commit to user
PENDIDIKAN KARAKTER
DI SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN A NEGERI
DENPASAR-BALI
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyratan mencapai derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh:
I NYOMAN BAYU PRAMARTHA
S0861102007
PROGRAM PASCASARJANA
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan sistem pendidikan nasional merupakan satu kesatuan
seluruh komponen pendidikan yang saling terkait dan terpadu, serta bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, terampil, cerdas,
maju, mandiri, dan modern. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (M. Furqon Hidayatullah, 2009:12). Pada intinya
pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya secara holistik
dan sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan harkat
dan martabat bangsa (TPIP FIP-UPI, 2007: ix). Maka dari itu pendidikan pada
umumnya sangat penting diberikan pada seluruh kalangan masyarakat secara
holistik. Karena dengan pendidikan yang baik berimplikasi pada pembentukkan
commit to user
Mendiknas mengingatkan pentingnya pengembangan karakter kepribadian
bangsa sebagai basis untuk mencapai sukses. Karena karakter kepribadian bangsa
merupakan aspek penting dari kualitas SDM, karena kualitas karakter bangsa
menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan
dibina sejak usia dini. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam
mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak
dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Masnur, 2011: 35).
Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif
tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 3. UU tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Jika dicermati sebagian besar potensi peserta didik yang ingin
dikembangkan sangat terkait erat dengan karakter.
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM berkarakter
merupakan kebutuhan fundamental yang wajib diberikan untuk masyarakat secara
holistik, baik itu dari golongan terpelajar maupun non terpelajar. Hal ini dilakukan
untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa di masa depan.
commit to user
tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum
mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus
aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang
menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan
pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru,
pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh kurang baik kepada peserta
didik yang dalam hal ini adalah siswa yang ada di sekolah . Misalnya guru tidak
jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian
nasional (UN) guru sering memberikan jawaban kepada siswa. Padahal guru
merupakan seorang tokoh idola bagi anak didik (Jamal Ma’amur, 2011:71). Jadi
apa yang dilakukan guru berindikasi akan mempengaruhi tingkah laku siswa
secara continue di kemudian hari. Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan
mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945.
Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang
tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kelak menjadi
manusia yang tidak bermoral. Sebagaimana saat ini banyak tayangan TV yang
mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan,
korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa,
tapi juga oleh anak-anak usia belasan tahun. Mencermati hal tersebut diatas,
diperlukan pendidikan karakter untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga
mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh serta mencerminkan
commit to user
Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter merupakan sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu diperlukan kepedulian oleh
berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, keluarga maupun sekolah
untuk mensukseskan implementasi pendidikan karakter bangsa agar biasa
diimplementasikan pada masyarakat Indonesia khususnya kepada
generasi-generasi muda kita yang notabennya hidup di jaman global sekarang ini. Dengan
demikian, pendidikan karakter perlu diintegrasikan ke seluruh aspek kehidupan,
termasuk kehidupan sekolah. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah dipandang
sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter. Hal ini dimaksudkan
agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan prilakunya mencerminkan
karakter yang baik dan kuat (Muhammad Furqon, 2010: 3). Internalisasi serta
pemahaman pendidikan karakter secara komperhensif bisa dijadikan solusi untuk
memfilterisasi kebudayaan asing yang dapat merusak moral generasi penerus
bangsa. Maka dari itu seyogyanya lembaga pendidikan menjadi konduktor untuk
peserta didik agar dapat memiliki pemahaman yang komperhensif mengenai
pendidikan karakter.
Dewasa ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang
anak dalam berolah style maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu,
lembaga pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk bekal ilmu pengetahuan,
namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup,
yang nanti di harapkan dapat bermanfaat didalam masyarakat. Sekolah merupakan
commit to user
memberi skill atau bekal pendidikan untuk siswa untuk digunakan oleh mereka
dikemudian hari.
Sekolah memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter siswa
sebab selama delapan jam siswa berada di sekolah untuk belajar. Sedangkan
waktu dirumah lebih sedikit dibandingkan di sekolah sehingga pembentukan
karakter siswa tersebut seharusnya dapat dibentuk disekolah melalui kurikulum
pendidikan.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) setiap daerah di
seluruh Indonesia diberikan kebebasan untuk melakukan pengembangan di dalam
kurikulum. Untuk pengembangan kurikulum pada KTSP, sekolah diwajibkan
menyisipkan pendidikan karakter sebagai upaya pembentukan karakter siswa di
sekolah. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan karakter harus diimbangi
dengan pengetahuan guru agar implementasinya dapat berjalan dan mencapai
hasil optimal. Persepsi dan pengetahuan yang kompleks tentang pendidikan
karakter memudahkan guru untuk melakukan internalisasi dalam proses integrasi
nilai-nilai pendidikan karakter pada mata pelajaran yang diampu oleh guru yang
bersangkutan. .Selain menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik,
tenaga pendidik diharapkan juga memberikan contoh teladan yang baik bagi
peserta didiknya serta adanya kerjasama antara pihak satuan pendidikan dengan
orang tua dalam menanamkan karakter yang baik pada diri peserta didik (Eza
commit to user
pendidikan karakter bisa diintegrasikan pada semua mata pelajaran di
sekolah. Contohnya pendidikan karakter bisa diintergrasikan pada mata pelajaran
Kesenian, IPS, IPA, Olahraga dan lain sebagainya. Kesenian, IPS, IPA, Penjaskes
merupakan mata pelajaran yang dapat berperan penting dalam pendidikan karakter
dengan menanamkan nilai-nilai moral dan akhlak mulia pada proses
pembelajarannya. Mata pelajaran Kesenian, IPS, IPA, dan Penjaskes mengajarkan
siswa untuk olah pikir, olah raga, olah hati, olah rasa. Kesenian mengajarkan
mengajarkan olah rasa, IPS mengajarkan olah hati, IPA mengajarkan olah pikir,
Penjaskes mengajarkan yang namanya nya olah raga. Sehingga sangat menarik
untuk diamati bagaimanakah terjadinya keempat ruang lingkup pendidikan
karakter tersebut pada pembelajaran di sekolah khusus di SLB.
Pendidikan karakter bangsa harus diintegrasikan kepada semua peserta
didik di sekolah, termasuk anak berkebutuhan khusus yang notabennya anak non
normal yang juga berhak untuk mendapat pendidikan layaknya anak-anak normal.
Karena pada umumnya Seluruh warga Negara tanpa terkecuali apakah dia
mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan. Hal ini di jamin oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang
mengumumkan, bahwa; tiap – tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.
Hal ini termaktub didukung oleh Undang-Undang Republik Indonesia No 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan tentang pendidikan
khusus bagi warga Indonesia yang memiliki kelainan dalam hal fisik dan
mentalnya. Model pendidikan khusus seperti Pendidikan Luar Biasa (PLB)
commit to user
diperuntukan untuk anak berkebutuhan khusus merupakan sefesifikasi yang
membedakan dengan sekolah pada umumnya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara
lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar,
gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain
bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena
karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka,
contohnya: bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi
tulisan Braillo,dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak
berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai
dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB
bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk
tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda
(http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus/diakses/16/03/2012).
SLB merupakan lembaga pendidikan sekolah yang menjadi objek pertama
implementasi pendidikan karakter di Indonesia. Salah satu provinsi yang sudah
menerapkan pendidikan karakter di SLB salah antara lain adalah Bali. Fenomena
ini dapat dilihat pada SLB yang ada di kota Denpasar-Bali. Sebagai kota
pariwisata yang terkenal di Indonesia bahkan di mancanegara, tidak membuat kota
commit to user
kota yang maju dan mempunyai karakter. Pengembangan pendidikan karakter
bangsa di Kota Denpasar tidak saja difokuskan pada sekolah-sekolah umum
seperti: SD, SMP, SMA, SMK, tetapi implementasi pendidikan karakter juga
diterapkan pada sekolah khusus seperti SLB.
SLB yang berbasis pendidikan karakter salah satunya, yaitu SLB/A Negeri
Denpasar. Sekolah Luar Biasa Bagian A dibangun dan diperuntukan bagi
anak-anak cacat atau anak-anak yang tidak normal (dalam pengertian diluar kebiasaan) dan
memiliki hendaya penglihatan atau tunannetra. Jadi SLB/A Negeri Denpasar
merupakan sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak penyandang tunanetra.
Secara Psikologis mereka memiliki kekurangan. Dalam pembejarannya
sehari-hari karena SLB/ A N merupakan sekolah yang dipergunakan untuk
penyandang cacat mata atau tunanetra. Sehingga dari jenis penggunaan perangkat
pembelajaran berbeda dengan anak normal. Contohnya: siswa-siswa di SLB/A N
Denpasar menggunakan jenis huruf Braillo yang khusus diperuntukan untuk
anak tunanetra. Fakta tersebut memberi indikasi bagi Sekolah Luar Biasa dan
guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut untuk wajib memiliki pengetahuan
serta memiliki model dan metode-metode khusus dalam proses implementasi
pendidikan karakter serta aplikasinya pada pembelajaran di sekolah.
Tentu saja hal ini sangat menarik untuk dikaji dalam bentuk karya tulis.
Bagaimana implementasi pendidikan karakter di SLB yang merupakan sekolah
yang diperuntukkan untuk penyandang cacat. Bagaimanakah cara guru
commit to user
pada mata pelajaran Kesenian, Penjaskes, IPS dan IPA di tingkat SMPLB di
SLB/A Negeri Denpasar.
Terlepas dari itu semua anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik
yang berbeda dari anak normal. Jadi secara mental mereka perlu dilatih dan
diberikan jenis pelayanan khusus. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak
yang memiliki kesulitan belajar khusus sehingga dalam pelayanan pendidikannya
sangat berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Jadi memang tak banyak
yang mengenal seputar Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang juga dikenal
dengan sebutan Sekolah Luar Biasa (SLB). Berangkat dari hal tersebut, maka
permasalahan ini memiliki sfesifikasikanya secara tersendiri. Dari latar belakang
masalah tersebut, serta sepesifikasi yang dimiliki oleh SLB khususnya SLB/A N
Denpasar-Bali maka menghasilkan masalah-masalah yang cukup penting untuk
dikaji dalam bentuk karya tulis. Penelitian ini akan mencoba mengkaji solusi serta
upaya-upaya yang dilakukan guru dalam implementasi, kendala-kendala yang
dihadapi dalam merealisasikannya, serta bagaimana proses implementasi
pendidikan karakter pada jenjang SMPLB di Sekolah Luar Biasa Bagian A
Negeri Denpasar-Bali khususnya yang terkait dengan proses implementasi
pendidikan karakter di kelas dan di luar kelas. Dengan judul Pendidikan Karakter
commit to user B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian
ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter pada di Sekolah Luar
Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali?
2. Apakah kendala yang dihadapi guru dalam implementasi pendidikan
karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar- Bali ?
3. Bagaimankah solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala
implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri
Denpasar-Bali?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mendeskripsikan implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar
Biasa Bagian A Negeri Denpasar-Bali?
2. Untuk mendeskripsikan kendala yang dihadapi guru dalam implementasi
pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri Denpasar-
Bali ?
3. Untuk mendeskripsikan solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala
implementasi pendidikan karakter di Sekolah Luar Biasa Bagian A Negeri
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
pengetahuan tentang pendidikan karakter dan Sekolah Luar Biasa.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan yang sedang diteliti.
b. Penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai peran pendidikan karakter di dalam membentuk karakter
bangsa dalam pendidikan di Indonesia khususnya di Bali serta
peran Sekolah Luar Biasa di dalam meningkatkan kecerdasan dan
wawasan peserta didik Anak Berkebutuhan Khusus agar menjadi
commit to user BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Pendidikan Karakter
a. Hakekat Pendidikan dan karakter
Berbicara apa itu pendidikan karakter, terlebih dahulu akan dilihat definisi
masing-masing. Kata education, secara etimologis, kata pendidikan/ educare
dalam bahasa latin memiliki kontasi melatih. Pendidikan dalam artian ini
merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, menata, mengarahkan. Pendidikan juga berarti proses
pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia agar dapat
berkembang dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungannya
(Yahya Khan, 2010: 1). Jadi dapat dikatakan pendidikan dapat membentuk
manusia ke arah yang lebih positif.
Sedangkan pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan
kecakapan fundamental, secara intelektual, dan emosional kearah alam dan
sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai
penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau
norma-norma tersebut dengan mewariskan segala pengalaman, pengetahuan,
commit to user
hidup dan kehidupan (Masnur, 2011: 67). Pendidikan merupakan landasan yang
sangat penting untuk memajukan manusia serta lebih memanusiakan manusia
muda menjadi lebih berbudi dan mempunyai karakter yang positif yang sesuai
dengan norma-norma yang telah ditentukan masyarakat secara universal.
Untuk karakter menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter
Bangsa (2008: 235),karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sementara itu, Doni Koesoema (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sama
dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai” ciri atau karakteristik atau
gaya atau sifat khas dari seorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan
seorang sejak lahir. Karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri
khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu
yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang yang ia buat. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih
dekat dengan dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak
perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi watak
yang merupakan identitas bangsa.
Emerson dalam Smiles (2008) menyatakan: “ Character is moral order
seen through the medium”, of an individual nature. ”Men of character are the
commit to user
terlihat melalui media, dari sifat individu. Karakter adalah hati nurani masyarakat
di mana mereka berbeda. Marthin Luther dalam Smiles menyatakan:
“ The prosperity of a country depends, not on the abundance of its revenues, nor on the strength of its fortifications, nor on the beauty of its public buildings; but it consists in the number of its cultivated citizens, in its men of education, enlightenment, and character; here are to befound its true interest, its chief strength, its real power” (Smiles, 2008).
Yang artinya “ Kemakmuran negara tidak tergantung pada kelimpahan dari
pendapatan, atau pada kekuatan bentengnya, maupun di keindahan bangunan
publik, tetapi itu terdiri dalam jumlah warganya dibudidayakan, pada prianya
yang berpendidikan, pencerahan, dan karakter; disini harus menemukan bunga
sejati, kekuatan utamannya, sebenarnya kekuasaan”. Jadi pada masa itu Luther
telah menjelaskan bahwa karakter merupakan fondasi utama untuk membangun
bangsa yang bermartabat dan dari karakter kebangsaan yang kuat akan muncul
kekuasaan yang luar biasa pula.
Hermawan Kertajaya (2010: 3) mengemukakan bahwa karakter adalah
“ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah
asli dan mangakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan
“mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak , bersikap, berujar, dan
merespon sesuatu.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karakter itu
berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi, orang
berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif.
Dengan demikian, pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisif
commit to user
dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang
buruk. Hal ini didukung oleh Petersondan Seligman (Gede Raka, 2007: 5) yang
mengaitkan secara langsung ‘character strength’ dengan kebajikan. Character
strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan
(virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strenght’ adalah karakter
tersebut berkonstribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita
seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya
dan bagi orang lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil
menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan
sebagai kekuatan moral dalam hidupnya (M. Furqon Hidayatullah, 2009: 10).
Karakter berarti jati diri dan harga diri. Jati diri dan harga diri ini bisa terpancar
dari dalam tubuh manusia (Atik Catur.B, Ardhi Raditya, 2010). Manusia dapat
menjadi manusia ketika tubuh mereka benar-benar memantikkan sifat
kemanusiaan dan kedalaman berempati sekaligus bereaksi terhadap tirani ataupun
tindak patologi yang menyengsarakan manusia. Jadi manusia harus mempunyai
karakter yang kuat. karakter yang kuat merupakan dasar terwujudnya kemajuan,
bagi individu dan masyarakat secara holistic.
b. Pendidikan Karakter
Seperti disampaikan di atas bahwa pendidikan adalah proses internalisasi
budaya dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan
masyarakat menjadi beradab. Jadi, pendidikan merupakan sarana strategis dalam
commit to user
Untuk dapat memahami pendidikan karakter itu sendiri, kita perlu
memahami struktur antropologis yang ada dalam diri manusia (Koesoema A,
2007: 80). Struktur antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh, dan akal. Hal ini
selaras dengan pendapat Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen
karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral
feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang
diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan , dan mengerjakan nilai-nilai
kebajikan.
Menurut Lickona Dalam Berkowitz & Bier dalam bukunya What Works In
Character Education: A research-driven guide foe educators. Menyatakan bahwa
pendidikan karakter adalah “ character education is a deliberate effort to develop
good character based on core virtues are objectively good for individuals and
society” (Berkowitz & Bier, 2005). Artinya, pendidikan karakter adalah upaya
yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik
berlandaskan kebajikan-kebajikan inti yang secara objektif baik bagi individu
maupun masyarakat.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa
penanaman nilai-nilai luhur universal, yaitu: karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaannya-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab; ketiga,
kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan,
suka tolong-menolong dan gotong royong/ kerjasama; keenam, percaya diri dan
pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah
commit to user
pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.
Paterson dan Seligman (Gede Raka, 1997) mengidentifikasi 24 jenis
karakter yang baik atau kuat (character strength). Karakter-karakter itu diakui
sangat penting artinya dalam berbagai agama dan kebudayaan di dunia. Dari
berbagai jenis karakter, untuk Indonesia ada lima jenis karakter yang sangat
penting dan sangat mendesak dibangun dan dikuatkan sekarang ini yaitu
kejujuran, kepercayaan diri, apresiasi terhadap kebhinekaan, semangat belajar,
dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk
memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia
selama ini, yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan
sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang rendah.
Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter dapat didefinisikan
adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter
siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan
sungguh-sungguh dari guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Winton,
2010, dalam Samani & Hariyanto 2011: 42).
Menurut Ki Hajar Dewantara ( 1967: 484-489), yang dimaksud pengajaran
budi pekerti atau pendidikan karakter adalah upaya untuk membantu
perkembangan jiwa yang sifatnya umum, menganjurkan atau kalau perlu
menyuruh anak untuk: duduk yang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak
mengganggu anak lain, bersih badan dan pakaiannya, hormat terhadap ibu-bapak
commit to user
semua sudah merupakan pengajaran budi pekerti. Jadi lebih lengkap menurut Ki
Hajar Dewantara dalam bukunya yang berjudul Manusia Merdeka dinyatakan:
“Karakter itu terjadi karena perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar yang dinamakan dasar yaitu bekal hidup atau bakat anak yang berasal dari alam sebelum mereka lahir, serta sudah menjadi satu kodrat kehidupan anak (biologis). Sementara kata ajar diartikan segala sifat pendidikan dan pengajaran mulai anak dalam kandungan ibu hingga akil baligh, yang dapat mewujudkan intelligible, yakni tabiat yang dipengaruhi oleh kematangan berpikir” (Ki Hajar Dewantara, 2009: 87).
Dalam pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa karakteristik
seseorang dipengaruhi oleh pengaruh bahan ajar. Yang dimaksud bahan ajar disini
yaitu bakat yang dimiliki oleh seseorang sebelum mereka lahir factor biologis
mempengaruhi karakter. Jadi semasa dalam kandungan karkater anak dibentuk
sedini mungkin agar menjadi anak berkarater positif ketika dia lahir nanti.
Sedangkan Hill, 2002 mengatakan, “ Charakter determines someone’
private thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward
motivation to do what is right, according to the highest standar of behavior, in
every situation”. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan
prilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai
keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat
keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ellen G White dalam Sarumpet (2001: 12) mengemukakan bahwa
pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada
manusia. Pembangunan karakter yang pernah diberikan kepada manusia.
Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang
commit to user
Terkait dengan itu, sebagaimana yang disitir oleh Character Counts!
Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics) dalam Masnur (2011: 39),
ada enam pilar pilar karakter ( The Six Pillars of Character) yang dapat menjadi
acuan. Enam pilar karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1)
Trustwothiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegrasi,
jujur, dan loyal; 2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki
pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain; 3) Caring, bentuk
karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap
orang lain; 4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu
menghargai dan menghormati orang lain; 5) Citizenship, bentuk karakter yang
membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan
alam; 6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung
jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. The Six
Pillars of Character untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 1 sebagai
commit to user Bagan 1. Enam Pilar Karakter
Sumber: Masnur ( 2011: 39)
Berdasarkan alur pikir pada Bagan 1 di atas, pendidikan merupakan salah satu
strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus
dilakukan secara koheren dengan beberapa strategi lain. Semua pilar karakter di atas
harus dikembangkan secara continue dan holistik pada setiap aspek kehidupan
masyarakat.
Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang
mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan
fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan
pendidikan, dan masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat
dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan dalam bagan 2 sebagai berikut. Enam Pilar
Karakter
F airness
Caring
Respect Citizenship
Responsibility
commit to user Bagan 2: Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Sumber: (http/www.pendidikan_karater.com)
Berdasarkan bagan tersebut di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada
pertimbangan pada hakekat perilaku seseorang yang berkarakter. Hal tersebut
merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas
commit to user
masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam kontek
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam: (1)
olah hati (spiritual & emotional development); (2) olah pikir (intellectual
development); (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development);
dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Proses itu
secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi,
serta masing-masingnya secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di
dalamnya terkandung sejumlah nilai sebagaimana dapat di lihat pada gambar di
atas (De Induk Pendidikan Karakter, 2010: 8-9).
Menurut Said Hamid Hasan (2010: 9-10) Untuk nilai dan deskripsi
pendidikan karakter dapat dilihat sebagai berikut: 1) Religius: Sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain; 2)
Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; 3)
Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; 4) Disiplin:
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan; 5) Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif : Berpikir dan melakukan
sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki;
commit to user
dalam menyelesaikan tugas-tugas; 9) Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; 10) Rasa
Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; 11)
Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya; 12) Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa; 13)
Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain; 14) Bersahabat/ Komuniktif: Tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain; 15) Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya; 16) Gemar Membaca:
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya; 17) Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi; 18) Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; 19)
commit to user
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Jika kita kaitkan pendidikan karakter dengan sekolah, maka pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan kesadaran atau kemauan dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen-komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan etos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu pendidikan karakter di maknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter
(Sofan Amri dkk, 2011:4). Maka dari itu karakter disini merupakan suatu nilai
fundamental yang harus diintegrasikan pada semua individu.
c. Jenis - Jenis Pendidikan Karakter
Menurut Yahya Khan (2010) Ada empat jenis karakter yang selama ini
dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, antara lain: 1). Pendidikan
karakter berbasis nilai religuis, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan
(konservasi moral); 2). Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang
berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi satra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah
commit to user
berbasis lingkungan (konservasi lingkungan); 4). Pendidikan karakter berbasis
potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri
yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konsevasi humanis).
Selebihnya Yahya Khan juga menjelaskan pendidikan Karakter berbasis
potensi diri adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya upaya. 1)
secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mereka mampu
mengatasi diri; 2) melalui kebebasan; 3) dan penalaran; 4) serta mengembangan
segala potensi diri; 5) yang dimiliki anak didik.
a) Guru dalam melaksanakan proses kegiatan pendidikan karakter berbasis
potensi diri dilakukan dengan segala daya upaya artinya guru dalam proses
pendidikan karakter berbasis potensi diri itu tidak hanya berperan sebagai
pengajar yang menyampaikan materi pengajaran tetapi dia juga bertindak
sebagai inspirator, inisiator, fasilitator, mediator, supervisor, evaluator,
teman (friend), sekaligus pembimbing (counselor), lebih matang (older),
otoritas (authority in field), pengasuh (nurturer), dan sepenuh hati dengan
cinta dan kasih saying (devoted). Menurut Fertman (1999) mengatakan:
Character education in schools involves formal instruction in honesty,
trust, cooperation, respect, responsibility, hope, determination, and
loyalty; it also lays the foundation for positive leadership development.
Yang artinya, Karakter pendidikan di sekolah melibatkan instruksi formal
dalam kejujuran, kepercayaan, kerja sama, rasa hormat, tanggung jawab,
harapan, tekad, dan loyalitas, tetapi juga meletakkan dasar untuk
commit to user
meletakkan dasar kepemimpinan yang positif pengembangan pendidikana
karakter berbasis potensi diri dapat direalisasikan secara baik.
b) Anak didik mampu mengatasi diri artinya mampu bersikap mandir,
mampu mangatasi segala problema perkuliahan, problema kesehatan,
problema pribadi (emosi), problema keluarga , problema pengisian waktu
senggan, problema agama dan akhlak, problema perkembangan pribadi
sosial, problema memilih pekerjaan, problema persiapan untuk
berkeluarga melalui kebebesan penalaran.
c) Kebebasan merupakan suatu kondisi dan situasi merdeka, tidak ada
tekanan dari siapa pun dan dari pihak manapun, bebas manyatakan
pendapat, bebas menentukan pilihan, bebas berpikir, bebas melakukan
aktivitas, bebas berkreasi, bebas berkeyakinan, yang bermanfaat bagi diri
sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa, negara dan tidak merugikan
siapapun.
d) Penalaran merupakan kemampuan berpkir benar dan teruji kebenarannya,
yaitu kemampuan berpikir logis dan analitis.
e) Segala potensi anak didik artinya setiap anak bersifat unik mereka
memiliki potensi terpendam. Dalam proses pendidikan karakter semua
potensi yang dimiliki anak didik digali, diberdayakan untuk bekal hidup
mereka.
Jadi pendidikan karakter berbasis potensi diri merupakn proses kegiatan
yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budaya
commit to user
untuk memiliki kompetensi intelektual (Kognitif), karakter (Affective), dan
kompetensi keterampilan mekanik (Psychomotoric).
2. Sekolah Luar Biasa
Pada dasarnya sekolah mempunyai peranan penting di dalam menumbuh
kembangkan karakter siswa menuju kearah yang lebih positif. salah satunya
adalah SLB. Berikut Pengertian SLB, fungsi SLB, dan Jenis-jenis anak-anak
berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB.
a. Pengertian Sekolah Luar Biasa
Tempat penyelenggaraan pendidikan dibagi menjadi tiga lingkungan yaitu
formal, informal dan non formal. Sekolah Luar Biasa adalah sebuah lembaga
pendidikan formal yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Sebagai lembaga pendidikan SLB dibentuk oleh banyak unsur yang
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yang proses intinya adalah
pembelajaran bagi peserta didik. Jadi SLB merupakan lembaga pendidikan khusus
yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
(Aqila Smart, 2012: 91).
Dalam ketentuan umum UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 1
dikemukakan bahwa: “Proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan,
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara” (UU Sisdiknas, 2006 :
72). Bertitik tolak dari tujuan itulah setiap lembaga pendidikan termasuk di
commit to user
titik tujuan suatu proses pendidikan, yang pada akhirnya dapat “mewujudkan
terjadinya pembelajaran sebagai suatu proses aktualisasi potensi peserta didik
menjadi kompetensi yang dapat dimanfaatkan atau digunakan dalam kehidupan”
(Hari Suderadjat, 2005: 6).
Syafaruddin (2002:87) mengemukakan bahwa: “Dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia sekolah memiliki peranan strategis sebagai institusi
penyelengara kegiatan pendidikan.” Oleh karena itu, jelaslah bahwa Sekolah
Luar Biasa memiliki dan mengemban tugas yang berat tetapi penting. Berat
karena harus selalu berperang menghadapi berbagai kelemahan, ancaman dan
tantangan guna menselaraskan program-program kegiatan yang terealisir dengan
dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bergerak
demikian cepat. Penting, karena tugas-tugas dan fungsi sekolah sangat diperlukan
untuk mengembangkan potensi anak-anak berkebutuhan khusus demi
kelangsungan hidupnya yang harus selalu dinamis dan optimis.
Melihat kedudukan sekolah yang demikian pentingnya Syafaruddin (2002
:88) mengatakan bahwa:“ sekolah menjadi pusat dinamika masyarakat.
Keberadaan sekolah menjadi institusi sosial yang menentukan pembinaan pribadi
anak dan sosialisasi serta pembudayaan suatu bangsa.” Di balik fungsi dan
peranan sekolah yang sangat esensial bagi perkembangan pribadi peserta didik,
masyarakat dan bangsa, serta tingginya harapan masyarakat terhadap sekolah ada
satu realita yang masih jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan
kata lain lembaga-lembaga sekolah masih berkualitas rendah dan belum dapat
commit to user
sekolah yang diekspresikan dengan menganggurnya siswa-siswa yang telah lulus
sekolah. Bahkan dalam realita keseharian terlihat para lulusan yang belum dapat
hidup mandiri untuk mengatasi persoalan kehidupannya sehari-hari. Hal ini
sebagai cerminan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia sebagai output
pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Hal itu dilatar belakangi karena siswa-siswi di
SLB tidak mempunyai IQ yang rendah di banding dengan anak-anak normal pada
umumnya. Gambaran di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hari
Suderadjat (2005: 4) yang mengemukakan bahwa “lulusan sekolah khususnya
di Indonesia dinilai bermutu rendah dalam komparasi Internasional”.
Sejalan dengan pendapat Hari Suderajat dikemukakan pula tentang
lemahnya mutu pendidikan kita oleh Syafaruddin (2002: 19) sebagai berikut:
Dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat.
Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah
pendidikan yang tidak tuntas, atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih orientasi
proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat.
Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja
dan pembangunan, baik industri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga
kerja sektor lainnya yang cenderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM
yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya
memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam
commit to user
Berangkat dari kenyataan di atas, maka harus dilakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan keberhasilan sekolah sehingga menjadi lembaga pendidikan
yang efektif dan produktif. Terwujudnya Sekolah Luar Biasa yang efektif dan
produktif merupakan suatu ciri bahwa sekolah itu berhasil dalam mengemban dan
menjalankan tugas dan fungsinya. Sondng P. Siagian (dalam Syafa.ruddin, 2002 :
97) mengemukakan bahwa: “Organisasi yang berhasil adalah organisasi yang
tingkat efektivitas dan produktivitasnya makin lama makin tinggi”. Oleh sebab
itu, dikemukakan Sondang P. Siagian (2002: 1) bahwa :”Produktivitas suatu
organiasasi harus selalu dapat diupayakan untuk terus ditingkatkan, terlepas dari
tujuannya, misinya, jenisnya, strukturnya, dan ukurannya. Aksioma tersebut
berlaku bagi semua jenis organisasi.” Jadi, sesuai dengan pendapat tersebut,
tentunya termasuk di dalamnya organisasi pendidikan atau Sekolah Luar Biasa
harus melakukan berbagai upaya guna meningkatkan efektivitas dan
produktivitasnya, sehingga apa yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.
Untuk melihat keberhasilan suatu sekolah tentu harus diukur dengan
kriteria sebagaimana dikemukakan Sergiovanni dan Carver (H.M. Daryanto, 2006
:17) bahwa ada empat tujuan yaitu: Efektivitas produksi, efisiensi, kemampuan
menyesuaikan diri (adaptiveness), dan kepuasan kerja, dapat digunakan sebagai
kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu penyelenggaraan sekolah.
Efektivitas produksi, yang berarti menghasilkan sejumlah lulusan yang sesuai
dengan tuntutan kurikulum yang berlaku.
Menelaah perkembangan yang terjadi di sekolah dan lulusan sekolah
commit to user
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang di dalamnya meliputi: (1)
Sandar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar
Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan,
ternyata masih banyak kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Hal ini
terlihat dengan masih rendahnya mutu kompetensi lulusan, masih kurangnya
profesionalisme guru dalam mengelola pembelajaran, masih banyaknya guru yang
belum berkualifikasi akademik S1, masih rendahnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan masyarkat, dan sebagainya. Dengan kata lain, fenomena yang terlihat
dalam lembaga pendidikan Sekolah Luar Biasa saat ini masih rendah mutu
layanannya. Kualitas layanan pendidikan tersebut dicerminkan dengan suatu
ukuran tingkat daya hasil suatu program yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Dalam upaya meningkatkan mutu layanan pendidikan di Sekolah Luar
Biasa tidak dapat terlepas dan harus didukung oleh berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders) diantaranya pihak masyarakat. Hal ini penting
karena masyarakat memiliki peran yang sangat diperlukan oleh sekolah.
Mengenai hal ini diungkapkan dalam UU Sisdiknas tahun 2003 dalam Hadiyanto,
(2004 : 85) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a). Masyarakat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah; b). Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri
commit to user
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
b. Fungsi Sekolah Luar Biasa
Sekolah dipandang perlu memberikan layanan kepada siswa yang
memiliki tingkat kemampuan, kecerdasan, dan bakat yang luar biasa di atas
standar rata-rata, dalam bentuk perlakuan pendidikan dan pengajaran, secara utuh
dan optimal dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan sekolah reguler.
Oleh sebab itu penyelenggaraan akselerasi pendidikan yang dimulai dari setiap
jenjang pendidikan dapat terselenggara di sekolah-sekolah yang ada pada saat ini
sebagai penampung dari aspirasi masyarakat yang diamanatkan melalui GBHN
dan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang berlaku dewasa ini. Hal ini juga
berpengaruh pada fungsi dari sekolah luar biasa (SLB) tersebut, dimana sekolah
luar biasa (SLB) dipandang dapat memberikan pelayanan kepada siswa yang
memiliki kelainan fisik dan mental ini agar nantinya mereka dapat mengenyam
pendidikan yang tidak saja didapat oleh anak-anak normal lainnya yang telah di
landaskan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Sehingga nantinya mereka akan mampu bersaing dengan dengan
masyarakat lainnya dalam hal memperoleh pekerjaan di masyarakat luas serta
akan sesuai dengan tujuan dari pembangunan pendidikan di Indonesia itu sendiri.
Pelayanan yang dilakukan oleh sekolah ini akan berhasil apabila semua
komponen-komponen baik itu yang berasal dari sekolah atau komponen dalam
commit to user
berjalan dengan baik dan didukung oleh lingkungan yang kondusif
(http://www.indomedia.com/sripo/06/07/0706hot1.htm/ diakses 16/11/2011).
Tujuan sekolah luar biasa terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 72
tahun 1991 (72/1991) tanggal 31 desember 1991 tentang pendidikan luar biasa
yang dikutip dari http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/1991/72-1991.htm.
Pada Bab II tentang tujuan pendidikan luar biasa menyatakan bahwa:
Pasal 2
“Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”.
Sistem pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa (PLB) yang dalam
hal ini identik dengan sekolah luar biasa (SLB) di Indonesia ialah pendidikan bagi
anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu
Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan
Terpadu. Sekolah luar biasa, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua,
menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra,
SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB
Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan,
sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, dan atau tunaganda. SLB merupakan sekolah yang
diperuntukkan untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Anak Berkebutuhan Khusus
commit to user
umumnya (Aqila Smart, 2012: 33). Jadi SLB sangat penting di dalam menunjang
keberjaminan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus yang memang
memiliki kekurangan di dalam hidupa mereka.
Sesuai dengan hakikatnya sekolah merupakan lembaga yang sangat
strategis dan memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengembangkan
pendidikan. Banyak pendapat yang mengemukakan tentang fungsi sekolah
diantaranya dikemukakanoleh Hadari Nawawi sebagai berikut:
“Peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat” (Hadari Nawawi, 1982: 27)”.
Oleh karena itulah maka dapat dikatakan bahwa fungsi sekolah adalah
meneruskan, mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan suatu
masyarakat, melalui kegiatan ikut membentuk kepribadian anak-anak agar
menjadi manusia dewasa yang mampu berdiri sendiri di dalam kebudayaan dan
masyarakat sekitarnya. Mukhlison dalam (www.balinter.net/diakses /20/12 2011)
mengemukakan bahwa fungsi sekolah adalah: 1). Sekolah mempersiapkan anak
untuk suatu pekerjaan, dan diharapkan anak yang telah menyelesaikan sekolahnya
dapat melakukan sesuatu pekerjaan atau paling tidak sebagai dasar dalam mencari
pekerjaan; 2). Sekolah memberikan keterampilan dasar; 3). Sekolah membuka
kesempatan untuk memperbaiki nasib; 4) Sekolah menyediakan tenaga
pembangunan.
Kedua pendapat di atas pada dasarnya sama dan saling melengkapi tentang
commit to user
tersebut di atas maka Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan memiliki
fungsi sebagai berikut: 1). Tempat pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan
khusus yang memberikan dasar-dasar pengetahuan, sikap, dan keterampilan; 2).
Memberikan rehabilitasi bagi anak-anak yang memiliki hambatan baik fisik,
mental, emosi, maupun sosial. 3). Mengembangkan life skill bagi anak-anak
berkebutuhan khusus sebagai bekal untuk dapat mandiri dalam kehidupannya
bermasyarakat; 4). Membentuk anak-anak yang berbudaya dan menjadi
warganegara yang sadar akan hak dan kewajibannya.
Pentingnya fungsi sekolah bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, yang pada akhirnya tertuju pada kesejahteraan
manusia. Oleh karena itulah, pengembangan Sekolah Luar Biasa semestinya
mendapat suatu perhatian yang semakin bermutu dengan terobosan-terobosan
upaya yang tidak pernah berhenti dilakukan oleh semua pihak. Pelaksanaan
evaluasi pun semestinya tidak dilupakan karena maju mundurnya pengembangan
sekolah akan signifikan dengan upaya-upaya perbaikan yang selalu dilakukan
sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi.
Jadi pada Intinya SLB berfungsi memberikan pelayanan pada anak
berkebutuhan khusus dan jika dikatagorikan ke dalam anak berkesulitan belajar
karena memiliki keterbatasan fisik di dalam menerima setiap pelajaran di sekolah.
Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar merupakan bagian dari ilmu pendidikan
luar biasa atau sering disingkat PLB atau sering disebut oertopedagogik
commit to user
c. Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan khusus di Sekolah Luar
Biasa.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk
menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan
khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara
satu dan lainnya. Getskow dan Konezal (1996: 9) menyatakan:
“ Kids with special needs is divided into eight sections. Its is arranged so that activities are open-ended and can be used for a variety of purpose. Teacher and parents should feel free to adapt the activities to the ability level their children” .
(“Anak-anak dengan kebutuhan khusus dibagi menjadi delapan bagian. Adalah diatur sedemikian rupa sehingga kegiatannya bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Guru dan orang tua harus merasa bebas untuk menyesuaikan kegiatan dengan tingkat kemampuan anak-anak mereka”)".
Sedangkan Bandhi Delphi (2006) Menyatakan di negara Indonesia anak
berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah
diberikan layanan di SLB antara lain sebagai berikut:
1) Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra),
khususnya anak buta (totally blind), tidak dapat menggunakan indera
penglihatan untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan
sehari-hari. Pada dasarnya, tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
buta total dan kurang penglihatan (Aqila Smart, 2012: 36). Pada umumnya
kegiatan belajar dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan
indera raba sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan. Bagi
mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan
commit to user
perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah mereka dapat
memahami bentuk ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat permukaan,
kelenturan, suhu dan sebagainya (Sofan Amri, 2011: 68).
2) Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada
umumnya mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan
melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain. Bagi yang sudah
terlatih mereka dapt berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat
gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang
menyebut anak tunarungu dengan istilah “permata” karena matanya
seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicarannya (Sofan
Amri, 2011: 69).
3) Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki
problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan
intelegensi, mental, emosi, sosial, dan fisik. Akibatnya, dalam tugas-tugas
akademik yang menggunakan intelektual mereka sering mengalami
kesulitan
4) Anak dengan hendaya kondisi fisik atau motorik (tunadaksa). Secara
medis dinyatakan bahwa mereka mengalami kelainan pada tulang,
persendian, dan saraf penggerak otot-otot tubuhnya, sehingga digolongkan
sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota
tubuhnya.
5) Anak dengan hendaya prilaku maladjustment. Anak yang berprilaku
commit to user
menonjol antara lain sering membuat keonaran secara berlebihan, dan
bertendensi kearah prilaku kriminal. Anak tunalaras selalu ingin
memenuhi kebutuhan dan keinginannnya tanpa memperdulikan
kepentingan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, ia
menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang
lain.
6) Anak dengan hendaya autism (autistic children).Anak autistic mempunyai
kelainan ketidakmampuan berbahasa. Hal ini diakibatkan oleh adanya
cedera pada otak. Secara umum anak autistic meliputi kelainan berbicara,
kelainan berbicara disamping mengalami gangguan kemampuan
intelektual dan fungsi saraf. Kelainan anak autistic meliputi kelainan
berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual, serta prilaku yang ganjil.
Anak autistic mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat seperti
orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari
lingkungan hidupnya.
7) Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped
and developmentally disable childern). Mereka sering disebut dengan
istilah tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup
hambatan-hambatan perkembangan neurologis. Hal ini disebabkan oleh
satu atau dua kombinasi kelainan kemampuan pada aspek intelegensi,
gerak bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat. Kelainan
commit to user
Mereka umumnya memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus
dengan modifikasi metode secara khusus.
3. Teori Belajar Perkembangan Kognitif
Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko - fisik sebagai hasil dari
proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh factor
lingkungan dan proses belajar dalam passage waktu tertentu menuju kedewasaan
(Kartini Kartono, 1990: 21). Salah satu teori belajar yang dikatagorikan dapat
berpengaruh terhadap perkembangan seseorang salah satunya kognitivisme.
Kognitivisme merupakan salah satu teori belajar yang dalam berbagai
pembahasan sering juga disebut model kognitif (Aunurachman, 2009: 44).
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan sebuah proses spontan
(Crain, 2007: 217). Anak-anak bisa dikatakan mengembangkan struktur-struktur
kognitif mereka sendiri, tanpa pengajaran langsung dari orang dewasa. Menurut
piaget anak-anak secara konstan mengeksplorasi, memanipulasi dan berusaha
memahami lingkungannya dan berusaha memahami lingkungannya, dan di dalam
proses ini mereka aktif mengkonstruksi struktur-struktur baru yang lebih
elaborative agar bisa menghadapinya ( Kohlberg, 1968).
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan
interaktif aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan.
Sementara itu bahwa interaksi social dengan teman sebaya, khususnya
berargumentasi dan berdiskusi membantu pemikiran itu menjadi logis (Nur,
commit to user
Menurut teori Piaget setiap individu pada saat tumbuh mulai dari Bayi
yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat
perkembangan kognitif. Empat tahap perkembangan kognitif dapat dilihat pada
tabel 1 berikut.
Tabel 1. Empat Tahap Perkembangan Kognitif
Tahap Perkiraan Usia Kemampuan-kemampuan Utama Sensorimotor
Terbentuknya konsep “ kepermanenan obyek” dan kemjuan grdual dari prilaku refleksi ke prilaku yang mengarah pada tujuan. Perkembangan kemampuan menggunakan symbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiranmasih egosentris dan sentrasi.
Perbaikan dalam kempuan untuk berpikir secara logis. Pemikiran tidak. Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui pengunaan eksperimentasi sistematis.
(Sumber: Nur, dalam Trianto 2007: 15)
Jadi implikasi teori piaget bagi pendidikan menimbulkan spekulasi bahwa
belajar merupakan sebuah proses penyelidikan dan penemuan spontan. Kami dan
De Vries dalam Crain (2007: 2012) mengemukan anak-anak butuh kesempatan
untuk melukiskan segala sesuatu sendiri. Karena adalah hal yang baik bagi diri
mereka sendiri, ketimbang membuat mereka merasa harus kembali terus kepada
orang dewasa untuk mengetahui jawaban apa yang benar. Jadi intinya filsafat
kontruktivisme sangat berperan di dalam perkembangan kognitif seorang
commit to user
sigap untuk menghadapi suatu permasalahan. Jadi perkembangan kognitif
merupakan tolak ukur yang penting untuk mengetahui kemampuan anak di dalam
berpikir.
Jadi teori perkembangan piaget mewakili konstruktivisme, yang
memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif
membangun sistem makna pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman
dan interaksi-interaksi mereka (Trianto, 2007: 14). Perkembangan kognitif
sebagian besar bergantung kepada sebrapa jauh anak aktif berinteraksi dengan
lingkungannya (Slavin 1994: 145).
Jadi menurut Aunurrachman (2009: 45) Kognitivisme memberikan
pengaruh dalam perkembangan prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut: a)
Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila
pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola logika tertetentu; b) Penyusunan
materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks. Untuk dapat menyelesaikan
tugas-tugas dengan baik peserta didik harus terlebih dahulu telah mengetahui
tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; c) Belajar dengan memahami lebih baik
dari pada dengan hanya menghafal, apalgi tanpa pengertian; d) Adanya perbedaan
individual pada peserta didik perlu diperhatikan, karena factor ini sangat
mempengaruhi proses belajar peserta didik.
Tinjauan diatas senada dengan kajian Vygotsky yang menyatakan, bahwa
siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa
sendiri melalui bahasa. Akan tetapi teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada
commit to user
akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari
namun tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas tersebut berada dalam zone of proximal development (Trianto, 2010: 76).
Zone f proximal development adalah perkembangan sedikit di atas
perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih
tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerja sama antar individu,
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut
(Slavin, 1994: 49). Jadi kerjasama dalam individu akan menghasilkan pemikiran
yang lebih kompleks, proses kerja sama merupakan hal yang sangat penting dalam
suatu proses pembelajaran.
Jadi teori pembelajaran Vygotsky ini dikenal dengan teori pembelajaran
sosial. Teori vygotsky sama juga halnya Piaget bisa dikelompokkan ke dalam
teori konstruktivisme. Karena siswa dalam teori pembelajaran sosial tersebut
diharapkan harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi
kompleks ke dalam diri mereka secara mandiri. Intinya berpengaruh pada
perkembangan kognitif seseorang.
4. Perkembangan Moral dan Implementasinya Dalam Pembelajaran
Menurut Kohlberg ada tiga tingkatan perkembangan moral: 1. Tingkat I.
Moralitas Prakonvensional; 2. Tingkat II. Moralitas Konvensional; 3. Tingkat III.
commit to user
a. Tingkat I. Moralitas Pra-konvensional (Pre- Convention Level)
Pada tingkat I. Moralitas Prakonvensional dibagi dalam dua tahap
perkembangan moral: 1. Tahap 1. Kepatuhan dan Orientasi Hukum. Dalam tahap
ini anak-anak berasumsi bahwa otoritas-otoritas yang kuasa telah menurunkan
seperangkat aturan baku yang harus mereka patuhi tanpa protes (Crain, 2007:
231). Tahap 1 ini disebut pra-konvensional karena anak-anak masih belum bicara
sebagai anggota masyarakat. Mereka melihat moralitas sebagai suatu yang
eksternal-sesuatu yang orang dewasa katakana dan harus mereka lakukan (Colby
dkk: 1987: 16).
Tahap 2. Individualisme dan Pertukaran. Di tahap ini anak-anak mulai
menyadari bahwa bukan hanya ada satu saja pandangan benar yang diturunkan
dari otoritas-otoritas. Individu-individu yang berbeda memiliki sudut pandang
yang berbeda-beda. Tahap 2 termasuk dalam tingkatan pra-konvensional karena
dalam tahap ini berbicara tentang individu yang terisolasi dan bukan sebagai
anggota masyarakat. Tapi dalam tahap ini telah ada sifat kritisasi dari individu
untuk sedikit mengkritisi suatu pernyataan yang sifatnya permanen.
Pada level ini anak-anak memberikan respons terhadap aturan-aturan
kebiasaan, baik dan buruk, benar atau salah, tetapi intepretasi ini mereka
terjemahkan menurut tarap pemikiran mereka sendiri atau dalam batas kekuasaan
fisik dari orang-orang yang menetapkan aturan - aturan bagi mereka