• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus CA. Nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kasus CA. Nasofaring"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

KARSINOMA NASOFARING

STASE TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN

Oleh :

Tiodora Wike Dwi Sari I11109076

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2014

(2)

PONTIANAK

2014

Lembar Persetujuan

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul : Karsinoma Nasofaring

disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Stase Telinga Hidung dan Tenggorokan

Telah disetujui, Pontianak, 23 April 2014 Pembimbing Laporan Kasus,

dr. H. Asep Sudjana Bana, Sp. THT

NIP. 140134373

Disusun oleh :

Tiodora Wike Dwi Sari NIM. I11109076

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher terbanyak di temukan di Indonesia1. Tumor ini sifatnya menyebar secara cepat ke kelenjar limfe leher dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah salah satu kanker kepala leher yang bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding kanker kepala leher yang lain2,3. KNF merupakan satu dari lima kanker tersering di Cina dan Hong Kong4. Insiden tertinggi penyakit ini didapatkan di Negara Cina bagian selatan terutama di propinsi Guangdong, Guangxi dan di daerah yang banyak dihuni oleh imigran Cina di Asia Tenggara (Hongkong, Singapura), Taiwan dan USA (California). Insiden yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat tersebut diatas dijumpai pada orang Eskimo di Greenland, penduduk yang hidup di Kanada, Malaysia, Thailand,Vietnam dan Indonesia6. Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia 40 sampai 50 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Angka perbandingan (rasio) laki-laki dan perempuan pada karsinoma nasofaring adalah 2-3 :1.

Karsinoma nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller8 yang merupakan daerah transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa7. Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3 tipe histopatologi berdasarkan klasifi kasi WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel skuamosa berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma tidak berkeratin berdiferensiasi) sekitar 15% dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling sering muncul (75%)1.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle. Dinding depan dibentuk oleh koana dan septum nasi dibagian belakang. Bagian belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus tubarius. Sedangkan kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau resessus lateral.

Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V2), yang menuju ke anterior nasofaring. Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang saling menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak dipermukaan superfisial9.

(5)
(6)

B. Karsinoma Nasofaring

B.1. Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. Ada tiga tipe karsinoma nasofaring11:

a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.

b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.

c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.

Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi nasofaring.

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak.

B.2. Epidemiologi

Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/100.000 penduduk. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan pada wanita 1,27/100.000.

(7)

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah (Roezin, 2010).

Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1.

Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.

Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain12.

B.3. Etiologi

Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah:

a. Kerentanan genetik

Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi familial. Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau

(8)

tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring11. Analisis korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q1213.

b. Epstein-Barr Virus

EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi oncogen11.

c. Faktor ligkungan dan diet

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas12. Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga berhubungan13.

Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring11.

(9)

d. Faktor pekerjaan

Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene,

Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu.

e. Radang kronis daerah nasofaring

Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

B. 4. Patologi

Patologi pada KNF dapat ditinjau secara makroskopis dan mikroskopis. Makroskopis Secara makroskopis, pertumbuhan KNF dibedakan menjadi 3 bentuk:

a. Ulseratif

Biasanya berupa lesi kecil disertai jaringan nekrotik. Terbanyak dijumpai di dinding posterior nasofaring atau fossa Rossenmuller yang lebih dalam dan sebagian kecil dinding lateral. Tipe ini sering tumbuh progresif infiltatif, meluas pada bagian lateral, atap nasofaring dan tulang basis kranium. Lesi ini juga sering merusak foramen laserum dan meluas pada fossa serebralis media melibatkan beberapa saraf kranial (II.III,IV,V,VI) yang menimbulkan kelainan neurologik.

b. Nodular

Biasanya berbentuk anggur atau polipoid tanpa adanya ulserasi tetapi kadang-kadang terjadi ulserasi kecil. Lesi terbanyak muncul di area tuba eustachius sehingga menyebabkan sumbatan tuba. Tumor dapat meluas pada retrospenoidal dan tumbuh disekitar saraf kranial namun tidak menimbulkan gangguan neurologik. Pada stadium lanjut tumor dapat meluas pada fossa serebralis media

(10)

dan merusak basis kranium atau meluas ke daerah orbita melalui fossa orbitalis inferior dan dapat menginvasi sinus maksilaris melalui tulang ethmoid.

c. Eksofitik

Biasanya non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-kadang bertangkai dan permukaan licin. Tumor muncul dari bagian atap, mengisi kavum nasi dan menimbulkan penyumbatan hidung. Tumor ini mudah nekrosis dan berdarah sehingga menyebabkan epistaksis. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksilaris dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksoftalmus unilateral. Tipe ini jarang melibatkan saraf kranial.

2. Mikroskopis

a. Perubahan pra keganasan

Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang tumbuh menjadi ganas secara perlahan. Penelitian yang dilakukan Teoh (1957) mendapatkan bahwa metaplasia skuamosa merupakan keadaan yang paling bermakna untuk terjadinya KNF. Dari penelitian Li dan Chen (1976) ditemukan juga adanya hiperplasia dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah keganasan. Dari berbagai penelitian diatas menyokong bahwa metaplasia dan hyperplasia nasofaring merupakan perubahan pra keganasan dari karsinoma nasofaring.

b. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring Reaksi radang

Radang akut dan kronis sering dijumpai pada mukosa nasofaring. Bentuk perubahan ini biasanya dihubungkan dengan tukak mukosa yang mengandung sejumlah leukosit PMN, sel plasma dan eosinofil. Pada peradangan kronis akan dijumpai limfosit dan jaringan fibrosis. Ada anggapan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara proses regenerasi pada ulserasi epitel nasofaring dengan perubahan metaplasia dan displasia dari epitel tersebut.

(11)

Hiperplasia

Hiperplasia yang sering terlihat pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya maupun pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar sering dihubungkan dengan proses radang. Sedang hiperplasia jaringan limfoid dapat terjadi dengan atau tanpa proses radang.

Metaplasia

Sering terlihat metaplasia pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan kearah epitel skuamosa bertingkat.

Neoplasia

Liang (1962) menemukan bahwa neoplasia mulai tumbuh di bagian basal lapisan sel epitel. Lapisan basal ini yang mulanya sangat kecil akan bertambah

besar, jumlah sel bertambah banyak dan bentuknya akan menjadi bulat atau pleomorfik.

B.5. Histopatologi

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan

buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)

Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Terdapat kesamaan antara tipe II dan III sehingga selanjutnya disarankan pembagian stadium KNF terbaru hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu:

(12)

1. KSS berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). 2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.

Histologi Nasofaring

Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehingga sering disebut ” Limfoepitel ”, Bloom dan Fawcett membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :

1. Epitel selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ” 2. Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium“.

3. Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium“.

4. Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ”

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. 60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “ Stratified Squamous Epithelium “, dan 80 % dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.

Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma. Di sekitar koana dan atap terdiri dari epitel torak bersilia, sedangkan dinding lateral diliputi oleh epitel skuamosa dan epitel torak bersilia. Jaringan limfoid terdapat didinding lateral, terutama disekitar muara tuba eustachius, dinding posterior dan atap nasofaring. Jaringan limfoid di nasofaring ini merupakan lengkung atas cincin Waldeyer.

(13)

B. 6. Gejala Klinik B.6.1. Gejala Dini

Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring. Gejala telinga :

1. Sumbatan tuba eutachius / kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.

2. Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani. Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran.

Gejala Hidung: 1. Epistaksis

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna kemerahan.

2. Sumbatan hidung

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi pada stadium dini.

(14)

Gejala lanjut

1. Pembesaran kelenjar limfe leher.

Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar

Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi , seperti penjalaran tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia).

Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.

3. Gejala akibat metastasis

Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

(15)

B.7. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan radiologi konvensional.

Pada foto tengkorak potongan anteroposterior dan lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.

2. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring.

Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.

3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh. 4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A anti EA.(Early Antigen)

5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring

belum jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat metastasis karsinoma nasofaring.

6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metastasis.

B.8. Diagnosis

Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi. Pemeriksaan CT-scan daerah kepala dan leher dapat mengetahui tumor primer dan arah perluasannya. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti VCA (Viral Capsid Agent) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Pasien yang kooperatif dengan massa yang jelas dapat dilakukan biopsi dengan anestesi lokal, nasoendoskop kaku, dan biopsi forsep panjang. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind

(16)

media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter yang dihidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkose.

B.9. Penatalaksanaan

Stadium I : Radioterapi Stadium II-III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi

Stadium V dengan N >6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Jumlah radiasi untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000 cGy.

Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukuran sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tidak teraba diberikan radiasi sebesar

(17)

5000 cGy, <2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi 5,5 minggu. Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi beberapa faktor diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit. Pasien KNF stadium III-IV yang hanya diterapi dengan radiasi, angka harapan hidup 5 tahun (5 years survival rate) kurang dari 25 %, dan pada pasien yang telah mengalami metastase ke limfonodi regional, maka angka tersebut turun sampai 1-2%.

2. Kemoterapi

Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel – sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat

dikurangi sehingga efek samping menurun. Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain cisplatin, 5-Fluorouracil , methotrexate, paclitaxel dan docetaxel. Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas.

Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh.

Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :

1. Kemoterapi adjuvan

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi. Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan kontrol lokal.

(18)

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:

-Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.

-Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

-Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh).

2. Kemoterapi neoadjuvan

Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi.

Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori ini dapat disingkirkan karena akan terjadi peningkatan efek samping, durasinya, dan beban biaya perawatan yang meningkat. Dan yang lebih penting, sel yang bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak respon setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Alasan praktis penggunaan kemoterapi adjuvan adalah usaha untuk meningkatkan kemungkinan preservasi organ dan kesembuhan.

Regimen kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan infus 15- 20 menit perhari yang diberikan dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari secara intra vena, diulang setiap 21 hari. Sebelum pemberian Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline 0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah pemberian cisplatin, dilakukan pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam mengandung 40 mEq kalium klorida. Pasien diberikan antimuntah sebagai profilaksis yang terdiri dari 5- hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah 20 mg deksametason.

(19)

Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap kemoterapi.

3. Kemoterapi concurrent

Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan hasil yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. Agen kemoterapi telah digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari KNF adalah EBV, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

(20)

B. 10. Prognosis

Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor seperti: - Stadium yang lebih lanjut.

- Usia lebih dari 40 tahun - Laki-laki dari pada perempuan - Ras Cina dari pada ras kulit putih - Adanya pembesaran kelenjar leher

- Adanya kelumpuhan saraf otak dan adanya kerusakan tulang tengkorak - Adanya metastasis jauh.

(21)

BAB III PENYAJIAN KASUS

I. ANAMNESIS Identitas

Nama : tn. AP Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 33 tahun

Alamat : Dsn. Natai, Kab. Sintang Pekerjaan : Petani

Anamnesis dan pemeriksaan dilakukan pada : 16 April 2014 pada pukul : 14.00 WIB.

Keluhan Utama

Benjolan di leher kiri ± sejak 6 bln yang lalu, mata kanan menjadi kabur.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RS.Soedarso dengan keluhan benjolan di leher ± sejak 6 bulan yang lalu disertai pandangan yang kabur pada mata sebelah kanan, pendengaran menurun terutama pada telinga kiri. Keluhan ini ia rasakan seiring dengan pembesaran benjolan di lehernya.

Pasien menjelaskan bahwa benjolan tersebut telah ada di lehernya sejak 6 bulan yang lalu dan secara progresif membesar dan diikuti dengan gejala-gejala lain berupa sulit berbicara, ada yang mengganjal saat menelan, dan sakit kepala. Pasien sebelumnya telah berobat ke RS di melawi namun obat yang diberikan tidak mampu menurunkan gejalanya. Pasien mempunyai kebiasaan merokok sejak

(22)

SD dengan rata-rata 1 bungkus perharinya dan pasien mengaku paling suka makan ikan asin serta sering mengkonsumsi alkohol.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang pernah mengalami gejala yang sama.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 16 April 2014 pukul 14.00 WIB Keadaan umum : tampak lemas

Frekuensi Nadi : 100x/ menit Frekuensi Nafas : 20x/menit

Terdapat masa di leher sebelah lateral kiri, diameter ±4 cm, konsistensi keras padat, tidak terdapat neyri tekan.

Status Lokalis Telinga

Inspeksi, Palpasi :

Telinga kanan Telinga kiri

Aurikula Edema (-), hiperemis (-), massa (-).

Edema (-), hiperemis (-), massa (-).

Preaurikula Edema (-), hiperemis (-), massa (-), fistula (-), abses (-).

Edema (-), hiperemis (-), massa (-), fistula (-), abses (-).

(23)

Retroaurikula Edema (-), hiperemis (-), massa (-), fistula (-), abses (-).

Edema (-), hiperemis (-), massa (-), fistula (-), abses (-). Palpasi Nyeri pergerakan aurikula (-),

nyeri tekan tragus (-), nyeri tekan aurikula (-)

Nyeri pergerakan aurikula (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tekan aurikula (-)

Otoskopi :

Telinga kanan Telinga kiri

MAE Edema (-), hiperemis (-), serumen (+), furunkel (-).

Edema (-), hiperemis (-), serumen (+), furunkel (-). Membran

timpani

Intak, berwarna abu-abu pucat, refleks cahaya +.

Intak, berwarna abu abu pucat, refleks cahaya +.

Tenggorokan

Inspeksi, Palpasi :

- Mukosa oro faring : hiperemis (-), edema (-), masa (-) - Tonsil : To (kanan) – To (kiri)

- Pembesaran kelenjar limfe : (+)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIUSULKAN

Pemeriksaan radiologi : CT-Scan danMRI kepala dan leher

Laboratorium : pemeriksaan darah lengkap, serologi IgA VCA

nasopharyngoscopy indirect untuk menilai tumor primer

Biopsi benjolan untuk diperiksa histopatologi

Pemeriksaan nervus cranial

.Chest radiotherapy (AP and lateral) untuk melihat penyebarannya ke

(24)

Bone scintigraphy by 99 Tc-diphosphonate untuk melihat penyebarannya

ke tulang

Urea, electrolytes, creatinine, fungsi hati, Ca, PO4, alkaline phosphate.

IV. RESUME

Tn. AP usia 33 tahun datang ke rumah sakit karena keluhan benjolan dileher lateral kiri ± sejak 6 bln yang lalu disertai penurunan penglihatan terutama pada mata kanan dengan keadaan umum terlihat lemas. Gejala lain yang menyertai antara lain:

 Sering sakit kepala.

 Terasa ada yang mengganjal saat menelan.  Pendengaran menurun terutama pada telinga kiri.

 Bicara menjadi tidak jelas dan susah ± sejak 2 bln terakhir

 Pasien memiliki riwayat merokok sejak SD, sehari 1 bungkus, alkohol, dan suka makan ikan asin.

 Pemeriksaan fisik kedua telinga, serumen(+),tympani intact, refleks cahaya (+). Tidak terdapat nyeri pergerakan, nyeri tekan tragus dan aurikula.

V. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja : Karsinoma Nasofaring Diagnosis banding :

 Nasofaringeal Angiofibroma  Tumor Laring

(25)

VI. TATALAKSANA Non Medikamentosa :

Berhenti merokok

Berikan makanan dalam bentuk lunak atau cair

Medikamentosa :

Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

VII. PROGNOSIS

Prognosis karsinoma nasofaring tergantung dari beberapa aspek yaitu stadium tumor, umur penderita dan jenis kelamin. Semakin tinggi stadium maka semakin rendah prognosis, begitu pula jika umur yang semakin tua menurunkan kemungkinan untuk kembali sempurna. Dan jenis kelamin laki-laki telah diteliti memiliki prognosis yang lebih buruk ketimbang wanita

(26)

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien datang ke RS.Soedarso dengan keluhan benjolan di leher kiri sejak 6 bulan yang lalu serta penurunan daya pandang. Keluhan ini ia rasakan seiring dengan pembesaran benjolan di lehernya. Pasien menjelaskan bahwa benjolan tersebut telah ada di lehernya sejak 6 bulan yang lalu dan secara progresif membesar. Perkembangan benjolan tersebut sangat cepat dan diikuti dengan gejala-gejala lain berupa sulit berbicara, sakit saat menelan, dan sakit kepala. Dysfagia tersebut membuat pasien mengurangi asupan makannya. Gejala sakit kepala pasien rasakan sangat menganggu, sehingga pasien sering terbangun dari tidurnya. Pasien sebelumnya telah berobat ke dokter umum di RS lingkungan tempat tinggalnya namun obat yang diberikan tidak mampu menurunkan gejalanya. Pasien mempunyai kebiasaan merokok sejak belasan hingga puluhan tahun yang lalu dengan rata-rata 1 bungkus perharinya.pasien juga mengaku paling suka/hobby mengkonsumsi ikan asin.

Benjolan dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik, sehingga didapatkan benjolan terletak pada leher kiri dengan diameter ± 4 cm berkonsistensi padat, dan terdapat nyeri tekan. Dari pemeriksaan telinga didapatkan serumen pada kedua liang telinga, namun masih dapat dilihat membran timpani yang berwarna abu-abu pucat dengan refleks cahaya yang jelas pada kedua telinga.

Berkurangnya pendengaran pada penderita dapat disebabkan karena serumen yang menghalangi hantaran suara melalui udara, saraf sensorisnya memang telah mengalami degenerasi, atau yang paling mungkin ialah karena sudah terjadi penyebaran tumor ke nervus cranialis VIII yang membuat fungsinya berkurang. Apalagi pasien hanya merasakan kurangnya pendengaran di sisi adanya benjolan di leher, yakni disebelah kiri. Jika, karena ketuaan (prebicusis) seringkali kurangnya pendengaran melibatkan ke dua telinga. Kesulitan menelan dan bicara pada pasien bisa disebabkan masa tumor yang

(27)

menghalangi bolus untuk masuk ke faring atau terjadi penyebaran tumor hingga mengenai N. IX dan X sehingga muncul gejala tersebut.

Diagnosis kanker juga didukung dengan riwayat merokok pasien yang sejak belasan tahun yang lalu (sejak SD) dengan jumlah yang 1 bungkus setiap hari juga merupakan faktor resiko munculkan kanker, karena dalam rokok tersebut mengandung banyak zat karsinogenik yang dapat memicu mutasi-mutasi sel, sehingga mekanisme apoptosis menjadi terhambat, belum lagii jika pasien memiliki kerentanan genetik. walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerntanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyrakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring. Dan pasien memiliki suatu faktor resiko dari etiologi karsinoma nasofaring yaitu suka makan ikan asin.

Meskipun beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring tidak dapat dikontrol, ada beberapa yang dapat dihindari dengan melalkukan perubahan gaya hidup. Menghentikan penggunaan rokok, karena hal ini adalah hal yang sangat penting untuk mengurangi risiko karsinoma nasofaring. Cara pencegahan lain dapat dilakukan pada lingkungan yang penduduknya banyak yang terkena karsinoma nasofaring ini misalnya dengan pemberian vaksinasi. Dapat pula dengan memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat lainnya. menurut laporan luar negeri, orang cina generasi pertama (Umumnya penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara keseluruhan cenderung menurun.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.

(28)

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.

Dalam menentukan stadium kanker pasien, diperlukan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui besarnya tumor, serta metastase. Namun dengan mengetahui adanya gejala yang melibatkan saraf kranial (VIII,IX,X) dapat disimpulkan tumor primer pasien tergolong T4. Data pemeriksaan laboratorium yang belum didapat membuat penilaian metastasis jauh, misalnya ke hati atau paru belum bisa dipastikan serta hasil biopsy yang belum didapatkan juga blm bisa menegakan diagnosis. Pembesaran kelenjar diatas fossa supraklavikula ditemukan limfadenopati unilateral dengan diamter ± 4 cm, namun tidak akan merubah stadium pada pasien ini yaitu stadium IVa. Tatalaksana yang paling sesuai dengan stadium ini adalah kemoradiasi.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

1. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2007. 162.

2. Ma J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, et al. Retropharyngeal lymphnode metastasis in NPC: prognostic value and staging categories. Clin cancer Res 2007; 13(5).

3. Tang L, Li I, Mao Y, Liu L, Liang S, Chen Y, et al. Retropharyngeal lymphnode metastasis in NPC detected by MRI: prognositic value and staging categories. Pubmed result Cancer; 2008.

4. Vokes EE, Liebowitz DN, Weichselbaum RR. Nasopharyngeal carcinoma. Lancet 1997; 350: 1087-1091.

5. Prasetyo A, Wiratno. Kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi anatomi di RSUP Dr. Kariadi tahun 2002 –2006. Prosiding Konas Perhati- KL; 2007; Surabaya.

6. Syafril A. Epidemiologi tumor ganas telinga , hidung dan tenggorokan. Dalam: Tumor telinga, hidung dan tenggorokan, Diagnosis dan penatalaksanaan, Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1989.1-9.

7. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library 2002.

8. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p362-6.

9. M Abduh Firdaus; Jon Prijadi, Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma Nasofaring, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher , Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,

10. American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer

Society. Diunduh:

http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf 11. National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011.

Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ®). USA: National Cancer Institute. Diunduh:

http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/All Pages/Print

12. Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga- Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.

13. Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan karakteristik pasien dapat diketahui prevalensi faktor risiko mayor pada pasien PJK berdasarkan riwayat merokok dari 242 pasien PJK yang terbanyak adalah

)emeriksaan ini adalah pemeriksaan standar non inasi# untuk mendiagnosis kanker buli. )emeriksaan ini bertujuan untuk melihat sel-sel urotelium yang terlepas bersama

Pada pasien ini penyebab terjadinya endoftalmitis adalah faktor eksogen, karena dari anamnesis yang dilakukan pasien mengaku ada riwayat trauma pada mata.. Pada pasien ini juga

Istri pasien mengatakan pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol, namun 2 Istri pasien mengatakan pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol, namun 2 minggu

 Kanker serviks adalah penyakit tumor ganas pada daerah mulut rahim (servik) sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara adalah riwayat kanker payudara pada keluarga, menopause lama, penggunaan ERT, merokok, dan konsumsi

4ipotesis bah(a infertilitas menjadi faktor resiko untuk kanker endometrium didukung oleh penelitian- penelitian yang menunjukkan resiko yang lebih tinggi untuk nulipara

Insidensnya meningkat sesuai dengan usia keba- nyakan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun dan makin tinggi pada individu dengan riwayat keluarga mengalami kanker kolon,