilakukan secara agama dan adat maka pada pagi harinya pengantin menikah dulu di gereja yang disahkan oleh pendeta. Kemudian dilanjutkan dengan acara adat yang biasanya dilakukan di bantaya. Jika calon pengantin berusia dibawah umur maka pernikahan biasa dilakukan di rumah yang disahkan oleh pendeta.

Saat ini tidak semua perkawinan di Desa Wulai dilaksanakan dengan mengikuti adat Etnik Kaili Da’a. Beberapa perkawinan sudah dilakukan secara modern baik dari segi pakaian ataupun hiburan yang ditampilkan. Dari segi pakaian, pengantin menggunakan busana modern yaitu jas bagi pengantin pria dan gaun putih bagi pengantian wanita. Hiburan yang ditampilkan adalah musik organ tunggal yang terkadang diiringi dengan ma’dero. Ma’dero dilakukan oleh penonton pria dan

wanita, mereka menari dengan diiringi dengan irama musik dari organ tunggal.

2.3.1.5. Kematian

Masyarakat Kaili Da’a di Desa Wulai biasaya akan mengadakan acara peringatan hari kematian jika ada anggota keluarganya yang meninggal. Acara ini dilakukan mulai dari

malam ketiga, malam ketujuh, malam ke-40 dan malam ke-100. Tujuan pelaksanaan upacara adat keagamaan ini adalah untuk mengenang dan mendoakan orang yang meninggal.

Sebagian masyarakat memiliki kepercayaan jika orang yang meninggal belum 14 hari, maka keluarga yang ditinggalkan belum dapat beraktifitas. Setelah 14 hari anggota keluarga yang ditinggalkan baru boleh beraktifitas seperti bercocok tanam. Apabila hal ini dilanggar maka mereka tidak akan mendapatkan hasil dari bercocok tanam.

Pada acara malam ke-40 atau ke-100 malam acara yang dilakukan termasuk ke dalam pesta besar. Maka untuk menyediakan tamu yang diundang dilakukan pemotongan babi. Pada malam ketiga atau ketujuh cukup dilakukan pemotongan ayam atau menyediakan kue-kue untuk para tamu. Selain memotong babi pada acara malam ke-40 terkadang juga disertai dengan acara madero. Acara ini biasanya dilakukan setelah selesai acara berdoa.

Masyarakat Kaili Da’a Wulai juga mempercayai adanya makhluk ghaib atau setan yang dapat menyebabkan kematian. Mereka menyebutnya pok-pok dimana pok-pok adalah manusia biasa yang memiliki ilmu hitam yang bisa terbang melayang-layang pada waktu malam hari. Biasanya orang yang pok-pok datangi meninggal karena isi perutnya dipercaya sudah tidak ada lagi karena telah dimakan oleh pok-pok.

Pada siang hari pok-pok adalah manusia namun pada malam hari dia berubah menjadi hantu pok-pok. Ketika malam hari kepalanya dapat meninggalkan tubuhnya dan mencari orang-orang yang dapat diganggu. Kehadiran pok-pok biasa diketahui dari langkahnya yang berbunyi “pok..pok” ketika melewati atap rumah sehingga masyarakat menyebutnya hantu

pok. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pok-pok seringkali mendatangi orang yang akan meninggal selain itu

pok-pok dipercaya dapat menjadi penyebab kematian. Menurut

masyarakat untuk mengetahui siapa pok-pok yang datang menganggu saat malam hari biasanya mereka berbicara dari dalam rumah seraya memberikan janji untuk memberi garam atau cabe esok hari. Pada pagi buta biasanya pok-pok akan datang menagih janjinya.