• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA KARYA ILMIAH AKHIR NERS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA KARYA ILMIAH AKHIR NERS"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGOPTIMALAN PRAKTIK PERILAKU HIDUP BERSIH

DAN SEHAT (PHBS) SEBAGAI INTERVENSI

KEPERAWATAN KELUARGA PADA AN. MA DENGAN

KETIDAKSEIMBANGAN NUTRISI: KURANG DARI

KEBUTUHAN TUBUH DI KELURAHAN S DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

OLEH

SINTA DEWI 0906629662

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS

DEPOK JULI 2014

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGOPTIMALAN PRAKTIK PERILAKU HIDUP BERSIH

DAN SEHAT (PHBS) SEBAGAI INTERVENSI

KEPERAWATAN KELUARGA PADA AN. MA DENGAN

KETIDAKSEIMBANGAN NUTRISI: KURANG DARI

KEBUTUHAN TUBUH DI KELURAHAN S DEPOK

Karya tulis ilmiah akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

OLEH

SINTA DEWI 0906629662

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK JULI 2014

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : SINTA DEWI

NPM : 0906629662

Tanda Tangan :

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Karya ilmiah akhir ini diajukan oleh :

Nama : SINTA DEWI

NPM : 0906629662

Program Studi : Ners

Judul KIA : Pengoptimalan Praktik Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai Intervensi Keluarga pada An. MA dengan Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh di Kelurahan S Depok

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Profesi Ners pada program Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Henny Permatasari, S.Kp. M.Kep.Sp.Kom ( )

Penguji : Hera Hastuti, M.Kep., Sp.Kep.Kom ( )

Ditetapkan di : Depok

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia yang diberikan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar profesi Ners pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Karya ilmiah akhir ini memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep serta hasil yang diperoleh dari asuhan keperawatan keluarga yang berjudul “Pengoptimalan Praktik PHBS sebagai Intervensi Keluarga pada An. MA dengan Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh di RW 02 Kelurahan S Depok”. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai penyusunan karya ilmiah akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena itu, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

(1) Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph.D. selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

(2) Ibu Kuntarti, S.Kp., M.Biomed selaku Ketua Program Studi Sarjana Keperawatan dan Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. (3) Ibu Henny Permatasari, S.Kp. M.Kep.Sp.Kom selaku dosen pembimbing

yang telah memberikan bimbingan dan saran-saran selama penulisan karya ilmiah akhir ini.

(4) Ibu Ns. Fajar Tri Walujati, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.An selaku koordinator mata ajar karya ilmiah akhir program profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan juga sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan moral dan doa untuk penulis.

(5) Ibu Kader RW 02 Kelurahan Sukatani Tapos, Depok yang telah membantu proses pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga sehingga dapat berjalan dengan lancar.

(6)

(6) Keluarga Bpk I dan Bpk Z yang telah bersedia menjalani proses pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga sehingga dapat berjalan dengan lancar.

(7) Orang tua dan juga keluarga yang tercinta yang tanpa lelah memberikan dukungan moral, material, dan doa yang tidak mampu terbalaskan selama menyiapkan karya tulis ilmiah ini.

(8) Teman-teman seperbimbingan dan teman-teman FIK UI angkatan 2009 yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doanya.

(9) Semua pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam proses penyelesaian karya ilmiah akhir ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan di masa akan datang dan kiranya dapat menjadi rujukan untuk penulisan yang lebih baik.

Jakarta, 14 Juli 2014 Penulis

Sinta Dewi

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : SINTA DEWI

NPM : 0906629662

Program Studi : Profesi Keperawatan

Fakultas : Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jenis karya : Karya Ilmiah Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Pengoptimalan Praktik Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai Intervensi Keluarga pada An. MA dengan Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh di Kelurahan S Depok”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 14 Juli 2014

Yang menyatakan

SINTA DEWI (0906629662)

(8)

ABSTRAK

Nama : Sinta Dewi, S.Kep. Program Studi : Profesi Ners

Judul : Pengoptimalan Praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai Intervensi Keperawatan Keluarga pada An. MA dengan Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh di Kelurahan S Depok

Gizi kurang merupakan salah satu masalah kesehatan balita yang memiliki keterkaitan dengan masalah infeksi. Upaya preventif diperlukan dalam menangani infeksi untuk mengatasi masalah gizi kurang. Intervensi keperawatan unggulan berupa pendidikan kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dan melatih kemampuan psikomotor cuci tangan dengan sabun. Tujuannya mengurangi angka kejadian infeksi dalam keluarga. Evaluasi terjadi peningkatan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor keluarga dalam praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, peningkatan berat badan anak dari 7 kg menjadi 7,8 kg, serta teratasinya masalah infeksi. Intervensi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ini dapat digunakan oleh perawat komunitas/keluarga sebagai upaya menangani masalah gizi kurang di masyarakat.

(9)

ABSTRACT

Name : Sinta Dewi, S.Kep. Study Program : Nurse

Title : The Optimum of Healthy and Clean Life Behaviour (HCLB) Practice as The Family Nursing Intervention to child MA with Imbalanced Nutrition: Less Than Body Requirements in Kelurahan S Depok

Malnutrition was one of the urban health problems for toddler that had being related to infection. Some prevention efforts needed to handle the infection in overcome malnutrition. The excellence nursing intervention such as health education about the healthy and clean life behavior practice and psychomotor skill training in hand washing with soap. It’s aimed to decrease the number of infection in family. Evaluation shown the increase ability of kognitive, affective, and psychomotoric skills of family in run the healthy and clean life behavior practice, the increase of body weight of child from 7 kg to 7,8 kg, and the overcome of infection problems. Intervention of the healthy and clean life behavior practice could be used by the community nurses as an efforts in overcome malnutrion in society.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi

ABSTRAK vii DAFTAR ISI ix DAFTAR LAMPIRAN xi 1. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan Penulisan 6 1.2.1 Tujuan Umum 6 1.2.2 Tujuan Khusus 6 1.3 Manfaat Penulisan 6 1.3.1 Manfaat Aplikatif 6 1.3.2 Manfaat Keilmuan 6

1.3.3 Manfaat untuk Instansi 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Balita sebagai Agregate at Risk 8

2.1.1 Pengertian 8

2.1.2 Faktor Penyebab Kelompok Berisiko 8

2.1.3 Penyebab Balita Rawan Gizi 11

2.2 Pemenuhan Gizi pada Balita 11

2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Keadaan Nutrisi pada Balita 12 2.3 Gizi Kurang sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat Perkotaan 12 2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi 13

2.4 Keperawatan Komunitas 14

2.4.1 Pengertian 14

2.4.2 Peran Perawat Komunitas 15

2.5 Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Anak Usia Balita 17

2.5.1 Pengertian 17 2.5.2 Pengkajian 18 2.5.3 Diagnosa Keperawatan 20 2.5.1 Perencanaan Keperawatan 22 2.5.2 Implementasi 22 2.5.3 Evaluasi 23

2.6 Intervensi Unggulan: Praktik Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) 23

2.6.1 Pengertian 23

2.6.2 Jenis Praktik PHBS 24

2.6.3 Manfaat Pelaksanaan PHBS 25

(11)

3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 29 3.1 Pengkajian 29 3.2 Diagnosa Keperawatan 32 3.3 Perencanaan Keperawatan 32 3.4 Implementasi 35 3.5 Evaluasi 37

3.6 Rencana Tindak Lanjut 39

4. ANALISA SITUASI 41

4.1 Profil Lahan Praktik 41

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan

Konsep Kasus Terkait 42

4.3 Analisis Intervensi Pengoptimalan Praktik PHBS

dengan Konsep dan Penelitian Terkait 48

4.4 Alternatif Pemecahan yang dapat Dilakukan 52

5 KESIMPULAN DAN SARAN 53

5.1 Kesimpulan 53

5.2 Saran 53

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Pengkajian 61

Hasil Pemeriksaan Fisik 71

Analisa Data 73

Rencana Asuhan Keperawatan 74

Catatan Keperawatan 86

Evaluasi Sumatif 92

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Millennium Development Goals (MDG’s) merupakan suatu indikator dalam melihat perkembangan status kesehatan di dunia. Perkembangan ini dilihat dengan tercapainya 8 tujuan, yaitu: 1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan, 4) menurunkan angka kematian anak, 5) meningkatkan kesehatan ibu, 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Berdasarkan keterkaitannya dengan masalah status gizi balita, tujuan yang harus dicapai adalah Goal 1 dan Goal 4. Goal 1 yang memiliki tujuan memberantas kemiskinan dan kelaparan memiliki indikator salah satunya yaitu prevalensi balita kekurangan gizi. Goal 4 yang memiliki tujuan menurunkan angka kematian anak memiliki indikator angka kematian anak. Sehingga untuk mencapai dua tujuan ini dilakukan program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Masalah gizi kurang yang terjadi di Indonesia saat ini pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan; kurangnya persediaan pangan; kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi); kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan; dan adanya daerah miskin gizi (Almatsier, 2005).

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merefleksikan dari gizi apa yang yang telah diperoleh dalam konsumsi makanan sehari-hari. Status gizi dikatakan baik apabila makanan yang dikonsumsi memiliki keseimbangan banyak dan jenis makanan yang disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Apabila makanan dikonsumsi melebihi kebutuhan tubuh, maka akan mengalami kegemukan. Sebaliknya jika makanan yang dikonsumsi kurang dari kebutuhan tubuh, maka kondisi tubuh akan kurus dan mudah sakit-sakitan. Kedua kondisi ini dapat disebut dengan gizi salah karena kedua kondisi ini merupakan kondisi yang tidak baik atau tidak diharapkan (Astawan, 2002). Menurut Depkes RI 1999 dalam Purba (2005), status gizi

(14)

merupakan salah satu determinan utama status kesehatan penduduk. Salah satu indikator dari status gizi adalah tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak bawah lima tahun (balita) yang didasarkan pada Berat Badan menurut Umur (BB/U).

Menurut hasil UNICEF-WHO pada tahun 2012 terdapat 101 juta anak di bawah lima tahun di seluruh dunia mengalami berat badan kurang, dimana hasil ini menurun dibandingkan dengan perkiraan sebanyak 159 juta pada tahun 1990. Namun kemampuan mereka dapat dikatakan mengalami penurunan sejak tahun 1990. WHO juga memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak (WHO, 2011).

Sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yang menjadi target pencapaian dalam peningkatan status gizi adalah MDG 1 - target 1c yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang hingga setengahnya dalam kurun waktu (1990-2015). Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator MDGs yang harus dicapai di suatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6% atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5% (Yuwono, Slamet R., 2013). Namun, pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Indonesia sendiri pada tahun 2010 masih memiliki banyak wilayah yang belum mencapai MDG 2015 sebanyak 24 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Namun pada tahun 2014, didapatkan estimasi status pencapaian MDG ini meningkat sehingga wilayah yang belum mencapai MDG 2015 hanya sebanyak 9 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Hasil data yang didapatkan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 secara nasional menunjukkan besaran prevalensi balita berat badan kurang adalah sebesar 19,6 % yang terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9 % gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 4,9 % pada tahun 2010, dan 5,7 % tahun 2013. Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015

(15)

yaitu 15,5 % maka prevalensi gizi berat-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013 sampai 2015. (Bappenas, 2012). Untuk daerah Jawa Barat sendiri pada tahun 2010 prevalensi balita dengan gizi buruk dan kurus (BB/U) adalah 13,0% dengan mencakup 3,1% prevalensi Balita dengan gizi buruk dan 9,9% prevalensi Balita dengan gizi kurang. Namun berdasarkan grafik Riskesdas 2013 didapatkan bahwa terjadi peningkatan persentase prevalensi balita dengan gizi berat-kurang (BB/U) di Jawa Barat dari prevalensi Riskesdas 2010 (antara 15-20%). Daerah Depok sendiri juga memiliki cakupan balita gizi buruk dan kurang sebesar 5,18% (Dinas Kesehatan Depok, 2005).

Wilayah kelurahan Sukatani berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Depok 2008 memiliki 11 balita (0,11%) yang mengalami gizi buruk dan 200 balita (2,18%) dengan gizi kurang. Sehingga pada tahun 2008 wilayah Sukatani atau lebih tepatnya Kecamatan Cimanggis menjadi wilayah Bebas Rawan Gizi karena memiliki prevalensi gizi buruk dan kurang sebesar 3,23%. Berdasarkan hasil penghitungan kepada 111 warga RW 02 Kelurahan Sukatani, Tapos - Depok dengan balita yang aktif mengikuti posyandu pada bulan April 2014, didapatkan data bahwa 13 balita (11.7%) status gizi berada pada rentang garis merah (gizi buruk), 25 balita (22.5%) %) status gizi berada pada rentang garis kuning (gizi kurang), 65 balita (58.6%) %) status gizi berada pada rentang garis hijau (normal), dan 8 balita (7.2%) %) status gizi berada pada rentang garis kuning (risiko obesitas).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan, baik melalui pendekatan strategis maupun pendekatan taktis. Pendekatan strategis yang dilakukan adalah dengan berupaya mengoptimalkan operasional pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan pelayanan kesehatan balita diantaranya pengoptimalan fungsi Posyandu. Pendekatan taktis dengan upaya mengantisipasi peningkatan prevalensi balita gizi buruk serta upaya untuk menurunkannya melalui berbagai kajian atau penelitian yang berkaitan dengan masalah gizi pada balita. Saat ini Pemerintah juga memiliki kebijakan yang bertujuan untuk mencapai target MDG’s. Dimana hasil pertemuan Surveilans Gizi pada awal Juni lalu mendapatkan kesepakatan dan rekomendasi dalam mempercepat capaian

(16)

MDG’s dalam hal tenaga pelaksana gizi, wawasan, sarana, pelayanan, pemberdayaan masyarakat, aspek legalitas, dan sistem informasi terkait kesehatan dan gizi (Departemen Kesehatan, 2014).

Praktik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan merupakan suatu mata kuliah unggulan dari FIK UI dimana di dalamnya mahasiswa memiliki tugas untuk dapat langsung berperan sebagai perawat komunitas. Sebagai perawat komunitas, mahasiswa akan melakukan asuhan keperawatan komunitas terhadap lingkungan di wilayah Kota Depok. Praktik keperawatan ini salah satunya yaitu sebagai upaya memberikan pelayanan kesehatan terkait masalah kesehatan gizi kurang pada balita. Keperawatan keluarga yang diaplikasikan ini bertujuan untuk mengatasi masalah gizi kurang yang masih sering terjadi di masyarakat perkotaan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan melihat sasaran praktik keperawatan dimana keluarga dianggap sebagai klien. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah, memperbaiki ataupun mengabaikan masalah kesehatan di dalam kelompoknya sendiri. Sehingga dalam hal ini peran perawat keluarga adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan, pengenal/pengamat masalah, koordinator pelayanan kesehatan, pendidik kesehatan, dan penyuluh serta konsultan (Setiadi, 2008).

Asuhan keperawatan keluarga diberikan kepada keluarga Bapak Z, khususnya pada anak MA (18 bln) dengan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Dimana hasil pengkajian yang ditemukan adalah berat badan (BB) anak MA berada di bawah garis merah KMS dengan BB 7 kg (April 2014). Berdasarkan grafik bagan MTBS dengan tinggi badan (TB) 72 cm, status An. MA berada pada rentang -1SD s/d 2SD (kurus). Bahkan sebelumnya Ibu D selalu membawa An. MA setiap bulannya untuk konsultasi gizi di Puskesmas dan selalu diberikan PMT (Pemberian Makanan Tambahan). Namun, Ibu D merasa BB An. MA masih tetap tidak naik. Padahal Ibu D mengaku selalu memberikan An. MA pola makan gizi seimbang setiap harinya.

Berdasarkan pengkajian lingkungan rumah keluarga Bpk. Z dapat dilihat bahwa luas bangunan rumah (36 m2 atas - 18 m2 bawah) tidak sepadan dengan jumlah

(17)

anggota keluarga (11 orang). Selain itu, di depan rumah terdapat kardus-kardus dan plastik-plastik bekas yang biasa dijemur di depan rumah. Sehingga lingkungan rumah terlihat kumuh dan kotor. Sanitasi lingkungan sangat menentukan keberhasilan dari paradigma pembangunan kesehatan lingkungan dan status gizi khususnya pada balita yang lebih menekankan pada aspek pencegahan (preventif) dari pada aspek pengobatan (kuratif). Selain itu, ditemukan pula data bahwa An. MA sedang mengalami masalah kesehatan ISPA dan demam. Ibu D pun sering memeriksakan keadaan An. MA ke Puskesmas Cibubur.

Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang umum terjadi pada balita. UNICEF dalam Soekirman (2002) menjelaskan bahwa anak yang mendapat makanan yang cukup tetapi diserang diare atau infeksi, nafsu makan menurun, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya, anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuh melemah, mudah diserang infeksi. Kebersihan lingkungan, tersedianya air bersih, dan berperilaku hidup bersih dan sehat akan menentukan tingginya kejadian penyakit infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2007, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kejadian diare dan ISPA adalah perilaku cuci tangan pakai sabun. Karena perilaku tersebut dapat menurunkan hampir separuh kasus diare dan sekitar seperempat kasus ISPA. Sehingga sebagai salah upaya preventif dalam mencegah infeksi yang berujung pada masalah gizi kurang dilakukan demonstrasi cuci tangan dengan sabun.

Upaya preventif yang baik dapat membuat angka kejadian penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan dapat dicegah (Slamet, 2009). Sehingga diberikan intervensi unggulan yaitu pengoptimalan praktik Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan demonstrasi mencuci tangan dengan sabun sebagai salah satu upaya preventif untuk mencegah terjadinya penyakit. Keberhasilan intervensi diukur dengan melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Pada evaluasi sumatif didapatkan sedikit peningkatan berat badan pada An. MA dari 7 kg menjadi 7,8 kg. Selain itu, kini anggota keluarga Bpk. Z sudah mulai membiasakan praktik PHBS dalam kesehariannya, seperti mencuci tangan dengan sabun, menggunakan air bersih, jamban sehat, membuang sampah, menggunakan

(18)

pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Keluarga juga mengerti dengan apa yang dimaksud dengan PHBS. Terjadi pula peningkatan tingkat kemandirian keluarga yang awalnya hanya memiliki tingkat kemandirian I menjadi tingkat kemandirian III yaitu mampu merawat dan mencegah. Namun keluarga belum dapat melakukan tindakan promotif.

1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1 Tujuan Umum

Menggambarkan laporan hasil kegiatan praktek klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada keluarga oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia di RT 04 RW 02 Kel. Sukatani, Kec. Tapos, Depok.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Menggambarkan hasil pengkajian keluarga

b. Menggambarkan perencanaan keperawatan keluarga c. Menggambarkan tentang implementasi keluarga

d. Menggambarkan tentang evaluasi keperawatan keluarga

e. Menggambarkan tentang rencana tindak lanjut asuhan keperawatan keluarga praktik keperawatan komunitas

1.3 Manfaat Penulisan 1.3.1 Manfaat Aplikatif

a. Meningkatkan tingkat kemandirian keluarga dalam mempertahankan keseimbangan nutrisi pada balita sesuai dengan kebutuhan.

b. Meningkatkan kemampuan keluarga menjadi role model dalam mempertahankan keseimbangan nutrisi pada balita sesuai dengan kebutuhan.

1.3.2 Manfaat Keilmuan

Hasil penulisan diharapkan bermanfaat bagi keilmuan keperawatan komunitas untuk:

a. Meningkatkan wawasan pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga yang diberikan kepada keluarga yang memiliki balita dengan gizi kurang di RT

(19)

04 RW 02 Kelurahan Sukatani Tapos, Depok dalam mempertahankan keseimbangan nutrisi pada balita sesuai dengan kebutuhan. Upaya ini merupakan bagian dari program perawatan kesehatan masyarakat dalam aspek promotif, preventif, dan rehabilitatif.

b. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan profesionalisme perawat dalam asuhan keperawatan keluarga sebagai bentuk aplikasi program Perkesmas.

1.3.3 Manfaat untuk Instansi

a. Menjadi role model terhadap peran perawat dalam melaksanakan program Perkesmas di Puskesmas Sukatani, terkait dalam hal asuhan keperawatan keluarga di RT 04 RW 02 Kelurahan Sukatani Tapos, Depok.

b. Memberikan informasi dan data kepada Puskesmas Sukatani terkait prevalensi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh khususnya pada agregat balita di wilayah kerja Puskesmas Sukatani, Depok.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas mengenai literatur yang menjadi landasan penulis dalam menelaah dan menyimpulkan kasus ini. Pembahasan konsep dalam bab ini meliputi konsep balita, gizi pada balita, asuhan keperawatan keluarga dengan tahap perkembangan anak usia balita, teori keluarga, dan teori inovasi.

2.1 Balita sebagai Agregate at Risk 2.1.1 Pengertian

Balita merupakan istilah umum yang diungkapkan oleh Sutomo, B. dan Anggraeni, D.Y. (2010) bagi anak usia 1-3 tahun atau biasa disebut dengan anak batita dan anak prasekolah yaitu anak usia 3-5 tahun. Usia balita adalah usia dimana anak mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Golongan ini sangat rawan terhadap berbagai macam penyakit seperti infeksi dan juga rawan gizi. Stanhope dan Lancaster (2004) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelompok risiko merupakan suatu perkumpulan orang yang lebih berisiko untuk menderita suatu penyakit dibandingkan dengan yang lain. Suatu kelompok dikatakan berisiko jika memiliki faktor yang mendukungnya. Faktor-faktor tersebut dijelaskan oleh Stanhope dan Lancaster (2004) yaitu faktor biologi, lingkungan, ekonomi, gaya hidup dan peristiwa dalam kehidupan. Sehingga untuk melihat penempatan balita sebagai kelompok berisiko dapat dilihat faktor yang mempengaruhinya.

2.1.2 Faktor Penyebab Kelompok Berisiko 2.1.1.1 Faktor Biologi

Faktor yang mempengaruhi suatu kelompok menjadi berisiko pertama adalah faktor biologi. Faktor biologi ini merupakan faktor yang berasal dari diri sendiri, dapat berupa faktor fisik maupun faktor genetik. Faktor genetik salah satunya merupakan faktor gen yang diturunkan orang tua kepada anaknya. Sehingga masalah kesehatan yang sering terjadi merupakan jenis penyakit keturunan. Sehingga tidak ada cara bagi seorang anak untuk menghindari masalah kesehatan yang diturunkan secara genetik ini. Karena anak sudah mendapatkan faktor gen

(21)

dari kedua orang tuanya. Namun risiko masalah kesehatan masih dapat diminimalisir dengan perilaku hidup sehat (Stanhope & Lancaster, 2004).

2.1.1.2 Faktor Lingkungan

Selain genetik, lingkungan juga memiliki pengaruh yang besar yang dapat menyebabkan kelompok berisiko terhadap masalah kesehatan. Lingkungan merupakan suatu karakteristik seperti orang-orang, sumber dan fasilitas yang tersedia yang berada di sekitar tempat tinggal (Stanhope & Lancaster, 2004).

Lingkungan internal salah satunya keluarga dapat dikatakan sebagai suatu lingkungan yang terdekat bagi anak. Friedman (2003) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi keluarga yaitu pertama fungsi afektif, yaitu untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarganya dalam berhubungan dengan orang lain. Selain itu keluarga juga memiliki fungsi sosialisasi untuk mengembangkan dan sebagai tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Fungsi reproduksi, yaitu fungsi keluarga untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

Kemudian fungsi ekonomi, yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Dan terakhir fungsi pemeliharaan kesehatan dimana keluarga berfungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Berdasarkan kelima fungsi tersebut maka dapat dikatakan sebagai suatu sistem pendukung tercapainya kesehatan secara fisik dan psikologis bagi seluruh anggota keluarga sebagai individu yang berada di dalamnya (Friedman, 2003).

Selain lingkungan internal, terdapat lingkungan eksternal yang dapat menyebabkan kelompok berisiko terjadinya masalah kesehatan, seperti tingkat kriminalitas tinggi, polusi udara, kimia, suara dan minimnya fasilitas kesehatan

(22)

(Stanhope & Lancaster, 2004). Masalah kesehatan yang ditemukan dapat beragam salah satunya adalah penyakit infeksi yang umum terjadi di masyarakat.

2.1.1.3 Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi dapat dikatakan merupakan faktor yang ditimbulkan dari kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sehingga apabila keluarga tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya, maka keluarga tidak dapat mempertahankan kondisi kesehatannya (Stanhope & Lancaster, 2004). Balita dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya masih memiliki ketergantungan penuh terhadap keluarga.

Friedman (2003) menjelaskan salah satu keluarga yaitu fungsi ekonomi dimana keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga jika keluarga tidak dapat memenuhinya, maka balita sebagai salah satu anggota keluarga akan lebih berisiko mengalami masalah kesehatan. Salah satu contohnya adalah jika anak tumbuh dalam keluarga yang memiliki masalah ekonomi (Stanhope & Lancaster, 2004).

2.1.1.4 Faktor Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan kebiasaan yang sulit dilepaskan ini akan berdampak pada terjadinya ancaman terhadap kesehatan. Terutama gaya hidup yang berisiko yaitu gaya hidup yang cenderung tidak sehat (Stanhope & Lancaster, 2004). Keluarga sebagai lingkungan terdekat bagi anak memiliki fungsi afektif, yaitu untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarganya dalam berhubungan dengan orang lain. Tak hanya siap berhubungan dengan orang lain, tetapi juga diri anggota keluarganya masing-masing dengan mengajarkan dan menanamkan gaya hidup sehat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko masalah kesehatan (Friedman, 2003).

(23)

2.1.1.5 Faktor Peristiwa dalam Kehidupan

Faktor peristiwa di sini merupakan salah satu faktor yang menimbulkan reaksi emosional bagi anggota keluarga. Peristiwa yang menjadi faktor ini merupakan suatu kejadian dalam kehidupan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti pindah tempat tinggal, anggota keluarga meninggalkan rumah, kehilangan anggota keluarga, dan ada anggota keluarga baru (Stanhope & Lancaster, 2004). Sehingga hal tersebut dapat membuat perubahan bagi setiap anggota keluarga.

2.1.3 Penyebab Balita Rawan Gizi

Beberapa anggapan kondisi yang menyebabkan balita mudah mengalami kekurangan gizi (rawan gizi) dan gangguan kesehatan, antara lain disebabkan karena balita merupakan anak yang masih berada pada masa transisi dari makanan bayi menuju makanan dewasa. Sehingga adanya perubahan bentuk pada jenis makanan mereka. Balita biasanya sudah memasuki masa dimana sudah memiliki adik ataupun ibunya sudah bekerja penuh, sehingga perhatian yang diterima anak balita berkurang. Balita yang sudah dapat berjalan akan mulai bermain di tanah atau di luar rumahnya sehingga lebih bebas terpapa dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan balita terkena infeksi dengan berbagai macam penyakit. Serta balita yang masih belum dapat mengurus dirinya sendiri, dimana dalam waktu yang sama ia harus dapat memilih makanannya sendiri dan ibunya juga sudah tidak begitu memperhatikan makanan anak balita karena dianggap sudah dapat memilih makanan yang disukainya (Notoatmodjo, 2003).

2.2 Pemenuhan Gizi pada Balita

Memasuki usia 1 tahun, anak akan mulai belajar untuk makan sendiri. Semua ini diawali dengan rasa keinginannya untuk makan sendiri. Namun orang tualah yang masih memiliki peran untuk memilihkan makanan yang baik anak. Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap artinya kualitas dan makanan harus baik dan kuantitas makanannya pun harus cukup, dan bergizi artinya makanan sudah mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan. Kebutuhan zat gizi pada balita harus cukup dan seimbang karena balita merupakan masa dimana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi dengan pesat. Menurut Uripi (2004) kebutuhan zat gizi pada balita adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk

(24)

memelihara kesehatan. Kebutuhan gizi ini ditentukan oleh usia, jenis kelamin, berat badan, aktivitas, dan tinggi badan.

Angka Kecukupan Gizi (AKG) Balita di Indonesia pada tahun 2013 adalah pada usia 1-3 tahun dengan BB 12 kg dan TB 90 cm, energi yang dibutuhkan adalah 1000 kkal dan protein 25 gram. Dan pada usia 4-6 tahun dengan BB 17 kg dan TB 110 cm, energi yang dibutuhkan adalah 1550 kkal dan protein 39 gram. Konsumsi pangan yang cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor yang menentukan agar proses tumbuh kembang anak balita menjadi lebih optimal dan memiliki daya tahan tubuh yang kuat (Depkes RI, 2000).

2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Keadaan Nutrisi pada Balita

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keadaan nutrisi pada balita, yaitu sebagai berikut: 1) nafsu makan yang berubah-ubah, 2) penyajian porsi makan yang terlalu besar, seharusnya disarankan sedikit tapi sering, 3) kurangnya perhatian orang tua dalam memilih bahan makanan yang bernilai gizi baik, 4) pengaruh kebiasaan jajan, 5) kurangnya kemampuan orang tua dalam menyusun makanan anak-anak yang beraneka ragam dan memiliki gizi yang seimbang, 6) memerlukan adaptasi dalam masa peralihan atau transisi dari makanan bayi menuju makanan dewasa, 7) masih belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik dan belum dapat berusaha untuk mendapatkan sendiri apa yang diperlukan untuk makanannya, 8) kondisi orang tua yang memiliki anak lagi atau ibu yang sudah mulai bekerja kembali sehingga tidak dapat memberikan perhatian yang penuh kepada anak apalagi mengurusnya (Notoatmodjo, 2003).

2.3 Gizi Kurang sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat Perkotaan

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Masalah gizi masyarakat pada dasarnya adalah masalah konsumsi makanan rakyat. Sehingga dalam program peningkatan gizi sangat diperlukan suatu pendekatan dan penggarapan di berbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain sebagainya (Suhardjo, 2003). Keadaan gizi kurang yang terjadi

(25)

pada anak-anak dapat mempunyai dampak pada pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Sehingga anak yang mengalami gizi kurang, kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap akan mengalami keterbatasan dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso & Anne, 2004).

Suhardjo (2003) menjelaskan dampak dari masalah gizi yang dapat mempengaruhi pembangunan bangsa di masa depan, antara lain sebagai penyebab utama kematian bayi dan anak-anak, sehingga kuantitas sumber daya manusia di masa depan berkurang. Banyaknya masalah gizi di masyarakat dapat meningkatkan angka kesakitan dan menurunkan produktivitas kerja manusia, sehingga diperlukan peningkatan fasilitas kesehatan. Asupan gizi yang kurang menyebabkan menurunnya tingkat kecerdasan anak-anak, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Tak hanya itu, daya tahan manusia juga menurun untuk dapat bekerja, sehingga prestasi dan produktivitas kerja manusia menurun.

2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah digunakan secara internasional dan diperkenalkan oleh UNICEF. UNICEF menjelaskan bahwa faktor-faktor tersebut meliputi beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Berdasarkan Soekirman dalam materi Aksi Pangan dan Gizi nasional (Depkes RI, 2000) telah dijelaskan penyebab kurang gizi secara langsung dan tidak langsung.

Penyebab langsung yaitu faktor penyebab yang memiliki kontak langsung pada individu seperti makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Makanan yang kurang menyebabkan anak tidak memperoleh gizi secara cukup sesuai dengan kebutuhan. Namun, anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat juga menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi (Depkes RI, 2000). Anak yang mendapat makanan yang cukup tetapi diserang diare atau infeksi akan menunjukkan nafsu makan menurun, akhirnya dapat menderita gizi kurang.

(26)

Sebaliknya, anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuh melemah, mudah diserang infeksi. Kebersihan lingkungan, tersedianya air bersih, dan berperilaku hidup bersih dan sehat akan menentukan tingginya kejadian penyakit infeksi.

Penyebab tidak langsung berasal ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan meliputi tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh seluruh keluarga (Depkes RI, 2000).

Faktor-faktor tersebut sangat terkait dan tidak dapat lepas dari tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

2.4 Keperawatan Komunitas 2.4.1 Pengertian

Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan biopsikososiol dan spiritual yang komprehensif yang ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat. Komunitas atau masyarakat adalah kelompok sosial yang ditentukan oleh batas-batas wilayah, nilai keyakinan dan minat yang sama serta adanya saling mengenal dan berinteraksi antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya (Stanhope & Lancaster, 2004).

(27)

Keperawatan komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang ditujukan pada masyarakat dengan penekanan kelompok resiko tinggi dalam upaya pencapaian derajat kesehatan optimal melalui peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemeliharaan dan rehabilitasi dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan melibatkan klien (individu dan keluarga/komunitas) sebagai mitra dalam perencanaan pelaksanaan dan evaluasi pelayanan keperawatan (Anderson & McFarlane, 2007). Menurut American Nursing Association tahun 2005, keperawatan komunitas berfokus pada upaya promosi dan pelayanan yang menyeluruh untuk meningkatkan kondisi kesehatan.

2.4.2 Peran Perawat Komunitas

Perawatan Kesehatan Masyarakat (PerKesMas) adalah lapangan khusus yang merupakan gabungan keterampilan ilmu keperawatan, ilmu kesehatan masyarakat dan bantuan sosial, sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat secara keseluruhan guna meningkatkan kesehatan, penyempurnaan kondisi sosial, perbaikan lingkungan fisik, rehabilitatif, pencegahan penyakit dan bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada keluarga yang sehat, individu yang sakit dan tidak dirawat di rumah sakit beserta keluarganya, kelompok masyarakat khusus yang mempunyai masalah kesehatan dimana hal tersebut akan mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan (Helvie 1998; Smith & Maurer,1995 dan Hitchcock, Schubert, & Thomas, 2003).

Perawatan komunitas adalah pelayanan keperawatan profesional yang ditujukan kepada masyarakat dengan penekanan pada kelompok beresiko tinggi, dalam pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan, dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dan melibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan pelaksanaan dan evaluasi pelayanan keperawatan. (Allender & Spradley, 2005). Perawat komunitas memiliki peranan penting dalam mengatasi masalah gizi kurang pada anak yang terjadi di masyarakat. Perawat komunitas memiliki peranan dalam menghadapi masalah kesehatan dengan melakukan intervensi yaitu secara primer, sekunder, dan tersier pada level individu, keluarga maupun

(28)

masyarakat (Helvie, 1998). Kegiatan perawat komunitas dalam membantu komunitas mengatasi masalah kesehatan, perawat komunitas dapat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat, pendidik kesehatan, konselor, koordinator, konsultan, peneliti dan kolaborator. (Helvie 1998; Smith & Maurer,1995 dan Hitchcock, Schubert, & Thomas, 2003).

Perawat memberikan asuhan keperawatan secara langsung terhadap klien, melalui kegiatan pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi. (Helvie, 1998). Perawat komunitas sebagai advokasi diharapkan tanggap terhadap kebutuhan komunitas dan mampu mengkomunikasikan kebutuhan komunitas kepada pemberi pelayanan kesehatan secara tepat, mampu menggunakan sumber-sumber dan dukungan yang tersedia di masyarakat, membantu mengambil keputusan guna mempertahankan dan meningkatkan kesehatan pada individu, kelompok maupun masyarakat (Hitchcock, Schubert, & Thomas, 2003). Terkait dalam asuhan keperawatan keluarga ini, perawat diharapkan dapat mengkomunikasikan bahwa masyarakat yang memiliki masalah gizi kurang memerlukan pelayanan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif agar dapat menanggulangi masalah gizi kurang melalui perilaku yang hidup bersih dan sehat.

Perawat sebagai pendidik mampu memberikan informasi kesehatan yang dibutuhkan melalui pendidikan kesehatan pada komunitas dan keluarga (Hitchcock, Schubert, & Thomas, 2003). Terkait asuhan keperawatan keluarga ini, perawat dapat memberikan informasi tentang bagaimana perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam merawat anak dengan masalah gizi kurang, cara menceggahnya dan bagaimana memodifikasi lingkungan atau suasana agar tidak terjadi masalah gizi kurang. Sebagai koordinator perawat harus mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi sumber-sumber yang ada di komunitas, memotivasi dan melakukan koordinasi dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan pada populasi dan keluarga dengan masalah kesehatan (Helvie, 1998). Terkait asuhan keperawatan keluarga ini, perawat perlu bekerjasama dengan pihak pemerintah maupun non-pemerintah untuk mendapatkan dukungan.

(29)

Peran dan fungsi perawat sebagai konseling dapat diberikan pada individu dan keluarga dalam membantu mengatasi masalah, beradaptasi terhadap konsekuensi adanya gangguan kesehatan serta meningkatkan hubungan interpersonal di antara anggota keluarga (Smith & Maurer, 1995). Gizi kurang merupakan masalah kesehatan yang berbasis lingkungan dan perilaku, dalam hal ini perawat dapat melakukan konseling untuk dapat merubah perilaku individu, keluarga agar terhindar dari masalah kesehatan gizi kurang, dan memodifikasi lingkungan. Peran perawat sebagai kolaborasi dapat dilaksanakan antara perawat dengan klien, tim kesehatan lain, serta pihak terkait baik pemerintah maupun swasta dalam memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif dalam upaya penyelesaian masalah (Helvie, 1998).

Peran perawat sebagai peneliti diharapkan mampu membaca riset terkini dan menerapkan penemuan riset tersebut pada praktik sebagai bagian dari aktifitas profesional (Hitchcock, Schubert, & Thomas, 2003). Sedangkan peran perawat sebagai konsultan, perawat membantu klien untuk memahami masalah dan membantu mereka dalam mengambil keputusan yang tepat serta sebagai katalisator untuk membuat individu berubah dan menggunakan perubahan. Keluarga dengan balita dengan gizi kurang dapat melakukan konsultasi dengan perawat untuk memahami betul tentang gizi kurang (Anderson & McFarlane, 2007).

2.5 Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Anak Usia Balita 2.5.1 Pengertian

Keterlibatan keluarga dalam mendukung perkembangan dapat dilihat dari lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan terdekat bagi anak. Sehingga dalam mendukung hal tersebut, terdapat beberapa tugas keluarga yang dijelaskan dalam Friedman (2010) dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu memiliki tugas utama mensosialisasikan anak dengan lingkungannya sehingga anak mengalami pengembangan sikap yang kritis dan cepat belajar dari lingkungannya. Kedua, keluarga memiliki tugas untuk memberikan pola asuh yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Selain itu, keluarga juga memiliki tugas dalam mengintegrasikan anak dengan anggota keluarga lainnya dan

(30)

mempertahankan hubungan yang sehat di dalam keluarga baik hubungan pernikahan maupun antara orang tua dan anak. Selain itu, keluarga juga memiliki tugas dalam mengajarkan praktik kesehatan yang baik seperti istirahat, olahraga dan pemenuhan nutrisi. Pemenuhan nutrisi di sini dapat dikatakan dengan pemenuhan gizi seimbang dan pentingnya gizi bagi tubuh.

Sehingga dalam pemenuhan gizi seorang anak, lingkungan keluarga sangat berpengaruh sebagai salah satu lingkungan terdekat bagi anak. Berdasarkan tugas-tugas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keluarga harus memiliki pemahaman dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan gizi yang tepat yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Dalam praktek komunitas ini, perawat memiliki tujuan utama dalam membantu keluarga untuk dapat hidup sehat secara mandiri dalam memfasilitasi pertumbuhan fisik, mental, emosional, dan sosial anak secara optimal. Sebagai lingkungan terdekat bagi anak, maka keluarga harus dilibatkan sebagai mitra dalam pemberian asuhan keperawatan baik promotif, preventif dan kuratif agar dapat menjadi sumber kesehatan primer yang efektif (Friedman, 2010).

Asuhan keperawatan komunitas meliputi proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksananaan dan evaluasi. Langkah-langkah dalam proses keperawatan tersebut yaitu:

2.5.2 Pengkajian

Pengkajian komunitas bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan anggota masyarakat agar dapat mengembangkan strategi promosi kesehatan (Anderson & McFarlane, 2007). Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih menekankan pada pengkajian keluarga dengan tahap perkembangan anak usia balita yang menjadi bagian masyarakat perkotaan dengan masalah kesehatan gizi kurang. Proses pengkajian disesuaikan dengan Friedman (1998) yang membagi pengkajian keperawatan keluarga ke dalam dua tahap, dimana pada tahap pertama dilakukan proses pengkajian yang meliputi mengindentifikasi data, tahap dan riwayat perkembangan, data lingkungan,

(31)

struktur keluarga, fungsi keluarga dan koping keluarga. Tahap kedua dilakukan proses pengkajian dengan mengaitkan kepada fungsi kesehatan keluarga.

Pada pengkajian tahap II, secara lebih lanjut Friedman (1998) menjelaskan bahwa pengkajian pada tahap ini lebih dispesifikan kepada fungsi kesehatan keluarga. Friedman menjelaskan lima fungsi dasar keluarga, yaitu pertam keluarga memiliki fungsi untuk mengenal masalah kesehatan. Keluarga memiliki tugas untuk dapat mengenal masalah kesehatan yang terjadi setiap anggota keluarga. Sehingga dalam hal ini telah dilakukan pengkajian terhadap keluarga terkait masalah kesehatan yang saat ini dialami oleh anggota keluarga yaitu masalah gizi kurang. Pengkajian ini bertujuan untuk menilai pengetahuan keluarga terkait gizi kurang yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, penyebab, dan mengidentifikasi anggota keluarga yang menderita (Friedman, 1998).

Kedua, keluarga memiliki fungsi mengambil keputusan terhadap tindakan kesehatan yang tepat. Pengkajian dilakukan untuk melihat upaya apa yang akan dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah gizi kurang pada anggota keluarga. Sehingga dapat terlihat keputusan apa yang akan diambil oleh keluarga yang juga disesuaikan atas pertimbangan keluarga dan dianggap tepat. Keputusan ini mempengaruhi tindkan perawatan apa yang akan diberikan terhadap masalah kesehatan tersebut. Fungsi ketiga, keluarga memiliki fungsi untuk dapat merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.Tindakan kesehatan yang telah ditetapkan oleh keluarga dapat dilakukan atas bantuan oleh institusi pelayanan kesehatan. Namun keluarga juga dapat memberikan promosi kesehatan dan perawatan bagi anggotanya yang sakit sebagai tanggung jawab primer serta dapat berkoordinasi dengan profesional kesehatan terkait layanan yang diberikan (Friedman, Bowden, & Jones, 2003).

Fungsi keempat terkait kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan. Pengkajian dilakukan dengan melihat kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan sebagai salah satu penerapan fungsi kesehatan serta bentuk upaya preventif terhadap masalah kesehatan anggota keluarga agar tidak berlanjut atau menimbulkan komplikasi. Kelima, keluarga memiliki fungsi untuk dapat

(32)

menggunakan fasilitas kesehatan masyarakat. Pengkajian dilakukan dengan melihat kemampuan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan masyarakat sebagai sumber informasi masalah kesehatan dan melakukan pengobatan. Serta mencari tahu alasan keluarga dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan tersebut (Friedman, Bowden, & Jones, 2003).

2.5.3 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa merupakan suatu pernyataan terkait hasil yang disimpulkan berdasarkan analisa data yang ditemukan pada hasil pengkajian. NANDA (2009) menyebutkan bahwa diagnosa keperawatan merupakan sebuah label singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Terkait perumusan diagnosanya sendiri dilakukan dengan menggunakan diagnosa tunggal tanpa ada etiologi (NANDA, 2012).

Banyak diagnosis keperawatan keluarga yang akan timbul menyertai suatu masalah kesehatan. Diagnosis yang timbul ini dapat diambil sesuai dengan hasil analisa data yang ditemukan setelah melakukan pengkajian terhadap keluarga. Terkait masalah kesehatan gizi, diagnosis keperawatan yang mungkin timbul di antaranya seperti: 1) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh, 2) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan, 3) Gangguan kerusakan gigi, 4) Defisit perawatan diri: makan, 5) Gangguan makan, 6) Ketidakefektifan pemliharaan kesehatan, 7) Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik keluarga, dan lain sebagainya (NANDA 2012-2014).

Beberapa diagnosa keperawatan yang umum pada keluarga dengan masalah kesehatan gizi kurang pada anak berdasarkan rujukan Diagnosa NANDA 2012-2014 akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik (NANDA, 2009). Batasan karaktristik dari masalah keperawatan ini meliputi : 1) Berat badan kurang dari 20% atau lebih di bawah berat badan ideal untuk tinggi badan dan rangka tubuh, 2) Asupan makanan kurang dari kebutuhan

(33)

metabolik, baik kalori total maupun zat gizi tertentu (non-NANDA International, 3) Kehilangan berat badan dengan asupan makanan yang adekuat, 4) Melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat kurang dari recommended daily allowance (RDA).

b. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan

Diagnosa ini didefinisikan dengan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi, mengelola, atau mencari bantuan untuk memelihara kesehatan (NANDA, 2009). Batasan karaktristik yang ditetapkan meliputi : 1) Kurangnya minat dalam meningkatkan perilaku sehat, 2) Menunjukkan perilaku yang kurang adaptif terhadap perubahan lingkungan, 3) Menunjukan pengetahuan yang kurang tentang praktik kesehatan dasar, 4) Riwayat kurangnya perilaku sehat, 5) Ketidakmampuan bertanggung jawab untuk memenuhi praktik kesehatan dasar, 6) Hambatan sistem pendukung pribadi, 7) Kurang menunjukan minat pada perbaikan perilaku sehat, 8) Melaporkan mengalami gangguan sistem pendukung pribadi, 9) Terbatasnya penggunaan dan tenaga pelayanan kesehatan, 10) Terbatasnya tindakan pencegahan

c. Ketidakefektipan manajemen regimen terapeutik keluarga

Diagnosis ini didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam proses keluarga, suatu program untuk pengobatan dan proses penyakit yang menyulitkan untuk memenuhi kesehatan khusus (NANDA, 2009). Batasan karakteristik yang ditetapkan meliputi : 1) Mengatakan keinginan untuk menatalaksana ataupun mencegah penyakit, 2) Mengalami kesulitan dalam melakukan program terapeutik, 3) Ketidaktepatan aktivitas keluarga untuk memenuhi tujuan kesehatan, 4) Kurang perhatian pada penyakit, 5) Mengalami kegagalan dalam mengurangi faktor resiko, 6) Proses peningkatan gejala penyakit yang tidak terduga.

Terkait dengan masalah kesehatan kekurangan gizi yang ditemukan pada keluarga binaan di wilayah RW 02 ini, mahasiswa telah mengambil diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Hal ini telah disesuaikan dengan analisa data dari hasil pengkajian yang ditemukan.

(34)

2.5.4 Perencanaan Keperawatan

Perencanaan merupakan tahap lanjut dalam proses keperawatan. Dimana dalam tahap ini mulai dilakukan perumusan masalah keperawatan dalam bentuk intervensi. Perencanaan merupakan suatu proses sistematik yang dibuat melalui kemitraan (bersama) dengan komunitas/ masyarakat. Sebelum membuat perencanaan mengenai intervensi yang akan dilaksanakan, terlebih dahulu dibuat prioritas masalah dengan menentukan skor dalam rentang 1 yang terendah dan 10 untuk rentang tertinggi. Prioritas masalah utama ditentukan dari jumlah skor yang paling tinggi. Setelah masalah dengan prioritas utama teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah membuat tujuan umum dan tujuan khusus serta rencana kegiatan (Anderson & McFarlane, 2007). Perencanaan keperawatan yang dibahas dalam penulisan karya ilmiah ini berfokus pada masalah keperawatan terkait ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

a. Intervensi Umum

Intervensi umum yang dilakukan adalah terkait dengan 5 fungsi kesehatan keluarga, yaitu: 1) Mengenal masalah gizi kurang, 2) Memutuskan tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah akibat gizi kurang, 3) Melakukan perawatan pada anggota keluarga dengan gizi kurang, 4) Keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang dapat meningkatkan status gizi anak serta mampu meningkatkan status kesehatan seluruh anggota keluarga, 5) Memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk mengatasi masalah gizi kurang (Friedman, Bowden, & Jones, 2003).

b. Kriteria Hasil

Kriteria hasil ditetapkan sebagai suatu tujuan atau target dalam penyelesaian masalah kesehatan dengan melihat jenis kriteria tertentu. Kriteria tersebut dapat berupa target waktu pencapaian, pengukuran kriteria hasil, kerealistisan, serta melihat pencapaian minimal satu kriteria hasil (Wilkinson & Ahern, 2009).

2.5.5 Implementasi

Setelah dilakukan perumusan tahapan-tahapan intervensi dalam perencanaan keperawatan, maka selanjutnya dilakukan proses implementasi, yaitu melakukan tahapan-tahapan intervensi tersebut. Pelaksanaan implementasi ini dilakukan

(35)

dengan melibatkan klien (individu, keluarga, masyarakat) ataupun dengan tim kesehatan lain. Pelaksanaan atau implementasi adalah fase tindakan dari proses keperawatan yang terkait dengan pelaksanaan rencana berfokus komunitas (Anderson & McFarlane, 2007). Implementasi berguna untuk mencapai tujuan yang telah dibuat. Selain itu, implementasi intervensi keperawatan berfungsi untuk meningkatkan, memelihara, atau memulihkan kesehatan, mencegah penyakit, dan memfasilitasi rehabilitasi.

2.5.6 Evaluasi

Sebagai tahap terakhir dari proses keperawatan dilakukan evaluasi yang tidak hanya sekedar melaporkan intervensi keperawatan telah dilakukan, namun juga untuk menilai apakah hasil yang diharapkan sudah terpenuhi (Potter & Perry, 2009). Keefektifan intervensi keperawatan keluarga dapat dilihat melalui pengkajian kembali terkait masalah kesehatan keluarga dan pemilihan rencana intervensi yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan.

2.6 Intervensi Unggulan : Praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Intervensi unggulan yang dilakukan pada keluarga dengan melakukan edukasi kesehatan terkait tindakan preventif dalam mengatasi faktor penyebab masalah gizi kurang yaitu dengan melakukan pengoptimalan praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Dalam rangka mengoperasionalkan paradigma sehat khususnya yang berkaitan dengan promosi kesehatan di Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia membuat Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 2269/MENKES/PER/XI/2011 yang mengatur upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat atau disingkat PHBS di seluruh Indonesia dengan mengacu kepada pola manajemen PHBS, mulai dari tahap pengkajian, perencanaan, dan pelaksanaan serta pemantauan dan penilaian.

2.6.1 Pengertian

Pelaksanaan PHBS berdasarkan Depkes (2007) adalah wujud keberdayaan masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktikkan PHBS dan semua

(36)

perilaku ini dilakukan atas kesadaran sendiri sehingga setiap anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan serta berperan aktif untuk dapat mewujudkan kesehatan masyarakat. Program PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku. Upaya yang dilakukan adalah dengan melalui tiga cara yaitu melalui pendekatan pimpinan (Advokasi), bina suasana (Social Support) dan pemberdayaan masyarakat (Empowerment). Dengan demikian masyarakat dapat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri, terutama dalam tatanan masing-masing, dan masyarakat/dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dengan menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Dinkes, 2006).

2.6.2 Jenis Praktik PHBS

Ada beberapa jenis praktik PHBS yang dapat dilakukan di rumah tangga berdasarkan Depkes (2006) yang dibagi berdasarkan bidangnya yaitu bidang gizi, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB), kesehatan lingkungan, pemeliharaan kesehatan, gaya hidup sehat (GHS), dan bidang obat dan farmasi. Jenis praktik PHBS dalam bidang Gizi, misalnya; pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita, makan dengan gizi seimbang, minum tablet besi selama hamil, memberi bayi ASI eksklusif, mengonsumsi garam beryodium dan memberi bayi dan balita kapsul vitamin A. Sedangkan praktik PHBS bidang KIA dan KB, misalnya; memeriksa kehamilan, persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, mengimunisasi bayi dan keluarga berencana. Praktik PHBS bidang Kesehatan Lingkungan, misalnya; cuci tangan dengan sabun, menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik nyamuk dan membuang sampah.

Praktik PHBS bidang Pemeliharaan Kesehatan, misalnya; memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan, pemanfaatan sarana kesehatan (puskesmas). Selanjutnya praktik PHBS bidang gaya hidup sehat (GHS), misalnya tidak merokok di dalam rumah, melakukan aktivitas/olah raga setiap hari, makan sayur dan buah setiap hari. Dan praktik PHBS bidang obat dan farmasi, misalnya memiliki tanaman obat

(37)

keluarga, menggunakan obat generik, minum oralit jika anak diare dan jauhkan anak dari bahan berbahaya/beracun.

2.6.3 Manfaat Pelaksanaan PHBS

Tujuan PHBS adalah untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemauan masyarakat agar hidup sehat, serta meningkatkan peran aktif masyarakat termasuk swasta dan dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat hidup yang optimal (Dinkes, 2006). Menurut Depkes (2006), terdapat tiga manfaat pelaksanaan PHBS yang dikelompokan menjadi tiga sasaran.

Pertama manfaat bagi rumah tangga dimana 1) Setiap anggota keluarga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit, 2) Balita tumbuh sehat dengan status gizi baik dan cerdas, 3) Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat, 4) Pengeluaran biaya rumah tangga dapat difokuskan untuk pemenuhan gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk peningkatan pendapatan keluarga. Sasaran kedua, manfaat bagi masyarakat : 1) Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat, 2) Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan, 3) Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM), seperti posyandu, jaminan pemeliharaan kesehatan, tabungan ibu bersalin, ambulance desa dan lain-lain.

Sasaran terakhir pemerintah kabupaten/kota memberikan manfaat: 1) Peningkatan persentase rumah tangga sehat menunjukkan kinerja dan citra pemerintah kabupaten/kota yang baik, 2) Biaya yang sedianya dialokasikan untuk penanggulangan masalah kesehatan dapat dialihkan untuk pengembangan lingkungan yang sehat dan penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau, 3) Kabupaten/kota dapat dijadikan pusat pembelajaran bagi daerah lain dalam pengembangan PHBS di rumah tangga.

2.6.4 Praktik Cuci Tangan sebagai Salah Satu Praktik PHBS

Salah satu praktik PHBS bidang Kesehatan Lingkungan adalah mencuci tangan dengan sabun. Jenis praktik ini merupakan praktik yang mudah dilakukan oleh

(38)

setiap masyarakat. Penerapan praktik ini juga dapat mendukung masyarakat memiliki kesadaran untuk hidup bersih dan sehat serta mencegah penyakit.

Rachmawati & Triyana (2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa cuci tangan merupakan suatu perilaku yang sederhana yang berguna untuk menghilangkan kotoran dan meminimalisir kuman yang ada di tangan dengan mengguyur air pada tangan dan juga dapat dilakukan dengan menambah bahan tertentu. Dengan adanya praktik cuci tangan diharapkan akan mencegah penyebaran kuman patogen melalui tangan. Teare pada tahun 1999 (Rachmawati & Triyana, 2008) mengatakan bahwa tangan telah disadari memiliki peran sebagai sarana transmisi kuman patogen sejak tahun 1840-an. Sehingga dengan adanya praktik cuci tangan diharapkan penyebaran kuman patogen melalui tangan dapat dicegah atau dikurangi.

Tindakan mencuci tangan memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah kuman pada tangan. Namun keefektifannya dapat dibedakan terkait dengan bahan tambahan yang digunakan dalam mencuci tangan. Widmer (2000) dalam penelitiannya menjelaskan cara mencuci tangan yang baik adalah mencuci tangan dengan menggunakan sabun plain (tidak mengandung anti mikroba) atau sabun antiseptik (mengandung anti mikroba), kemudian menggosok-gosok kedua tangan meliputi seluruh permukaan tangan dan jari-jari selama 1 menit, mencucinya dengan air dan mengeringkannya secara keseluruhan dengan menggunakan handuk sekali pakai. Meski sama-sama untuk membersihkan tangan, keampuhannya membunuh bakteri berbeda-beda jika dibandingkan dengan hanya menggunakan air saja. Sabun antibakteri memiliki bahan khusus yang dapat mengontrol bakteri di tangan. Ketika mencuci tangan dengan sabun antibakteri, sejumlah kecil bahan antibakteri turut bekerja.

Cuci tangan dengan menggunakan sabun menurut Depkes (2009) adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Penggunaan sabun selain membantu singkatnya waktu cuci

(39)

tangan, dengan menggosok jemari dengan sabun menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/ lemak/ kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Tak hanya bersih, namun masih ada hal positif yang didapatkan seperti bau wangi dan perasaan segar (Taufiq, Nyorong, & Riskiyani, 2013).

Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dikarenakan tangan merupakan pembawa kuman penyebab penyakit. Resiko penularan penyakit dapat berkurang dengan adanya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, perilaku hygiene, seperti cuci tangan pakai sabun pada waktu penting. Hasil ini sesuai dengan penelitian Fewtrell l, Kaufman RB, et al, (2005) perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan intervensi kesehatan yang paling murah dan efektif dibandingkan dengan intervensi kesehatan dengan cara lainnya dalam mengurangi resiko penularan berbagai penyakit salah satunya diare.

Pada tahun World Health Organization (WHO) juga telah melakukan penelitian, dimana salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kejadian diare dan ISPA adalah perilaku cuci tangan pakai sabun. Karena perilaku tersebut dapat menurunkan hampir separuh kasus diare dan sekitar seperempat kasus ISPA. Menurut Depkes (2009) waktu yang tepat untuk cuci tangan pakai sabun adalah sebelum makan, sesudah membersihkan anak BAB, sebelum menyiapkan makanan, sebelum memegang bayi dan sesudah buang air besar (Taufiq, Nyorong, & Riskiyani, 2013).

Langkah yang perlu dilakukan dalam mencuci tangan dengan sabun adalah setelah membasahkan kedua tangan dengan air mengalir, beri sabun secukupnya. Kemudian dilakukan 6 langkah mencuci tangan sesuai standar WHO (2006): 1) gosok kedua telapak tangan dengan sabun, 2) gosok kembali dengan posisi telapak tangan kanan berada di atas punggung tangan kiri, dan sebaliknya, 3) gosok telapak tangan dengan jari-jari saling terkait, 4) gosokkan punggung jari pada telapak tangan satunya dengan posisi saling mengunci, 5) ibu jari tangan kanan digosok memutar oleh telapak tangan kiri dan sebaliknya, 6) jari tangan kiri menguncup, lalu gosok memutar ke telapak tangan kanan, begitu juga sebaliknya. Kemudian bilas dengan air mengalir dengan langka yang sama.

(40)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka praktik mencuci tangan dengan sabun merupakan suatu cara mencuci tangan yang dapat dikatakan murah serta efektif dalam mengurangi risiko terjadinya penyakit dan menjaga kesehatan.

(41)

BAB 3

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

Bab ini akan dipaparkan hasil pengkajian pada keluarga Bapak Z, khususnya An. MA dengan masalah kesehatan gizi kurang, meliputi pengakjian data fokus, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi hasil terkait penyelesaian masalah keperawatan.

3.1 Pengkajian

Keluarga Bpk Z (25 tahun) bertempat tinggal di Sukatani RT. 004 RW. 02 Kecamatan Tapos, Kota Depok. Keluarga inti Bpk Z masih bergabung dengan keluarga besar istrinya yaitu Ibu D (23 tahun). Sehingga dapat dikatakan keluarga Bpk Z merupakan tipe keluarga Extended Family dengan tahap perkembangan anak balita, dimana anak pertama dan satu-satunya An. MA (18 bulan).

Tugas perkembangan keluarga dengan tahap perkembangan balita yang diemban keluarga Bpk Z menurut Friedman (2010) dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu di antaranya: 1) mempersiapkan menjadi orang tua, 2) adaptasi dengan perubahan adanya anggota keluarga, interaksi keluarga, hubungan seksual, dan kegiatan, 3) mempertahankan hubungan dalam rangka memuaskan pasangannya, 4) memenuhi kebutuhan anggota keluarga, 5) membantu anak untuk bersoialisasi, 6) mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam maupun di luar keluarga, 7) membagi waktu untuk individu, pasangan, dan anak, 8) pembagian tanggung jawab di dalam keluarga, 9) merencanakan kegiatan dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Balita masih memiliki ketergantungan penuh terhadap keluarga dalam memenuhi segala kebutuhannya salah satunya kebutuhan nutrisi.

Pada saat pengkajian didapatkan data bahwa keluarga Bpk Z tinggal bersama dengan dua orang mertuanya Bpk I (46 tahun) yang merupakan supir angkot, dan ibu M. (45 tahun) yang merupakan seorang ibu rumah tangga. Untuk Ibu S (56 tahun) yang merupakan kakak dari Ibu M bekerja sebagai pemilah barang-barang

Referensi

Dokumen terkait

Banyak yang mempengaruhi proses tumbuh kembang balita, salah satunya adalah pengetahuan orang tua atau peran serta keluarga yang sangat diperlukan dalam

Menurut Hitchcock, Schubert, & Thomas (1999), implementasi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah gizi kurang pada balita pada level pencegahan

Diskusi : Masalah keperawatan nyeri akut, manajemen kesehatan tidak efektif, resiko perfusi miokard tidak efektif pada Tn.Y dengan hipertensi tindakan yang sudah

Diagnosa dalam keperawatan keluarga menggunakan kondisi terkait atau menggunakan berhubungan dengan 5 tugas keluarga yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan, mengambil

Dalam lingkungan keluarga permasalahan yang menyebabkan melunturnya rasa cinta tanah air adalah kurang adanya perhatian dan komunikasi orang tua terhadap anak. Sebagian besar orang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dalam mengembangkan penelitian keperawatan selanjutnya dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengaturan

Terapi keluarga berupa pendidikan keluarga penting dilakukan agar keluarga mengenal tentang masalah yang dialami klien dan bagaimana menangani masalah yang terjadi

Berkolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam memberikan terapi medikasi untuk memperbaiki berdasarkan hasil evaluasi terhadap implementasi keperawatan dalam