• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET KESEHATAN

3.2. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

3.2.4. Kebiasaan merokok

Kebanyakan masyarakat di Desa Wulai memiliki kebiasaan merokok. Baik laki-laki dan perempuan memiliki kebiasaan merokok. Pada umumnya para perokok aktif mulai merokok saat berusia remaja yaitu sekitar 15 tahun atau biasa dilakukan sebelum menikah. Mereka menganggap bahwa kebiasaan merokok adalah hal yang wajar, hal ini dikarenakan kebiasaan merokok telah mereka lakukan sejak kecil. Terlebih banyak diantara mereka yang tidak pernah bersekolah sehingga tidak pernah mendapat larangan untuk merokok, seperti penuturan informan NS berikut ini:

“Oo.. lama.. masih kecil saya merokok. Kalo ndak salah itu umur 10 tahun saya merokok. 15 tahun sudah mulai belajar merokok. Asal sudah tau bekerja sudah boleh merokok, kalo tidak dia tau ya tidak boleh merokok.”

Jenis rokok yang biasa mereka konsumsi adalah rokok filter (PO, GE, dan GA) dengan kisaran harga Rp. 6.000-9.000 dan rokok kretek yang dikonsumsi seperti rokok merk NM atau CM dengan harga Rp. 15.000. Rokok kretek dan rokok filter sama-sama memiliki kandungan nikotin. Berdasarkan hasil pengukuran kadar nikotin dengan menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi per batang rokok, kandungan nikotin dalam rokok kretek lebih besar dibandingkan rokok filter. Nikotin yang terdapat dalam asap rokok arus samping empat sampai enam kali lebih besar dari asap rokok arus utama (Susanna, dkk., 2003).

Gambar 3. 12.

Perempuan Desa Wulai yang sedang merokok Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tidak hanya rokok kretek dan rokok filter yang biasa mereka gunakan untuk merokok, lempek dan jole merupakan jenis rokok yang juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat Desa Wulai. Lempek merupakan salah satu jenis rokok berupa tembakau kering dengan pembungkus terpisah. Sebelumnya tembakau kering harus digulung terlebih dahulu dengan menggunakan kertas pembungkus rokok. Lempek dijual di warung seharga tiga ribu rupiah. Jole merupakan tembakau kering yang dibungkus kulit jagung yang sudah kering. Mereka biasa menanam tembakau di kebun dan menggunakannya untuk merokok. Pada umumnya tembakau jenis ini dikonsumsi oleh kalangan usia lanjut. Selain lempek dan jole mereka juga menggunakan tembakau sirih pinang atau yang biasa disebut

mompongo.

Mompongo atau menginang masih menjadi kebiasaan masyarakat terutama untuk kalangan lanjut usia. Kebiasaan menginang atau mompongo dipercaya dapat mencegah kemasukan setan saat melakukan ritual adat. Selain itu mereka

menganggap bahwa mompongo dapat mencegah sakit gigi, seperti uraian informan MO berikut ini:

“Kalo orangtua yang makan sirih itu kuat memang giginya, kayaknya itu dia punya bahan itu banyak obat yang dikasih kesitu. Ee..sirih, tembakau. Dia gigi kalah itu gigi anak muda”

Gambar 3.13. Perlengkapan mompongo Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sampai saat ini merokok merupakan kebiasaan masyarakat desa Wulai yang belum bisa mereka tinggalkan. Mereka biasa menghisap rokok sekitar empat hingga enam batang rokok dalam sehari. Menurut mereka apabila tidak merokok dapat membuat sakit kepala, seperti pernyataan informan SG berikut, “Da’a nabelo raraku, ju’a vo’o.” (perasan tidak enak, sakit kepala).

Senada dengan informan SG, bagi informan NS merokok adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti halnya makan. Apabila tidak merokok akan menimbulkan perasaan tidak enak dan ia merasa sulit untuk berfikir, seperti uraiannya berikut ini:

“Aih.. seperti bagaimana perasaan itu tidak baik lagi, seperti kita memikirkan anu makanan juga. Kalo tidak makan kita lapar, begitu juga merokok, kalo tidak merokok itu susah, otak tidak berjalan, berarti kita pusing memikirkan jalan dimana tidak tau lagi akhirnya buntu”

Terlepas dari alasan yang mendorong seseorang untuk merokok, dengan merokok seseorang akan memperoleh perasaan yang menyenangkan. Pada kondisi inilah bangkit hasrat untuk mengulangi perilaku tersebut (conditioning). Pada saat yang bersamaan, nikotin pada rokok dapat menimbulkan perasaan tergantung. Efek toleran yang disebabkan oleh nikotin sesungguhnya relatif ringan, tetapi sifat adiktifnya dapat menyebabkan tubuh tergantung dan termanifestasi dalam bentuk pusing-pusing, mudah gugup, lesu, sakit kepala, dan perasaan cemas (Sari, dkk., 2003).

Merokok diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Masyarakat Desa Wulai menganggap bahwa rokok dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Mereka menganggap TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan karena kebiasaan merokok. Hal tersebut diungkapkan oleh informan ES berikut, “TBC itu salah satu akibat rokok...”

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok mempunyai risiko sebelas kali untuk mengidap penyakit paru-paru dibandingkan bukan perokok (Sari, dkk., 2003). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lingkungan dengan asap rokok merupakan penyebab terjadinya penyakit yang juga dapat mengenai orang sehat yang bukan perokok. Paparan asap rokok yang dialami terus-menerus pada orang dewasa yang sehat dapat menambah risiko terkena penyakit paru-paru dan penyakit jantung sebesar 20-30 persen (Susanna, dkk., 2003).

Pada umumnya masyarakat Wulai tidak memiliki kebiasaan merokok di tempat khusus yang diperuntukkan untuk merokok. Para perokok biasanya merokok dimana saja baik di dalam maupun di luar ruangan. Bayi, anak-anak dan perempuan yang bukan perokok juga turut menghisap asap rokok mereka. Pada saat penelitian berlangsung, seringkali dijumpai mereka merokok didalam rumah bersama anggota keluarga yang lain.

Risiko terjadinya penyakit yang disebabkan oleh karena asap rokok tidak tidak hanya mengenai perokok (aktif) saja, tetapi juga orang-orang di sekitar perokok. Perokok pasif merupakan orang yang tidak merokok tetapi harus menghirup asap rokok atau orang yang berada di sekitar perokok. Perokok pasif secara tidak langsung telah memasukkan zat-zat yang berbahaya ke dalam tubuh bersamaan dengan asap rokok yang tanpa sengaja terhisap. Kondisi ini lebih membahayakan karena tubuh perokok pasif tidak terbiasa dengan asap yang terhisap ke dalam tubuh mereka. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sekitar 20%-30% kejadian terkena risiko penyakit kanker paru-paru dialami oleh perokok pasif (Sari dkk., 2003).