• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN PADA PROSES PEMURNIAN MINYAK HASIL SAMPING PENEPUNGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN PADA PROSES PEMURNIAN MINYAK HASIL SAMPING PENEPUNGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN PADA PROSES

PEMURNIAN MINYAK HASIL SAMPING PENEPUNGAN IKAN

LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

Oleh : MIA SRIMIATI

I14070027

PROGRAM STUDI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

ABSTRACT

MIA SRIMIATI. The Study of Adding Antioxidant During Oil Refining Process of Catfish (Clarias gariepinus) Flouring Industry By Product. Under the guidance of CLARA M. KOESHARTO and SRI ANNA MARLIYATI

The objective of this research was to study the addition of antioxidant during oil refining process of catfish flouring industry by product. This study was conducted in two stages, first the separation and characterization of oil from catfish flouring industry by product, followed by characterization of the results. Second, oil refining of catfish flouring industry by product with the addition of BHT antioxidant. The refining process consist of two phases, bleaching and deodorizing. No significant effect (p>0.05) of adding BHT antioxdant was shown on the physical (melting point, viscosity, turbidity, colour, odor) and chemical characteristics (free fatty acid, acid number, palmitic acid, stearic acid, oleic acid, linolenic acid, EPA, DHA, and vitamin E), but had significant effect (p<0.05) in terms of linoleic acid content of the oil. The addition of antioxidant after bleaching could increase the damage of linoleic acid content of the oil. Catfish oil refining result with the addition of BHT antioxidant before bleaching contains 17.78% of linoleic acid, and after bleaching contains 17,21%.

The microencapsulation process aims to inhibit oxidation process and facilitate aplications to various products. The process of microencapsulation in this study was based on Lin et al. (1995) with the ratio of sample : gelatin : maltodextrin : sodium caseinat : lecitin + avicel; 30:20:20:20:4+1. Water content of catfish oil encapsulates was 2.9%. The use of this method could maintain the retention of linoleic acid, therefore the linoleic acid content of catfish oil encapsulate was constantly 18.69%.

(3)

Mia Srimiati. I14070027. Studi Penambahan Antioksidan pada Proses Pemurnian Minyak Hasil Samping Penepungan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) (Di bawah bimbingan Prof. Dr. drh. Clara M. Koesharto, M.Sc. dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi.

RINGKASAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari penambahan antioksidan pada proses pemurnian minyak hasil samping penepungan ikan lele dumbo. Tujuan khususnya adalah 1) Mempelajari proses pemurnian minyak ikan lele, 2) Mempelajari pengaruh penambahan antioksidan terhadap sifat fisik (titik cair, viskositas, kejernihan, warna, dan aroma) dan sifat kimia (persentase asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan TBA, asam lemak, dan vitamin E) minyak ikan lele hasil pemurnian, 3) Mengkaji daya terima minyak ikan lele hasil pemurnian, 4) Mempelajari proses mikroenkapsulasi minyak ikan lele terbaik, 5) Menganalisis retensi asam lemak esensial setelah proses mikroenkapsulasi.

Tahap penelitian meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan rendemen minyak kasar serta karakterisasinya (sifat fisik dan kimia minyak ikan lele sebelum pemurnian). Berdasarkan penelitian pendahuluan dapat diketahui bahwa minyak ikan lele sebelum pemurnian memiliki sifat fisik sebagai berikut: titik cair sebesar 30.230C, viskositas 63.5 cP, kejernihan 211 NTU, berwarna kuning, aroma sangat amis. Selain itu, sifat kimianya adalah: asam lemak bebas 0.05%, bilangan asam 0.06 mgKOH/100 gram, bilangan peroksida 0.21 mgO2/100 gram, bilangan TBA 0.68 mg/kg, asam lemak palmitat (16:0) 16.4%, asam lemak oleat (18:1) 22.65%, asam lemak linoleat (18:2) 17.79%, asam lemak linolenat (18:3) 1.21%, EPA 0.57%, DHA 3.51%, vitamin E 9.15 IU.

Minyak kasar yang telah dikarakterisasi kemudian dimurnikan dengan dua tahap, yaitu pemucatan pada suhu 1000C dengan menggunakan bentonit sebanyak 2% dan deodorisasi dengan tekanan mm45 mmHg vakum pada suhu 1200C. Minyak ikan lele yang telah dimurnikan memiliki sifat fisik: titik cair 30.430C, viskositas 64.25 cP, kejernihan 2.32 NTU, warna kuning, aroma agak amis; dan sifat kimia: asam lemak bebas 0.03%, bilangan asam 0.04 mgKOH/100 gram, bilangan peroksida 1.29 mgO2/100 gram, bilangan TBA 0.30 mg/kg, asam lemak palmitat (16:0) 15.97%, asam lemak oleat (18:1) 22.46%, asam lemak linoleat (18:2) 17.72%, asam lemak linolenat (18:3) 1.09%, EPA 0.43%, DHA 2.56%, dan vitamin E 8.15 IU.

(4)

Penelitian utama meliputi tiga perlakuan, yaitu pemurnian tanpa penambahan antioksidan BHT, penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan dan setelah pemucatan. Minyak hasil pemurnian dengan penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan menunjukkan karakteristik sifat fisik: titik cair 30.930C, viskositas 67 cP, kejernihan 3.4 NTU, warna kuning, aroma agak amis; dan sifat kimia: asam lemak bebas 0.04%, bilangan asam 0.06 mgKOH/100 gram, bilangan peroksida 1.17 mgO2/100 gram, bilangan TBA 1.07 mg/kg, asam lemak palmitat (16:0) 16.2%, asam lemak stearat (18:0) 4.37%, asam lemak oleat (18:1) 22.82%, asam lemak linoleat (18:2) 17.78%, asam lemak linolenat (18:3) 1.21%, EPA 0.55%, DHA 3.11%, vitamin E 8.60 IU.

Berdasarkan sidik ragam, perlakuan penambahan antioksidan memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan asam lemak linoleat (18:2) pada minyak ikan lele. Penambahan antioksidan setelah pemucatan meningkatkan jumlah kerusakan asam lemak linoleat dalam minyak ikan lele dumbo. Penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap titik cair, viskositas, kejernihan, warna, aroma, asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan TBA, asam lemak palmitat (16:0), asam lemak stearat (18:0), asam lemak oleat (18:1), asam lemak linolenat (18:3), EPA dan DHA.

Hasil uji mutu hedonik terhadap warna menunjukkan bahwa panelis memberikan rata-rata nilai sebesar 4.1 untuk minyak yang belum dimurnikan dan 7.5 untuk minyak hasil pemurnian. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis tidak menyukai warna minyak yang belum dimurnikan dan agak menyukai minyak hasil pemurnian. Panelis memberikan nilai 2.9 untuk warna minyak yang belum dimurnikan dan 4.7 untuk minyak hasil pemurnian. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa untuk atribut aroma, panelis tidak menyukai aroma minyak yang belum dimurnikan dan agak kurang menyukai aroma minyak yang telah dimurnikan. Panelis memberikan rata-rata nilai 2.5 untuk aroma minyak yang belum dimurnikan dan 7.3 untuk aroma minyak yang telah dimurnikan. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis tidak menyukai aroma minyak sebelum dimurnikan dan agak menyukai aroma minyak yang telah dimurnikan. Secara keseluruhan panelis tidak menyukai aroma minyak yang belum dimurnikan dan agak menyukai minyak yang telah dimurnikan.

(5)

Hasil uji mutu hedonik terhadap warna menunjukkan bahwa rata-rata panelis memberikan nilai 7.5 untuk minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT); 7.4 pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan); dan 8.0 pada minyak dengan perlakuan 2 (penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan) untuk atribut warna. Hasil uji hedonik, panelis memberikan nilai 4.9 pada warna minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan); 4.7 pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan); dan 5 pada minyak dengan perlakuan 2 (penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan). Panelis memberikan nilai 4.7 pada aroma minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT); 4.6 dan 4.9 pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan) dan minyak dengan perlakuan 2 (penambahan BHT setelah pemucatan). Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis memberikan nilai 4.9 pada aroma minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT); 4.7 pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan BHT sebelum pemucatan) dan 5 pada minyak dengan perlakuan 2 setelah pemucatan). Panelis memberikan rata-rata nilai 7.3 pada kejernihan minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT); 7.1 (jernih) dan 7.7 (jernih) pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan sebelum pemucatan) dan perlakuan 2 (penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan) untuk atribut kejernihan. Hasil uji hedonik, panelis memberikan rata-rata nilai 4.9 pada kerjernihan minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan); 4.7 pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan); dan 5 pada minyak dengan perlakuan 2 (penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan). Berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan penambahan antioksidan BHT baik sebelum pemucatan maupun setelah pemucatan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap sifat organoleptik minyak ikan lele.

Minyak ikan lele terpilih tersebut dimikroenkapsulasi dengan menggunakan formulasi Lin et al. (1995), dengan menggunakan perbandingan minyak sampel: maltodekstrin : gelatin : natrium kaseinat : lesitin dan avicel yaitu sebesar 30:20:20:20:4+1. Hasil mikroenkapsulasi menunjukkan kadar air sebesar 2.9%. Kandungan asam lemaknya esensialnya yaitu linoleat (18:2) 18.69%. Artinya, retensi asam lemak enkapsulat minyak ikan masih tinggi.

(6)

STUDI PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN PADA PROSES PEMURNIAN MINYAK HASIL SAMPING PENEPUNGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

Mia Srimiati I14070027

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : STUDI PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN PADA PROSES

PEMURNIAN MINYAK HASIL SAMPING PENEPUNGAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

Nama : Mia Srimiati NRP : I14070027

Disetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MSi. NIP: 19510719 198403 2 001 NIP: 19600205 198903 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya adalah:

1. Kedua orang tua saya yang selalu mendukung baik material maupun non material dan mendoakan saya kapan pun, dimana pun, dan dalam kondisi apa pun.

2. Yunus Aripudin selaku donatur utama saya selama empat tahun kuliah di Institut Pertanian Bogor.

3. Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M.Sc. selaku dosen Pembimbing Akademik sekaligus Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama menempuh pendidikan sebagai mahasiswa serta membantu kelancaran proses penelitian dan penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi. selaku Pembimbing Skripsi, yang telah dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan serta pelajaran selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

5. Ibu Iskari Ngadiarti, M. Sc. Ibu angkat saya, serta keluarganya, yang juga selalu memberikan bantuan moril dan materil sehingga penelitian ini bisa diselesaikan.

6. Yayasan Inotec, atas hibah dana penelitiannya, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

7. Para teknisi laboratorium (Pak Mashudi, Pak Hendra, Pak Wahid, Pak Nurwanto, Pak Kosasih, Bu Nina, Bu Rubiah, Bu Eti, Bu Ani, dan Bu Iyus) yang membantu kelancaran proses penelitian di laboratorium.

8. Teman-teman Gareulis, Koplag’s,dan Luminaire atas dukungan dan bantuannya yang telah diberikan.

Bogor, Juni 2011 Mia Srimiati

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka, pada tanggal 19 Juli 1989 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sinta dan Ibu Sariyah.

Pendidikan SD ditempuh selama 6 tahun di SDN Mindi 1 pada tahun 1995 hingga tahun 2001. Kemudian dilanjutkan di SLTPN 1 Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat pada tahun 2001 hingga tahun 2004, selanjutnya pendidikan menengah atas di SMAN 1 Palimanan, Cirebon, Jawa Barat. Penulis diterima sebagai mahasiswa Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis juga mengambil minor Perkembangan Anak dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama masa kuliah penulis aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama angkatan 44 (BEM TPB 44) pada tahun 2007 hingga 2008. Kemudian pada tahun 2008 hingga tahun 2009 terlibat sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA). Selain itu, penulis juga aktif terlibat dalam kegiatan kepanitiaan berbagai acara diantaranya TPB Sehat pada tahun 2007, Oryza in Action pada tahun 2008, Funny Fair pada tahun 2008, Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) Patriot 45, Nutrition Expo pada tahun 2009, Bedah Bogor pada tahun 2010, dan lain-lain.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN ... iv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Potensi Gizi Ikan Lele Dumbo ... 4

Minyak Ikan Air Tawar ... 5

Pemurnian Minyak ... 6

Antioksidan ... 8

Antioksidan BHT ... 9

Stabilitas Minyak ... 10

Asam Linoleat ... 10

     Mikroenkapsulasi Minyak Ikan ... 11

METODE ... 13

Desain, Waktu, danTempat ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Tahapan Penelitian ... 13

Rancangan Percobaan ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Separasi dan karakterisasi minyak kasar ikan lele ... 18

Pemurnian minyak ikan lele ... 20

Pengaruh Penambahan Antioksidan ... 23

Sifat Fisik ... 23 Titik cair ... 23 Viskositas ... 24 Kejernihan ... 26 Warna ... 26 Sifat kimia ... 28

Asam Lemak Bebas (%FFA) ... 28

Bilangan asam ... 28

Bilangan Peroksida ... 29

Bilangan TBA ... 30

Asam lemak ... 31

a. Asam lemak palmitat (C16:0) ... 32

b. Asam lemak Stearat (C18:0) ... 32

c. Oleat (C18:1) ... 33

d. Linoleat (C18:2n6c)... 35

e. Linolenat (C18:3) ... 36

f. EPA (Eicosapentaenoic Acid) ... 37

g. DHA (Docosahexaenoic Acid) ... 39

Vitamin E ... 40

Sifat Organoleptik ... 41

(11)

Aroma ... 42

Kejernihan ... 44

Mikroenkapsulasi ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

Kesimpulan ... 48

Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tabel 1 Karakteristik sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan .... 18 2. Tabel 2 Karakteristik sifat kimia minyak ikan lele sebelum dimurnikan .... 19 3. Tabel 3 Perbedaan sifat fisik minyak ikan lele sebelum dan setelah

pemurnian ... 21 4. Tabel 4 Perbedaan sifat kimia minyak ikan lele sebelum dan setelah

pemurnian ... 22 5. Tabel 5 Kandungan asam lemak sebelum dan setelah

(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 Diagram alir proses pemurnian dengan penambahan

antioksidan ... 15

2. Gambar 2 Diagram alir proses mikroenkapsulasi ... 17

3. Gambar 3 Histogram data titk cair minyak ikan lele ... 24

4. Gambar 4 Histogram data viskositas minyak ikan lele ... 25

5. Gambar 5 Histogram data hasil analisis kejernihan minyak ikan lele ... 26

6. Gambar 6 Histogram data hasil pengukuran warna minyak ikan lele ... 27

7. Gambar 7 Histogram data persentase asam lemak bebas minyak ikan lele ... 28

8. Gambar 8 Histogram data bilangan asam minyak ikan lele ... 29

9. Gambar 9 Histogram data jumlah bilangan peroksida minyak ikan lele ... 30

10. Gambar 10 Histogram data bilangan TBA minyak ikan lele ... 31

11. Gambar 11 Histogram data hasil analisis kandungan asam palmitat (C16:0) pada minyak ikan lele ... 32

12. Gambar 12 Histogram data kandungan asam stearat (C18:0) minyak ikan lele ... 33

13. Gambar 13 Histogram data kandungan asam lemak oleat (C18:1) pada minyak ikan lele ... 34

14. Gambar 14 Histogram data kandungan asam lemak linoleat (C18:2) minyak ikan lele ... 35

15. Gambar 15 Histogram data kandungan asam lemak linolenat (C18:3) pada minyak ikan lele ... 36

16. Gambar 16 Histogram data kandungan EPA pada minyak ikan lele ... 38

17. Gambar 17 Histogram data kandungan DHA pada minyak ikan lele ... 39

18. Gambar 18 histogram data kandungan vitamin E (IU per 100 gram minyak) pada minyak ikan lele ... 40

19. Gambar 19 Histogram data hasil uji organoleptik terhadap mutu hedonik warna minyak ikan lele ... 41

(14)

20. Gambar 20 Histogram data hasil analisis aroma secara

organoleptik (mutu hedonik dan hedonik) minyak ikan lele ... 43 21. Gambar 21 Histogram data rata-rata hasil uji organoleptik

(mutu hedonik dan hedonik) terhadap kejernihan minyak ikan lele .. 44 22. Gambar 22 Minyak ikan lele hasil mikroenkapsulasi ... 46

   

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 Prosedur analisis sifat fisik minyak ... 56

2. Lampiran 2 Prosedur analisis sifat kimia minyak ikan ... 58

3. Lampiran 3 Uji organoleptik ... 60

4. Lampiran 4 Analisis kandungan zat gizi minyak ikan lele ... 61

5. Lampiran 5 Formulir uji organoleptik minyak ikan lele ... 64

6. Lampiran 6 Hasil analisis sifat kimia minyak ikan lele ... 66

7. Lampiran 7 Hasil uji organoleptik minyak ikan lele ... 72

8. Lampiran 8 Hasil sidik ragam titik cair minyak ikan lele ... 76

9. Lampiran 9 Hasil sidik ragam viskositas minyak ikan lele ... 76

10. Lampiran 10 Hasil sidik ragam kejernihan minyak ikan lele ... 76

11. Lampiran 11 Hasil sidik ragam warna minyak ikan lele ... 76

12. Lampiran 12 Hasil sidik ragam asam lemak bebas minyak ikan lele ... 76

13. Lampiran 13 Hasil sidik ragam bilangan asam minyak ikan lele ... 76

14. Lampiran 14 Hasil sidik ragam bilangan peroksida minyak ikan lele ... 77

15. Lampiran 15 Hasil sidik ragam bilangan TBA minyak ikan lele ... 77

16. Lampiran 16 Hasil sidik ragam asam lemak palmitat minyak ikan lele ... 77

17. Lampiran 17 Hasil sidik ragam asam lemak stearat minyak ikan lele ... 77

18. Lampiran 18 Hasil sidik ragam asam lemak oleat minyak ikan lele .. 77

19. Lampiran 19 Hasil sidik ragam asam lemak linoleat minyak ikan lele ... 78

20. Lampiran 20 Hasil uji lanjut Duncan asam lemak linoleat minyak ikan lele ... 78

21. Lampiran 21 Hasil sidik ragam asam lemak linolenat minyak ikan lele ... 78

22. Lampiran 22 Hasil sidik ragam EPA minyak ikan lele ... 78

23. Lampiran 23 Hasil sidik ragam DHA minyak ikan lele ... 78

24. Lampiran 24 Hasil sidik ragam Vitamin E minyak ikan lele ... 78

25. Lampiran 25 Hasil sidik ragam uji hedonik warna minyak ikan lele ... 79

26. Lampiran 26 Hasil sidik ragam uji hedonik aroma minyak ikan lele ... 79

27. Lampiran 27 Hasil sidik ragam uji hedonik kejernihan minyak ikan lele ... 79

28. Lampiran 28 Hasil sidik ragam uji hedonik keseluruhan minyak ikan lele ... 79

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki potensi perairan yang sangat besar. Potensi perairan ini terbagi menjadi dua sektor, yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Potensi budidaya air tawar sebesar 2,23 juta hektar dengan total produksi perikanan budidaya nasional pada tahun 2010 sebesar 1,6 juta ton. Salah satu komoditas perikanan budidaya yang berkembang adalah ikan lele. Produksi ikan lele di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Menurut data statistik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (2010), produksi budidaya ikan lele yang tertinggi berasal dari Pulau Jawa yaitu sebesar 115.206 ton pada tahun 2009.

Proses pengolahan ikan lele yang telah berkembang tidak hanya dimanfaatkan dalam bentuk daging segar, tetapi juga dilakukan pengembangan melalui proses penepungan badan, kepala, dan tulang ikan lele seperti yang telah diteliti oleh Ferazuma (2010) dan Mervina (2009) untuk pembuatan biskuit ikan lele. Proses penepungan menghasilkan limbah berupa cairan yang masih mengandung rendemen minyak. Kaban & Daniel (2005) menjelaskan bahwa minyak ikan yang berasal dari air tawar (ikan lele, gabus, dan mas) dapat dijadikan sebagai sumber asam lemak omega 6. Namun, Wanasundara dan Sahidi (1995) menjelaskan bahwa bahwa kandungan asam lemak tak jenuh PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi pada minyak ikan menyebabkan minyak ikan tersebut mudah mengalami kerusakan oksidatif dan mudah menghasilkan aroma yang tidak enak. Padahal asam lemak tak jenuh merupakan jenis lemak yang baik untuk tubuh.

Pemanfaatan minyak ikan di Indonesia sampai saat masih belum optimal karena industri hilir yang memanfaatkan minyak ikan serta memberikan nilai tambah terhadap produk tersebut belum berkembang dengan baik. Selama ini minyak ikan baru digunakan sebagai komponen ransum pakan ikan maupun ternak, yang persentasenya sekitar 1.5-3% dari total pakan yang digunakan dan sebagian kecil lagi digunakan untuk penyamakan kulit, bahan campuran dalam industri cat dan tinta. Penggunaan lain masih terbatas pada beberapa industri kecil (Montesqrit 2007).

(17)

Seiring dengan meningkatnya industri pengolahan ikan air tawar, seperti ikan lele, maka volume limbah cair berupa minyak ikan lele juga akan meningkat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai ekonomis limbah tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikannya sebagai minyak ikan untuk dikonsumsi atau campuran dalam pembuatan bahan makanan.

Pemurnian dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu limbah cair yang berupa minyak ikan lele agar dapat dikonsumsi dan dimanfaatkan zat gizinya (Abdillah 2008). Zat gizi utama yang terkandung dalam minyak ini adalah asam lemak tidak jenuh yang sebagian besar berupa asam lemak linoleat. Asam linoleat (linoleic acid) merupakan asam lemak tidak jenuh ikatan ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) yang esensial untuk tubuh oleh karena itu harus diperoleh dari makanan. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol, menurunkan tekanan darah, menghambat lipogenesis hepatik, transport lipid, prekursor dalam sintesis prostaglandin, membentuk arakhidonat dan dalam proses reproduksi (Pudjiadi 1997). Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan dermatitis, kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan, degenerasi hati, dan rentan terhadap infeksi (Erasmus 1996).

Proses mikroenkapsulasi dilakukan dengan tujuan untuk menghindarkan minyak ikan lele dari pengaruh oksidasi serta mempermudah aplikasi minyak ikan ke dalam berbagai produk. Selain manfaatnya untuk kesehatan, proses pengolahan minyak ikan lele ini juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya dengan melakukan pengolahan dengan sumber minyak mentah yang berasal dari industri penepungan ikan lele ataupun membuat produk yang mengandung campuran enkapsulat minyak ikan lele.

(18)

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penambahan antioksidan pada proses pemurnian minyak hasil samping penepungan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

Tujuan khusus

1. Mempelajari proses pemurnian minyak ikan lele.

2. Mempelajari pengaruh penambahan antioksidan terhadap sifat fisik (titik cair, viskositas, kejernihan, warna, dan aroma) dan sifat kimia (persentase asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan TBA, asam lemak, dan vitamin E) minyak ikan lele hasil pemurnian.

3. Mengkaji daya terima minyak ikan lele hasil pemurnian. 4. Mempelajari proses mikroenkapsulasi minyak ikan lele terbaik

5. Menganalisis retensi asam lemak esensial setelah proses mikroenkapsulasi.

   

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Gizi Ikan Lele Dumbo

Menurut Suyanto (2007), ada banyak nama yang ditujukan untuk menyebut ikan lele dumbo yang disesuaikan dengan daerah masing-masing. Orang Jawa menyebutnya sebagai iwak lele, orang Sumatera menyebutnya dengan nama ikan kalang, di Sulawesi disebut ikan keling, di Kalimantan disebut ikan pintet, di Thailand disebut ikan plamond, di Malaysia disebut ikan keli. Nama yang dikenal di dunia, sebagai nama perdagangan internasional biasanya disebut dengan nama catfish atau walking catfish. Berikut dijelaskan taksonomi ikan lele dumbo. Taksonomi lele dumbo yaitu dari filum Chordata, kelas Pisces, sub kelas Toleostei, ordo Ostariophsy, sub ordo Siluroidae, family Claridae, genus Clarias, dan spesies Clarias gariepinus.

Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang berasal dari hasil persilangan dari induk pejantan yang berasal dari Afrika dan induk betina dari Taiwan. Ikan ini masuk ke Indonesia dibawa oleh salah satu perusahaan perikanan di Indonesia pada tahun 1986 yang pada awalnya dipasarkan sebagai ikan hias. Namun, pada perkembangannya, ikan lele dumbo lebih diminati sebagai ikan untuk dikonsumsi (Bachtiar 2006). Ikan lele dumbo memiliki beberapa keunggulan, diantaranya memiliki tubuh yang lebih besar serta tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lele lainnya (Suyanto 2007). Selain itu, daging ikan lele dumbo mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan lele biasa. Djarijah (2004) mengungkapkan bahwa, ikan lele dumbo memiliki kandungan protein dan lemak sebesar 17 dan 4.5 per 100 gram daging ikan segar. Departemen Kesehatan RI (1991) menyatakan bahwa daging ikan lele juga mengandung karoten sebesar 12.070 mikrogram dan vitamin A sebanyak 210 IU (Internasional Unit). Kandungan zat gizi tersebut lebh tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lain (Djarijah 2006).

Pemanfaatan ikan lele dumbo tidak hanya sebatas dikonsumsi dengan cara digoreng. Saat ini telah berkembang pengolahan ikan lele dumbo yang lebih meningkatkan nilai ekonomisnya, misalnya pembuatan sosis (Ulfa 2006), atau dilakukan proses penepungan yang kemudian diolah menjadi biskuit (Mervina 2009; Ferazuma 2010). Proses penepungan akan menghasilkan limbah yang salah satu komponennya berupa minyak ikan lele.

(20)

Minyak Ikan Air Tawar

Minyak merupakan campuran trigliserida yang berbentuk cair pada suhu ruangan. Komponen lain yang mungkin terdapat dalam minyak diantaranya fosfolipid, sterol, vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak seperti klorofil dan karotenoid. Sifat fisik yang paling jelas dari minyak adalah tidak larut dalam air, hal ini disebabkan oleh adanya asam lemak berantai karbon panjang dan tidak adanya gugus polar. Viskositas minyak biasanya bertambah dengan bertambah panjangnya rantai karbon dan berkurang dengan naiknya suhu. Minyak dan lemak lebih padat dalam keadaan padat daripada dalam keadaan cair. Berat jenisnya lebih tinggi untuk trigliserida dengan berat molekul rendah dan trigliserida yang tidak jenuh. Berat jenis menurun dengan bertambahnya suhu (Buckle et al. 2007). Titik cair minyak tidak tepat karena minyak merupakan campuran trigliserida. Asam lemak berantai pendek memiliki nilai titik cair yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak berantai panjang. Jadi, makin pendek rantai asam lemak, makin rendah titik cairnya (Potter & Hotchkiss 1995).

Jenis ikan yang biasanya diambil minyaknya adalah ikan yang berasal dari laut, seperti ikan kod, herring, menhaden, dan salmon. Namun, baru-baru ini telah dikembangkan penelitian yang mengarah pada pemanfaatan minyak yang berasal dari minyak ikan air tawar seperti ikan mas, gabus (Kaban & Daniel 2005), lele dumbo (Kaban & Daniel 2005; Novitasari 2008), dan gurami (Kaban & Daniel 2005; Kholidah 2008). Minyak ikan air tawar dapat dijadikan sebagai alternatif sumber asam lemak linoleat atau dikenal dengan omega 6 (Kaban & Daniel 2005). Hasil analisis Kaban & Daniel (2005) menyatakan bahwa etil ester asam lemak untuk minyak kepala ikan dan jeroan lele dumbo terdiri dari etil miristat (2.21%), etil palmitoleat (3.25%), etil palmitat (40.26%), etil linoleat (8.68%), etil oleat (36.21%), dan etil stearat (8.84%). Asam lemak linoleat hasil analisis Novitasari (2008) kurang dari 5%. Perbedaan kandungan dan komposisi asam lemak minyak ikan dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis, usia, dan pakan yang dikonsumsi ikan tersebut (Kaban & Daniel 2005).

Asam lemak linoleat merupakan bahan utama dalam pembuatan asam lemak linoleat terkonjugasi. Asam lemak linoleat terkonjugasi (Conjugated Linoleic Acid) dapat memberikan manfaat kesehatan seperti mengurangi jumlah kolesterol dalam darah, mencegah kejadian aterosklerosis (Kritchevsky 2000; Weiss et al. 2004), mengurangi jaringan lemak adiposa pada bagian perut

(21)

(Riserus, Berglund, Vessby 2001), mencegah tumor dan kanker (MacDonald 2000; Weiss et al. 2004), mencegah obesitas (Weiss et al. 2004) dan lain-lain.

Minyak yang berasal dari limbah industri biasanya memiliki kualitas yang rendah. Misalnya minyak yang berasal dari limbah penepungan ikan lemuru memiliki warna yang cokelat dengan aroma yang menyengat (Montesqrit 2007; Abdillah 2008). Minyak yang sudah diisolasi dari sumbernya mungkin masih mengandung bahan-bahan resin, karbohidrat, protein, sterol, fenolat, zat warna, fosfatida dan asam lemak bebas (Buckle et al. 2007). Oleh karena itu diperlukan upaya lebih lanjut untuk mendapatkan minyak yang bebas dari kotoran fisik dan kimia tersebut. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan kualitas minyak ikan adalah dengan proses pemurnian.

Pemurnian Minyak

Teknik pemurnian terdiri dari beberapa tahap, yaitu proses pemisahan gum (degumming), pemucatan (bleaching), netralisasi, dan deodorisasi (Ketaren 2008). Proses degumming dilakukan jika rendemen minyak masih mengandung gum (getah), biasanya proses ini dilakukan pada minyak yang berasal dari tumbuhan seperti minyak kelapa sawit (Setiawan 2009). Proses degumming dilakukan dengan cara menambahkan larutan asam fosfat pada suhu 70-900C (Sahidi 2005). Biasanya proses degumming dilakukan dengan cara dehidratasi getah dan resin, yaitu dengan memasukkan uap air panas ke dalam minyak disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifusi untuk memisahkan bagian lendir dari air. Proses pemisahan gum penting dilakukan sebelum dilakukan netralisasi karena sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada porses netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak (Ketaren 2008). Selain itu jika netralisasi dilakukan pada minyak yang masih mengandung gum maka akan menambah partikel emulsi yang berupa fosfolipid lesitin dalam minyak yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah trigliserida dalam minyak (Potter & Hotchkiss 1995).

Netralisasi merupakan proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau lemak. Pemisahan tersebut dilakukan dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun. Basa yang biasa digunakan dalam industri adalah kaustik soda karena harganya yang murah dan lebih efisien. Kaustik soda yang ditambahkan pada saat netralisasi harus sesuai dengan kandungan asam lemak bebas pada minyak

(22)

tersebut. Secara teoritis, untuk menetralkan 1 kg asam lemak bebas dalam minyak (sebagai asam palmitat), dibutuhkan sebanyak 0,142 kg kaustik soda kristal (Ketaren 2005). Perbedaan tingkat konsentrasi basa akan berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan asam lemak bebas. Semakin banyak jumlah basa yang ditambahkan, semakin besar jumlah asam lemak bebas yang tersabunkan sehingga jumlah asam lemak pada minyak akan ikut berkurang (Abdillah 2008).

Meskipun telah dilakukan degumming dan netralisasi, minyak yang diperoleh dari tumbuhan maupun hewan terkadang masih memiliki warna yang tidak diinginkan (Potter & Hotchkiss 1995). Hal tersebut dapat diatasi melalui proses pemucatan. Pemucatan adalah salah satu tahap pemurnian yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak disukai (Ketaren 2008).

Proses pemucatan melibatkan proses pemanasan dengan ditambahkan adsorben tertentu dan penyaringan. Pemucatan minyak mengggunakan adsorben umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi pipa uap. Minyak yang akan dipucatkan dipanaskan pada suhu 1050C, selama 1 jam. Penambahan adsorben dilakukan pada suhu mencapai 70-800C, dan jumlah adsorben kurang lebih sebanyak 1.0-1.5% dari berat minyak. Selanjutnya minyak dipisahkan dari adsorben dengan cara penyaringan menggunkan kain tebal atau pengepresan dengan filter press (Ketaren 2008).

Jenis adsorben yang biasanya digunakan adalah bleaching clay (bleaching earth), yaitu sejenis tanah liat; arang (bleaching carbon); dan arang aktif (activated carbon). Keuntungan penggunaan arang aktif sebagai bahan pemucat minyak adalah karena lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan dengan bleaching clay, sehingga arang aktif dapat digunakan dalam jumlah kecil. Arang aktif juga dapat menyerap sebagian aroma yang tidak dikehendaki dan mengurangi jumlah peroksida sehingga memperbaiki mutu minyak (Ketaren 2008). Namun, Berdasarkan hasil analisis Abdillah (2008) adsorben tidak memberikan pengaruh yang nyata pada proses pemucatan selama nilai persen transmisi pemucatan yang menggunakan arang aktif dan bleaching earth memiliki efektifitas penyerapan yang hampir sama. Jumlah adsorben yang dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung dari macam dan tipe warna dalam minyak dan sampai seberapa jauh warna tersebut akan dihilangkan.

(23)

Proses berikutnya dari tahap pemurnian minyak adalah deodorisasi atau penghilangan aroma. Deodorisasi merupakan proses untuk memisahkan aroma dan aroma yang berupa komponen volatil yang tidak dikehendaki dari minyak. Komponen-komponen yang dapat menimbulkan rasa dan aroma dari minyak antara lain aldehida, keton, dan hidrokarbon. Prinsip dari proses deodorisasi yaitu distilasi minyak oleh uap dalam keadaan hampa udara. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang menimbulkan aroma mudah diuapkan, kemudian melalui aliran uap komponen-komponen tersebut dipisahkan dari minyak, dan selama proses tersebut asam-asam lemak bebas dan komponen-komponen odor dihilangkan untuk mendapatkan minyak yang tidak beraroma (Ketaren 2008). Biasanya proses ini menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (170-1900C) pada kondisi vacum (Chang (1967) dalam Suparno et al. (1995)). Pada proses ini diharapkan sisa-sisa aroma yang masih ada pada minyak ikan akan menguap tetapi minyak ikannya tidak rusak karena teroksidasi. Kondisi deodorisasi yang dianjurkan oleh Riyadi (2009) adalah pada suhu tidak lebih dari 1400C selama 1 jam, karena mampu mempertahankan karoten hampir 70% (375.33 mg/kg) serta sekaligus mampu mereduksi odor sampai tingkat intensitas 3.3 (dari nilai intensitas odor 10 untuk NRPO) atau reduksi intensitas odor sebesar 67%.

Antioksidan

Antioksidan merupakan persenyawaan kimia yang dapat mencegah kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzene tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan amino. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, addisi lemak dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan.

Penambahan antioksidan dalam bahan pangan dapat menghambat reaksi oksidasi. Dalam industri pangan, oksidasi lemak biasanya disertai dengan off flavor yang disebabkan oleh persenyawaan aldehida dan keton. Persenyawaan aldehida dan keton ini merupakan hasil pemecahan rantai asam lemak tidak jenuh. Tidak semua antioksidan dapat digunakan untuk tujuan bahan

(24)

pangan. Antioksidan yang digunakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu tidak beracun dan tidak mempunyai efek fisiologis, tidak menimbulkan flavor yang tidak enak, rasa dan warna pada lemak bahan pangan, larut sempurna dalam minyak atau lemak, efektif dalam jumlah yang relatif kecil dan tidak mahal serta selalu tersedia. Jenis antioksidan sintetis yang biasa digunakan dalam bahan pangan diantaranya adalah BHT, BHA, dan TBHQ (Ketaren 2008).

Antioksidan BHT

BHT mempunyai nama kimia 2,6-ditertiary-butyl-p-cresol; 4-methyl-2,6-ditertiary-butyl-phenol dengan rumus molekul (C4H9)2CH3C6H2OH, dengan berat molekul 220. BHT berwarna putih berbentuk kristal atau talk dan tidak beraroma. BHT mempunyai sifat tidak larut dalam air dan prophylene glycol, tetapi sangat larut dalam lemak dan etanol. Titik cair BHT adalah 69-720C BHT mempunyai titik didih yang cukup tinggi yaitu 264-270C sehingga BHT termasuk antioksidan yang tahan dan stabil pada suhu yang tinggi (Schlotmann 2002).

Senyawa BHT tidak beracun tapi menunjukkan aktifitas sebagai antioksidan dengan cara men-deaktifasi senyawa radikal (Ketaren 2008). BHT juga bisa berfungsi sebagai quencher (pemadam) bagi oksigen singlet (Fukuzawa 1998). Selain memiliki aktifitas yang baik terhadap radikal, BHT juga cukup tahan terhadap proses pemanasan (Berry 2003). Oleh karena itu, BHT memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu alternatif antioksidan yang digunakan untuk memperluas penggunaan minyak. Antioksidan BHT merupakan senyawa penangkap radikal yang lebih efektif dibandingkan dengan β-karoten (Maforimbo 2002). Berdasarkan SNI 01-0222-95 batas maksimal penggunaan BHT pada makanan adalah 200 ppm atau 0.02%.

Hasil analisis Herawati & Akhlus (2006) menjelaskan bahwa ketika minyak sawit RBD yang sudah mengandung 150 ppm karoten dan 200 ppm β-tokoferol dioksidasi tanpa menggunakan BHT, bilangan peroksidanya meningkat melebihi nilai 2 (2,26) dalam waktu 240 menit, sedangkan dengan penambahan BHT dalam waktu yang lama, bilangan peroksidanya baru mencapai nilai 1,58. Penambahan BHT sebanyak 200 ppm menyebabkan minyak sawit RBD memiliki ketahanan yang lebih lama terhadap oksidasi oksigen singlet dibandingkan dengan tanpa penambahan BHT (Herawati & Akhlus 2006). Selain itu, BHT juga dapat memperpanjang masa simpan bekatul hingga 211 hari dengan penambahan sebanyak 100 ppm (Scorvia 2001).

(25)

Stabilitas Minyak

Stabilitas merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu dari minyak. Stabilitas minyak sangat dipengaruhi oleh jenis minyak yang akan dimurnikan, perlakuan yang diterapkan dalam pemurnian, suhu penyimpanan, adanya penambahan antioksidan dan tipe pengemas. Kerusakan minyak yang utama adalah timbulnya aroma dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Molekul-molekul yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Aroma tengik yang tidak sedap disebabkan pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida seperti aldehid atau keton (Winarno 2007).

Kerusakan oksidasi minyak ikan diawali oleh otooksidasi asam lemak tidak jenuh dengan terbentuknya radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh cahaya, panas, peroksida lemak, logam berat, hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim lipooksidase. Radikal-radikal bebas ini kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk senyawa peroksida aktif yang akhirnya mempengaruhi sifat-sifat fisik dan kimia dari minyak ikan (Ketaren 2008). Reaksi otooksidasi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Nawar 1985 dalam Yogaswara 2008).

Asam Linoleat

Asam linoleat (linoleic acid) merupakan asam lemak tidak jenuh ikatan ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) yang esensial untuk tubuh oleh karena itu harus diperoleh dari makanan. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol, menurunkan tekanan darah, menghambat lipogenesis hepatik, transport lipid, prekursor dalam sintesis prostaglandin, membentuk arakhidonat dan dalam proses reproduksi (Pudjiadi 1997). Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan dermatitis, kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan, degenerasi hati, dan rentan terhadap infeksi (Erasmus, 1996).

Tubuh memerlukan asam linoleat 3-6% dari seluruh kalori yang dibutuhkan (Erasmus 1996) dan yang direkomendasikan adalah 3 gram per harinya (Recommended Daily Allowance 2000). Salah satu sumber asam lemak linoleat adalah kacang kedelai. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar (1997) diperoleh kadar asam linoleat adalah 44,85 g dalam 100 g asam

(26)

lemak atau sekitar 7,23 g dalam 100 g tempe. Untuk menjaga keseimbangan kesehatan tubuh maka sebaiknya konsumsi n-6 PUFA dan n-3 PUFA dengan perbandingan tertentu yaitu antara 7:1 sampai 10:1. Dengan demikian, karena pada umumnya minyak ikan laut lebih banyak mengandung n-3 PUFA sedangkan minyak ikan air tawar lebih banyak mengandung n-6 PUFA, maka dalam mengonsumsi ikan laut maupun ikan air tawar perlu dikombinasikan untuk mendapatkan keseimbangan antara n-6 PUFA dan n-3 PUFA seperti tersebut.

Berdasarkan penelitian Kaban dan Daniel (2005), kandungan PUFA dari minyak jeroan/kepala ikan lele dumbo adalah asam linoleat (C18:2) yang merupakan omega-6 sebesar 8.68 %. Asam linoleat merupakan asam esensial pembentuk asam lemak tidak jenuh lainnya seperti asam linolenat (C18:3) dan asam arakhidonat (C20:4) melalui sistem desaturasi (pembentukan ikatan rangkap) dan pemanjangan rantai atau elongasi (Goldstein 1996). Dengan kandungan PUFA ikan air tawar diharapkan ikan lele dumbo dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial, khususnya untuk masyarakat pedalaman yang jauh dari laut, dimana kesulitan mendapatkan ikan segar dan bergizi. Minyak kepala/jeroan ikan lele dumbo dapat dijadikan sebagai sumber PUFA jenis omega 6, yang merupakan pembentuk asam arakhidonat (20:4) dan jenis asam lemak omega-6 lainnya, seperti C22:5 (Kaban & Daniel 2005).

Mikroenkapsulasi Minyak Ikan

Heinzelmann et al. (2000) menjelaskan bahwa mikroenkapsulasi adalah suatu proses pengubahan komponen yang awalnya berbentuk cairan menjadi bentuk padatan, dimana droplet kecil dari minyak akan diperangkap oleh matrik kering dari bahan penyalutnya yang biasanya terdiri dari protein dan karbohidrat. Proses mikroenkapsulasi bertujuan untuk mempermudah dalam penanganan produk dan aplikasi produk serta memberikan perlindungan terhadap bahan yang disalut dari pengaruh lingkungan seperti cahaya, udara, dan kelembaban yang dapat menyebabkan oksidasi dan kerusakan produk (Keogh et al. 2001)

Menurut Gharsallaoui et al. (2007) proses mikroenkapsulasi akan melindungi minyak dari proses oksidasi karena dapat meminimalisir kontak antara minyak dengan oksigen. Tujuan khusus dari proses mikroenkapsulasi minyak ikan adalah melindungi asam lemak esensial dengan cara menghambat laju oksidasi (Heinzelman et al. 2000: Kolanowski 2004; Sun et al. 2005) mengubah minyak menjadi bentuk tepung (granul) sehingga dapat

(27)

memperpanjang daya simpan (Keogh et al. 2001); dan menyamarkan aroma amis dari minyak ikan (Keogh et al. 2001).

Produk hasil mikroenkapsulasi akan dipengaruhi oleh teknik pengeringan dan bahan penyalut yang digunakan. Teknik pengeringan yang biasa digunakan dalam proses mikroenkapsulasi minyak adalah pengeringan drum (Montesqrit 2007), pengeringan semprot (Gharsallaoui et al. 2007; Montesqrit 2007), pengeringan beku (Yogaswara 2008; Velasco 2009), dan baru-baru ini dikembangkan teknik spray cooling (Meunier et al. 2007). Teknik pengeringan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai serta efisiensi biaya yang diharapkan. Teknik pengeringan drum merupakan alternatif yang paling murah, namun hasilnya minyak kurang tersalut dengan baik. Pengeringan beku merupakan teknik pengeringan yang paling efektif, namun biaya operasionalnya paling mahal diantara teknik pengeringan lainnya (Yogaswara 2008). Bahan penyalut yang sering digunakan dalam proses mikroenkapsulasi adalah gum arab, maltodekstrin, dan natrium kaseinat.

 

(28)

METODE

Desain, Waktu, dan Tempat

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Penambahan Antioksidan pada Proses Pemurnian Minyak Hasil Samping Penepungan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) sebagai Alternatif Sumber Asam Lemak Omega 6” bersifat eksperimental dengan meganalisis pengaruh penambahan antioksidan BHT selama proses pemurnian dan dilaksanakan pada bulan Februari 2011-Juni 2011. Tempat pelaksanaan penelitian melibatkan enam laboratorium, yaitu Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, Laboratorium Terpadu IPB, Laboratorium Biokimia Gizi Departemen Gizi Masyarakat IPB, Laboratorium Analisis Zat Gizi Departemen Gizi Masyarakat IPB, Laboratorium Organoleptik Depatemen Gizi Masyarakat IPB, dan Laboratorium Balai Besar Industri Agro, Cikaret Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair yang berupa minyak ikan lele. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah bleaching earth (bentonit teknis), aquades, asam asetat, kloroform, larutan KI jenuh, larutan Na2S2O3 0,1N, etanol 96%, larutan KOH 0,1N, indikator amilum 2%, dan indikator phenolptalein, BHT, lesitin, natrium kaseinat, maltodextrin, gelatin, dan avicel,

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas piala, oven, erlenmeyer, pipet tetes, buret, deodorizer, kertas saring whatman 42, labu takar, gelas volumetrik, kompor listrik, homogenizrer, spray dryer, separator, chromamometer, dan spektrofotometer.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu: Penelitian pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan separasi limbah cair ikan lele dengan menggunakan separator berkapasitas 1 liter sehingga didapatkan rendemen minyak ikan lele. Minyak kasar tersebut kemudian dianalisis sifat fisik (titik cair, viskositas, kejernihan, warna, dan aroma) dan sifat kimianya (persentase asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan TBA, asam lemak, dan vitamin E). Prosedur analisis dilampirkan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

(29)

Penelitian utama

Pada penelitian utama dilakukan proses pemurnian yang terdiri dari dua tahap, yaitu pemucatan (bleaching) dan deodorisasi. Berikut penjelasannya: a. Pemucatan (Bleaching)

Minyak hasil separasi diukur sebanyak 500 ml dan dipanaskan sampai suhunya 1000C. Kemudian ditambahkan bentonit sebanyak 2% dari bobot minyak dan diaduk selama 10 menit. Bentonit yang digunakan adalah bentonit teknis yang berwarna cokelat, setelah diaduk rata minyak disaring dengan kertas saring. Diagram alir proses pemucatan disajikan pada Gambar 1.

b. Deodorisasi (deodorizing)

Deodorisasi yang dilakukan menggunakan sistem batch dengan menghomogenkan bahan baku berupa minyak ikan lele di dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ± 20C, dengan cara mensirkulasi bahan baku oleh pompa produk. Kemudian dilakukan pemanasan dalam kondisi vakum sampai suhu deodorisasi hingga suhunya mencapai 1200C. Laju alir gas pelucut (N

2) dijaga konstan pada suhu 30 L/jam (laju alir disain) selama proses deodorisasi. Diagram alir proses pemurnian dengan penambahan BHT sebelum tahap deodorisasi disajikan pada Gambar 2.

Minyak hasil pemurnian tersebut kemudian dianalisis sifat fisik (titik cair, viskositas, kejernihan, warna, dan aroma) dan sifat kimia (persentase asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan TBA, asam lemak, dan vitamin E) serta sifat organoleptiknya (warna, aroma dan kejernihan).

Minyak yang memiliki sifat fisik, kimia, dan organoleptik yang terbaik dimikroenkapsulasi menggunakan metode Lin et al. (1995) dengan perbandingan sampel : maltodekstrin : gelatin : natrium kaseinat : lesitin + avicel sebesar 30:20:20:20:4+1. Kemudian minyak yang telah dimikroenkapsulasi dianalisis kembali jumlah asam lemaknya. Diagram alir proses mikroenkapsulasi ditunjukkan oleh Gambar 3.

(30)

Gambar 1. Diagram alir proses pemurnian dengan penambahan antioksidan BHT (Abdillah 2008; Riyadi 2009) BHT 200 ppm Homogenisasi BHT 200 ppm Minyak hasil separasi Pemanasan sampai 1000C Penambahan bahan pemucat Pengadukan 10 menit

dan didinginkan pada suhu ruang Penyaringan Minyak hasil pemucatan Minyak hasil pemucatan Pemanasan suhu (1200C); waktu deodorisasi (20 menit)

Pendinginan sampai 600C pada kondisi vakum

(31)

                       

Gambar 2 Diagram alir proses mikroenkapsulasi (Lin et al. 1995)                           

Campuran bahan penyalut Minyak ikan

Diaduk selama 15 menit dengan suhu 40-500C

Diaduk selama 15 menit dengan  suhu 40‐500C 

Dicampur + emulsifier

Homogenisasi selama 10 menit, 10.000 rpm 

(32)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu waktu penambahan antioksidan BHT yang terdiri dari tiga taraf yakni sebelum sebelum pemucatan, dan setelah pemucatan. Pada masing-masing taraf dilakukan dengan dua kali ulangan. Model matematik rancangan percobaan :

Yij =µ + Ai + εij Dengan :

Yi j : pengaruh waktu penambahan antioksidan µ : rataan umum

Ai : pengaruh perlakuan waktu penambahan antioksidan pada taraf ke-i (i=1, 2, 3)

εi i : galat perlakuan (i) pada ulangan ke-j (1,2) A1 : Tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol)

A2 : Penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1) A3 : Penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan (perlakuan 2)

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses penepungan ikan lele dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu steaming dengan autoklaf, pengepresan, pengeringan dengan drum drier, dan penggilingan dengan willey mill (Ketaren 2008). Proses steaming dan pengepresan ikan lele menghasilkan limbah berupa cairan yang terdiri dari minyak, air, dan padatan lainnya. Menurut Kaban dan Daniel (2005) minyak ikan lele dapat dijadikan sebagai sumber asam lemak omega 6, oleh karena itu minyak yang menjadi bagian dari limbah penepungan ikan lele dipisahkan dan diproses untuk kemudian dimurnikan agar layak dikonsumsi. Namun, untuk mendapatkan minyak ikan lele dari limbah cair hasil penepungan tersebut diperlukan upaya pemisahan yang kemudian dikarakterisasi. Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan corong pemisah. Berikut dijelaskan mengenai proses pemisahan dan karakterisasi minyak kasar ikan lele.

Separasi dan karakterisasi minyak ikan lele sebelum pemurnian

Separasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah separasi menggunakan corong pemisah. Rendemen minyak yang diperoleh dari hasil separasi tersebut sebesar 2.9% dari keseluruhan berat ikan lele dumbo, minyak ini sudah tidak mengandung padatan. Jadi dari 200 kg ikan lele yang ditepungkan didapatkan rendemen minyak sebanyak 5.88 kg. Penyebab kecilnya nilai rendemen tersebut salah satunya adalah terbuangnya bagian minyak pada saat proses separasi. Karakteristik sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan

Sifat Fisik Jumlah

Titik cair (0C) 30.23

Viskositas (cP) 63.5

Kejernihan (NTU) 211

Warna Kuning

Aroma Sangat amis

Tabel 1 menunjukkan karakteristik sifat fisik minyak ikan lele yang belum dimurnikan. Titik cair minyak ikan lele yang belum dimurnikan adalah 30.23 0C, artinya pada suhu tersebut minyak kasar ikan lele berada dalam kondisi cair sempurna, karena pada suhu ruang di Bogor (270C) sebagian minyak ikan lele masih membeku dan tampak membentuk kabut. Titik cair yang tinggi

(34)

mengindikasikan banyaknya asam lemak dengan rantai panjang yang berada dalam minyak. Hal ini berkaitan dengan tingginya nilai viskositas (kekentalan) minyak yang memiliki nilai 63,5 cP. Semakin tinggi nilai viskositas suatu minyak, artinya semakin tinggi jumlah asam lemak dengan rantai panjang dalam minyak tersebut, terutama ikatan rangkap (Buckle et al. 2007).

Berdasarkan hasil analisis kromamometer, minyak kasar ikan lele memiliki warna kuning. Hasil organoleptik dengan 30 panelis menyatakan bahwa minyak ikan lele beraroma sangat amis. Karakteristik sifat kimia minyak ikan lele sebelum dimurnikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik sifat kimia minyak ikan lele sebelum dimurnikan

Sifat Kimia   Jumlah  Asam lemak bebas (%)  0.05 Bilangan asam (mgKOH/100 gram)  0.06 Bilangan peroksida (mgO2/100  gram)  0.21 Bilangan TBA (mg/kg)  0.68 Palmitat (C16:0) (%)  16.4 Stearat (C18:0) (%)  4.3 Oleat (C18:1) (%)  22.65 Linoleat (C18:2) (%)  17.79 Linolenat (C18:3) (%)  1.21 EPA (%)  0.57 DHA (%)  3.51 Vitamin E (IU)  9.15

Minyak ikan lele hasil separasi yang telah dianalisis menunjukkan bahwa jumlah asam lemak bebasnya adalah 0.05%, bilangan asam 0.06 mgKOH per 100 gram sampel, bilangan peroksida 0.21 mgO2 per 100 gram sampel, dan bilangan TBA sebesar 0.68 mg/kg. Artinya, minyak ini masih memiliki kualitas yang baik karena derajat oksidasinya masih rendah. Parameter-parameter tersebut menunjukkan tingkat kerusakan suatu minyak, semakin besar nilainya maka tingkat kerusakannya pun akan semakin besar (Ketaren 2008).

Hasil analisis asam lemak minyak ikan lele menunjukkan bahwa jumlah asam lemak jenuh yang dominan adalah asam palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0), yaitu sebesar 16.4% dan 4.3%, sedangkan asam lemak tak jenuhnya ditunjukkan oleh oleat (C18:1) dan linoleat (C18:2) sebesar 22.65% dan 17.79%. Minyak ini juga mengandung komponen asam lemak omega-3 linolenat (C18:3), EPA (C20:5), dan DHA (22:6) meskipun dalam jumlah sangat kecil yaitu 1.21%, 0.57%, dan 3.51%.

(35)

Hasil analisis vitamin E, menunjukkan nilai sebesar 9.15 IU per 100 gram minyak. Vitamin E lebih banyak terdapat pada minyak dari biji tumbuhan, seperti minyak biji bunga matahari, minyak jagung, dan lain lain. Nilai vitamin E pada minyak ikan lele hasil separasi menunjukkan angka yang sangat kecil, bahkan pada minyak ikan sarden, dan minyak hati ikan kod berdasarkan data USDA (2010) tidak mengandung vitamin E.

Pemurnian Minyak Ikan Lele

Proses pemurnian minyak ikan sama dengan proses pemurnian yang dilakukan pada minyak kelapa sawit atau minyak ikan lainnya. Proses tersebut terdiri dari tiga tahapan, yaitu netralisasi yang bertujuan untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak, pemucatan yang bertujuan untuk memudarkan warna minyak, dan deodorisasi yang bertujuan untuk menghilangkan aroma yang tidak diinginkan pada minyak (Ketaren 2008). Pada penelitian ini tidak dilakukan proses netralisasi, karena berdasarkan hasil analisis, kadar asam lemak bebas yang terdapat pada minyak kasar hasil separasi sangat kecil, yaitu sebesar 0.05%. Menurut Ketaren (2008), kadar asam lemak bebas hasil netralisasi adalah 0.1-0.2%. Jadi, tidak perlu dilakukan netralisasi jika nilai asam lemak bebas minyak berada di bawah 0.1%.

Pemucatan pada penelitian ini menggunakan bentonit teknis dengan konsentrasi 2%, kemudian dipanaskan hingga suhunya mencapai 1000C dan disaring menggunakan kertas saring Whatman 42. Tujuan pemucatan adalah untuk menghilangkan warna minyak yang tidak diinginkan agar warnanya menjadi lebih baik. Bentonit atau fuller earth berfungsi sebagai adsorben yang melalui proses fisika dan kimia dapat memudarkan atau memucatkan warna suatu substrat. Proses fisika melibatkan proses oksidasi, reduksi atau adsorbsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama pemucatan (bleaching). Proses kimia yang terjadi yaitu kemampuan mengubah bagian berwarna molekul minyak untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Yogaswara 2005). Proses pemucatan dapat mengubah warna minyak kuning pekat menjadi kuning jernih yang lebih disukai oleh panelis.

Deodorisasi dilakukan dengan memanaskan minyak dalam kondisi vakum pada tekanan 45 mmHg hingga suhu 1200C selama satu jam. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan aroma amis minyak ikan lele. Deodorisasi dapat menurunkan derajat aroma minyak yang awalnya sangat beraroma amis menjadi

(36)

agak aroma amis. Proses deodorisasi yang telah dilakukan belum berhasil menghilangkan aroma amis minyak hingga 100% sehingga masih memerlukan upaya untuk menghilangkan aroma minyak tersebut. Perbedaan sifat fisik minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbedaan sifat fisik minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian

Sifat Fisik pemurnian Sebelum pemurnian Setelah

Titik cair (0C) 30.23 30.43

Viskositas (cP) 63.5 64.25

Kejernihan (NTU) 211 2.32

Warna kuning Kuning

Aroma Sangat amis Agak amis

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan dan setelah dimurnikan tidak berbeda jauh. Perbedaan kedua minyak tersebut hanya terletak pada parameter kejernihan yang awalnya bernilai 211 NTU sebelum dimurnikan menjadi 2.32 NTU setelah dimurnikan. Hal ini disebabkan oleh proses pemurnian, terutama pada proses pemucatan (bleaching) partikel-partikel yang menjadi pengotor minyak dihilangkan melalui proses penyaringan dengan penggunaan bentonit sebagai pemucat (Potter & Hotchkiss 1995). Bentonit mempunyai sifat mudah menyerap air sehingga air yang dapat menyebabkan kekeruhan pada minyak ikan lele dapat terserap, dan minyak menjadi jernih (Haryati, Rahmawati, Sari 2006). Selain itu, bentonit juga dapat menyerap logam yang terdapat dalam minyak (Chergrouche & Bensmaili 2002). Dengan berkurangnya logam dalam minyak, maka minyak menjadi lebih jernih, seperti yang yang dijelaskan oleh Rossi et al. (2003) terhadap sampel minyak cengkeh.

Perbedaan lainnya terletak pada aroma. Minyak yang belum dimurnikan memiliki aroma yang sangat amis, namun setelah dimurnikan minyak ikan lele menjadi beraroma agak amis. Panelis memberikan nilai 3 (skala 1-9) untuk minyak yang belum dimurnikan dan memberikan nilai 4 (skala 1-9) untuk minyak yang telah dimurnikan. Proses deodorisasi dapat mengurangi aroma pada minyak ikan lele, karena deodorisasi merupakan proses pemanasan dengan kondisi vakum yang dapat menghilangkan zat volatil pada minyak, salah satunya adalah aroma (Ketaren 2008).

Proses pemurnian juga dapat mengubah sifat kimia minyak ikan lele hasil separasi limbah penepungan. Perubahan tersebut diantaranya ditunjukkan

(37)

oleh penurunan angka asam lemak bebas, bilangan asam, dan bilangan TBA, sedangkan bilangan peroksida menunjukkan peningkatan. Perbedaan sifat kimia minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian disajikan pada Tabel 4:

Tabel 4 Perbedaan sifat kimia minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian

Sifat Kimia pemurnian Sebelum pemurnian Setelah

Asam lemak bebas (%) 0.05 0.03

Bilangan asam (mgKOH/100 gram) 0.06 0.04

Bilangan peroksida (mgO2/100

gram) 0.21 1.29 Bilangan TBA (mg/kg) 0.68 0.30 Palmitat (C16:0) (%) 16.40 15.97 Stearat (C18:0) (%) 4.3 4.3 Oleat (C18:1) (%) 22.65 22.46 Linoleat (C18:2) (%) 17.79 17.72 Linolenat (C18:3) (%) 1.21 1.09 EPA (%) 0.57 0.43 DHA (%) 3.51 2.56 Vitamin E (IU) 9.15 8.15

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa asam lemak bebas sebelum pemurnian sebesar 0.05%, turun menjadi 0.03% setelah pemurnian; bilangan asam sebelum pemurnian sebesar 0.06 mgKOH/100 gram, turun menjadi 0.04 mgKOH/100 gram setelah pemurnian; bilangan TBA sebelum pemurnian 0.68 mg/kg, turun menjadi 0.30 mg/kg setelah pemurnian. Proses pemucatan maupun deodorisasi dapat menurunkan ketiga nilai indikator oksidasi tersebut, akan tetapi kedua proses ini dapat meningkatkan bilangan peroksida yang awalnya 0.21 mgO2/100 grammenjadi 1.29 mgO2/100 gram. Hal ini karena bilangan peroksida akan meningkat karena perlakuan panas pada saat pemurnian baik pada proses pemucatan maupun proses deodorisasi (Potter & Hotchkiss 1995).

Proses pemurnian juga dapat menurunkan nilai asam lemak dan vitamin E meskipun perbedaan tersebut tidak berarti. Asam lemak palmitat (C16:0) sebelum pemurnian sebesar 16,4%, turun menjadi 15.97%; Asam stearat (C18:0) sebelum dan setelah pemurnian nilainya tidak berubah yakni 4.3%; Asam lemak oleat (C18:1) sebelum pemurnian sebesar 22.65%, turun menjadi 22.46%; asam lemak linoleat (C18:2) sebelum pemurnian sebesar 17.79%, turun menjadi 17.72%; asam lemak linolenat (C18:3) sebelum pemurnian 3.51%, turun menjadi 2.56%. Penurunan tersebut disebabkan oleh perlakuan panas baik pada saat pemucatan maupun deodorisasi. Asam lemak akan rusak oleh oksidasi yang terjadi pada minyak (Ketaren 2008). Begitupun dengan nilai vitamin E, sebelum

(38)

pemurnian vitamin E pada sampel minyak ikan lele sebesar 9.15 IU per 100 gram, turun menjadi 8.15 IU per 100 gram sampel.

Pengaruh Penambahan Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang dapat menghambat atau memperlambat laju oksidasi dari bahan yang mudah teroksidasi. Penggunaan antioksidan dalam bahan pangan harus dibatasi, sesuai dengan aturan yang ditetapkan (Ketaren 2008). Pembatasan penggunaan ini terutama ditujukan pada antioksidan sintetis seperti BHT (Butylated Hidroxytoluene).

Penambahan antioksidan pada proses pemurnian bertujuan untuk melindungi minyak dari proses oksidasi. Tujuan lainnya adalah untuk menekan jumlah kerusakan zat gizi yang diakibatkan oleh proses pemurnian, baik proses pemucatan maupun deodorisasi. Hasil pengamatan terhadap sifat fisik, sifat kimia, dan sifat organoleptik minyak ikan lele hasil pemurnian diuraikan sebagai berikut:

Sifat Fisik Titik cair

Titik cair merupakan saat dimana minyak mulai mencair, tetapi karena minyak merupakan campuran trigliserida, titik cairnya tidak tepat. Titik cair kristal-kristal suatu lemak dapat berbeda-beda berdasarkan dua mekanisme utama, yaitu karena heterogenitas kristal-kristal dan bentuk polimorfik yang berbeda-beda. Titik cair minyak dan lemak ditentukan oleh beberapa faktor. Makin pendek rantai asam lemak, makin rendah titik cair trigliserida itu. Cara-cara penyebaran asam-asam lemak juga mempengaruhi titik cairnya (Buckle et al. 2007). Histogram titik cair minyak ikan lele disajikan pada Gambar 3.

(39)

Gambar 3 Histogram data titik cair minyak ikan lele

Histogram pada Gambar 3 menunjukkan bahwa minyak ikan hasil pemurnian tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol) memiliki titik cair sebesar 30.430C. Minyak yang dimurnikan dengan penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan (perlakuan 1) memiliki titik cair yang lebih tinggi yaitu sebesar 30.930C, sedangkan minyak yang dimurnikan dengan penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan memiliki titik cair paling rendah (29.980C).

Berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap titik cair minyak (Lampiran 8). Hal ini diduga karena proses pemurnian minyak ikan lele tidak memutus asam lemak berantai panjang secara berarti. Selain itu, minyak ikan lele juga mengandung vitamin E yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan menjaga ikatan rangkap asam lemak.

Viskositas

Viskositas minyak dan lemak cair biasanya bertambah dengan bertambah panjangnya rantai karbon dan berkurang dengan naiknya suhu. Minyak kastor jauh lebih kental daripada sebagian minyak lainnya karena adanya gugus hidroksil pada salah satu dari komponen asam lemak, asam ricinoleic (Buckle et al. 2007).

Viskositas dalam cairan ditimbulkan oleh gesekan antara lapisan-lapisan dalam cairan, sehingga semakin besar gesekan yang terjadi maka viskositasnya semakin besar, begitu juga jika gesekan yang terjadi lebih kecil, maka viskositasnya juga kecil (Sutiah, Firdausi, Wahyu 2008). Pengukuran viskositas pada penelitian ini dilakukan pada suhu ruang menggunakan viskometer

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

30.43 30.93 29.98 Titik  Cair  ( 0 C)  

(40)

Brookfield RVT dengan ukuran spindel 1. Histogram data viskositas minyak ikan lele disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Histogram data viskositas minyak ikan lele

Gambar 4 menunjukkan bahwa viskositas minyak ikan lele setelah dimurnikan tanpa penambahan BHT (kontrol) sebesar 65.5 cP, minyak dengan penambahan BHT setelah proses pemucatan (perlakuan 2) yang paling rendah, yaitu sebesar 64.5 cP. Nilai viskositas minyak ikan lele dumbo pada perlakuan 1 dengan penambahan BHT sebelum pemucatan memiliki nilai yang paling tinggi, yaitu sebesar 67 cP. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai viskositas (Lampiran 9). Hal ini diduga karena minyak ikan lele mengandung vitamin E yang dapat berperan sebagai antioksidan, sehingga vitamin E dapat menghambat terputusnya ikatan rangkap asam lemak dalam minyak tersebut. Selain itu, baik proses pemucatan maupun proses deodorisasi dilakukan dalam kondisi vakum sehingga dapat mengurangi kontak antara minyak ikan lele dengan oksigen di udara yang dapat menyebabkan terjadinya oksidasi.

Nilai viskositas minyak ikan lele dumbo hasil penelitian Novitasari (2007) adalah sebesar 4.11 cP, dan viskositas minyak ikan gurame hasil penelitian Kholidah (2008) adalah sebesar 21.89 cP. Artinya, minyak kasar hasil separasi limbah penepungan ikan lele dumbo pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah perbedaan teknik ekstraksi, perbedaan geografis tempat budidaya ikan lele, dan lain-lain.

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

65.5 67 64.5 Viskositas  (cP)  

(41)

Kejernihan

Kejernihan dianalisis menggunakan turbidimeter. Kejernihan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas minyak, semakin jernih suatu minyak maka akan semakin baik kualitasnya. Histogram hasil analisis kejernihan minyak ikan lele disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram data hasil analisis kejernihan minyak ikan lele

Rata-rata hasil analisis kejernihan minyak menunjukkan bahwa minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT) menunjukkan angka kejernihan sebesar 2.3 NTU; minyak pada perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan) sebesar 3.4 NTU; dan minyak pada perlakuan 2 (penambahan BHT setelah proses pemucatan) sebesar 2.6 NTU. Berdasarkan sidik ragam, ternyata perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p=0.05) terhadap perubahan kejernihan minyak ikan lele (Lampiran 10). Hal ini diduga kerena ketiga minyak tersebut dipucatkan menggunakan bentonit sebagai bahan pemucat dengan konsentrasi 2%.

Warna

Warna memegang peranan penting bagi kebanyakan makanan. Bersama-sama dengan aroma dan rasa, warna sangat berpengaruh terhadap penerimaan makanan dan minuman oleh konsumen. Selain itu, warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia makanan, seperti pencokelatan dan karamelisasi.

Warna suatu bahan dapat diukur intensitasnya dengan menggunakan spektrofotometer, lovibond tintometer, atau dengan kromamometer. Pada penelitian ini digunakan kromamometer sebagai alat pengukur warna minyak.

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

2.3 3.4 2.6 Ke jernina gn  (N TU ) 

(42)

Alat ini berdasarkan sistem Hunter yang menggunakan tiga dimensi L, a, b (Ameny & Wilason 1997). Dalam sistem ini ada tiga parameter yang terukur, yaitu hue, value, dan chroma. Hue0 menyatakan panjang gelombang dominan

dari suatu warna, value mengGambarkan gelap terang warna tanpa memperhatikan panjang gelombangnya, sedangkan chroma mengGambarkan ukuran intensitas sinar dominan yang dipantulkan (Indriani 2003). Histogram data hasil pengukuran warna minyak ikan lele disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Histogram data hasil pengukuran warna minyak ikan lele

Data hasil pengukuran dengan kromamometer diperoleh rata-rata nilai L sebesar 63.8 untuk minyak tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol) yaitu; 62.8 untuk minyak hasil pemurnian dengan penambahan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1); dan 64.0 untuk minyak hasil pemucatan dengan penambahan BHT setelah pemucatan (perlakuan 2). Semakin tinggi nilai L (lightness) suatu bahan, menandakan bahwa bahan tersebut semakin cerah (nilai maksimum L=100). Rata-rata nilai chromatocity adalah 16.8 untuk minyak tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol); 18.2 untuk minyak hasil pemurnian dengan penambahan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1); dan 16.2 untuk minyak hasil pemucatan dengan penambahan BHT setelah pemucatan. Rata-rata derajat hue0 adalah 110.2 untuk minyak tanpa penambahan antioksidan

BHT (kontrol); 107.6 untuk minyak hasil pemurnian dengan penambahan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1); dan 108.9 untuk minyak hasil pemucatan dengan penambahan BHT setelah pemucatan (perlakuan 2).

Berdasarkan ketiga parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga minyak ikan memiliki warna yang sama, yaitu kuning. Hasil sidik ragam juga

Lightness Chromatocity hue

63.8 16.8 110.2 62.8 18.2 107.6 64.0 16.2 108.9

(43)

menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap warna minyak ikan (Lampiran 11).

Sifat kimia

Asam Lemak Bebas (%FFA)

Jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak merupakan salah satu indikator kualitas minyak. Nilai FFA yang tinggi menunjukkan bahwa aktivitas oksidasi pada minyak semakin tinggi, sehingga kerusakan minyak semakin tinggi (Ketaren 2008). Histogram data persentase asam lemak bebas minyak ikan lele disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram data persentase asam lemak bebas minyak ikan lele Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas pada kontrol (tanpa penambahan BHT) sebesar 0.03%; kadar asam lemak bebas pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan) adalah sebesar 0.05%; kadar asam lemak bebas pada minyak dengan perlakuan 2 (penambahan BHT setelah pemucatan) adalah sebesar 0.01%. Berdasarkan sidik ragam perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) tehadap kadar asam lemak bebas minyak ikan lele (Lampiran 11). Hal ini diduga karena persentase FFA pada minyak kasarnya yang rendah, yaitu hanya sebesar 0.05% sehingga pada proses pemurnian tidak terjadi perubahan jumlah FFA yang nyata.

Bilangan asam

Bilangan asam merupakan salah satu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kualitas minyak atau lemak, analisis bilangan asam juga dapat dilakukan untuk pengujian minyak atau lemak yang berasal dari hasil produk

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

0.03

0.04

0.01

FFA

Gambar

Gambar 1. Diagram alir proses pemurnian dengan penambahan antioksidan BHT  (Abdillah 2008; Riyadi 2009)  BHT 200 ppm Homogenisasi  BHT 200 ppm Minyak hasil separasi Pemanasan sampai 1000C Penambahan bahan pemucat Pengadukan 10 menit dan didinginkan pada
Gambar 2  Diagram alir proses mikroenkapsulasi (Lin et al. 1995)                            
Tabel 4  Perbedaan sifat kimia minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian  Sifat Kimia  Sebelum
Gambar 3  Histogram data titik cair minyak ikan lele
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan model round table dengan media buku zig-zag dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis karangan narasi, menumbuhkan minat siswa untuk belajar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul “Pengaruh Substitusi Tepung

merupakan jawaban atas pertanyaan apa atau siapa; (2) dapat disertai oleh kata itu/ini sebagai traktif; (3) dapat diperlus/ disertai dengan frase atau klausa; (1) tidak

ءام terbagi menjadi dua bagian yaitu dalam bentuk ma’rifat sebanyak 21 kali.. dan dalam bentuk nakirah sebanyak 41

penelitian produk (produc investigation). Secara umum inquiry merupakan proses yang bervariasi dan meliputi kegiatan- kegiatan mengobservasi, merumuskan pertanyaan

PARLINDUNGAN SIANIPAR, S.Pd., M.Pd.. PARLINDUNGAN SIANIPAR,

◦ Larutan tanah (sifatnya tersedia untuk diserap oleh akar tanaman) ◦ Bahan organik (mengalami proses perombakan).. ◦ Organisme tanah (komponen

Dalam penelitian ini proses penelusuran data dilakukan dengan cara mengamati data rekam medik pasien. Tahap pertama untuk mengambil sampel dilakukan adalah pemilihan sampel dari