POTRET KESEHATAN
3.3. Penyakit Menular
3.3.1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada balita (22,8%) dan penyebab kematian bayi kedua setelah gangguan perinatal. Hal ini diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan kualitas penatalaksanaannya belum memadai. Infeksi saluran
napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudah terjadi pada musim hujan (Depkes, 2005:1).
Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di Desa Wulai menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak. Terdapat peningkatan kasus ISPA dengan sebagian besar kasus terjadi pada anak dan balita. Pada bulan Mei tahun 2014, kasus ISPA di Desa Wulai sejumlah dua penderita sedangkan pada bulan Juni meningkat menjadi dua puluh penderita.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting disamping karena penyebarannya sangat luas yaitu pada bayi, anak-anak dan dewasa, komplikasinya yang membahayakan serta menyebabkan hilangnya hari kerja ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya pneumonia) (Depkes, 2005:1). Pada umumnya masyarakat Desa Wulai tidak mengetahui apa penyebab dari ISPA atau yang biasa disebut dengan baingus. Mereka menganggap hal itu dikarenakan kondisi perubahan cuaca seperti hujan.
Apabila masyarakat mengalami baingus biasanya mereka hanya membiarkan saja. Untuk meringankan demam, biasanya mereka menggunakan obat kampung seperti meminum air rebusan daun pepaya yang masih muda. Jika demam tidak kunjung sembuh maka mereka biasa membeli obat di warung seperti obat IZ untuk anak atau obat MG untuk dewasa.
Apabila tidak terdapat kesembuhan setelah meminum obat dari warung, maka mereka akan mengunjungi topo tawui. Penyembuhan yang dilakukan oleh topo tawui dengan cara meniup pada bagian tubuh yang sakit sembari mengoleskan air ludahnya. Mantera dibacakan oleh topo tawui pada saat
melakukan penyembuhan. Pada umumnya masyarakat
mengunjungi pelayanan kesehatan ketika usaha yang mereka lakukan seperti membeli obat di warung hingga meminta penyembuhan topo tawui tidak kunjung sembuh. Petugas
kesehatan seringkali tidak memberikan informasi mengenai penyakit yang dideritanya dan hanya memberikan obat.
3.3.2 Diare
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat global, diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18% kematian balita dari 3.070 juta balita (Depkes, 2011).
Diare termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak di Desa Wulai. Diare atau yang biasa disebut dengan ju’a ta’i yang artinya sakit perut. Masyarakat menganggap ju’a ta’i disebabkan karena salah makan. Masyarakat menganggap makanan yang tidak cocok bagi tubuh apabila dimakan dapat menyebabkan penolakan. Ju’a ta’i merupakan salah satu reaksi penolakan makanan, seperti penuturan informan NO berikut, “Gara-gara makan apa sembarang. umpama gara-gara kita makan pisang.”
Selain karena salah makan ju’a ta’i juga disebabkan karena meminum air yang belum dimasak. Seperti pengalaman informan PW yang pernah mengalami diare akibat meminum air yang tidak dimasak. Sejak itu, ia selalu memasak air yang akan diminumnya, berikut pernyataan informan PW:
“Nggak tau juga makanya itu kalo saya minum air tidak dimasak sudah kena penyakit itu sudah. Makanya sekarang saya takut sekalo kalo kosong air panas di rumah.”
Masyarakat di Desa Wulai biasa memasak air terlebih dahulu Untuk keperluan air minum, namun terkadang mereka juga ada yang meminum air mentah atau tidak dimasak. Mereka akan meminum air mentah bila sedang berkebun dikarenakan tidak membawa air matang dari rumah. Memasak air mereka lakukan hingga air mendidih. Mereka biasa memasak air di belanga dan menyisakan setengah dari air yang dimasak. Air yang sudah masak didinginkan semalaman dan kemudian dikonsumsi.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Dusun Saluwu. Kebanyakan masyarakat di Dusun Saluwu biasa meminum air yang tidak dimasak. Mereka menganggap air yang tidak dimasak mempunyai rasa yang enak dan segar. Hal tersebut sebagaimana penuturan DC berikut ini:
"Bisa juga kita disini langsung minum air di koala itu katanya kalo langsung diminum itu enak, tidak seperti dipanas. Biasnya kalo minum air panas tidak hilang hausnya minum lagi air mentah."
Air yang digunakan untuk keperluan minum berasal dari air sungai maupun mata air pegunungan yang dialirkan melalui perpipaan. Di Dusun Saluwu hanya terdapat satu perpipaan yang bersumber dari pegunungan. Air tersebut dialirkan di rumah milik salah satu warga dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat sekitar. Masyarakat Dusun Saluwu biasa memasak air apabila hendak membuat minumn seperti kopi saja, seperti halnya penuturan OS berikut ini:
“Kalo saya minum kopi memasak air klo tidak minum kopi hanya air mentah saja supaya diminum enak. Kalo air masak tenggorok itu terasa apa itu..”
Selain disebabkan karena meminum air yang tidak dimasak, masyarakat Wulai juga ada yang berpendapat diare disebabkan memakan makanan basi yang masih dipanaskan
kembali. Untuk penyembuhan diare (ju’a ta’i) masyarakat juga mengenal beberapa jenis tanaman seperti daun jambu biji dan daun kayu ampana. Mereka biasa merebus tiga lembar daun jambu biji atau jambu batu kemudian meminum air rebusan sebanyak satu sendok makan untuk tiga kali sehari. Selain itu daun kayu ampana yang disiram dengan air mendidih dan kemudian diminum dipercaya dapat mengobati diare.
Pengetahuan mengenai obat kampung diperoleh dari
orangtuanya dulu.
Bagi masyarakat yang enggan untuk meminum obat kampung, mereka biasa meringankan diare dengan cara mengikat kuat perut dengan tali, hal tersebut dilakukan agar sakit perut yang dialaminya mulai berangsur sembuh. Apabila sakit perut yang dideritanya tidak kunjung sembuh maka masyarakat akan mengunjungi topo tawui untuk ditiup pada bagian perut. Mereka akan mengunjungi beberapa topo tawui hingga mendapatkan kesembuhan.
Sebagian masyarakat juga ada menggunakan obat yang biasa disebut sebagai “Obat Cina” untuk meringankan diare yang dideritanya. “Obat Cina” merupakan minyak gosok yang dijual di warung seharga Rp. 5.000. Mereka menggunakan “Obat Cina” dengan cara mencampurkan 1-2 tetes dengan air putih untuk selanjutnya diminum. Penggunaan minyak gosok yang seharusnya untuk penggunaan luar mereka gunakan dengan cara diminum. Informasi cara penggunaan mereka dapat dari penjual obat di warung. Masyarakat baru akan mengunjungi pelayanan kesehatan setelah mencoba pengobatan kampung hingga megunjungi topo tawui dan tidak kunjung mengalami kesembuhan.
3.3.3. Malaria
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Malaria merupakan salah satu indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs), dimana ditargetkan untuk menghentikan penyebaran dan mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015 yang dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan dan angka kematian akibat malaria (Depkes, 2011).
Pada umumnya masyarakat di Desa Wulai mengetahui malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk dimalam hari. Untuk mencegah gigitan nyamuk dimalam hari, masyarakat biasa menggunakan kelambu pada waktu tidur. Selain itu mereka juga biasa membuat perapian di luar rumah dan memanfaatkan asap api untuk mengusir nyamuk. Penggunaan obat nyamuk bakar kurang diminati oleh masarakat dikarenakan ketidaknyamanan terhadap bau asap yang ditimbulkan obat nyamuk bakar. Kebanyakan masyarakat Desa Wulai tidak menggunakan rapelen untuk menghindari gigitan nyamuk.
Menurut masyarakat, gejala yang ditimbulkan bila seseorang terkena malaria berupa demam dan menggigil. Bila badan sudah dirasa mulai demam maka untuk mengobatinya dapat menggunakan obat kampung. Obat kampung yang digunakan untuk mengobati rasa menggigil saat sakit malaria dapat menggunakan air rebusan benalu pohon (pomponga paja). Selain itu untuk menyembuhkan malaria juga dilakukan dengan meminum air rebusan daun papaya yang ditumbuk bersama akarnya. Tidak hanya obat kampung yang dapat digunakan untuk mengobati malaria. Pilihan obat malaria yang dijual bebas
diwarung pun biasa mereka konsumsi. Obat malaria RB atau dikenal sebagai obat segitiga dapat mereka minum untuk mengobati malaria.
Selain obat kampung dan obat warung, mereka juga biasa mengunjungi topo tawui untuk menyembuhkan sakit malaria. Hampir segala macam jenis penyakit dapat disembuhkan oleh
topo tawui. Oleh karena itu mereka biasa mengunjungi topo tawui terlebih dahulu sebelum ke pelayanan kesehatan. Apabila
belum sembuh barulah mereka mengunjungi fasilitas kesehatan seperti Poskesdes atau Puskesmas. Bagi mantan penderita malaria memakan buah mangga adalah suatu pantangan karena Menurut malaria dapat kambuh kembali, seperti diungkapkan informan OS berikut, “Kalo makan mangga memang menular itu. Makan mangga yang besar-besar itu…”
3.3.4. Tuberkulosis
Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit infeksi yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang penting baik secara global maupun nasional (PDPI, 2006). Diperkirakan sepertiga dari keseluruhan penduduk dunia pernah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis (WHO, 2002). Pada tahun 1993, World Health
Organization (WHO) menyatakan kedaruratan global penyakit TB, dimana pada saat itu setiap tahunnya diperkirakan terdapat tujuh sampai delapan juta kasus dan 1,3 – 1,5 juta kematian akibat TB (WHO, 2012:16).
Poskesdes Wulai termasuk dalam pos TB desa dan memiliki satu petugas penanggung jawab Pos TB Desa. Petugas TB bertugas menjaring suspek TB Paru secara aktif untuk mau dilakukan pemeriksaan dahak dan diobati. Suspek TB Paru akan diberikan pot dahak untuk dilakukan pemeriksaan TB. Pot dahak tersebut kemudian dibawa ke Puskesmas Sarjo untuk diperiksa
laboratorium. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemeriksaan TB Paru di laboratorium Puskesmas Randomayang. Apabila terjadi kasus TB Paru klinis dengan BTA negatif maka Puskesmas akan melakukan rujukan pemeriksaan rontgen ke Rumah Sakit Undata di Palu dikarenakan fasilitas rontgen di RSUD Kabupaten Mamuju Utara belum memadai.
Saat ini sudah hampir dua bulan terhitung sejak penelitian berlangsung yaitu bulan Mei-Juni petugas TB Desa Wulai sudah tidak aktif. Menurut pemegang program TB di Puskesmas Randomayang keberadaan penanggung jawab pos TB desa dirasa tidak efektif. Hal itu dikarenakan penanggung jawab pos TB dengan status honorer dan tidak digaji membuat pihak Puskesmas tidak dapat menuntut lebih untuk pekerjaannya. Saat ini tugas penanggung jawab pos TB Desa digantikan oleh bidan desa. Bidan menjaring suspek TB Paru dari pelayanan pengobatan di Poskesdes maupun Posyandu. Pada saat penelitian berlangsung terdapat salah satu suspek TB Paru dan dilakukan pemeriksaan dahak, namun sudah hampir sepuluh hari ia belum mendapat informasi hasil dari pemeriksaan tersebut.
Grafik 3.1.
Suspek TB dan Penderita TB di Desa Wulai Bulan Januari-Mei 2014
Berdasarkan Grafik 3.1, diketahui pada bulan Januari jumlah suspek TB Paru lebih tinggi daripada bulan lainnya. Pada bulan Januari hingga Maret terjadi penurunan total suspek TB Paru yang dilakukan pemeriksaan di Puskesmas Randomayang. Terjadi peningkatan total suspek TB Paru pada bulan April, dari yang semula tidak terdapat suspek TB Paru menjadi tiga orang. Petugas TB Desa Wulai melakukan pencarian dengan menginformasikan kepada para warga apabila ada yang mempunyai gejala batuk lebih dari dua minggu untuk segera dilakukan pemeriksaan.
Menurut Fahmi (2005), faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi dua kelompok faktor risiko, yaitu faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan ketinggian). Konstruksi rumah dan lingkungannya yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan (Keman, 2005).
Menurut petugas Puskesmas Randomayang kondisi kebanyakan rumah di Desa Wulai tidak memenuhi syarat kesehatan. Hal itu dapat memicu penularan TB. Kebanyakan rumah di Desa Wulai dihuni oleh satu rumah tangga yang meliputi orangtua dan anak-anak mereka. Dalam satu rumah tangga jumlah anak yang mereka miliki sekitar 4-6 anak. Pada umumnya rumah di Desa Wulai terbuat dari bambu atau kayu. Pada bagian atap rumah terbuat dari daun sagu dan dinding rumah terbuat dari kayu dengan berlantaikan bambu. Berdasarkan pengamatan peneliti, kondisi pencahayaan dalam rumah tergolong kurang baik. Sinar matahari juga tidak sampai
masuk dalam rumah. Hal tersebut dikarenakan daun rumbia yang menutup keseluruhan rumah.
Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994).
Gambar 3.14. Rumah di Desa Wulai Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada umumnya ventilasi pada rumah –rumah di Desa Wulai kurang dari 10 persen luas lantai. Luas ventilasi rumah yang kurang dari 10% dari luas lantai akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberculosis. Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena selalu terjadi pertukaran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan (Fatimah, 2008).
Pada umumnya masyarakat Wulai menganggap penyebab penyakit TB Paru disebabkan konsumsi rokok maupun keturunan yang didapat dari orangtua. Mereka menganggap penderita TB Paru yang tidak mempunyai kebiasaan merokok mendapatkan penyakit TB Paru dari orangtuanya yang menderita TB Paru. Misalnya dalam satu keluarga memiliki lima orang anak maka salah satu diantaranya akan mendapat keturunan TB Paru dari orangtuanya, seperti penjelasan informan NO berikut ini:
“Umpamanya lima orang bersaudara, satu mengikuti ibunya yang TBC itu. Misalnya saya punya anak tiga maka satu yang kena TBC tidak semuanya kena.”
Senada dengan informan NO, informan YL juga berpendapat penyebab dirinya terkena TB Paru adalah karena keturunan yang didapat dari orangtuanya. Berikut penuturan informan YL:
“….TBC itu juga karena keturunan dari orangtua sampai anak-anak sampai cucu begitu terus kalo tidak diobati. Dari situ sudah penyakit turunan menular.”
Adapun pengetahuan mengenai gejala TB Paru. Masyarakat Desa Wulai menganggap penderita TB biasanya mempunyai gejala batuk darah dan memiliki perawakan tubuhnya kurus. Mantan penderita TB yaitu DM mengalami batuk selama satu bulan hingga mengalami batuk darah. DM melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan setelah mengalami batuk darah. Senada dengan DM, informan YL mengalami batuk-batuk sebelum didiagnosis TB. Berikut pengakuan informan YL:
“Nenteke dowe (batuk tidak putus) biar kita berkeringat itu kalo tidak dikasih minum air tidak berhenti. Baru di tenggorokan gatal dan sempit”
Salah satu bentuk upaya untuk menyembuhkan gejala TB Paru seperti batuk ialah dengan meminum obat kampung. Seperti halnya DM meminum daun mayana atau dalam bahasa setempat disebut daun simambu. Daun direbus dengan air hingga mendidih dan diminum sehari tiga kali untuk meredakan batuk. Setelah meminum daun Mayana batuk yang dialami berangsur sembuh dan merasa ada kesembuhan. Berikut pernyataan informan DM, “…tapi memang ada perubahan saya minum obat itu sembuh juga saya rasa.”
Selain dengan meminum obat kampung, penderita TB Paru juga mengunjungi topo tawuiuntuk mengobati penyakitnya. Teknik penyembuhan yang dilakukan dengan cara meniup bagian
leher hingga dada penderita TB Paru sembari membaca mantera.
Topo tawui tidak memberikan ramuan khusus hanya air putih
yang ditiup kemudian diminta untuk meminumnya. Biasanya setelah meminum air tiupan topo tawui esok harinya sudah merasa sembuh. Apabila mereka tidak kunjung mengalami kesembuhan setelah minum obat ataupun ditiup oleh topo tawui barulah mereka berobat ke pelayanan kesehatan.
Berdasarkan informasi petugas TB di Puskesmas Randomayang, kebanyakan penderita TB di Desa Wulai tidak rutin minum obat. Beberapa upaya dilakukan pihak Puskesmas seperti mengancam penderita TB tersebut untuk mengambil barang berharga yang dimiliki seperti sepeda motor. Hal tersebut dilakukan agar penderita TB tersebut patuh minum obat. Berikut penjelasan RM yang adalah petugas Puskesmas Randomayang:
“...karena pasien-pasien disana harus ditakut-takuti seperti itu walaupun sebenarnya obatnya memang gratis. Kalo ndak seperti itu mereka tidak mau. asal enak badannya sudah berhenti.”
Pada umumnya pengetahuan penderita TB Paru mengetahui bahwa obat TB tidak boleh lupa diminum namun kebanyakan mereka pernah sesekali lupa meminum obat. Rasa bosan melanda penderita TB manakala diharuskan meminum obat selama enam bulan, seperti penuturan informan NS berikut, “Aih.. bosan itu tetap dipaksa minum itu. Iya pernah itu 1-2 hari saya tidak minum itu. Lupa, dua kotak itu.”
Senada dengan NS, penderita TB lain yaitu DM mengaku merasa bosan meminum obat TB. Disamping itu ia juga merasakan efek samping dari obat TB yaitu rasa mual dan pendengarannya berkurang, seperti uraiannya berikut ini:
“Iya mual, pokoknya mau muntah begitu. makanya saya sekarang ini sudah agak anu sedikit. Saya tanya dokter
kenapa saya ini kaya kurang pendengaran. Mungkin ibu kan kena penyakit itu kena dari akibat obat tinggi sekali katanya dosisnya”
Meskipun mereka seringkali lupa untuk minum obat namun mereka mengaku telah menyelesaikan pengobatan selama enam bulan. Obat TB Paru mereka peroleh secara cuma-cuma dari Puskesmas. Sebelum melakukan pengobatan mereka mendapatkan informasi dari petugas kesehatan bahwa obat TB tidak boleh lupa untuk diminum, seperti penjelasan informan YL berikut ini:
“Itu obat itu tidak boleh satu hari ditinggal. Kalo ditinggal tidak mempan dia, kalo ditinggal diulang lagi tidak bisa diteruskan jadi jangan lupa itu. Talongu sanggoni raome (tiga tablet satu kali minum).”
Namun informan YL menghentikan pengobatan TB Paru pada bulan ke lima dikarenakan hamil. Bidan menyarankan YL untuk menghentikan pengobatan selama hamil. Setelah melahirkan YL hanya disarankan untuk melakukan rontgen di rumah sakit Undata Palu namun karena ketiadaan biaya, YL tidak melakukan pemeriksaan rontgen ke rumah sakit Undata Palu. Menurut petugas Puskesmas Randomayang apabila terdapat kasus TB Klinis yang harus dirujuk hingga ke rumah sakit Undata Palu biasanya masyarakat akan memikirkan mengenai proses rujukannya seperti transport, uang makan dan biaya lain sehingga mereka lebih memilih untuk membiarkan penyakitnya begitu saja.
“Belum habis obat saya minum hamil sudah saya, tinggal satu dos saya minum. Begitu bidan kasih tau sama saya. Itu obatmu ada disana tinggal satu dos bagaimana kamu sudah hamil. Tidak boleh memang kalo kita hamil…” (informan YL).
Selain meminum obat TB, mereka juga tidak diperbolehkan merokok. Petugas kesehatan menyarankan penderita TB Paru untuk tidak merokok selama pengobatan TB. Kebiasaan merokok penderita TB Paru yang sudah lama mereka lakukan membuat mereka merasa sulit meninggalkan kebiasaan merokok. Merokok telah menjadi kebiasaan mereka dan untuk meninggalkan kebiasaan merokok tidaklah mudah, seperti pernyataan NS salah seorang penderita TB paru berikut, “Cuma ini rokok dilarang, tidak boleh merokok. Tapi saya tidak bisa dilarang itu merokok tetap merokok.”
Setelah penyakit TB Paru mereka sembuh maka supaya tidak kambuh mereka biasa mengkonsumsi obat antibiotika seperti AM apabila mulai merasa flu dan batuk. Obat-obatan antibiotik seperti AM dan AP dijual bebas baik pasar maupun di warung yang terdapat di Desa Wulai. AP merupakan antibiotik yang saat ini sudah tidak tersedia di Puskesmas bisa mereka dapatkan di warung. Masyarakat mengenal obat AP sebagai obat yang dapat digunakan untuk penyembuhan luka. Sedangkan AM biasa mereka minum untu menyembuhkan batuk. Antibiotik biasa dijual seribu rupiah per tablet.
“…misalnya kalo sudah ada kelainan begitu. saya sekarang saya punya obat itu Amoxilin kan itu antibiotiknya. Kalo saya sudah agak rasa mau flu begitu apalagi kalo mau batuk begitu minum. Kan begitu petunjuk dokter to, minum obat Amoxilin saja tidak usah obat sembarang…”(informan DM).
Selain itu dilakukan pula upaya pencegahan agar tidak penyakit TB Paru tidak dapat menurun ke anak cucunya. Salah satu bentuk pencegahan yang dilakukan yaitu dengan