• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TESIS PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS

STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT,

MALUKU

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh :

FABIOLA SINTHYA SEITTE 076322002

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

YOGYAKARTA

(2)
(3)

iii Prof. Dr. A. Supratiknya

Lembaran Pernyataan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Fabiola Sinthya Seitte, NIM: 076322002, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 11 Desember 2009,

(4)
(5)

v

Motto

Takut akan Tuhan

adalah permulaan Pengetahuan,

(6)
(7)

vii

Kata Pengantar

Ide penulisan tesis ini berawal dari rasa keprihatinan yang saya pendam dari Ambon terhadap nasib salah seorang adik (dan ribuan tenaga kerja lainnya) yang mengalami PHK pada pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Kabupaten Seram Bagian Barat. Rasa keprihatinan ini kemudian menjadi suatu hal yang menarik ketika saya diperhadapkan pada mata kuliah Marxisme. Ide ini kemudian

oleh Pa‟ Budiawan diarahkan bukan pada masalah ketidakadilan yang dialami

tetapi pada bagaimana para mantan pekerja ini bergulat dengan identitas-identitas mereka sebagai mantan pekerja pabrik maupun sebagai etnis mayoritas dan minoritas dalam sebuah kabupaten baru. Saya mengakui untuk sampai pada tahap ini, saya sangat tertolong oleh berbagai bantuan yang diberikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, secara pribadi saya ingin mengucapkan danke banya voor

semua orang yang telah membantu saya selama saya berstudi di IRB yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Danke voor Direktur Program Pasca Sarjana, Kaprodi dan Wakaprodi IRB. Untuk semua dosen yang selama ini telah membekali saya dengan sejumlah ilmu,

Pa‟ Nardi, Romo Bas, Bu‟ Katrin, Romo Moko, Pa‟George, Romo Hary Susanto, Mbak Devi dan Mbak Stefani, khususnya untuk Pa‟ Budiawan dan Pa‟ Anton

(8)

viii Sansan, Tia, Uul, Anas, Karin, Trisno, Boy, Mas Dedy, Wahyu, khusus buat Bu Risma untuk dorongannya yang tak henti-hentinya.

Danke voor Drs.Nataniel Elake, M.Si (Bu‟ Tanel) yang selalu memberikan bantuan setiap kali saya perlukan, bahkan untuk semua informasi yang diberikan termasuk membagi pengalaman selama berstudi di Makasar untuk saya. Semua kebaikan itu saya tidak bisa membalasnya, hanya doa yang dapat saya berikan semoga engkau tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Juga untuk para informan serta perangkat Desa Waisarisa dan staf kantor Bupati SBB yang telah memberikan sejumlah informasi yang saya butuhkan untuk kelengkapan penulisan ini. Khusus untuk Mas Yanto dan Usi Nonce atas kesediaan menjadi bapa dan mama piara saya selama penelitian di Waisarisa. Juga untuk Keluarga Kakisina di Piru, Bapa Agus, Mama Ati, Bu Ade dan Usi Moni yang selalu memberikan bantuan dan dukungan untuk saya. Juga untuk Keluarga Ahyate (Angky, Erna dan anak-anak). Untuk sahabatku Pdt. Lita Tuamely (ingatlah “viva forever together”), Jus Anamofa, Fani dan Wien, Plavius, Eby H serta semua teman-teman lain atas kebersamaan selama ini. Juga untuk Keluarga Anguarmase untuk bantuannya dalam penyelesaian tesis ini.

Danke banya voor kakak-kakak dan adik-adikku, Bu Ampi, Usi Lisa, Ade Nova, O64N dan Bu Cila serta semua keponakanku, Icky, Ge, Bapin, Adri (Topilus), Dave (Rambo), Dinda, Ona Kety atas semua bantuan dan dorongan semangat yang tak terkira, terutama dalam mengurus kedua buah hatiku serta menjadi teman bermain mereka. Keluarga besar Seitte-Frans (khusus untuk Opa Cada) dan keluarga Lekitoo (Mama Yo dan Son), Keluarga Suryaman serta Nn Ema T.

(9)
(10)

x

ABSTRAK

Setelah terjadi reformasi, otonomisasi daerah seakan-akan memberikan peluang bagi daerah-daerah untuk berkembang. Dari sisi jumlah, terjadi peningkatan jumlah propinsi diikuti dengan peningkatan kabupaten kota dan kecamatan-kecamatan yang merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya pemekaran. Dari aspek tujuan, pemekaran bertujuan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan-pembangunan diberbagai bidang. Tapi Otonomi daerah yang berwujud pada pemekaran wilayah menyisakan banyak persoalan. Daerah-daerah yang merasa tidak puas beramai-ramai menuntut mekar lepas dari kabupaten atau propinsi induk dengan harapan dapat mengatur diri sendiri. Pemekaran daerah juga setidaknya ikut memberikan harapan bagi masyarakat di daerah mekaran baru, khususnya akses ke sumber-sumber daya publik. Etnis yang termarjinalkan mulai bangkit dan memperjuangkan hak-haknya. Terjadi tegangan antara para pendatang dan putera daerah.

Masalah tegangan antara para pendatang dan putera daerah juga terjadi pada Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Perebutan sumber-sumber daya publik pasca pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah arena pertarungan

identitas “asli” dan bukan. Isu pengutamaan putera daerah yang beredar bersamaan dengan perjuangan pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah harga mati. Putera daerah mengklaim hak mereka pada sumber-sumber daya publik.

(11)
(12)

xii

Daftar Isi

Halaman Judul ………....………i

Lembar Persetujuan ....…..………....…...…ii

Lembar Pengesahan ...iii

Lembar Pernyataan ...iv

Lembar Motto …....………...v

Kata Pengantar ………....……..vi

Abstrak ………...………..…………...…..ix

Daftar Isi ………....……...xi

Bab I. Pendahuluan 1. Latar Belakang ..………....………....…...1

2. Perumusan Masalah ...………...……...5

3. Tujuan Penelitian .……...………....……...6

4. Kerangka Konseptual ....………....…....6

5. Tinjauan Pustaka ...13

6. Metodologi Penelitian ...17

7. Sistematika Penulisan ...20

Bab II. Seram Bagian Barat: Geografi, Demografi dan Mitos-Sejarah 1. Pengantar ...21

2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat ...24

A. Letak Geografis ...24

B. Kondisi Demografi ...26

C. Sumber Daya dan Pembangunan ...29

3. Sejarah Lokal Masyarakat Seram Bagian Barat ...31

A. Mitos Yang Berkembang Dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat ...33

B. Masa Kolonial Belanda ...38

4. Sejarah Panjang Yang berujung Pada Pemekaran ...41

(13)

xiii

Bab III. Menuju Terbentuknya KabupatenSeram Bagian Barat:

Proses Politik dan Proses Administif

1. Pengantar ...45

2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat ...47

A. Di Awal Perjuangan ...49

B. Pemekaran Kabupaten Baru ...51

C. Alasan-alasan di balik Usulan Pemekaran ...57

3. Catatan Penutup ...64

Bab IV. Pergumulan Kabupaten Baru dan Politik Identitas 1. Pengantar ...66

2. Mengenal Masyarakat Waisarisa A. Geografis dan Demografis ...69

B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa ...71

3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik ...72

4. Proses Pengidentifikasian Diri „Lokal/Asli‟ dan „Pendatang (Orang dagang) „ ...75

A. Penduduk „Lokal/Asli‟ ...76

B. „Pendatang‟ ...78

5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik ...84

6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan hidup ...91

A. Berjuang Untuk Hidup ...91

B. Kesamaan Identifikasi Diri ...94

7. Catatan Penutup ...95

Bab V. Penutup ...98

Daftar Pustaka ...105

(14)

BAB I

P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang

Sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan, banyak pengamat menyatakan bahwa Indonesia memasuki suatu era baru dalam bidang pemerintahan, yakni dari pemerintahan yang tersentralisasi ke pemerintahan yang terdesentralisasi. Artinya, daerah di beri kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dirinya sendiri (otonom). Ini jelas terlihat dengan adanya undang-undang otonomi daerah, walaupun garis pemisah tentang tanggung jawab dan klaim-klaim antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum begitu jelas1.

Sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, Propinsi Maluku yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga kabupaten dan satu kotamadya, dimekarkan menjadi 9 kabupaten, 2 kota dan 1 propinsi baru yakni Maluku Utara. Pemekaran wilayah-wilayah ini cukup membawa dampak bagi kehidupan masyarakat di daerah-daerah hasil pemekaran, terutama berkaitan dengan distribusi akses terhadap sumber-sumber daya publik. Ini dikarenakan tingginya angka pengangguran akibat konflik yang melanda propinsi ini beberapa waktu sebelumnya. Pengangguran di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mencapai 120.000 orang atau 13, 34% dari angkatan kerja. Jumlah ini meningkat di tahun 2001 mencapai 17,40%, jumlah ini kemudian mulai menurun, seiring mulai membaiknya kondisi keamanan. Sampai akhir tahun 2003, pengangguran

1

(15)

2 mencapai 15,43% dari jumlah usia kerja. Pada Desember 2004, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebanyak 505.296 orang dengan penggangguran hampir mencapai 76.000 orang atau sekitar 15%.2 Jumlah ini perlahan-lahan mulai turun namun jumlah pengangguran termasuk kategori cukup tinggi dibandingkan yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lainnya.

Masalah perebutan akses sumber-sumber daya publik juga melanda Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Di kabupaten ini bukan hanya berdiam masyarakat lokal SBB serta orang Maluku sendiri, tetapi juga etnis lain dari luar Maluku. Adanya etnis lain yang berdiam di daerah ini karena bermacam-macam alasan. Alasan terbesar adalah mengikuti program pemerintah Orde Baru, yakni transmigrasi nasional. Kehadiran etnis lain di daerah ini pada awalnya tidak bermasalah. Antara penduduk lokal dengan pendatang hidup saling berdampingan.

Demikian pula dengan apa yang terjadi di „negeri‟3 Waisarisa. Waisarisa adalah satu daerah di wilayah kabupaten SBB dengan komposisi penduduk yang sangat beragam karena adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti Group. Pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja yang bukan hanya etnis SBB atau Maluku, tetapi juga banyak dari etnis Jawa, Toraja, Minahasa, dll. Mereka yang berasal dari etnis luar Maluku, terutama Jawa dan Toraja, didatangkan secara besar-besaran dengan menggunakan sistem angkatan kerja. Ketika mereka tiba

2 www.detiknews.com/

dan www.disnakertrans-jateng.go.id/ , tanggal 2 April 2009 dan

www.hamline.edu/apakhabar/ dan http//74.125.153.132/ tanggal 27 Oktober 2009.

3

(16)

3 untuk pertama kalinya, tidak pernah ada rasa iri dan perasaan tersaingi dari penduduk lokal. Selain itu, karena merupakan tenaga kerja yang khusus didatangkan dari luar Maluku oleh perusahaan, maka keberadaan mereka sangat dilindungi oleh pihak perusahaan yang bersangkutan. Lagipula keberadaan mereka di sana hanya untuk bekerja, bukan untuk hal-hal lain yang dapat menyusahkan kehidupan mereka bersama.

Kemp-kemp yang disediakan pihak perusahaan dihuni bersama-sama baik etnis lokal maupun pendatang. Dalam kehidupan bersama ini terjadi perjumpaan multietnik dan multikultural. Ketika konflik Ambon yang mengedepankan isu agama terjadi, daerah Waisarisa boleh dikatakan tidak terjamah sama sekali. Masyarakat telah belajar dari perjumpaan-perjumpaan yang terjadi, sehingga konflik relatif dapat dihindari.

Dengan kondisi keamanan yang mulai membaik, undang-undang otonomi daerah mulai diberlakukan. Atas perjuangan tokoh-tokoh masyarakat, lahirlah kabupaten-kabupaten baru. Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini membawa harapan baru tentang akan adanya perbaikan dalam setiap bidang kehidupan buat masyarakat yang bermukim di daerah hasil pemekaran tersebut. Salah satunya adalah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang beribukota di Piru, yang disahkan dengan UU No. 40 Tahun 2003. Kasus inipun terjadi pada kabupaten ini (SBB). Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini selalu diikuti dengan perekrutan tenaga kerja baru pada instansi pemerintah kabupaten dalam jumlah besar. Wacana yang berkembang sebelum pelaksanaan proses seleksi penerimaan pegawai adalah

pengutamaan “anak daerah”4

dan bukan “orang dagang”5. Walaupun sudah hidup

4

(17)

4 bertahun-tahun di Maluku bahkan di SBB, para pendatang tetap dianggap orang luar. Dengan kata lain berhembusnya isu ini seakan-akan menutup peluang bagi etnis lain dari luar SBB, bahkan dari luar Maluku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Proses perjumpaan yang telah terjadi bertahun-tahun seolah-olah tidak lagi diperhitungkan. Perbedaan etnis menjadi isu utama dalam seleksi penerimaan PNS bukan perbedaan agama dan keyakinan.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh warga Waisarisa. Tes yang pertama kali dilakukan diikuti oleh ribuan pelamar, termasuk orang-orang Waisarisa yang pada saat itu masih berstatus sebagai karyawan PT. Jayanti grup. Bukan hanya anak daerah yang berlomba-lomba, tetapi juga menarik minat orang-orang dari luar SBB. Ada rasa optimis “anak daerah” SBB bahwa mereka akan diterima sebagai PNS. Tapi kenyataan yang terjadi di luar dugaan mereka. Dari hasil yang diumumkan, muncul nama-nama yang berasal dari luar SBB. Hal ini tentu saja membawa rasa kecewa di kalangan orang Waisarisa. Mereka beranggapan bahwa sebagai orang Seram dan putera daerah SBB, mereka lebih berhak atas sumber-sumber daya publik tersebut daripada orang-orang luar. Rasa kekecewaan semakin diperkuat ketika pada tahun 2006 pabrik mengadakan PHK besar-besaran terhadap dua ribu lebih karyawannya dan disusul dengan penutupan pabrik itu pada tahun berikutnya. Mereka menilai pemerintah seakan-akan menutup mata terhadap nasib mereka.

5

(18)

5 Dengan gambaran di atas, identitas seseorang kembali dipertanyakan. Sebelum pemekaran wilayah tidak ada wacana penguatan identitas etnis. Tetapi setelah pemekaran wilayah, penguatan identitas etnis ini kemudian dimunculkan dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Fenomena inilah yang akan saya kaji.

2. Perumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang diatas maka pertanyaan masalah yang muncul adalah: Sejauh mana politik identitas berperan dalam perebutan sumber-sumber daya publik paska pemekaran wilayah di kabupaten Seram Bagian Barat?

Pertanyaan umum tersebut diuraikan kedalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana etnis “pendatang” dan etnis “lokal” saling memandang? Bagaimana masing-masing mendefinisikan identitas mereka?

2. Bagaimana pandangan etnis “pendatang” dan etnis “lokal” terhadap isu

“putra daerah” yang digulirkan dalam proses penerimaan Calon Pegawai

Negeri Sipil pasca pemekaran?

3. Bagaimana identifikasi diri yang dibangun oleh orang Waisarisa (pendatang maupun lokal) dalam menjembatani penguatan-penguatan identitas etnis pasca seleksi CPNS?

(19)

6 Dengan melihat gambaran permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan proses politisasi identitas pasca pemekaran kabupaten baru. 2. Mengungkapkan fungsi politisasi identitas dalam proses perebutan sumber- sumber daya publik.

4. Kerangka Konseptual

Ketika pada akhirnya pemerintah pusat menyetujui usulan pemekaran Kabupaten Seram Bagian Barat dengan UU No.40 tahun 2003, ada rasa lega yang tersirat dari ungkapan-ungkapan oleh orang-orang yang berasal dari Seram Bagian Barat. Rasa lega itu dikaitkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan, “Syukurlah, dengan berdiri sendiri maka setidaknya anak-anak daerah SBB punya peluang besar untuk mendapat pekerjaan di negeri sendiri”. Demikianlah ungkapan seorang ibu asal SBB bahkan mungkin orang-orang SBB lainnya. Sekali lagi kata anak daerah ini patut digarisbawahi. Ungkapan “anak daerah” telah menjadi kata kunci bagi orang-orang yang merasa berasal dari Seram Bagian Barat (SBB). Ini merupakan pembeda mereka yang mengaku berasal dari SBB dengan orang lain yang bukan berasal dari SBB berdasarkan nama keluarga (fam)6 yang diwariskan.

Anak daerah dan nama keluarga (fam) merupakan dua hal yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan berkaitan erat dengan masalah yang terjadi di kabupaten baru hasil pemekaran. Kedua hal ini juga yang menjadi instrumen pengidentifikasian diri. Menurut Stuart Hall, pada dasarnya identitas

6

(20)

7 selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris, karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.7 Artinya, identitas seseorang dapat merepresentasikan banyak hal dan oleh karena itu tidak tunggal serta selalu berproses. Identitas itu bersifat cair, ia akan berubah ketika situasi yang dihadapi berbeda pula. Dengan banyak komponen itulah maka kita dapat menggambarkan diri kita dan orang lain sehingga dapatlah dikatakan bahwa identitas menurut Hall selalu bersifat relasional. Defenisi tentang “diri” itu selalu terkait dengan siapa yang dilihat/dibayangkan sebagai yang “lain”.

Sejalan dengan pikiran Hall, Robin Tolmach Lakoff menyatakan bahwa

identitas manusia adalah sebuah „proses‟ yang dikonstruksi dan dapat berubah oleh

pengalaman hidup. Identitas dikonstuksi lewat sebuah cara yang sangat kompleks dengan maupun tanpa kesadaran. Dalam beberapa kasus, ia menyatakan bahwa identitas sama dengan proses pengidentifikasian seseorang terhadap keanggotaan dari komunitasnya.8 Dengan melihat pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Hall dan Lakoff memiliki pandangan bahwa identitas itu disamakan dengan pengidentifikasian diri dan melewati sebuah proses yang dikonstruksi berulang-ulang oleh pengalaman yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, bagi Hall dan Lakoff, identitas itu bersifat cair. Seperti yang diungkapkan oleh Kobena Mercer bahwa identitas itu merupakan sebuah kata kunci dalam perkembangan politik, bahkan kata identitas juga bisa ditafsirkan dalam makna yang berbeda maupun

7

Stuart Hall, “Old and New Indentities, Old And New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed),

Culture, Globalization And The World-System, Binghamton ,The Macmillan Press Ltd, 1991, hlm. 49.

8

Robin Tolmach Lakoff, “Identity: „You Are What You Eat”, dalam Anna de Fina, dkk (ed)

(21)

8 sama tergantung siapa pelakunya.9 Artinya, bahwa identitas bersifat cair karena ia bebas diartikan oleh siapa saja tergantung kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial pun terbentuk bila seseorang menggunakan identitas etnisnya dalam mengkategorikan/mengidentifikasi dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi.10

Pada kasus Waisarisa, asumsinya adalah bahwa yang dipakai sebagai tanda identifikasi diri adalah nama keluarga (fam). Tanda ini akan dipakai jika berkaitan dengan upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Lain lagi jika masalah yang dihadapi secara komunal sebagai sebuah masyarakat (sosial) bekas pekerja, tentunya indikator pengidentifikasian diri itupun berbeda pula. Misalnya saja yang dipakai adalah buruh pabrik yang terkena PHK gelombang pertama dan kedua atau kelompok kerja pada bagian alat berat di pabrik. Akhirnya dapat dikatakan bahwa nama keluarga (fam) yang dipakai sebagai penanda hanya merupakan salah satu dari begitu banyak penanda-penanda yang lain misalnya etnis, agama, pekerjaan, dll.

Dalam pengidentifikasian diri yang menggunakan nama keluarga (fam), orang selalu mengaitkannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik untuk membedakan yang asli dan pendatang. Banyak contoh menunjukkan bahwa nama keluarga (fam) ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut etnis. Etnis pendatang dan etnis lokal itu yang selalu bergaung setelah pemekaran kabupaten Seram Bagian Barat. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan dengan etnis itu sendiri?

9

Kobena Mercer, 1968”:Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed),

Cultural Studies, New York & London, Roudledge, 1992, hlm. 424.

10

(22)

9 Menurut Anthony D. Smith, etnis atau komunitas etnis dapat diartikan sebagai penamaan populasi manusia yang memiliki mitos, sejarah dan budaya yang sama, memiliki tanah tumpah darah (homeland) dan memiliki rasa solidaritas11. Dengan demikian komunitas ini juga lebih mengacu pada sistem primodial yang telah berlangsung lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar bahwa pada dasarnya suatu kelompok etnis memiliki enam sifat dasar diantaranya adalah memiliki nama khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat serta terikat dengan tanah tumpah darah.12 Mengacu pada kedua pendapat ini maka, mereka yang mengaku sebagai anak daerah Seram Bagian Barat merasa bahwa mereka adalah etnis Seram Barat karena mereka memiliki nama keluarga dan mitos terutama tentang tiga batang air/aer: Tala (Kecamatan Kairatu), Eti (Kecamatan Seram Barat) dan Sapalewa (Kecamatan Taniwel), sejarah dan budaya yang sama, tanah tumpah darah (homeland) yang telah berdiri menjadi daerah otonom. Dari sinilah rasa solidaritas sebagai orang Seram Bagian Barat dibangun. Dengan demikian ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber-sumber daya publik, etnis SBB mulai membangun benteng pertahanan dengan isu putera asli daerah. Asumsinya bahwa dengan adanya isu ini memungkinkan putera-puteri daerah memiliki kesempatan besar dalam perebutan sumber-sumber daya publik.

Ketika telah berdiri menjadi sebuah kabupaten yang mandiri, dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik tersebut, masalah identitas mulai mencuat. Seiring dengan berjalannya waktu, kontestasi politik lokal yang mengetengahkan isu identitas kembali dimunculkan. Politik identitas ini seakan-akan merupakan

11

Anthony D. Smith, “Structure and Persistence of Etnie”, dalamMontserrat Guibernau dan John Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge, Polity Press, 1997, hlm.27

12

(23)

10 jalan terakhir dalam perebutan lapangan pekerjaan. Politik identitas itu mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.13

Mengacu pada kasus Waisarisa dimana banyak penduduknya berasal dari luar Seram, maka hal ini tentulah dapat dipahami. Mereka yang merasa sebagai orang lokal/putera asli daerah mengklaim bahwa mereka lebih berhak bekerja di negeri mereka sendiri ketimbang etnis/orang lain. Asumsi mereka adalah bahwa negeri mereka akan maju jika dipimpin oleh orang-orang mereka sendiri. Sejalan dengan itu Gustiana Kambo, mengutip Halls dan Gay, mengatakan bahwa politik identitas merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya sering disembunyikan, ditekan, diabaikan baik oleh kelompok dominan yang terdapat dalam sebuah sistem demokrasi liberal atau oleh agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi yang lebih progresif.14

Mengacu pada pendapat tadi pertanyaan yang muncul adalah apakah memang selama ini orang/etnis Seram Bagian Barat merasa selalu menyembunyikan identitas kolektifnya, karena selalu ditekan dan diabaikan oleh etnis lain yang dominan? Bukankah politik identitas selalu dikaitkan dengan sentimen primordialisme? Sentimen primordialisme bukan hanya berbicara tentang diri sendiri atau siapa kami, tetapi juga cenderung untuk melihat relasi

kekuasaan terutama berkaitan dengan siapakah yang dianggap “the other”. Bagi

13

Ari Setyaningrum, „Memetakan lokasi Bagi Politik Identitas dalam Wacana Politik Poskolonial‟,

JurnalMandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, 2005, hlm.18.

14 Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik:

(24)

11 penduduk “asli” Waisarisa, ketika masih sama-sama bekerja di pabrik, mungkin ia tidak merasa bahwa sesama pekerja etnis pendatang adalah “orang lain”, tetapi ia

menjadi “orang lain“ ketika konteks yang dihadapi mulai berubah, sama-sama

dalam urusan memperjuangkan hidup.

Masalah etnisitas telah menjadi sebuah hal penting dalam membicarakan berbagai fenomena di seputar masalah otonomi daerah. Otonomi daerah selalu dikaitkan dengan kebijakan daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep otonomi daerah pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa sendiri.15 Secara normatif otonomi daerah lebih menekankan aspek kemandirian daerah dalam mengurus dirinya sendiri, tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Otonomi daerah memicu terjadinya pemekaran wilayah-wilayah. Pemekaran wilayah sendiri merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan.16 Sejalan dengan pemikiran itu, Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken menyatakan bahwa pemekaran daerah merupakan sebutan untuk subdivisi distrik-distrik dan provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.17 Dari kedua pendapat ini terlihat bahwa yang menjadi alasan adanya pemekaran sebuah daerah baru bukan cuma keinginan mengatur dirinya sendiri, tetapi secara administratif lebih mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

15

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm.7.

16

Yadi Surya Diputra, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa”, makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008, hlm.11

17

(25)

12 Bagi masyarakat Seram Bagian Barat, menjadi sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten induk, secara administratif sangat mempermudah mendapatkan pelayanan birokrasi, karena jarak yang harus ditempuh tidaklah jauh dibandingkan ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Jarak antara Kairatu (kecamatan SBB yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah) kurang lebih sekitar 148 km18, belum lagi dengan kecamatan-kecamatan yang tidak berbatasan langsung. Selama ini untuk mengurus keperluan administrasi maka orang dari Seram Bagian Barat harus ke Masohi. Secara geografis, jarak yang harus ditempuh cukup jauh dengan kondisi jalan raya yang rusak cukup parah sehingga memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu prasarana jalan raya ini tidak langsung menghubungkan beberapa daerah dengan Masohi disebabkan kondisi geografis yang tidak memungkinkan, belum lagi sarana transportasi yang sulit menyebabkan pengurusan bisa memakan waktu berhari-hari dan mahal. Jadi, alasan pemekaran ini bukan karena masalah perbedaan etnis semata, tetapi lebih pada alasan pelayanan atministratif yang lebih efisien. Dengan kata lain, untuk mempersempit rentang kendali pemerintahan.

5. Tinjauan Pustaka

Ketika berbicara tentang otonomisasi daerah yang berwujud pada pemekaran wilayah, pemikiran kita akan dibawa pada adanya kemandirian dan desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi ini maka daerah mendapat kewenangan yang lebih besar untuk mengatur jalannya roda pembangunan di daerah bersangkutan. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan baik pribadi

18

(26)

13 maupun berkelompok untuk melihat persoalan yang terjadi di seputar otonomisasi daerah. Mulai dari perlunya merevisi UU Otonomi Daerah yang selama ini telah digunakan sampai pada masalah kontestasi politik lokal.

Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa masalah otonomisasi daerah selalu ditinjau dari aspek yuridisnya (Lili Romli,2007; Ni‟matul Huda,2007), tetapi ada beberapa tulisan yang berbicara dari sisi kontestasi politik lokal, misalnya tentang bagaimana para elit lokal mulai melebarkan pengaruhnya untuk turut mengambil bagian dalam setiap proyek daerah paska otonomisasi (John F. McCarthy, 2007; Erwiza Erman, 2007; Akiko Morishita, 2006, dll). Dari sisi kontestasi politik ini ada beberapa orang yang sudah mulai berbicara tentang politik identitas (Yadi Surya Diputra, 2008; Gustiana A. Kambo, 2008; Carole Foucher, 2007; Myrna Eindhoven,2007). Tulisan-tulisan mengenai otonomisasi daerah dan kaitannya dengan politik identitas ini semuanya sangat menarik karena kasus yang dihadapi oleh setiap daerah berdasarkan hasil penelitian ini hampir sama. Alasan sebuah daerah ingin mekar atau terlepas dari daerah induk (entah propinsi atau kabupaten), selalu dikaitkan dengan identitas etnis dan rasa termarjinalkan dalam bidang sosial maupun bidang ekonomi oleh etnis “dominan”.

(27)

14 mengharuskan para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus beragama Islam.

…Selain itu, untuk bisa melamar menjadi pegawai negeri, ada syarat yang bersangkutan harus orang Muslim, dan hal ini membuat sebagaian besar orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi-posisi di pemerintahan. Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20, mayoritas orang Mentawai sekarang memandang Kristenitas sebagai bagian integral dari identitas mereka. Meskipun begitu, ada beberapa kasus yang diketahui ketika orang-orang Mentawai beralih memeluk agama Islam atau setidak-tidaknya mengubah nama Kristen menjadi nama Islam-agar bisa memenuhi syarat sebagai pegawai negeri.19

Hal ini menyebabkan etnis Mentawai merasa terpinggirkan karena mayoritas beragama Kristen. Seiring dengan masalah tersebut identitas yang dipolitisir ikut menentukan dalam pengambilan kebijakan tentang kepemimpinan “putra daerah”. Tulisan Gustiana A. Kambo juga mencirikan hal yang sama yakni adanya ketidakpuasan etnis Mandar yang merasa didominasi oleh etnis Bugis. Padahal etnis Mandar merasa memiliki sejarah kolektif tentang asal usul dan keberadaan mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan bahwa politik perbedaan (politik identitas) antaretnik di Sulawesi Selatan didasarkan atas dominasi etnik dominan (Bugis) atas kelompok minoritas dan marginal (Mandar). Dengan alasan inilah mereka lepas dari Propinsi Sulawesi Selatan dan membentuk Propinsi Sulawesi Barat.20

Dari kedua kajian di atas dapat kita lihat betapa identitas dapat menjadi sebuah kekuatan untuk menentukan nasib sendiri lewat pemekaran sebuah daerah

19

Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan YOI, 2007, hlm.92.

20

Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik:

(28)

15 baru. Artinya, identitas etnis dan atau agama telah menjadi alasan utama pemekaran. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh Kabupaten Seram Bagian Barat. Isu tentang perbedaan etnis bukan menjadi alasan mendasar pemekaran. Isu identitas etnis baru dimunculkan setelah terjadi pemekaran dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik antara etnis “asli”

dan “pendatang” (orang dagang). Bagi orang Maluku sendiri, penyebutan

seseorang dengan istilah “orang dagang” bukan cuma ditujukan bagi orang-orang

yang berasal dari etnis di luar Maluku (etnis Jawa, Buton, Bugis-Makasar, dll). Sebutan ini juga dikenakan bagi orang-orang Maluku sendiri yang berasal dari bahkan pulau bahkan negeri yang berbeda.21 Misalnya, orang Saparua memanggil orang-orang Seram atau orang Kei dengan sebutan ini (baca: orang dagang). Hal ini pun terjadi di Waisarisa yang dihuni bukan saja oleh penduduk lokal, tetapi oleh berbagai suku bekas pekerja pabrik. Seorang mantan pekerja yang berasal dari desa Allang dan menikah dengan perempuan Waisarisa, oleh keluarga istrinya tetap disebut orang dagang.22 Identitas menjadi salah satu variabel kunci. Penduduk lokal (asli Waisarisa dan Seram Bagian Barat) akhirnya menggunakan variabel kunci ini sebagai justifikasi untuk dapat menjadi CPNS bahkan PNS.

Selain hal itu, yang menarik dari daerah Seram Bagian Barat khususnya Waisarisa adalah bahwa daerah ini tidak terjamah konflik sama sekali sehingga ketika terjadi pemekaran wilayah, agama bukanlah sebuah alasan yang cukup penting untuk membedakan yang lokal dan pendatang. Hal ini disebabkan karena

21

Maluku merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 972 pulau, dengan Pulau Seram sebagai pulau terbesar (Sumber: Asisten I Sekda Maluku 2007,

http://www.malukuprov.go.id/) tanggal 12 Desember 2008.

22

(29)

16 dalam kehidupan masyarakat pada umumnya terjadi pembauran, dimana tempat tinggal tidak berdasar pada agama yang dipeluk. Hal ini berbeda dengan negeri-negeri lainnya di Maluku, terutama pasca-konflik Ambon.23

6. Metodologi Penelitian

A. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni:

1. Observasi lapangan dengan mengamati langsung kehidupan penduduk Waisarisa baik orang lokal maupun pendatang yang sampai saat ini masih bertahan di kemp perusahaan serta wacana-wacana seputar pemekaran wilayah.

2. Wawancara; teknik ini diharapkan dapat menggali sejumlah informasi penting melalui interaksi dengan para informan.

3. Pendalaman berbagai dokumen tertulis untuk mendapatkan gambaran tentang sejarah adat masyarakat SBB sampai pada upaya-upaya pemekaran dan seputar politisasi identitas dalam perebutan sumber-sumber daya publik.

23

(30)

17 Kombinasi ketiga teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mendapatkan data yang tidak dapat digali dari satu teknik tertentu.

(31)

18 C. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan pertanyaan semi terstruktur. Artinya informasi digali lewat wawancara berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian tetapi bisa juga terjadi pengembangan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan. Kesemuanya bertujuan untuk menggali lebih jauh sejumlah informasi penting yang belum terdapat dalam lampiran pertanyaan-pertanyaan operasional. Selain itu juga agar para informan dapat mengemukakan apa yang mereka tahu dan rasakan serta harapan-harapan mereka tanpa harus diintervensi oleh penulis terlebih dulu.

D. Penelitian ini dilakukan di negeri Waisarisa, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Lokasi ini dipilih karena memiliki keunikan. Penduduknya bukan hanya penduduk asli/lokal, tetapi terdiri dari berbagai etnis karena dulunya di wilayah ini berdiri pabrik pengolahan kayu lapis yang mempekerjakan banyak orang dari berbagai etnis. Ketika pabrik ini tutup, orang-orang tersebut tetap tinggal dan menetap di negeri ini bersamaan dengan pemekaran wilayah Kabupaten SBB. Selain itu pula yang cukup menarik dari Waisarisa adalah penduduk asli Waisarisa juga bukan merupakan etnis SBB, melainkan orang-orang yang berasal dari Pulau Nusalaut di Kecamatan Maluku Tengah. Mereka sudah menempati tanah ini sekitar dua generasi.

7. Sistematika Penulisan

(32)
(33)

20

B A B II

SERAM BAGIAN BARAT:

GEOGRAFI, DEMOGRAFI DAN MIT0S-SEJARAH

Sejarah harus dihormati,…..

Sejarah tidak bersinonim dengan nostalgia hampa atau pemujaan tanpa pandang bulu pada masa lalu. Sebaliknya, ia mewadahi semua yang telah dibangun selama berabad-abad: ingatan, lambang-lambang, pranata-pranata, bahasa, karya seni dan semua hal lain tempat orang bisa terikat secara sah. (Amin Maalouf, 2004)

1. Pengantar

Desentralisasi pemerintahan yang terjadi saat ini turut membuka artikulasi keberadaan suatu kelompok etnis yang selama ini merasa didominasi etnis lain. Berbagai upaya dilakukan etnis itu untuk menggali kembali simbol-simbol budaya yang sebelumnya terkungkung oleh budaya Orde Baru. Penggalian simbol budaya ini kemudian menjadi sebuah pemicu ide pemekaran karena adanya kesamaan budaya yang dianggap berbeda dengan budaya mayoritas/dominan. Oleh sebab itu setiap komunitas yang relatif homogen mempunyai kebudayaan tersendiri yang merupakan ciri khas dari kelompok etnis tersebut.24 Dari sinilah perasaan primordial dibangun, entah itu secara kesukuan ataupun kepercayaan/religi.

24

(34)

21 Bab ini akan memaparkan gambaran Seram Bagian Barat (SBB) bukan semata-mata sebagai satu kesatuan administratif (geografis, demografi) tetapi juga sebagai sebuah kesatuan kultural-historis. Hal ini karena pemekaran wilayah yang berlangsung di tahun 2004 membagi Pulau Seram menjadi tiga wilayah administratif. Tetapi secara kultural historis masyarakat Seram tetap satu yang terbagi dalam dua suku, yakni Alune dan Wemale. Kultur historis masyarakat Seram ini menarik karena sama seperti masyarakat lainnya, masyarakat Seram pun memiliki sejarah panjang dengan warisan budaya yang sampai saat ini tetap dipelihara dari generasi ke generasi. Bahkan sejarah awal masyarakat Seram dapat ditelusuri dari mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Diantaranya mitos Nunusaku.25

Mitos Nunusaku masyarakat Seram sampai saat ini masih dipercaya merupakan cikal bakal masyarakat Maluku pada umumnya. Dalam tuturan mitos ini terkandung patokan yang dijadikan penentuan batas wilayah administratif Seram Bagian Barat pada saat kabupaten ini sedang diperjuangkan menjadi sebuah wilayah administratif baru. Mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat ini menjadi gambaran kehidupan etnis Seram, bagaimana mereka memandang diri mereka dan orang-orang lain di sekitar mereka. Mitos Nunusaku

merupakan gambaran kehidupan dalam kebersamaan dengan orang luar.

Mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat Seram dan sejarah panjang mereka menjadi bukti bahwa sejak dulu etnis Seram bukan etnis yang menutup diri terhadap etnis lain yang ada disekitarnya, walaupun mereka merupakan etnis

25

(35)

22 mayoritas. Nunusaku yang menjadi mitos sentral26 etnis Seram merupakan sebuah gambaran keterbukaan etnis Seram terhadap orang luar. Sehingga pada akhirnya ketika kabupaten Seram Bagian Barat berdiri, nilai-nilai filosofis Nunusaku diharapkan dapat tertanam dalam setiap kehidupan etnis Seram, yakni mereka tetap memandang etnis lain sebagai sesama mereka, kendati terjadi perebutan sumber-sumber daya publik di Seram Bagian Barat.

Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum Seram Bagian Barat. Gambaran SBB akan dimulai dengan mengenal SBB lebih dekat baik letak wilayah, kondisi demografinya serta potensi yang dimiliki oleh SBB berupa sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Selain itu bab ini juga berisikan sejarah panjang masyarakat Seram yang dapat ditelusuri lewat mitos-mitos berkembang dalam kehidupan masyarakat Seram dan yang merupakan dasar masyarakat Seram berpikir tentang diri mereka. Sejarah ini juga akan menyinggung perjuangan masyarakat Seram ketika berada dalam penguasaan kolonial Belanda sampai pada perjuangan untuk mekar menjadi sebuah kabupaten baru.

2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat27 A. Letak Geografis

Seram Bagian Barat (SBB) adalah salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Wilayahnya meliputi Pulau Seram bagian barat serta beberapa pulau kecil yang berada diseputarnya namun sebagian besar wilayahnya berada di Pulau Seram. Secara geografis kabupaten ini terletak

26

Kata ini sengaja penulis miringkan untuk menunjukan pentingnya mitos Nunusaku dalam kehidupan etnis Seram

27

(36)

23 antara 2˚ 55‟ –3˚ 30‟ Lintang Selatan dan 127˚ - 55˚ Bujur Timur, dengan batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah; b. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Buru;

c. Sebelah utara dengan Laut Seram; d. Sebelah selatan dengan Laut Banda.

Ketika melihat peta Seram Bagian Barat maka sudah dapat dipastikan bahwa kabupaten ini memiliki luas laut yang lebih besar dibandingkan luas daratannya. Luas laut mencapai 79.005 km² dan luas daratan sekitar 5.176 km² dari total keseluruhan luas wilayahnya sekitar 84.181 km². Kabupaten ini juga terbagi atas 4 kecamatan yakni:

1. Kecamatan Huamual Belakang seluas 569,36 km²; 2. Kecamatan Seram Barat seluas 879,92 km²; 3. Kecamatan Kairatu seluas 1.811,60 km² dan, 4. Kecamatan Taniwel seluas 1.915,12 km²

Kabupaten ini terdiri dari 62 pulau dengan Pulau Seram sebagai pulau yang terbesar dan yang berpenghuni hanya sekitar 10 pulau dan yang tidak berpenghuni sekitar 52 pulau. Kabupaten ini banyak dialiri aliran sungai besar dan kecil, tetapi yang menjadi pusat cerita yang diwariskan turun temurun adalah Sungai Tala di Kecamatan Kairatu, Sungai Eti di Kecamatan Seram Barat dan Sungai Sapalewa di Kecamatan Taniwel yang oleh Bupati Seram Bagian Barat dikatakan sebagai

“aliran sungai kehidupan”.28

28

(37)

24 Dengan beribukota di Piru maka pelayanan publik dipermudah. Jarak yang ditempuh dari masing-masing kecamatan ke ibukota kabupaten tidaklah jauh jika dibandingkan ke ibukota kabupaten lama (Masohi ibukota Kabupaten Maluku Tengah). Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat yang memakan waktu beberapa jam saja. Kalaupun ada yang masih menggunakan transportasi laut, hal ini lebih disebabkan pada belum tersedianya akses jalan raya ke Piru (sampai draf ini ditulis sementara masih dikerjakan) misalnya beberapa desa di kecamatan Huamual Belakang. Berikut jarak masing-masing kecamatan dengan Piru selaku ibukota kabupaten :

a. Waesala (Kec. Huamual Belakang) 35,0 km; b. Piru (Kec. Seram Barat) 1,0 km;

c. Kairatu (Kec. Kairatu) 48,0 km; d. Taniwel (Kec. Taniwel) 76,7 km.

Dengan melihat jarak antara kecamatan-kecamatan yang ada dengan Piru selaku ibukota kabupaten maka dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah ini setidaknya memang telah membantu masyarakat memperpendek jarak untuk urusan pelayanan publik. Walaupun demikian, ketika Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pemekaran kabupaten ini disahkan, sempat terjadi polemik seputar letak ibukota kabupaten yang baru tersebut.

B. Kondisi Demografi

(38)

25 aktivitas warga masyarakat. Oleh karena itu sumber daya manusialah yang selalu diperhatikan oleh pemerintah yang sedang membangun. Hal ini terjadi mengingat masyarakat di daerah-daerah yang baru dimekarkan selalu menuntut untuk dapat berperan dalam bidang-bidang pemerintahan.29 Hal ini menjadi masalah apabila pada daerah-daerah ini kualitas sumber daya manusianya dianggap belum layak untuk berperan dalam bidang pemerintahan tersebut. Ditambah pula dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga terjadi pada Kabupaten SBB.

Jumlah penduduk SBB menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Maluku tahun 2004-2005 adalah sekitar 148.988 jiwa dengan klasifikasi laki-laki :75.115 jiwa sedangkan perempuan 73.873 jiwa yang tersebar pada empat kecamatan.Kecamatan Seram Barat: 53.909 jiwa; Kecamatan Kairatu: 49.481 jiwa; Kecamatan Taniwel: 16.936 jiwa dan Kecamatan Huamual Belakang: 28.662 jiwa.. Penduduk ini tersebar pada 89 desa serta 126 dusun.30 Jumlah ini mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun-tahun berikutnya. Data yang diperoleh dari Seram Bagian Barat Dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa pada tahun 2006 jumlah penduduk SBB sebanyak 157.318 jiwa dan menjadi 158.478 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan sebesar 0,62 persen pada tahun 2006 menjadi 0,74 persen pada tahun 2007. Faktor peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi ini pendukungnya adalah penerimaan pegawai yang cukup banyak tetapi berasal bukan dari Kabupaten SBB sendiri, melainkan berasal dari Maluku tengah dan kota Ambon,

29

J.W.Ajawaila, “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah”, opini dalam Harian Siwalima, Selasa 23 September 2003 Edisi 243/IX Tahun IV.

30

(39)

26 bahkan luar propinsi Maluku. Selain itu juga masih kurang kesadaran sebagian penduduk (terutama yang bermukim di pedesaan) untuk membatasi jumlah anak. Hal ini disebabkan mereka membutuhkan banyak tenaga untuk berkebun dan yang diharapkan untuk membantu adalah anak-anak mereka sendiri. Selain itu adanya proses pewarisan nama keluarga/fam yang mengikuti garis keturunan laki-laki, sehingga setiap keluarga tetap berupaya memiliki anak laki-laki.

Pemda SBB telah berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk tersebut. Hal ini dilakukan mengingat tingginya angka pertumbuhan penduduk selalu tidak berimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, baik pada birokrasi pemerintah maupun pada sektor swasta. Oleh karena itu salah satu cara yang ditempuh pemda adalah dengan menggalakkan program Keluarga Berencana (KB). Program KB ini diharapkan dapat menggugah masyarakat demi alasan perbaikan hidup anak cucu di kemudian hari.

(40)

27 Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan penyebaran penduduk. Misalnya, Piru sebagai ibukota kabupaten, sedikit banyak memberikan sumbangan bertambahnya jumlah penduduk yang mendiami Piru dan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tentu dapat dipahami mengingat semua kegiatan administrasi pemerintahan maupun ekonomi berpusat di Piru. Selain itu akses jalan raya yang menghubungkan Piru dengan dua kecamatan lainnya (Huamual belakang dan Taniwel) rusak parah, apalagi di musim hujan. Ini menyebabkan lambatnya pembangunan di dua kecamatan ini. Pembangunan yang berjalan lambat di dua kecamatan ini tentu saja akan menghambat laju perekonomian karena pengusaha lokal yang berasal dari luar kecamatan ini enggan berinvestasi di daerah-daerah ini. Tingginya modal yang harus dikeluarkan tidak seimbang dengan daya dukung masyarakat. Akibatnya justru mereka akan merugi.

Dalam bidang pendidikan, Pemda SBB telah berupaya semaksimal mungkin mengupayakan pendidikan yang layak bagi warganya. Upaya-upaya itu diantaranya dengan mengadakan program pemberantasan buta huruf serta penambahan jumlah tenaga pengajar (guru) dan sejumlah gedung sekolah yang pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah siswa. Hal ini dilakukan dengan harapan ketersediaan fasilitas-fasilitas pendidikan akan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Jumlah sekolah sampai tahun 2005 adalah 274 buah dengan rincian TK: 17, SD/MI: 183, SLTP/MTS: 52 dan SMU/MA: 22.31

C. Sumber Daya dan Pembangunan

Sebagaimana diungkapkan Bosko bahwa dengan adanya permintaan akan persediaan sumber daya alam menyebabkan adanya pencarian dan gerakan

31

(41)

28 eksploitasi sumber-sumber ini sampai pada daerah-daerah terpencil.32 Di sela-sela upaya peningkatan dan optimaliasi SDM yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh Pemda SBB, berdasarkan hasil survei para ahli yang khusus didatangkan dari Jakarta, kabupaten ini bukan hanya berlimpah dengan hasil hutan, perkebunan atau hasil laut (ikan dan mutiara), tetapi juga telah ditemukan sejumlah titik yang mengandung hasil tambang bernilai jual tinggi, diantaranya nikel dan emas. Bahkan menurut seorang informan, hasil tambang nikel dan emas jika nantinya diolah hasilnya dapat dipakai untuk membangun Kota Piru sebagai ibukota kabupaten, terutama di bidang infrastruktur. Apalagi dalam merancang tata kota ini pemda mengadakan kerja sama dengan ITB.33 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bisa jadi suatu saat nanti ada perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi dan bekerja sama dengan pemda SBB. Keuntungannya dapat dipakai untuk pembangunan daerah.

Pembangunan di bidang infrastruktur ini ditegaskan karena memang sampai saat ini kantor-kantor masih dibangun secara bertahap. Misalnya saja kantor bupati masih menggunakan bekas kantor Camat Seram Barat karena kantor definitifnya masih belum dibangun (sementara masih dalam penggusuran jalan ke lokasi kantor). Bahkan ada sebagaian instansi yang masih mengontrak/menyewa rumah-rumah warga sebagai kantor (misalnya Kesbanglinmas, kantor Pendidikan dan Olahraga, dll). Dalam pandangan penulis sendiri sebenarnya tidak layak disebut kantor apalagi dalam konteks kabupaten. Hal ini dikarenakan dengan ruangan yang sempit dan jumlah ruangan yang terbatas sangat menyulitkan pelayanan

32

Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam

(terjem), Jakarta, Elsam, 2006, hlm. 84.

33

(42)

29 administrasi kepada warga. Belum lagi pada siang hari sering terjadi pemadaman listrik dari PLN sehingga semakin memperumit pengurusan. Dari kondisi ini terlihat belum adanya kesiapan SBB sebagai kabupaten baru dalam hal persiapan infrastukturnya, bahkan sampai ulang tahun yang ke-5 tanggal 07 Januari 2009 lalu.

3. Sejarah Lokal Masyarakat SBB

Terbentuknya kabupaten Seram Bagian Barat tidak dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat adat yang ada sampai saat ini. Bagi masyarakat adat SBB, sejarah tentang asal-usul mereka tidak akan terlupakan. Apalagi konflik yang mendera Propinsi Maluku beberapa waktu lalu ikut menegaskan keberadaan

mereka sebagai penjaga “Nusa Ina”34 .

Sampai saat ini etnis Seram masih mempercayai cerita tentang Nunusaku dan asal-muasal mereka sebagai orang Seram. Bahkan bukan cuma etnis Seram tetapi orang Maluku pada umumnya. Walaupun demikian mereka tidak dapat mengatakan bahwa cerita ini merupakan sebuah mitos ataukah sejarah. Bagi mereka itu tidak terlalu penting dibandingkan makna filosofis yang terkandung dalam cerita tersebut.35 Hal ini tentu dapat dipahami mengingat cerita ini sudah turun temurun diwariskan oleh orang-orang tua mereka. Penulispun mendengar tuturan cerita yang sama oleh orang tua yang adalah etnis Seram, dan penulispun menganggap bahwa cerita Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos. Sebab sampai saat ini ada beberapa versi cerita tentang Nunusaku tersebut. Pertanyaan

34

Nusa Ina merupakan sebutan untuk Pulau Seram. Nusa Ina sendiri artinya Pulau Ibu. Nusa artinya pulau dan Ina artinya Ibu. Ada banyak cerita yang berkembang seputar penyebutan Pulau Seram

sebagai “Pulau Ibu”

35

(43)

30 yang muncul adalah benarkah Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos? Lalu apakah sebenarnya mitos itu?

Menurut Eliade, mitos adalah sejarah mengenai apa yang terjadi di masa lalu. Sejarah di sini dipahami sebagai sejarah kudus/sakral karena berbicara tentang sesuatu yang bersifat mistis. Ia hadir untuk memproklamirkan kehadiran sebuah situasi kosmis baru atau sebuah kejadian kuno.36 Dengan demikian dapat dipahami dari pemikiran Eliade bahwa mitos merupakan cara masyarakat arkais menceritakan keberadaan mereka melintasi dunia yang supra-natural menuju kenyataan dunia ini dan cerita ini dianggap kudus sehingga perlu adanya pewarisan bagi generasi berikutnya. Bahwa untuk mengetahui keberadaan/asal usul maupun segala ritus-ritus dan tindakan mereka di dunia dapat dipahami melalui kenyataan-kenyataan yang ditunjukkan oleh mitos tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Eliade di atas ketika dibenturkan dengan pandangan etnis Seram tentang Nunusaku, maka akan dijumpai sebuah makna mendalam. Makna inilah yang diyakini merupakan kosmologi etnis Seram tentang keberadaan mereka. Cerita Nunusaku hadir untuk menceritakan kejadian kuno etnis Seram. Kejadian ini adalah cerita tentang awal mula kehidupan etnis Seram dibawah pemerintahan sebuah kerajaan besar namun akhirnya hancur karena adanya perpecahan dalam masyarakat. Berdasarkan pandangan Eliade, Susanto mengelompokkan mitos ke dalam beberapa tipe, yakni mitos kosmogoni (menceritakan tentang penciptaan alam semesta secara keseluruhan) dan mitos asal-usul (menceritakan tentang asal mula segala sesuatu, asal mula makluk hidup, pulau-pulau, tempat-tempat suci, dsb). Tipe mitos asal-usul ini melengkapi mitos

36

(44)

31 kosmogoni, menceritakan tentang bagaimana dunia itu diubah, ditambah atau dikurangi.37

Dari pengertian mitos serta beberapa tipenya, cerita Nunusaku dapat dikatagorikan sebagai mitos asal-usul. Sebab cerita Nunusaku inilah yang menjadi dasar kepercayaan masyarakat Seram dan Maluku pada umumnya tentang asal-usul keberadaan mereka sebagai penduduk pribumi yang menempati pulau-pulau di Maluku. Selain itu keberadaan Nunusaku tidak dapat dibuktikan secara faktual, walaupun banyak tetua adat menyatakan bahwa Nunusaku berada di salah satu gunung di Seram Bagian Barat. Bagi sebagian etnis Seram, ada yang merasa takut untuk menceritakan kisah Nunusaku bahkan untuk mencari tahu letak Nunusaku tersebut melebihi apa yang diketahui. Karena bagi mereka ini merupakan sebuah hal yang tabu (mengandung sanksi baik bagi individu maupun kelompoknya).

A. Mitos yang Berkembang dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat

Menurut tuturan para tetua adat bahwa pada awalnya di Pulau Seram (Nusa Ina) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Nunusaku. Diperkirakan bahwa Nunusaku ini berada di wilayah Seram Bagian Barat.38 Dalam kerajaan ini terdapat kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaannya. Kelompok yang pertama adalah kelompok menenun atau dalam bahasa tana39 disebut kelompok Auna

(yang akhirnya melahirkan suku Alune) dan kelompok kedua adalah kelompok berburu atau kelompok Wema (menurunkan suku Wemale). Kelompok ini timbul

37

Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hlm. 74,76-77.

38

J. E. Lokollo, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998, hlm. 3.

39

(45)

32 karena adanya kebiasaan yang sama. Walaupun demikian bahasa yang digunakan saat itu masih satu artinya bahasa komunikasi mereka masih sama. Dari dua kebiasaan yang berbeda ini mulailah terjadi segregesi dalam masyarakat

Nunusaku.40

Suatu ketika terjadi kekacauan (perang saudara) di Nunusaku. Alasan peperangan karena kedua kelompok (Wema dan Auna) memperebutkan Rapie Hainuwele41, perempuan yang terkenal paling cantik di kerajaan tersebut. Karena terjadi peperangan, seluruh penduduknya menyebar ke seluruh pulau (Pulau Seram) bahkan ada yang sampai meninggalkan pulau dan menyeberang ke pulau-pulau lainnya di Maluku.42 Setelah perpisahan tersebut, para orang tua dari kedua kelompok kemudian menurunkan bahasa yang berbeda kepada anak cucu mereka. Kelompok Auna kemudian menurunkan suku Alune dengan bahasa Alune dan kelompok Wema menurunkan suku Wemale dengan bahasa Wemale. Lama kelamaan bahasa asli yang mereka gunakan ketika masih sama-sama di Nunusaku

perlahan-lahan mulai hilang.43 Pengakuan bahwa penduduk yang mendiami pulau-pulau di Maluku berasal dari Pulau Seram bukan hanya milik orang Seram semata. Pengakuan ini juga milik orang Maluku pada umumnya. Mereka juga menganggap bahwa memang tete nene moyang44 mereka berasal dari Pulau Seram

40

Wawancara dengan beberapa orang tua etnis SBB, tanggal 25 Februari 2009 dan 2 Maret 2009

41

Mitos tentang Rapie Hainuwele ini merupakan awal terjadinya peperangan antara kedua kelompok dalam masyarakat Nunusaku. Rapie Hainuwele sendiri artinya putri yang berasal dari kuming kelapa. Mitos Rapie Hainuwele ini sudah ditulis oleh Agustina Kakiay dalam tesis tahun 2001.

42

Wawancara dengan Bapak AS, tanggal 18 Desember 2008, hal ini ikut pula menegaskan keyakinan masyarakat Maluku bahwa mereka berasal dari Pulau Seram.

43

Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat SBB berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009.

44

(46)

33 dan setelah beranak pinak, mereka akhirnya menyebar ke seluruh wilayah Maluku.45

Menurut Lokollo, ada beberapa perkembangan kehidupan sosial di Nunusaku yang ikut membuat masyarakatnya berpencar. Diantaranya adalah adanya pertambahan jumlah penduduk, dasar ucapan dan cara rumpun Patasiwa

dan Patalima berbahasa dan adanya perbedaan ketrampilan, antara lain cara menenun pakaian diantara anggota kedua rumpun tersebut.46 Patasiwa adalah kelompok sembilan dan patalima adalah kelompok lima. Masyarakat Maluku Tengah (termasuk Seram Barat) umumnya termasuk salah satu kelompok ini. Adapun susunan sosial kelompok sembilan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil, misalnya sembilan pemukiman, dsb. Begitu pula dengan kelompok lima.47 Itu berarti bahwa susunan dan perangkat negeri/desa atau adat tersebut termasuk dalam kelompok Patasiwa atau Patalima.

Dari pembagian itu dapatlah dikatakan bahwa penghuni Pulau Seram pada umumnya terdiri dari dua suku, yakni Alune dan Wemale. Terjadinya perpecahan dalam masyarakat Nunusaku ikut menentukan terbentuknya kelompok-kelompok baru. Terbentuknya kelompok baru ini dengan membawa pola kehidupan sama dari kelompok asal mereka yang pada akhirnya mereka pelihara sampai menyebar ke pulau-pulau lainnya di Maluku, terutama Ambon-Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut).

45

Pemda Propinsi Maluku, The Wondeful Islands Maluku, Jakarta-Ambon, Gibon Books dan Pemprov Maluku, 2008, hlm. 82.

46

J. E. Lokollo, op cit, hlm. 8, hal ini juga diungkapkan oleh NE, tanggal 2 Maret 2009

47

(47)

34 Menurut Cooley, kelompok Patasiwa menghuni wilayah Seram sebelah barat Sungai Mala, sedangkan orang-orang Patalima menghuni daerah-daerah sebelah timurnya.48 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan salah satu tokoh masyarakat SBB bahwa kelompok Patalima menghuni wilayah sebelah timur Sungai Makina (perbatasan Kecamatan Taniwel Kabupaten SBB dengan Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah) dan di sebelah selatannya dengan Sungai Mala. Jadi wilayah sebelah timur sungai Mala merupakan wilayah

Patalima. Sedangkan sebelah barat Sungai Mala dan Makina merupakan wilayah

Patasiwa. Walaupun demikian ada juga kelompok patasiwa yang pada akhirnya masuk pada wilayah patalima dan begitu pula sebaliknya. Dalam pandangan masyarakat Seram, kelompok patasiwa dan patalima merupakan nama lain dari suku Wemale dan Alune. Tetapi ada perkecualian untuk suku Wemale, misalnya saja tidak semua suku Wemale termasuk dalam kelompok Patasiwa, Wemale Ulipatai49 ada sebagian Patasiwa dan ada sebagian Patalima.50

Kelompok Patasiwa dan Patalima ini mungkin merupakan gabungan dari beberapa sub-sub suku dari Alune dan Wemale dan mungkin juga merupakan sebuah bentuk kelompok politik yang berupaya membendung serangan dari Utara (empat kerajaan besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo/Halmahera). Hal lain yang berkembang juga adalah bahwa ketika terjadi perang antara Patasiwa

dan Patalima yang memakan banyak korban, orang-orang tua dari kedua kelompok bersepakat untuk melupakan permusuhan dan mengangkat sumpah

48

Frank L. Cooley, ibid, hlm. 119

49

Ini merupakan nama sub suku yang diberikan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Selain Wemale Ulipatai ada juga Wemale Yapioupatai yang menghuni daerah Elpaputi yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku tengah, sedangkan Wemale Ulipatai masuk dalam wilayah administratif Kabupaten SBB (Kecamatan Taniwel).

50

(48)

35 untuk hidup bersatu dalam perdamaian satu dengan yang lain dan tidak ada lagi

bakalai51apalagi dalam skala besar seperti konflik Maluku.

Perjanjian orang-orang tua antara dua kelompok tadi dilakukan di batas wilayah kedua kelompok, yakni di Kali Makina dan Kali Mala. Janji ini dipegang teguh supaya pada gilirannya nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Bahkan menurut penuturan salah satu orang tua, adanya janji ini dapat memotivasi seluruh aparatur SBB agar memiliki kinerja yang baik. Dari peristiwa itu diperkirakan muncul istilah miloku atau maloku, yang artinya diikat menjadi satu. Diduga bahwa kedua kata ini ikut melahirkan kata Maluku yang diambil menjadi nama propinsi.52 Selain itu pula bahwa kata miloku dan maloku dianggap pula berasal dari bahasa Maluku Utara atau setidaknya telah mendapat pengaruh dari bahasa Maluku Utara. Hal ini dapat dipahami mengingat pada saat itu telah terjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.

B. Masa Kolonial Belanda

Ketika Belanda menguasai Maluku, seluruh etnis Seram/Nusa Ina mengadakan perlawanan. Kekuasaan Kolonial Belanda menghancurkan sistem Pata/Uli. Sebagai gantinya Belanda mendirikan negeri-negeri/desa yang berdiri sendiri yang langsung tunduk kepada pejabat-pejabat VOC.53 Hal ini dilakukan Belanda guna mempersempit ruang gerak masyarakat pribumi supaya tidak mengadakan perlawanan. Dengan kata lain, untuk mempermudah penguasaan daerah-daerah yang dianggap potensial mengadakan perlawanan, pemerintah kolonial menyeragamkan bentuk-bentuk pemerintahan lokal. Selain itu juga untuk

51

Pertengkaran/perkelahian

52

Wawancara tanggal 2 Maret 2009

53

(49)

36 membantu Belanda memperlancar monopoli perdagangan rempah-rempah yang sangat laku di pasaran Eropa.

Ketika Belanda datang dan menggantikan Portugis, mereka membentuk

Inama-inama (semacam kantong-kantong pemerintahan) dengan tujuan untuk dapat menguasai Seram dan memadamkan perlawanan-perlawanan masyarakat yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Di daerah Seram Bagian Barat dibentuk tiga inama besar yang meliputi tiga sungai besar di daerah itu, yakni

Inama Etibatai (secara administratif masuk Kecamatan Seram Barat), Inama Talabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Kairatu) dan Inama Sapalewabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Taniwel). Dari ketiga Inama ini diangkatlah lembaga tua-tua adat (Saniri) yang nantinya mengatur kehidupan masyarakat yang berada pada ketiga Inama tersebut, tetapi tetap tunduk secara mutlak kepada pejabat VOC.

Adapun pembentukan ketiga inama ini berdasarkan pada aliran ketiga sungai tersebut, yakni Tala, Eti dan Sapalewa. Menurut informasi seorang bapak bahwa pembentukan berdasarkan sungai-sungai ini karena menurut cerita yang dia terima dari orang-orang tua, kapala air (hulu) ketiga sungai berasal dari Nunusaku tersebut. Air yang keluar dari sebelah bawah akar beringin (nunu) kemudian tertampung dalam sebuah danau dimana danau inilah yang menjadi

kapala air ketiga sungai.54 Itulah mengapa sampai ketiga air ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat. Mereka tetap menganggap diri mereka satu, karena berasal dari satu kapala.

54

(50)

37 Selain itu menurut informan tersebut, Belanda juga ingin membentuk

Inama Ulipatai yang meliputi wilayah seputar Sungai Uli. Namun ini tidak jadi dilaksanakan entah apa sebabnya. Tetapi pada intinya inama-inama dibentuk Belanda guna pengendalian kekuasaan. Hal ini dilakukan karena sebelum Belanda menguasai Seram, telah terjadi perang antara etnis Seram/Nusa Ina melawan Portugis yang dikenal dengan nama Perang Sahulau. Bahkan menurut tuturan orang-orang tua, hal ini merupakan perang pertama kalinya di Maluku, walaupun kepastian tahunnya tidak jelas dan tidak pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.55

Ternyata usaha Belanda untuk menaklukkan Seram Barat melalui pendekatan pada daerah-daerah adat sama seperti cara yang dipakai di Kalimantan. Dengan menggunakan pendekatan adat, yakni mengayau (headhunting) yang memiliki citra yang mampu menimbulkan dampak psikologis kepada publik sangat besar untuk kemudian dipakai mencapai kepentingan kolonial.56 Kedua cara ini memang kelihatannya cukup berhasil dengan makin bertambahnya wilayah-wilayah jajahan.

Walaupun inama-inama telah dibentuk namun masih saja terjadi berbagai perlawanan masyarakat ketiga inama tersebut. Salah satunya adalah perlawanan masyarakat Taniwel yang pada saat itu masih berdiam di daerah pegunungan. Daerah yang menjadi incaran Belanda adalah Riring-Romasoal dan Uweng Pegunungan. Hal ini dikarenakan kedua daerah ini merupakan pusat perlawanan dari daerah Taniwel. Pada tahun 1820 terjadi perang Romasoal, dan di tahun

55

Wawancara tanggal 18 Desember 2008 dan 2 Maret 2009.

56

(51)

38 1826 Belanda mengadakan ekspedisi ke Romasoal dan berhasil menaklukannya.57 Selain itu juga daerah-daerah lain di Seram Barat dapat ditaklukkan oleh Belanda. Dari penaklukan inilah, Belanda semakin memperketat keamanan dengan membentuk Saniri Tiga Batang Air (Tala, Eti dan Sapalewa) yang sangat berperan dalam menggalang persatuan di antara masyarakat adat ketiga inama tersebut. Selain itu ketiga inama ini memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan peraturan-peraturan yang berlaku pada ketiga wilayah ini. Kepemimpinan Saniri Tiga Batang Air ini merupakan contoh besarnya peran lembaga-lembaga adat dalam kehidupan masyarakat Maluku.58

4. Sejarah Panjang yang Berujung Pada Pemekaran Wilayah

Ketika pada akhirnya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia dan meninggalkan Indonesia, akar masyarakat adat ketiga inama itu telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat hingga saat ini. Ketika pada akhirnya otonomisasi daerah yang memungkinkan pengembangan daerah propinsi dan kabupaten/kota muncul, ada suatu pemikiran untuk berdiri sendiri lepas dari kabupaten Maluku Tengah. Dengan bermodalkan sejarah panjang itu masyarakat Seram Bagian Barat menuntut hak untuk dapat mengatur kehidupan mereka sendiri.

Dengan meletakkan dasar pada perjanjian orang-orang tua setelah turun dari Nunusaku dan juga inama-inama yang dibentuk oleh Belanda, diletakkanlah batas administratif wilayah Kabupaten SBB. Secara administratif, wilayah SBB sebelah selatan (Kecamatan Kairatu) berbatasan dengan Sungai Tala dan sebelah

57

Wawancara tanggal 2 Maret dan 25 pebruari 2009.

58

Referensi

Dokumen terkait

Namun, oleh pemerintah Indonesia, tuntutan kemerdekaan rakyat Papua yang sangat sensitif tersebut direspon dengan turunnya Undang-Undang yang sama sekali tidak berjalan ketika itu

27 Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke

Cepatnya pertumbuhan daerah administratif baru di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota terjadi karena saat ini lebih banyak sumberdaya yang telah dialihkan

merupakan sebuah peluang dan juga tantangan bagi saya peribadi khususnya dan umumnya bagi masyarakat Kalimantan barat umumnya sehingga nanti bisa menjadi lebih baik, selain itu

Hal yang paling terasa adalah alur cerita yang terkesan lampat dan ada beberapa bagian yang tidak begitu menarik sama sekali, seperti terlihat pada adegan ketika tokoh Zainuddin

Caci adalah salah satu jenis permainan rakyat atau tarian perang dari Manggarai (sebuah kabupaten di bagian barat Pulau Flores, NTT) yang selain heroik juga

Namun, oleh pemerintah Indonesia, tuntutan kemerdekaan rakyat Papua yang sangat sensitif tersebut direspon dengan turunnya Undang-Undang yang sama sekali tidak berjalan ketika itu

Khususnya di Sumatera Barat Minangkabau tanah salah satu sebagai pemicu timbulnya konflik dalam masyarakat, seperti yang terjadi di daerah Air Pacah.Berdasarkan kenyataan yang ditemukan