• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (3) Copy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (3) Copy"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Resume

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

OLEH :

Nama : Nadilla Putri

NIM: 0705163032

Dosen Pengampu: Dr. Ja’far, MA

FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Para Ilmuwan Muslim (Saintis) selain menguasai bidang kajian ilmu mereka, mereka juga harus mendalami ilmu religius yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diamalkan setiap Muslim apapun profesi mereka. Mereka juga harus mengintegrasikan serta merealisasikan nilai-nilai kehidupan sufistik seperti dalam konsep al-maqamat seperti sabar, wara, tawakkal, zuhud, fakir, cinta, ridha.

Seorang saintis juga perlu mendalami ilmu tasawuf bukan hanya membahas bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah melainkan perspektif tasawuf juga mengkaji dan menelaah konsep serta fenomena alam. Saintis juga harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan atau manifestasi Allah. Ini menunjukkan bahwa alam adalah tanda keberadaan Allah serta kekuasan-Nya.

Saintis Muslim yang pada umumnya lebih banyak mengedepankan metode tarjibi dalam mengembangkan ilmu alam, perlu mendalami metode tasawuf untuk menemukan ilmu dan kebenaran, di mana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah an-nafs. Kesucian jiwa itu sendiri adalah salah satu syarat utama agar bisa memperoleh ilmu secara langsung dengan yang Maha Mengetahui.

1.2Rumusan Masalah

1. Bagaimana kajian Integrasi dalam Sejarah Islam? 2. Bagaimana kajian Integrasi dalam Ranah Ontologi? 3. Bagaimana kajian Integrasi dalam Ranah Epistemologi? 4. Bagaimana kajian Integrasi dalam Ranah Oksiologi?

1.3Tujuan

(3)

BAB I

PEMBAHASAN

2.1Integrasi dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius dan spiritual. Misalnya, Al-Jahiz adalah ahli dalam bidang sastra arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat psikologi, teologi dan politik. Al-Farabi menguasai berbagai cabang filsafat antara lain metafisika, etika, logika, matematika, musik dan politik. Ghazali adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. Al-Biruni merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, filsuf, sejarawan, ahli farmasi, dan dokter. Ibn Sina menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, psikologi, logika, matematika, fisika, puisi.

Di antara prestasi besar mereka sebagai ilmuwam Muslim adalah kemampuan mereka menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu kewahyuan. Secara keilmuwan, mereka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara personal mereka berperan sebagai seorang saintis Muslim yang berpola hidup religius dan sufistik. Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religius adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmu-ilmu religius merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap Muslim apapun profesi mereka. Sedangkan kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah bahwa semua ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fardh kifayah yang diwajibkan kepada sebagian Muslim, atau kemungkinan tidak lebih dari sekedar profesi dan minat mereka untuk menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.

2.2Integrasi dalam Ranah Ontologi

(4)

hakikat wujud-Nya, tetapi juga memberikan perspektif tasawuf mengenai hakikat alam dan manusia sebagaimana sains juga hendak mengkaji dan menelaah fenomena-fenomena alam, terutama berbagai persoalan tentang mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia. Tentu saja gagasan kaum sufi dinilai akan memberikan kontribusi dan pengayaan perspektif dalam upaya memahami dunia fisik tersebut.

Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt. dan ajaran Islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan Kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan hanya menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat-Sekular.

2.3Integrasi dalam Ranah Epistemologi

Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih pengetahuan dan hal-hal yang dapat diketahui. Suriasumantri menyimpulkan bahwa epistemologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu tentang cara mendapatkan sebuah ilmu.

Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode irfani yang biasa disebut metode tazkiyah an-nafs.

Sufi seperti Ibn Farabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan sholat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak hal, terutama pemahaman taerhadap dunia fisik dan non fisik. Hal itu merupakan wujud ketundukan mereka terhadap Allah sebagai pemilik dan pemberi ilmu kepada manusia dan harapan terhadap kasih sayang-Nya agar diberikan pemahaman terhadap berbagai persoalan rumit yang dihadapi dalam kegiatan akademiknya.

(5)

dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah dan mujahadah. Dalam perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt.

2.4Integrasi dalam Ranah Aksiologi

Aksiologi dimaknai sebagai teori nilai. Suriasumatri menyimpulkan bahwa aksiologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang kegunaan dan penggunaan ilmu, kaitan antara penggunaan ilmu dengan kaedah moral. Jadi, aksiologi membahas tentang nilai kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan pengembangan ilmu dengan kaedah moral serta tanggung jawab sosial ilmuwan.

(6)

BAB III

PENUTUP

3.1Kesimpulan

Para Saintis Muslim selain memiliki kemampuan dalam ilmu rasional, ilmu empirik, mereka juga harus menguasai ilmu-ilmu religius seperti dalam kajian ilmu tasawuf, hadis, tafsir dan lain-lain. Apapun profesi mereka, ilmu keagamaan (religius) wajib dikuasai dan diamalkan setiap Muslim. Karena pada dasarnya ilmu-ilmu religius itu hukumnya fardhu ‘ain, wajib dicari, dikuasai bagi setiap pribadi. Sedangkan ilmu-ilmu rasional dan empirik hukumnya fardhu kifayah. Kedua ilmu tersebut (religius dan rasional/empiric) harus diintegrasikan serta direalisasikan dalam hidup mereka mengikuti pola hidup kaum sufi.

Integrasi dalam Ranah Ontologi menegaskan bahwa tasawuf bukan hanya mempelajari atau membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah, melainkan perspektif tasawuf dapat mengkaji dan menelaah fenomena alam atau hakikat daripada alam dan manusia. Penelitian terhadap alam ini diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh iman serta meyakini keberadaan dan kekuasaan-Nya bukan menjauhkan diri dari Pencipta.

Integrasi dalam Ranah Epistemologi menegaskan bagaimana cara mendapatkan ilmu. Ilmu dapat diperoleh dengan metode tarjibi (eksperimen dan observasi) atau dengan metode tazkiyah an-nafs seperti yang dilakukan oleh para sufi yakni dengan metode penyucian jiwa. Di mana dengan jiwa yang suci, ilmu dapat diperoleh langsung dari yang Maha Mengetahui. Saintis selain mengutamakan metode tarjibi, juga perlu mengambil metode tazkiyah an-nafs untuk mencari ilmu dan kebenaran yang hakiki.

Integrasi dalam Ranah Aksiologi menegaskan bahwa etika atau nilai Saintis Muslim dalam memperoleh ilmu juga diperlukan sebagaimana yang terdapat pada konsep al-maqamat al-ahwal. Etika ini diperlukan untuk menampilkan pola hidup sufistik, bagaimana Seorang Saintis dapat bersikap zuhud, fakir, sabar, menolak yang haram dan syubhat, tawakkal, cinta, serta ridha serta mampu merealisasikan dalam hidup sehari-hari.

3.2Saran

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Suriasumantri menyimpulkan bahwa aksiologi sebagai bagian dari filsafat ilmu membahas tentang kegunaan dan penggunaan ilmu, kajian tentang penggunaan ilmu dengan

bidang ilmu kealaman juga seorang sufi yang mumpuni dalam bidang tasawuf. Sebagian sufi memanfaatkan metode ‘irfani unuk mendapatk an pemahaman mendalam mengenai dunia

tasawuf juga memiliki jangkauan dan hubungan dengan ilmu lainnya.. Ilmu tasawuf juga memiliki hubungan dengan ilmu

Saintis muslim sebagai peneliti alam empiric (terutama dunia mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt., dan

disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf. 2 Ja’far, Gerbang Tasawuf (Medan : Perdana Publishing,

Integrasi dalam ranah ontologi, seorang saintis muslim harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan

Dari kajian diatas dapat disimpulkan bahwa Integrasi tasawuf dan sains itu terbagi menjadi 4 macam yaitu integrasi dalam sejarah islam,integrasi dalam ranah

Kajian-kajian ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemology islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf