• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN ETNIK KAILI DA’A

2.1. Sejarah 1. Asal Usul

Pada awalnya Desa Wulai merupakan nama sebuah dusun yang merupakan bagian dari wilayah Desa Randomayang. Pada saat itu Desa Randomayang merupakan bagian dari Kecamatan Pasang Kayu yang terletak di wilayah Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Selatan. Dahulu Dusun Wulai merupakan perkampungan biasa yang tidak ada namanya. Asal usul nama Wulai terkait dengan adanya sumber mata air yang sering digunakan sebagai sumber air bersih. Mata air ini merupakan satu-satunya sumber mata air yang ada di pemukiman tersebut. Penduduk yang bermukim di wilayah ini sangat menjaga kebersihan mata air. Oleh karena itu masyarakat menamakan perkampungan ini dengan sebutan Wulai yang artinya adalah air.

Berawal dari kesepakatan warga untuk membentuk desa sendiri, maka pada tahun 2007 Wulai yang awalnya hanyalah sebuah dusun dari Desa Randomayang berubah menjadi sebuah desa. Sebelum pemilihan kepala desa dilaksanakan, dipilihlah bapak AR selaku pejabat sementara. Pada tahun 2009 barulah diselenggarakan pemilihan kepala desa yang diikuti oleh dua calon kepala desa yaitu bapak SI dan bapak AR. Berdasarkan

perolehan suara terbanyak maka bapak SI terpilih menjadi kepala desa pertama Wulai yang berasal dari etnik Kaili Da’a.

Pada awalnya, Desa Wulai terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Bendungan, Wulai Satu dan Wulai Dua. Dusun Wulai satu merupakan pemukiman tertua sedangkan Dusun Wulai Dua sebelumnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Satu. Saat ini Desa Wulai sudah mulai berkembang menjadi lima dusun dengan tambahan dua dusun yaitu Dusun Sinjanga dan Dusun Saluwu. Dusun Sinjanga pada awalnya merupakan bagian dari Dusun Wulai Dua dan Dusun Saluwu bagian dari Desa Kalukunangka. Selain penambahan jumlah dusun, juga terjadi pergantian nama yaitu Dusun Bendungan menjadi Dusun Ujung baru dan Dusun Wulai Dua menjadi Dusun Watubete.

Dusun Watubete terbentuk ketika masyarakat mulai membuka lahan untuk berkebun yang kemudian berkembang menjadi areal pemukiman hingga akhirnya terbentuk menjadi sebuah dusun. Watubete dalam bahasa setempat berarti batu besar. Dinamakan Dusun Watubete dikarenakan di dusun tersebut terdapat sebuah batu besar yang terletak di tepi sungai. Dari Dusun Watubete penduduk menyebar lagi membentuk pemukiman baru yaitu Dusun Sinjanga yang berada di sebelah Selatan Watubete. Daerah Dusun Watubete juga terdiri dari beberapa perkampungan seperti perkampungan Salo’otu dan Pinora’a yang letaknya cukup jauh dari pusat dusun. Perkampungan Salo’otu ditempuh dengan jalan pendakian dari pusat Dusun Watubete. Jika berjalan kaki, diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk menuju perkampungan tersebut. Jalan menuju perkampungan tersebut berupa jalan setapak bebatuan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Untuk melintasi jalan setapak ini cukup sulit karena harus mendaki dan apabila turun hujan jalan menjadi licin. Selain melewati jalan setapak, untuk

menuju perkampungan Salo’otu sebelumnya melewati sungai dan perkebunan sawit dan coklat.

Kondisi jalan yang sulit juga terjadi jika hendak menuju perkampungan Pinora’a. Perkampungan ini harus ditempuh dengan melewati sungai. Apabila hujan lebat akses menuju perkampungan tersebut menjadi sulit dikarenakan arus sungai yang cukup deras. Perkampungan Pinora’a terdiri dari sekitar 20 rumah yang sebagian diantaranya ditempuh dengan 15 menit berjalan kaki melewati sungai atau dapat pula menumpang truk milik perusahaan batu dan pasir milik PT Pasako Utama Jaya. Perkampungan tersebut terletak di sebelah Timur dari pusat Dusun Sinjanga dan untuk menuju kampung tersebut ditempuh dengan jalan mendaki serta harus melewati sungai Sinape.

2.1.2. Sejarah Etnik Kaili Da’a di Desa Wulai

Etnik Kaili Da’a merupakan salah satu rumpun dari Etnik Kaili yang berasal dari Sulawesi Tengah. Dalam bahasa Kaili, para etnik Kaili menyebut kelompok etnik mereka sebagai to kaili yang berarti orang Kaili. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kata “kaili” tersebut diambil dari nama sebuah pohon yang dikenal dengan nama pohon kaili. Jenis pohon ini biasanya tumbuh di kawasan hutan yang terdapat di kawasan tepi sungai palu dan teluk palu. Di daerah lain, pohon kaili disebut dengan pohon woea, rao atau rago. Pada zaman dahulu, kerajan etnik kaili membentuk sebuah dewan permusyawaratan rakyat yang disebut Libu Nto Dea. Forum ini merupakan forum perwakilan rakyat dari Kota Pitunggota (tujuh penjuru wilayah) atau Patanggota (empat penjuru wilayah). Forum ini dketuai oleh salah seorang perwakilan yang disebut Baligau. Menurut salah seorang budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing, anggota Pitunggota tersebut adalah perwakilan dari tujuh sub-etnik etnik Kaili. Pada dasarnya, sub-sub etnik dalam etnik kaili tersebut

dibedakan berdasarkan pada dialek bahasa yang digunakan dalam kesehariannya. Dalam hal ini, sub etnik etnik Kaili tersebut antara lain adalah kaili ledo, kaili ija, kaili ado, kaili unde, kaili rai,

kaili da’a dan, kailitara. Selain ketujuh sub-etnik yang tergabung

dalam Pitunggota atau Patanggota tersebut, sebenarnya masih ada beberapa sub-etnik etnik kaili. Secara keseluruah, sub-etnik etnik kaili terhitung mencapai 21 sub-etnik (Faidi, 2013).

Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai awalnya berasal dari daerah Pinembani di Sulawesi Tengah. Menurut sejarahnya, di daerah Pinembani terdapat dua kerajaan yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik yaitu Kerajaan Pinembani dan Kerajaan Dombu. Pada perkembangannya Kerajaan Dombu lebih memiliki pengaruh dibandingkan dengan Kerajaan Pinembani. Sebagian besar penduduk Wulai berasal dari kerajaan Dombu sedangkan keturunan kerajaan Pinembani berada di daerah Pakawa.

Menurut informan Wa yang merupakan ketua lembaga adat Etnik Kaili Da’a, sejarah Etnik Kaili Da’a tidak bisa diceritakan sembarangan. Ketika seseorang membahas tentang sejarah Etnik Kaili Da’a maka orang tersebut akan menyebut nama nenek moyang mereka. Apabila dalam penyebutan nama ataupun silsilah ada ada yang tidak tepat maka orang yang bercerita akan sakit. Penyakit timbul karena arwah nenek moyang akan marah karena nama mereka salah disebut. Dalam bahasa Kaili Da’a penyakit seperti ini disebut dengan istilah kabuaga artinya kurang sehat, seperti penjelasan informan Wa berikut ini:

“...kalo salah ngomong, kalo menurut bahasa orangtua akan menimbulkan kabuaga kaya kurang sehat begitu, inikan bicara sejarah, nama orangtua kalo mengikuti jalur mengikuti nama pertamanya, kalo semua nama disebutkan dilarang itu.”

Etnik Kaili Da’a yang tinggal di Desa Wulai pada awalnya hidup berpindah-pindah (nomaden) di daerah pegunungan Tasinamawu. Mereka akan berpindah ke lahan baru jika sudah selesai masa panen karena mereka menganggap lahan baru lebih subur dan akan lebih banyak mendatangkan hasil. Cerita asal usul Etnik Kaili Da’a dituturkan informan Al berikut ini:

“Sebagian orang disini dari Pinembani Sulawesi Tengah dan dari Dombu. Disini ada banyak gunung tapi gunung yang tertinggi yaitu Gunung Tasinamawu jadi patokan mereka. Dari pegunungan itu mereka kan nomaden sampai mereka ke tempat ini. Karena habis buka lahan setelah panen dianggap sudah tidak subur lagi, buka lagi lahan baru. Kalo mereka lihat hasil panen sudah berkurang itu berarti tidak subur kemudian mereka buka lahan baru.”

Pada awalnya Etnik Kaili Da’a tidak mengetahui batas wilayah provinsi, mereka hanya mengetahui bahwa hutan adalah milik mereka. Mereka mulai mau turun dari pegunungan dan tinggal di perkampungan ketika ada prajurit TNI yang melakukan pendekatan kepada mereka. Prajurit TNI tersebut awalnya bertugas untuk menumpas pemberontak Permesta yang terjadi pada akhir tahun 1950-an awal tahun 1960-an. Setelah pemberontak berhasil ditumpas prajurit TNI melakukan pendekatan ke masyarakat agar mereka mau tinggal di perkampungan. Perkampungan pertama yang terbentuk adalah perkampungan Pinora’a.

Arti kata Tasinamawu adalah air laut sampai di sana. Pada pinggiran gunung Tasinamawu terdapat susunan beberapa batu cadas yang biasanya hanya ada di pantai. Hal ini membuat masyarakat beranggapan bahwa di tengah gunung tersebut terdapat sebuah laut. Menurut legenda yang berkembang, pada saat masyarakat tinggal di Gunung Tasinamawu, air laut sampai

disana. Menurut mitos mereka air laut ini turun karena digonggong oleh anjing yang berukuran sebesar kuda dan merupakan peliharaan rajanya (madikanya). Bukti dari mitos tersebut terlihat dari adanya batu cadas di pinggir pantai yang dekat dengan daerah pinggiran Gunung Tasinamawu.

2.1.3 Perkembangan Desa

Pada awalnya etnik Kaili Da’a di Desa Wulai lebih banyak yang tinggal di bukit atau gunung dibandingkan yang tinggal di perkampungan. Mereka tinggal di beberapa pondok kecil terbuat dari bambu yang tingginya mencapai 20 meter dari permukaan tanah. Pada tahun 1994, kehidupan etnik Kaili Da’a sudah mulai berubah dengan mulai banyaknya masyarakat pendatang seperti etnik Bugis, Makassar atau Mandar. Mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat dari etnik lain. Walaupun pada awalnya Etnik Kaili Da’a akan lari jika bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya.

Kemudian tahun 1997 Dinas Sosial memberikan bantuan perumahan untuk Etnik Kaili Da’a karena dikategorikan sebagai etnik terasing. Saat mendapat bantuan perumahan semua penduduk dipanggil turun gunung. Pada awalnya sebagian besar masyarakat etnik Kaili Da’a kurang dapat menerima bantuan perumahan tersebut sehingga banyak rumah yang dijual karena mereka merasa kepanasan tinggal di rumah bantuan tersebut. Selain itu Desa Wulai juga semakin berkembang dengan dibangunnya jalan desa yang dibangun sekitar tahun 1995.

2.2. Geografi Dan Kependudukan