TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman
Tanaman pepaya (carica papaya L.) termasuk ke dalam family
Caricaceae dan merupakan tanaman herba (Barus dan Syukri, 2008). Sampai saat
ini, Caricaceae itu diperkirakan terdiri dari 31 spesies dalam tiga genera dari
Amerika tropis (carica, jacaratia dan jarilla) dan satu genus dari Afrika yaitu
Cylicomporpha (Australian Government, 2008).
Pepaya berkembang dengan akar tunggang yang cukup kuat setelah
tanam. Dalam kondisi yang baik, akar dapat menembus tanah hingga
kedalaman 2 m. Sebagian besar dari akar yang bertanggung jawab untuk
penyerapan nutrisi terdapat dalam lapisan 500 mm atas tanah dengan
konsentrasi yang terbesar yaitu terdapat di atas 250 mm
(Department of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2009).
Batang tanaman pepaya berlubang antara node, kecuali pada tanaman
muda. Batangnya terdiri dari jaringan parenkim. Letak daun diatur dalam spiral
2/5. Batang tanaman pepaya adalah berongga dan biasanya tidak bercabang, dan
tingginya mencapai 10 meter. Daunnya merupakan daun tunggal yang berukuran
besar dan bercangap dengan tangkai daun yang panjang dan berongga
(Barus dan Sykuri, 2008).
Ada 3 jenis dasar pohon yaitu tanaman jantan, betina, dan hermafrodit
(biseksual). Buah biasanya hanya diproduksi dari tanaman betina dan biseksual.
Tanaman jantan memiliki ukuran yang kecil, berbentuk bulat panjang, bunga
kuning yang hanya memiliki 10 kepala sari. Tanaman betina memiliki ukuran
biseksual (hermafrodit) memiliki bunga sempurna terdapat dalam daun axils di
sepanjang batang (Crane, 2005)
Untuk menghasilkan buah, bunga betina sangat tergantung pada bunga
jantan atau bunga sempurna. Buah pepaya memiliki getah dan akan menghilang
saat akan mendekati tua (matang). Umumya buah yang berasal dari bunga
sempurna berbentuk panjang dengan daging buah yang tebal, sedangkan buah dari
bunga betina berbentuk bulat sampai oval disertai daging yang tipis
(Barus dan Sykuri, 2008).
Buah mengandung biji dalam jumlah banyak yang berada dalam rongga
buah (Barus dan Syukri, 2008). Biji pepaya berwarna hitam (fertil) dan berwarna
putih (abortus). Benih yang digunakan untuk sumber benih jangan berasal dari
buah yang terlalu mudah atau terlalu masak karena akan menghasilkan daya
berkecambah benih yang rendah (Lumbangaol, 2008).
Syarat Tumbuh Iklim
Setiap faktor iklim seperti sejuk atau dingin, kekurangan air (kekeringan),
dan angin, akan menekan pertumbuhan dan produksi pepaya. Tanaman pepaya
tumbuh dan berbuah di daerah dengan suhu hangat hingga panas (21-32°C).
Pertumbuhan akar yang terbaik adalah jika suhu tanah tetap berada di atas 15,5°C
dan menurun di bawah suhu tersebut. Tanaman pepaya tidak toleran terhadap
suhu beku dan rusak di bawah -0,6 ° C. Sebaliknya, suhu tinggi di atas 32°C dapat
menyebabkan bunga gugur, dan suhu rendah di bawah 15°C dapat menghambat
pembungaan atau menyebabkan cacat buah. Curah hujan yang terdistribusi
kondisi cuaca yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan penurunan
pertumbuhan dan produksi buah (Crane, 2005).
Tanaman pepaya memiliki adaptasi terhadap lingkungan sehingga pepaya
dapat tumbuh mulai 0-1.000 m dpl bahkan sampai ketinggian 1.500 m dpl, namun
idealnya ketinggian tanah tidak kurang atau lebih antara 600-700 m dpl, umumnya
pepaya yang dihasilkan diatas 700 m dpl buahnya kurang baik demikian rupa
yang ditanam di bawah 600 m dpl. (Agroprima, 2013). Tanaman pepaya yang
ditanam di daerah pegunungan akan menghasilkan buah dengan kulit agak kusam
dan rasa kurang manis (Barus dan Syukri, 2008). Tanaman pepaya sangat peka
terhadap iklim kritis terutama terhadap suhu dan kelembaban. Tanaman pepaya
memerlukan pencahayaan penuh 100%, artinya harus langsung terkena sinar
matahari/ tempat terbuka (Agroprima, 2013).
Curah hujan yang sesuai untuk pertanaman pepaya berkisar antara
1500-2000 mm pertahun. Pada daerah-daerah dengan musim kering lebih dari 2
bulan maka diperlukan pengairan agar kontinuitas berbunga (berbuah) terjadi
sepanjang tahun (Barus dan Syukri, 2008).
Tanah
Lahan yang lembab merupakan tipe tanah yang cocok untuk pertanaman
pepaya, tetapi tanah tersebut tidak boleh tergenang atau becek karena akar-akar
akan membusuk. Pepaya pada lahan yang menggenang selama 2-3 hari saja akan
menyebabkan kematian total tanaman (Barus dan Syukri, 2008).
Tekstur tanah yang ideal untuk budidaya pepaya secara irigasi adalah
lempung berpasir atau lempung (yaitu dengan kandungan liat dari 15 sampai
ideal memiliki struktur cukup longgar dan rapuh. Struktur tanah kompak atau
sangat longgar akan berdampak buruk terhadap resapan air dan penetrasi akar.
Tanah ini biasanya dikaitkan dengan kandungan liat yang sangat tinggi di bawah
tanah (> 50%) (Departement of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2009).
Pepaya tumbuh baik di tanah dengan pH (air) 6 sampai 6,5. Jika nilai tukar
aluminium (Al) tidak lebih dari 30 ppm, tanah dengan pH (air)
dari 5,5 atau lebih tinggi dapat digunakan. Pada pH rendah dari 5,5 atau lebih
tinggi nilai dari 7,2, tanaman mungkin menderita kekurangan fosfat atau
kekurangan kalium (Departement of Agriculture, Forestry and Fisheries, 2009).
Perkecambahan Benih Pepaya
Perkecambahan merupakan proses metobolisme biji hingga dapat
menghasilkan pertumbuhan dari komponen kecambah (plumula dan radikula).
Definisi perkecambahan adalah jika sudah dapat dilihat atribut
perkecambahannya, yaitu plumula dan radikula dan keduanya tumbuh normal
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan ISTA
(International Seed Testing Association). Setiap biji yang dikecambahkan ataupun
yang diujikan tidak selalu persentase pertumbuhan kecambahnya sama, hal ini
dipengaruhi bebagai macam faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan.
Daya kecambah benih memberikan informasi kepada pemakai tentang benih yang
tumbuh normal menjadi tanaman yang berproduksi wajar dalam kondisi biofisik
lapangan yang serba optimal. Parameter yang digunakan dapat berupa persentase
kecambah normal berdasarkan penilaian terhadap struktur tumbuh embrio yang
diamati secara langsung. Secara tidak lansung dengan hanya melihat gejala
Dormansi didefinisikan sebagai status dimana benih tidak berkecambah
walaupun pada kondisi lingkungan yang ideal untuk perkecambahan. Beberapa
mekanisme dormansi terjadi pada benih baik fisik maupun fisiologis, termasuk
dormansi primer dan sekunder. Dormansi primer merupakan bentuk dormansi
yang paling umum dan terdiri atas dua tipe yaitu dormansi eksogen dan dormansi
endogen. Dormansi eksogen adalah kondisi dimana persyaratan penting untuk
perkecambahan (air, cahaya, suhu) tidak tersedia bagi benih sehingga gagal
berkecambah. Tipe dormansi ini biasanya berkaitan dengan sifat fisik kulit benih
(seed coat) (Ilyas, 2013).
Banyak jenis biji tanaman sayuran dan bunga-bungaan dapat segera
berkecambah setelah dipanen. Sedangkan beberapa jenis biji tanaman
buah-buahan dan tanaman hias memerlukan masa istirahat atau after ripening period
sesudah panen. Hal ini menunjukkan perubahan biokimia dan fisiologi dalam biji
yang lambat sebelum tumbuh menjadi tanaman. Perubahan-perubahan ini
mungkin mencakup pembebasan hormon, absorpsi air, difusi oksigen ke dalam
biji, difusi CO2 ke luar biji, dan sebaginya (Ashari, 1995).
Selain dormansi faktor lain yang juga mempengaruhi perkecambahan
benih pepaya adalah tingkat kemasakan buah. Benih yang telah masak fisiologi
biasanya ditandai oleh adanya perubahan pada warna kulit buah. Pada pepaya
buah yang bijinya telah masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah berwarna
jingga dan pada buah yang berbentuk lonjong (ukuran panjang buah lebih panjang
dari pada lebarnya) benih yang berasal dari bagian ujung buah keragaman benih
Pemeraman Buah Pepaya
Setelah dipanen buah pepaya tetap melakukan kegiatan metaboliknya
seperti respirasi, fotosintesis dan transpirasi. Respirasi merupakan kegiatan
metabolik oksidatif yang penting dalam fisiologi pasca panen (Syaefullah, 2008).
Menurut Pantastico (1989), sebagian besar perubahan fisikokimia buah pasca
panen berhubungan dengan respirasi seperti proses pemeraman, pembentukan
aroma dan kemanisan, pelunakan daging buah dan penurunan nilai mutu. Sebagai
buah klimakterik, kenaikan pola respirasi buah pepaya dapat digunakan sebagai
acuan untuk waktu simpan dan pemeraman. Buah pepaya mudah mengalami
kerusakan setelah pemanenan baik kerusakan fisik, mekanis maupun kerusakan
mikrobiologis.
Buah yang dapat diperam ialah golongan buah klimakterik yaitu buah
dengan pola respirasi yang diawali peningkatan secara lambat, kemudian
meningkat dan menurun lagi setelah mencapai puncak. Kematangan optimum
buah, dimana buah memiliki kualitas rasa (eating quality) paling maksimal terjadi
di sekitar puncak klimakterik. Pemeraman (ripening) buah merupakan perlakuan
terhadap buah dengan tujuan untuk mempercepat proses dan menyeragamkan
kematangan buah. Selama proses pematangan, warna, rasa, tekstur dan aroma
buah mengalami perubahan (Syaefullah, 2008).
Stadia kematangan pepaya mengacu kepada Abeywickrama et al. (2008)
dalam Suketi dkk. (2010) yang mengemukakan ada 6 stadia kematangan untuk
pepaya yaitu munculnya semburat warna kuning pada kulit buah (stadia I), warna
75% (stadia IV), warna kuning penuh 100% (stadia V) dan lewat matang
(over ripe).
Menurut Suketi dkk. (2010) fase kematangan dari tanaman pepaya
digolongkan menjadi 3 stadia yaitu 25-49% (stadia 1), 50-74% (stadia 2) dan di
atas 75% (stadia 3). Oleh karena itu tingkat kematangan pepaya genotipe IPB
dapat dimulai dari hari setelah antesis yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Genotipe Kematangan (Hari Setelah Anthesis/HSA)
Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3
IPB 1 130 135 140
IPB 10A 160 165 170
IPB 174 140 145 150
IPB 1 x IPB 10 A 140 145 150
IPB 1 x PB 174 135 140 145
IPB 10 A x PB 174 140 145 150
Tabel 1. Stadia kematangan buah pepaya
Penggunaan kriteria umur panen dengan penghitungan hari setelah
anthesis di daerah Bogor menghasilkan perubahan warna kulit buah yang tidak
teratur dan tidak sama pada setiap waktu panen buah sehingga tingkat kematangan
fisiologis buah diduga berbeda (Suketi dkk., 2010). Perbedaan umur panen buah
yang menyebabkan tingkat kematangan buah sama, menurut
Zhou dan Paull (2001) mungkin disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan
buah yang berbeda akibat suhu udara dan kompetisi fotosintat antar buah,
sehingga ada buah pada genotipe sama yang memerlukan waktu lebih lama untuk
mencapai tingkat kematangan yang sama. Secara umum buah pepaya yang
dipanen pada tingkat kematangan berbeda menunjukkan pelunakan buah berbeda
Menurut Kays (1991) dalam Suketi dan Nandya (2011) perubahan warna
adalah perubahan yang jelas terjadi pada banyak buah sehingga dapat dijadikan
sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan apakah buah tersebut
sudah matang atau masih mentah. Warna hijau disebabkan adanya klorofil yang
merupakan kompleks organik magnesium. Kemudian klorofil mengalami
degradasi struktur sehingga warna hijau menghilang. Faktor utama yang berperan
dalam degradasi klorofil ini adalah perubahan pH yang disebabkan kebocoran
asam organik dari vakuola, sistem oksidatif, dan adanya enzim chlorophyllase.
Kehilangan warna tergantung pada satu atau seluruh faktor-faktor yang bekerja
berurutan untuk merusak struktur klorofil. Degradasi klorofil berkaitan juga
dengan sintesis karotenoid dan antosianin selama proses pematangan buah. Oleh
karena itu, perubahan warna dalam pematangan dan penyimpanan buah menjadi
faktor yang penting untuk diamati.
Etilen merupakan hormon yang disintesis oleh tumbuhan dan
menyebabkan proses pemasakan yang lebih cepat. Pada banyak macam buah,
etilen hanya sedikit dihasilkan sampai tepat sebelum terjadi klimaterik respirasi,
yang mengisyaratkan dimulainya pemasakan, yaitu ketika kandungan gas ini di
ruang udara antar sel meningkat tajam, dari jumlah hampir tak terlacak sampai
sekitar 0,1-1 mikron liter per liter. Konsentrasi umumnya memacu pemasakan
buah berdaging dan tak berdaging. Etilen adalah senyawa yang larut di dalam
lemak sedangkan memban dari sel terdiri dari senyawa lemak. Oleh karena itu
etilen dapat larut dan menembus ke dalam membran mitokondria. Apabila
mitokondria pada fase pra klimakterik diekraksi kemdian ditambah etilen, ternyata
sehingga bahan-bahan dari luar mitokondria akan dapat masuk
(Salisbury dan Ross, 1995).
Buah yang dipanen saat semburat 30-40% kuning diikuti pemeraman
selama 4 hari nyata memiliki potensi tumbuh maksimum, daya berkecambah,
kecepatan tumbuh benih dan first count germination yang meningkat dan sama
dengan kontrol (Murniati dkk., 2008).
Vigor dapat diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal
pada keadaan lingkungan yang subnormal. Vigor benih harus relevan dengan
tingkat produksi, artinya dari benih yang bervigor tinggi dicapai tingkat produksi
yang sangat tinggi. Keadaan lingkungan di lapangan sangat penting dalam
menentukan kekuatan tumbuh benih. Rendahnya vigor dapat diakibatkan oleh
aktivitas cendawan atau bakteri. Kadar air yang terlalu tinggi pada benih dapat
menyebabkan benih kehabisan cadangan makanan dikarenakan aktifitas
pernafasan serta dapat meningkatkan pertumbuhan cendawan dan patogen
(Sutopo, 1984).
Pengeringan Benih
Salomao dan Mundim (2000) menggolongkan benih pepaya sebagai benih
ortodok, namun kenyataannya daya simpan relatif singkat dibandingkan benih
ortodok pada umumnya. Benih pepaya tergolong ke dalam benih intermediate,
yaitu tidak tahan bila kadar air < 8%. Menurunnya perkecambahan benih pepaya
yang dikeringkan hingga kadar air 5% sebenarnya bukan disebabkan oleh
hilangnya viabilitas, melainkan karena terjadinya induksi dormansi.
Dalam hal pengeringan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu
buah untuk buah tua yang belum masak. Oleh karena itu untuk benih yang
diunduh tetapi belum masak, harus dilakukan pemeraman terlebih dahulu.
Kadar air yang terlalu tinggi pada benih dapat menyebabkan pemanasan karena
respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh. Oleh karena itu, sangat penting
untuk menjamin agar benih yang dipanen memiliki kadar air yang aman sebelum
disimpan (Lensari, 2009).
Meski sangat penting artinya untuk menurunkan kadar air benih hingga ke
tingkat yang aman untuk disimpan, namun bila kadar air terlalu rendah juga dapat
membahayakan benihnya. Benih yang sangat kering sangat peka terhadap
kerusakan mekanis serta pelukaan sampingan lainnya. Kerusakan seperti itu dapat
mengakibatkan bagian penting benih mengalami pecah-pecah atau retak pada
bagian penting biji sehingga peka terhadap serangan cendawan yang terjadi
(Justice dan Bass, 1994).
Untuk berkecambah, benih pepaya memerlukan cahaya, kebutuhan cahaya
ini dapat diberikan sebelum benih ditanam, melalui penjemuran. Pengeringan
benih dengan oven tidak akan mendorong perkecambahan benih dalam kondisi
gelap. Penyerapan air pada kondisi gelap sama dengan pada kondisi terang. Ini
menunjukkan bahwa tidak berkecambahnya benih pada kondisi gelap bukan
disebabkan impermeabilitas kulit benih (Suwarno, 2004).
Umumnya, embrio yang dalam masa pemasakan tertutup oleh jaringan
induk yang mengandung sejumlah klorofil, membutuhkan cahaya untuk
berkecambah. Sementara embrio yang tertutup jaringan induk yang sedikit
berklorofil tidak membutuhkan cahaya. Sebabnya ialah bahwa klorofil menyerap
menjadi bentuk lain dalam embrio yang sedang masak, sehingga kemudian biji
matang membutuhkan panjang gelombang merah untuk memacu perkecambahan
(Salisbury dan Ross, 1995).
benih dengan kadar air awal yang tinggi dan diperlukan dalam kondisi
kadar air yang rendah sesudah pengeringan memerlukan waktu yang lebih lama
untuk pengeringan. Pengeringan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan
impermeabilitas kulit biji melalui perubahan testa. Bagian luar biji menjadi keras
tetapi bagian dalamnya masih basah. Hal ini mengakibatkan terjadinya dormansi
benih (Sutopo, 1986)
Keadaan Kulit Benih
Benih pepaya diselimuti oleh sarcotesta, lapisan berair yang menyelimuti
benih dan mampu menghambat perkecambahan. Menurut Sari dkk. (2005)
sarcotesta yang tetap dipertahankan selama proses pengeringan benih tidak
menyebabkan hilangnya viabilitas tetapi menimbulkan induksi dormansi dan
belum diperoleh perlakuan pematahan dormansi yang efektif untuk mengatasi hal
tersebut. Chow dan Lin (1991) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenolik
yang tinggi, khususnya p-Hydroxybenzoic acid pada sarcotesta merupakan zat
penghambat perkecambahan sehingga penghilangan sarcotesta selama ini selalu
disarankan untuk mendorong terjadinya perkecambahan.
Biji pepaya memiliki masa dormansi hingga 12-15 hari. Hal ini disebabkan
karena adanya aril dan senyawa fenolik dalam aril benih. Konsumsi oksigen yang
tinggi oleh senyawa fenolik pada kulit benih selama proses perkecambahan dapat
membatasi suplai oksigen ke dalam embrio, dan dapat membentuk lapisan yang
stimulasi perkecambahan sehingga benih menjadi dorman (Maryati dkk., 2005).
Meskipun demikian, menurut Andarwulan dkk. (1999) fenolik juga mempunyai
sifat sebagai antioksidan yang dapat menghambat terjadinya deteriorasi. Adanya
sifat antioksidan ini memungkinkannya untuk dimanfaatkan dalam upaya
meningkatkan daya simpan benih.
Pada umumnya lendir yang menyelimuti benih mengandung senyawa
kimia yang dapat menghambat perkecambahan benih. Lendir benih dapat
dibersihkan dengan cara, yaitu merendam benih dengan air selama beberapa
waktu (fermentasi), menggosok benih dengan abu gosok atau serbuk gergaji,
menggosok benih dengan ayakan secara perlahan dengan dialirkan air, dan
merendam benih dengan menggunakan larutan asam atau larutan kimia
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai
dari bulan Juni hingga September 2013.
Bahan dan Alat Percobaan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah buah pepaya dengan
varietas Red Lady, abu gosok untuk membersihkan biji dari selaput luar, pasir
sebagai media tumbuh, koran untuk membungkus buah pepaya saat pemeraman,
keranjang tempat pemeraman buah, dan label sebagai penanda.
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah bak kecambah,
pisau, penggaris, penanda sampel, handsprayer, buku data dan alat tulis,
timbangan analitik dan kamera.
Metode Percobaan
Pada percobaan ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 3 faktor yaitu:
Faktor I : Pemeraman dengan 3 taraf yaitu:
P0 : Tanpa pemraman (kontrol) kematangan 25-49%
P1 : Pemeraman selama 2 hari
P2 : Pemeraman selama 4 hari
Faktor II : Pengeringan dengan 3 taraf yaitu:
KO : Tanpa pengeringan
K1 : Kering angin selama 1 hari
Faktor III : Keadaan kulit biji dengan 2 taraf yaitu:
S0 : Kontrol (ada sarcotesta)
S1 : Tanpa sarcotesta
Adapun kombinasi yang diperoleh adalah:
P0K0S0
Jumlah kombinasi perlakuan : 18 kombinasi
Ulangan : 3 ulangan
Jumlah unit percobaan : 54 unit percobaan
Jumlah biji tiap unit percobaan : 50 biji
Jumlah biji seluruhnya : 2700 biji
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dengan
model linear aditif sebagai berikut :
Yijkl = µ + ρi + αj + βk +γl +(αβγ)jkl + εijkl i = 1,2,3 j = 1,2,3 k =0,1,2 l = 1,2 Dimana:
Yijk : Hasil pengamatan pada blok ke-i akibat perlakuan pemeraman (P)
taraf ke-j, pengaruh pengeringan (K) pada taraf ke-k, dan pengaruh
faktor keadaan kulit biji (S) pada taraf ke-l
ρi : Efek dari blok ke-i
αj : Efek perlakuan pemeraman pada taraf ke-j
βk : Efek perlakuan pengeringan pada taraf ke-k
γl : Efek perlakuan keadaan kulit biji pada taraf ke-l
(αβγ)jkl : Interaksi antara pemeraman taraf ke-j dan pengeringan taraf ke-k dan
keadaan kulit biji taraf ke l
εijkl : Galat dari blok ke-i, pemeraman taraf ke-j dan pengeringan taraf ke-k
dan keadaan kulit biji taraf ke l
Terhadap sidik ragam yang nyata, maka dilanjutkan analisis lanjutan