• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimental.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimental."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimental. Penelitian meliputi pengumpulan dan penyiapan bahan tumbuhan, pembuatan simplisia, pemeriksaan karakteristik simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak, pengujian aktivitas antioksidan buah andaliman melalui pemeriksaan kadar SOD pada darah tikus dengan metode spektrofotometri dan histologi organ hati tikus.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari lemari pengering, oven, tanur, penangas air, rotary evaporator, seperangkat alat penetapan kadar air, desikator, neraca hewan, neraca analitis (Baeco), neraca kasar (Homeline), blender (Philips), alat-alat gelas laboratorium, mortar dan stamfer, aluminium foil, kertas saring, oral sonde, spuit, vortex,sentrifuge, microplate, mikropipet, spektrofotometri UV-Vis (Thermo scientific), perlengkapan alat bedah hewan.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah andaliman. Bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain berkualitas pro analisis adalah etanol 96%, pereaksi Bouchardat, Dragendorff, Mayer, besi (III) klorida, Molisch, timbal (II) asetat, asam sulfat, asam klorida, metanol, kloroform-isopropanol, Liebermann-Burchard, n-heksan, toluen, kloroform, serbuk magnesium, serbuk seng, Na-CMC (natrium carboxy methyl cellulose), doksorubisin, ketamin, rutin,

(2)

3.1.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus betina, berusia 2-3 bulan dengan berat badan 150-200 g, sehat dan berprilaku normal.

3.2 Pembuatan Pereaksi

3.2.1 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml ( Depkes RI, 1979).

3.2.2 Pereaksi Besi (III) klorida 1 %

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.2.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.2.4 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8,0 g bismuth (II) nitrat dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat kemudian dicampurkan dengan larutan kalium iodide sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.2.5 Larutan Kloralhidrat

Sebanyak 50 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling (Depkes RI, 1995).

(3)

3.2.6 Pereaksi Liebermann-Burchard

Campur secara perlahan 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 ml (Merck, 1978).

3.2.7 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida, dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.2.8 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g alfa naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.2.9 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

Sebanyak 8,001 g kristal natrium hidroksida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1979).

3.2.10 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M

Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam air suling bebas CO2

hingga 100 ml (Depkes RI, 1995). 3.2.11 Pereaksi Asam Sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml (Depkes RI, 1995).

(4)

3.3 Prosedur Pembuatan Simplisia 3.3.1 Pengambilan Bahan Tumbuhan

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Bahan tumbuhan diambil dari perkebunan desa Onan Rungu, Kab. Samosir.

3.3.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi sampel tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA) Bidang Botani Universitas Sumatera Utara.

3.3.3 Pembuatan Simplisia

Bahan buah andaliman yang sudah masak atau hampir masak dipetik, kemudian dikumpulkan, sortasi basah, dicuci bersih di bawah air mengalir, ditiriskan, dan ditimbang beratnya. Buah andaliman selanjutnya dikeringkan di lemari pengering hingga kering, sortasi kering, kemudian ditimbang beratnya, dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air (WHO, 1992), penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam (Depkes RI, 1995).

3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan mengamati bentuk, bau dan rasa dari buah andaliman dan serbuk simplisia buah andaliman.

(5)

3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia buah andaliman. Serbuk simplisia buah andaliman diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

3.4.3 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung, dan tabung penerima.

Cara kerja:

Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu destilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).

(6)

3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.4.5 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.4.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap,

(7)

timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.4.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.5 Skrining Fitokimia Simplisia

Skrining fitokimia serbuk simplisia buah andaliman meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida, dan steroid/triterpenoid.

3.5.1 Pemeriksaan Flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambah air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 1 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah kekuningan atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.5.2 Pemeriksaan Alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2

(8)

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji alkaloida: diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi :

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit dua dari tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.5.3 Pemeriksaan Saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.5.4 Pemeriksaan Tanin

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 10 ml air suling selama 15 menit lalu disaring. Filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes larutan pereaksi besi (III) klorida 10 %. Apabila terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.5.5 Pemeriksaan Glikosida

Sebanyak 3 gram serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 95% dan 3 bagian air suling, ditambahkan dengan asam klorida 2 N hingga pH larutan 2, direfluks selama 10 menit, dinginkan dan

(9)

disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok dan didiamkam selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat diekstraksi dengan 20 ml campuran 3 bagian kloroform dan 2 bagian isopropanol, ini dilakukan sebanyak tiga kali. Kumpulan sari air diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC. sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan ini digunakan untuk percobaan berikut: larutan sisa dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air, sisanya ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Jika terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya gula (Depkes RI, 1995).

3.5.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid

Sebanyak 1g serbuk simplisia dimaserasi dengan eter 20 ml selama 2 jam, disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Lieberman-Bourchard), diteteskan pada saat akan mereaksikan sampel uji. Apabila terbentuk warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroid sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

3.6 Proses Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Andaliman (EEBA)

Proses pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Masukkan 10 bagian simplisia (500 g) atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan cairan penyari (etanol 96%) sebanyak 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari.

(10)

Setelah 5 hari, kemudian disaring, ampas diperas. Ampas dicuci dengan pelarut secukupnya, diaduk dan disaring hingga diperoleh 100 bagian. Tampung maserat ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari kemudian dienaptuangkan. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporator, kemudian ekstrak dikeringkan dengan penangas air.

3.7 Pembuatan Sediaan Uji

3.7.1 Pembuatan Suspensi Na-CMC 1% (b/v)

Sebanyak 1 g Na-CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi air suling panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen dan berbentuk gel, diencerkan dengan air suling, dihomogenkan dan dimasukkan ke labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 100 ml.

3.7.2 Pembuatan Suspensi Rutin

Ditimbang rutin sebanyak 50 mg, ditambahkan suspensi Na-CMC 1% sedikit demi sedikit sambil digerus homogen, lalu diencerkan dengan suspensi Na-CMC 1% hingga 10 ml. Dalam hal ini rutin digunakan sebagai pembanding. 3.7.3 Pembuatan Suspensi EEBA (Ekstrak Etanol Buah Andaliman)

Dari hasil orientasi dosis yang telah dilakukan maka dalam pengujian akan digunakan 3 variasi dosis yaitu dosis 75, 150 dan 300 mg/kg bb. Sejumlah 75 mg, 150 mg, dan 300 mg ekstrak etanol buah andaliman masing-masing ditimbang dan dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi Na-CMC 1% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen lalu dimasukkan ke labu tentukur 10

(11)

ml, dicukupkan volumenya hingga 10 ml. Perhitungan dosis ekstrak etanol buah andaliman (EEBA) dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 67 .

3.8 Induksi Stres Pada Tikus

Penginduksian stres pada tikus dilakukan pada hari ke-8 dan ke-9 pengujian. Penginduksian dilakukan dengan memberikan doksorubisin HCL dosis 20 mg/kg bb secara intraperitonial (Thandavarayan, dkk., 2015 ; Ihab, dkk., 2009).

3.9 Pengujian Ekstrak Etanol Buah Andaliman dengan Metode Spektrofotometri UV-vis terhadap aktivitas SOD pada tikus

3.9.1 Penyiapan Hewan Percobaan

Sebelum digunakan, tikus diaklimatisasi selama 7 hari dengan kondisi laboratorium. Masing-masing kandang diberikan sekam dan diberi makan yang teratur. Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 6 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus betina. Pengujian dilakukan selama 9 hari, kelompok tersebut adalah :

Kelompok I : diberikan Na-CMC 1% secara oral selama 9 hari

Kelompok II : diberikan doksorubisin HCl dosis 20 mg/kg bb secara intraperitonial pada hari ke-8 dan ke-9

Kelompok III : diberikan suspensi EEBA dosis 75 mg/kg bb secara oral selama 7 hari, dilanjutkan hari ke-8 dan 9 bersama dengan pemberian doksorubisin HCl dosis 20 mg/kg bb secara intraperitonial

(12)

Kelompok IV : diberikan suspensi EEBA dosis 150 mg/kg bb secara oral selama 7 hari, dilanjutkan hari ke-8 dan 9 bersama dengan pemberian doksorubisin HCl dosis 20 mg/kg bb secara intraperitonial

Kelompok V : diberikan suspensi EEBA dosis 300 mg/kg bb secara oral selama 7 hari, dilanjutkan hari ke-8 dan 9 bersama dengan pemberian doksorubisin HCl dosis 20 mg/kg bb secara intraperitonial

Kelompok VI : diberikan rutin dosis 50 mg/kg bb secara oral selama 7 hari, dilanjutkan hari ke-8 dan 9 bersama dengan pemberian doksorubisin HCl dosis 20 mg/kg bb secara intraperitonial Tikus dipuasakan selama 12 jam dan pada hari ke-10 semua hewan percobaan dianastesi dengan ketamin dosis 70 mg/kg bb secara intraperitonial lalu dikorbankan. Selanjutnya diambil cuplikan darah dari jantung tikus (intracardial) untuk dilakukan pengukuran aktivitas SOD dan hati tikus untuk dilakukan pemeriksaan histologi.

3.9.2 Pengambilan Darah Tikus

Pengambilan darah tikus pada akhir perlakuan dilakukan secara intracardial, yang terlebih dahulu tikus dipuasakan 10-12 jam. Tikus dibius dengan ketamin dosis 70 mg/kg bb secara i.p, lalu tikus dibedah. Darah diambil melalui jantung dengan menggunakan spuit 3 ml. Darah dimasukkan ke dalam tabung appendorf.

(13)

3.9.3 Pengambilan Serum Darah Tikus

Darah yang didapat, disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3000-4000 rpm hingga terpisah antar serum/supernatan dan endapannya. Lapisan serum yang berupa cairan diambil dengan menggunakan spuit dan ditampung didalam mikrotube.

3.9.4 Pengukuran Kadar SOD

Pengukuran kadar SOD dilakukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis berdasarkan prosedur Bioassay Systems (Enzychrom Superoxide Dismutase Assay Kit) pada panjang gelombang 440 nm yang dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 70. Pengujian aktivitas SOD dilakukan menurut metode yang telah dilakukan Waisundra dan Hoon (2013) dan Suarsana, dkk., (2013)

3.10 Histologi organ hati

Diambil organ hati kemudian dicuci dengan larutan fisiologis 0,9% kemudian dimasukkan dalam larutan dapar formaldehida 10% dan hasilnya dilihat di bawah mikroskop. Pembuatan preparat histologi dilakukan di rumah sakit Murni Teguh.

3.11 Pemeriksaan Histologi Jaringan Hati Tikus dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)

3.11.1 Pembuatan Preparat Blok Parafin

Langkah-langkah pembuatan blok parafin adalah sebagai berikut:

a. sampel hati yang direndam dalam larutan formalin 10% selanjutnya dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat yaitu diawali dengan alkohol 70%,

(14)

kemudian berturut-turut alkohol 80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut. Pada masing-masing proses dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam.

b. tahap selanjutnya adalah pencucian dengan menggunakan larutan xylol yaitu

xylol 1, xylol 2, dan xylol 3 masing-masing selama 1-2 jam.

c. proses penanaman. Caranya: sampel direndam dalam campuran xylol dan parafin cair pada suhu 60–70oC, dengan perbandingan xylol : parafin berturut-turut 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing selama 2 jam.

d. dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku, kemudian blok parafin dipotong dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 5-7 μm. 3.11.2 Pewarnaan Hematoxylin Eosin

Pemeriksaan histologi hati dilakukan pada seluruh sampel hati tikus. Pewarnaan HE dimulai dengan melakukan deparafinisasi dengan memasukkan preparat ke dalam seri larutan xylol I, II, III. Tahapan selanjutnya adalah fiksasi dengan memasukkan preparat ke dalam larutan alkohol 96%. Kemudian dicuci dengan air mengalir dan direndam dalam akuades. Preparat direndam dalam

hematoxylin selama 5 menit lalu dicuci dengan air mengalir selama 3 menit. Kemudian preparat dicelup ke dalam larutan acid alcohol 1% sebanyak 1-2 celupan dan dicuci kembali dengan air mengalir selama 3 menit. Setelah itu preparat diwarnai menggunakan eosin 1% dan dicuci lagi dengan air mengalir selama 3 menit. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan alkohol bertingkat (alkohol 80%, 95% dan alkohol absolut) selama 3 menit serta penjernihan (clearing) dengan menggunakan xylol. Sediaan dilakukan mounting dan ditutup dengan cover glass. Preparat diamati dibawah mikroskop cahaya untuk melihat morfologi sel atau jaringan termasuk kerusakannya.

(15)

3.12 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 17. Data dianalisis dengan menggunakan metode Kolmogorov Smirnov untuk menentukan homogenitas dan normalitasnya. Kemudian dilanjutkan menggunakan metode One Way ANOVA untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara kelompok. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji

(16)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense Bidang Botani Universitas Sumatera Utara. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa sampel termasuk suku Rutaceae jenis Zanthoxylum acanthopodium DC. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 57.

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik dari buah andaliman diperoleh bahwa buah muda berwarna hijau, dan matang berwarna merah tua sampai merah kecoklatan. Bentuk buah bulat dan kecil, lebih kecil dari merica, bila digigit mengeluarkan aroma wangi dan rasa tajam yang khas, dan dapat merangsang produksi air liur. Biji berada dalam buah dan keras. Pemeriksaan makroskopik yang dilakukan terhadap simplisia buah andaliman yaitu simplisia berwarna hitam, berbau khas, dan biji keluar dari buah. Pemeriksaan karakteristik buah andaliman secara makroskopik dilakukan untuk memperoleh identitas simplisia. Hasil pemeriksaan makroskopik buah andaliman dan simplisia buah andaliman dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 58.

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik

Secara mikroskopik terlihat adanya rambut penutup, berkas pembuluh, endosperm dengan tetes minyak, tetes-tetes minyak, dan fragmen kulit biji berwarna jingga kemerahan. Hasil mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4.

(17)

4.2.3 Karakteristik simplisia

Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu yang tidak larut asam dapat dilihat pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia buah andaliman

No. Pemeriksaan Hasil (%)

Simplisia MMI

1 Kadar air 7,58 -

2 Kadar sari larut air 10,30 -

3 Kadar sari larut etanol 12,62 -

4 Kadar abu total 7,06 -

5 Kadar abu tidak larut asam 0,23 -

Berdasarkan hasil pemeriksaan, simplisia buah andaliman mempunyai kadar air sebesar 7,58%, hasil ini memenuhi persyaratan kadar air simplisia buah pada buku Cara Pembuatan Simplisia yaitu tidak lebih dari 8% (Depkes RI, 1985). Semakin kecil kadar air simplisia, kemungkinan terjadinya pertumbuhan mikroorganisme dan hidrolisis senyawa kimia yang terdapat dalam simplisia tersebut semakin kecil. Kadar sari larut air diperoleh sebesar 10,30% dan kadar sari larut etanol sebesar 12,62%. Penentuan kadar sari sangat berguna untuk memberikan gambaran mengenai banyaknya bahan yang terlarut dari simplisia. Sedangkan kadar abu total simplisia yang didapat sebesar 7,06% dan kadar abu tidak larut asam sebesar 0,23%.

Penetapan kadar abu bertujuan untuk mengetahui jumlah pengotor pada simplisia. Abu yang tersisa setelah pembakaran berupa abu fisiologis yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri dan abu non fisiologis yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan tanah yang menempel pada sampel. Penetapan kadar abu dalam asam dimaksudkan untuk mengetahui jumlah silikat khususnya pasir

(18)

yang terdapat pada simplisia dengan cara melarutkan abu total menggunakan asam klorida (WHO, 1992). Semakin rendah kadar abu maka mutu simplisia semakin tinggi.

Persyaratan karakteristik simplisia buah andaliman tidak tertera pada monografi di dalam buku Materia Medika Indonesia (MMI) sehingga hasil yang diperoleh diatas tidak dapat dibandingkan.

Ekstraksi serbuk simplisia dilakukan secara maserasi. Penyarian 500 gram simplisia buah andaliman menggunakan etanol 96% menghasilkan 59,41 gram ekstrak dengan persentase rendemen sebesar 11,9%.

4.3 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak buah andaliman dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat didalamnya. Hasil skrining fitokimia terhadap simplisia dan ekstrak buah andaliman dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisa dan ekstrak buah andaliman No. Pemeriksaan Simplisia Buah

Andaliman Ekstrak Buah Andaliman 1 Flavonoid + + 2 Alkaloid + + 3 Saponin + + 4 Steroid/Terpenoid + - 5 Glikosida + + 6 Tanin + + Keterangan :

(+) : mengandung golongan senyawa (-) : tidak mengandung golongan senyawa

Hasil skrining fitokimia di atas, menunjukkan bahwa buah andaliman berpotensi sebagai antioksidan, yaitu dengan adanya senyawa flavonoid.

(19)

Flavonoid pada tumbuhan bergenus Zanthoxylum memberi khasiat sebagai antitumor, antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, dan antifungi (Kristanty dan Junie, 2015).

4.4 Pengaruh Ekstrak Etanol Buah Andaliman terhadap Kadar SOD pada Tikus

Pemeriksaan kadar SOD dilakukan secara kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis berdasarkan prosedur Bioassay Systems (EnzyChrom Superoxide Dismutase Assay Kit) pada panjang gelombang 440 nm yang dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 70. Metode ini berdasarkan pada prinsip kolorimetri untuk penentuan aktivitas enzim SOD dalam sampel biologi secara kuantitatif. Di dalam pengujian, superoksida (O2-) dihasilkan oleh reaksi katalisis xanthine oxidase (XO). O2- bereaksi dengan pewarna WST-1 untuk membentuk

produk berwarna. SOD mengumpulkan O2- sehingga berkurangnya O2- berguna

untuk reaksi kromogenik. Intensitas warna (OD440nm) digunakan untuk

menentukan aktivitas SOD di dalam sampel. Semakin tinggi absorbansi yang diperoleh (ΔΔOD) maka semakin tinggi aktivitas SOD dari sampel (Anonim, 2012).

Pengukuran aktivitas SOD dimulai dengan pembuatan kurva standar berdasarkan prosedur yang tertera pada Enzychrom Superoxide Dismutase Assay Kit. Kurva standar dibuat dengan mengukur absorbansi masing masing standar dengan konsentrasi 0, 0,12, 0,24, 0,54, 1,2, 1,8, 2,4, 3 U/ml pada panjang gelombang 440 nm. Nilai absorban setiap konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.3.

(20)

Tabel 4.3 Absorbansi Standar SOD

Konsentrasi SOD (U/ml) Absorbansi (440 nm)

0 0 0,12 0,001 0,24 0,003 0,54 0,005 1,2 0,005 1,8 0,005 2,4 0,007 3 0,014

Berdasarkan tabel diatas diperoleh kurva standar seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Kurva Standar SOD

Kurva standar didapat dari hubungan berbagai konsentrasi standar dengan absorbansi yang terbentuk. Dari kurva kalibrasi ini diperoleh nilai r2. Nilai r2 berkisar antara 0 sampai 1 yang menunjukkan seberapa dekat nilai perkiraan untuk analisis regresi yang mewakili data yang sebenarnya. Dari kurva standar

0 0.001 0.003 0.005 0.007 y = 0.0043ln(x) - 0.0009 R² = 0.8898 -0.002 -0.001 0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007 0.008 0 0.12 0.24 1.2 2.4 A b sor b an si ( 440 n m )

(21)

diperoleh persamaan garis regresi y = 0,0043 ln(x) – 0,0009 dengan nilai r2 = 0,8898.

Aktivitas SOD dihitung dengan mensubstitusikan nilai absorban (y) sampel pada panjang gelombang 440 nm ke dalam persamaan garis regresi logaritma y = a ln(x) + b, yang diperoleh dari kurva standar SOD sehingga diperoleh nilai aktivitas SOD (x). Hasil aktivitas SOD kemudian dilakukan analisis statistika menggunakan one way analysis of variant (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Post Hock Tukey HSD. Dari hasil uji yang dilakukan didapatkan perbedaan hasil pengukuran yang signifikan (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Hasil uji aktivitas SOD ekstrak etanol buah andaliman pada darah tikus dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Aktivitas SOD ekstrak etanol buah andaliman pada darah tikus Kelompok Rata-rata aktivitas SOD

(U/ml)

Kontrol 4,626 ± 0,258bc

Doksorubisin 1,956 ± 0,088ac

Rutin 5,594 ± 0,206ab

EEBA 75 + Doksorubisin 2,444 ± 0,084abc EEBA 150 + Doksorubisin 3,052 ± 0,114abc EEBA 300 + Doksorubisin 3,646 ± 0,174abc Keterangan :

a : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol

b : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok doksorubisin

c : Sig (p)<0,05 ada perbedaan yang signifikan dengan kelompok rutin

(22)

Gambar 4.2 Pengaruh kelompok perlakuan terhadap aktivitas SOD

Perbedaan rata-rata aktivitas SOD pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.2. Rata-rata nilai aktivitas SOD pada kelompok kontrol adalah 4,626 ± 0,258 U/ml. Nilai tersebut menunjukkan standar nilai aktivitas enzim SOD tikus dalam keadaan sehat (normal). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas SOD kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok doksorubisin. Kelompok rutin memiliki aktivitas SOD tertinggi (5,594 ± 0,206 U/ml) dan kelompok perlakuan doksorubisin memiliki aktivitas SOD paling rendah (1,956 ± 0,088 U/ml). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian doksorubisin dapat menginduksi peningkatan radikal bebas, dan menimbulkan stress oksidatif serta menurunkan aktivitas SOD (Hassanen, dkk., 2015).

Berdasarkan analisis statistika diketahui bahwa perlakuan pemberian ekstrak etanol buah andaliman memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan aktivitas SOD pada kelompok EEBA 75 (2,444 ± 0,084 U/ml), EEBA 150 (3,052 ± 0,114 U/ml), dan EEBA 300 (3,646 ± 0,174 U/ml) dibandingkan dengan kelompok doksorubisin (stres oksidatif). Pemberian EEBA

4.626 1.956 2.444 3.052 3.646 5.594 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 rat a-rat a ak ti vi tas S O D d al am dar ah t ikus ( U /m l) Perlakuan

(23)

mampu meningkatkan aktivitas SOD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok doksorubisin, dari hasil uji dapat dilihat bahwa semakin tinggi dosis EEBA yang diberikan semakin tinggi aktivitas SOD yang dihasilkan, bila dibandingkan dengan kelompok doksorubisin EEBA dengan dosis 300 mg/kg bb memberikan aktivitas paling baik. Hasil penelitian sebelumnya terkait uji aktivitas antioksidan EEBA secara in vitro dengan metode DPPH menunjukkan nilai IC50 sebesar 32,19

ppm (kuat) (Gultom, 2012), dari hasil kedua metode tersebut dapat dilihat bahwa baik melalui pengukuran SOD maupun dengan metode peredaman DPPH, EEBA memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (Kristanty, dkk., 2013).

Aktivitas SOD kelompok EEBA bila dibandingkan dengan kelompok rutin (sebagai kontrol positif) menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05), dimana aktivitas SOD rutin (5,594±0,206 U/ml) menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi. Kelompok EEBA dengan dosis 300 mg/kg bb (3,646 ± 0,174 U/ml) memiliki aktivitas SOD yang paling tinggi dibandingkan dengan dosis lainnya, akan tetapi masih belum bisa menyamai aktivitas SOD pada kelompok rutin. Rutin merupakan golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan dapat mengurangi peroksida lipid (Annapurna, dkk., 2009).

EEBA diberikan per oral pada tikus betina selama 7 hari sebelum diinduksi doksorubisin (DOX) dosis 20 mg/kg bb dan dilanjutkan pada hari ke-8 dan ke-9 dengan pemberian ekstrak 1 jam sebelum diinduksi doksorubisin. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa senyawa kimia dari EEBA mampu memproteksi tubuh tikus dari stres oksidatif yang dihasilkan dari penginduksian DOX. (Thandavarayan, dkk., 2015 ; Ihab, dkk., 2009).

(24)

Berdasarkan hasil skrining fitokimia, EEBA mengandung senyawa polifenol yang berupa flavonoid sebagai antioksidan ekstrasel berperan dalam menghambat enzim yang bertanggung jawab dalam produksi radikal anion superoksida (O2-) seperti xantin oksidase dan protein kinase C. Disamping itu

flavonoid juga menghambat enzim siklooksigenase, lipoksigenase, monooksigenase mikrosom, glutation S-transferase dan NADH oksidase yang semuanya terlibat dalam pembentukan ROS (Pieta, 2000), sehingga dapat dilihat bahwa aktivitas antioksidan EEBA, yaitu dengan meningkatnya kadar SOD dalam darah, merupakan kerja dari senyawa flavonoid yang terdapat dalam buah andaliman.

4.5 Pemeriksaan Histologi Jaringan Hati Tikus

Pemeriksaan histologi jaringan hati tikus dilakukan dengan pewarnaan

Hematoxylin Eosin (HE). Hematoxylin bersifat basa akan mewarnai unsur jaringan yang bersifat asam (basofilik), yaitu inti sel. Sedangkan eosin bersifat asam sehingga berfungsi mewarnai sitoplasma yang bersifat basa (asidofilik) (Djajakirana, 2009). Hasil pemeriksaan histologi hati dapat dilihat pada Gambar 4.3.

(25)

NORMAL DOXO

EEBA 75 + DOX EEBA 150 + DOX

EEBA 300 + DOX RUTIN + DOX

Gambar 4.3 Gambaran histologi hati tikus dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin pada berbagai perlakuan (perbesara 40x)

Keterangan :

a. Sel hati normal e. Karioreksis b. Vena sentral f. Degenarasi hidropis c. Kariolisis d. Piknosis a b c d e b d f e a c b a d a b

(26)

Berdasarkan hasil pemeriksaan histologi pada gambar 4.3, terlihat bahwa pada kelompok normal (Gambar 4.3.a), susunan jaringan hati pada semua tikus masih dalam keadaan baik walaupun di beberapa bagian terdapat adanya degenerasi sel. Pada semua kelompok hewan yang diberikan doksorubisin, terlihat adanya sel yang mengalami nekrosis, steatosis, dan perdarahan yang dapat dilihat pada sinusoid. Namun nekrosis dan perdarahan yang paling parah terlihat pada kelompok yang diberi perlakuan stres tunggal (Gambar 4.3.b). Pada Gambar 4.3.b terlihat susunan sel tidak beraturan dan sangat jauh berbeda tampilannya dengan Gambar 4.3.a. Selain itu juga terlihat adanya perdarahan sinusoid pada beberapa bagian hati.

Gambaran histologi hati pada kelompok rutin menunjukkan kondisi hati yang masih baik dan hampir sama dengan kelompok kontrol (normal). Dimana dapat dilihat dari kondisi sel hatinya yang sebagian besar masih dalam kondisi normal. Hanya ada beberapa sel hati yang mengalami degenerasi dan nekrosis.

Gambar 4.4 Sel hati yang mengalami kerusakan pada kelompok yang diberikan perlakuan doksorubisin

Pada gambar histologi hati kelompok EEBA terlihat sel sel hati dalam Degenerasi hidropik hepatosit

Inti sel mengalami piknosis

Pendarahan pada sinusoid

(27)

oksidatif yang diberikan doksorubisin (Gambar 4.4). EEBA dengan dosis 300 mg/kg bb (Gambar 4.3.f) menunjukkan kondisi jaringan hati yang paling baik bila dibandingkan dosis lainnya, hal ini terlihat dari sedikitnya sel hati yang mengalami nekrosis. EEBA dengan dosis 75 mg/kg bb (Gambar 4.3.d) dan 150 mg/kg bb (Gambar 4.3.e) menunjukkan kondisi hati yang lebih baik dibanding kelompok doksorubisin, namun masih ada beberapa sel yang mengalami nekrosis, sehingga dapat dilihat bahwa pemberian EEBA dapat mencegah kerusakan hati yang disebabkan oleh radikal bebas yang dihasilkan doksorubisin dan mencegah peroksidasi lipid. Hal tersebut terkait dengan aktivitas enzim SOD dalam hati, yang berperan dalam dismutasi radikal superoksidan menjadi hidrogen peroksida. Senyawa bioaktif flavonoid dalam EEBA mengeliminasi radikal bebas dan mencegah reaksi berantai lebih lanjut terhadap komponen membran sel sehinnga dapat melindungi sel-sel hati (Suarsana, 2013).

Doksorubisin meningkatkan proses apoptosis pada jaringan hati, diinduksi oleh peroksidasi lipid pada mikrosom dan terutamadi mitokondria oleh adanya ion Fe3+ dan termasuk kerusakan pembuluh darah dan stenosis pada sel-sel hati (Hassanen, dkk., 2015).

Stres oksidatif adalah peristiwa patogenetik utama yang terjadi pada beberapa gangguan hati, seperti gangguan pada metabolisme sel untuk berproliferasi, dan menjadi penyebab utama kerusakan hati pada Iskemia (Ismail, 2012).

Jumlah radikal bebas yang tinggi dalam tubuh menyerang biomakromolekul yang merupakan komponen dinding sel. Akibatnya, fungsi

(28)

dinding sel menurun sehingga menimbulkan kerusakan sel berupa degenerasi seperti terlihat pada kelompok yang diberi perlakuan DOX (Djajakirana, 2009).

Radikal bebas tidak mempunyai pasangan elektron, sehingga radikal bebas tersebut akan bebas di dalam tubuh dan berusaha untuk mencapai kestabilan dengan berikatan dengan molekul di dekatnya. Ikatan antara radikal bebas dengan molekul terdekat mengakibatkan kerusakan struktur molekul tersebut. Kerusakan membran sel oleh radikal bebas terjadi melalui rangkaian proses ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen membran, oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas dan reaksi peroksidasi lipid. Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas, berefek langsung terhadap kerusakan makromolekul penting seperti lipid, protein dan DNA (Pradana, dkk., 2003).

Jika diamati secara mikroskopis, degenerasi hidropik ditandai dengan adanya vakuola-vakuola di dalam sitoplasma sel sehingga terlihat sel hati mengalami pembengkakan dan berwarna lebih pucat. Degenerasi hidropis bisa terjadi karena terganggunya pompa natrium kalium dalam pengaturan keluar masuknya ion. Degenerasi hidropis termasuk kerusakan yang ringan karena dapat sembuh dan sel hati menjadi normal kembali (reversible) (Kurniawan, dkk., 2014).

(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pada hasil dan pengamatan adalah : a. ekstrak etanol buah andaliman mampu meningkatkan aktivitas enzim

SOD, dimana aktivitas SOD pada kelompok yang diberi EEBA menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok yang diberi doksorubisin (stres oksidatif).

b. ekstrak etanol buah andaliman dapat mencegah kerusakan hati yang disebabkan oleh doksorubisin

c. peningkatan aktivitas SOD terjadi seiring dengan peningkatan dosis EEBA yang diberikan. Dimana dosis yang paling efektif adalah EEBA dosis 300 mg/kg bb, dengan kadar rata rata SOD 3,646 U/ml.

5.2 Saran

Berdasarkan pada pembahasan dan kesimpulan, maka penulis menyarankan : a. untuk melakukan isolasi dan identifikasi terhadap jenis senyawa flavonoid

yang terkandung dalam EEBA.

b. untuk melakukan penetapan kadar SOD menggunakan jaringan hati dengan metode spektrofotometri.

Gambar

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisa dan ekstrak buah andaliman   No.  Pemeriksaan  Simplisia Buah
Gambar 4.1 Kurva Standar SOD
Tabel 4.4 Aktivitas SOD ekstrak etanol buah andaliman pada darah tikus
Gambar 4.2 Pengaruh kelompok perlakuan terhadap aktivitas SOD
+3

Referensi

Dokumen terkait

Menahan bola merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh peserta didik dalam permainan sepakbola. Apabila dilihat dari pergerakan menahan bola, maka sebenarnya gerakan

Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengidentifikasi berbagai kegiatan ritual yang masih dilaksanakan oleh Subak Piling hingga saat ini sebagai implenetasi aspek parahyangan

[r]

Ivony Fitria : Lesi Likenoid Oral Yang Berhubungan Dengan Restorasi Amalgam Dan Perawatannya, 2007... Ivony Fitria : Lesi Likenoid Oral Yang Berhubungan Dengan Restorasi Amalgam

Kavitas ini ditumpat dengan bahan Glass Ionomer Cement, karena di dalam bahan ini mempunyai sifat adhesif yang sangat baik terhadap permukaan gigi, mengandung fluor dan nilai

A recent survey showed that 83% of the support staff of elite rugby players in South Africa used cold-water immersion for managing recovery after matches.1 This practice occurs despite

EXTENSION APPROACH Taking into account the situation and possible solution that a successful seed project would offer, the Ebenhaeser Seed Project was formulated with the following

Berikut kami informasikan besaran dana Pengabdian kepada Mayarakat yang didanai oleh Kemenristekdikti tahun 2017, silakan klik link || Download lampiran. 1

Temak da pupuk O.geit Di Nag&amp;i Baraeal Kecmard Sungai Pua Kabupaten

[r]