ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai derajat trait dan state anxiety pada para peserta program persiapan pernikahan di Gereja ‘X’, Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik pengambilan data survei.
Penelitian ini dilaksanakan pada populasi pria dan wanita peserta program persiapan pernikahan di Gereja “X” Bandung, yang berada dalam rentang usia dewasa (21-38 tahun), sudah menjalin relasi berpacaran lebih dari satu tahun, dan akan menikah dalam waktu kurang dari lima bulan. Populasi yang sesuai dengan kriteria adalah 40 orang.
Alat ukur yang digunakan untuk pengambilan data adalah bentuk adaptasi dari kuesioner STAI (State and Trait Anxiety Inventory) yang dibuat oleh Goldberg, Gorsuch dan Spielberger. Alat ukur ini terdiri dari 40 item, yang diturunkan ke dalam 2 konstruk anxiety, yaitu trait anxiety dan state anxiety. Uji validitas menggunakan content validity. Penghitungan validitas dengan Koefisien Rank Spearman menunjukkan, untuk alat ukur trait anxiety, validitas item berkisar 0.300290 sampai 0.777183, sementara untuk alat ukur state anxiety validitas item berkisar antara 0,307184 sampai 0,627861. Dengan demikian, tidak ada item yang harus mengalami revisi. Perhitungan reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach menunjukkan hasil 0.643, yang berarti item-item dalam alat tes STAI memiliki reliabilitas yang tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan 62,5% responden memiliki derajat trait dan state anxiety yang tinggi dan 37,5% responden memiliki derajat trait anxiety yang rendah dan derajat state anxiety yang tinggi.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagian besar responden dalam penelitian ini mengalami kecemasan dalam mempersiapkan pernikahan. Saran untuk peneliti lain, adalah agar melakukan wawancara yang lebih mendalam kepada responden atau melakukan studi kontribusi mengenai faktor apa saja yang paling berpengaruh terhadap cognitive appraisal individu dalam mempersiapkan pernikahan, yang dapat memicu state anxiety muncul dalam derajat yang tinggi. Saran untuk para konselor pranikah di Gereja “X” Bandung, agar memberikan wawasan mengenai kecemasan pranikah pada para peserta program persiapan pernikahan dalam bentuk ceramah dan proses konseling.
2.1.2 State-Trait Anxiety Theory………..24
2.2. Pernikahan 2.2.1. Pengertian Pernikahan………...………...27
2.2.2. Pernikahan Kristen ………...……...30
2.3 Masa Dewasa ……...………...………...30
2.3.1. Perkembangan masa dewasa dari Santrock...30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.4.1. Alat Ukur State Trait Anxiety Inventory (STAI)………....34
3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang...36
3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...36
3.4.4. Reliabilitas Alat Ukur...38
3.5. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel………...39
3.5.1. Populasi Sasaran...39
3.5.2. Karakteristik Populasi...39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Responden...41
4.1.1 Jenis Kelamin………..41
4.1.2. Usia………41
4.2. Gambaran Hasil Penelitian...42
4.2.1 Distribusi Frekuensi Derajat Trait Anxiety……….42
4.2.2 Distribusi Frekuensi Derajat State Anxiety……….……42
4.3. Pembahasan Hasil Penelitian………...………43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan...47
5.2. Saran...48
DAFTAR PUSTAKA...51
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Item-item State Anxiety
Tabel 3.2: Item-item Trait Anxiety Tabel 3.3: Kriteria Validitas
Table 4.1.1 Tabel persentase responden berdasarkan jenis kelamin
Table 4.1.2Tabel persentase responden berdasarkan usia
Tabel 4.2.1 Distribusi Frekuensi Derajat Trait Anxiety
Tabel 4.2.2 Distribusi Frekuensi Derajat State Anxiety
Tabel 4.2.3 Tabulasi silang Trait Anxiety dan State Anxiety
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I: Kuesioner pengambilan data
Lampiran II: Validitas, Reliabilitas Alat Ukur
LAMPIRAN I:
KATA PENGANTAR
Saya mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung yang bermaksud melakukan penelitian terhadap pasangan pranikah yang sedang mengikuti kelas bimbingan pranikah di Gereja ’X’ Bandung. Penelitian ini ditujukan dalam rangka memenuhi syarat tugas akhir.
Agar penelitian ini dapat terlaksana, saya harapkan kesediaan bantuan dari para pasangan konseling pranikah untuk meluangkan waktu mengisi angket ini. Data yang diberikan bermanfaat bagi penelitian yang akan saya lakukan. Oleh karenanya saya sangat berharap agar kiranya angket ini dapat diisi sesuai dengan kondisi saudara, sehingga dapat diperoleh data yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Untuk itu saya akan merahasiakan data-data pribadi saudara.
Atas kesediaan dan bantuan yang diberikan saya ucapkan terimakasih. Tuhan Yesus memberkati.
Dengan hormat,
NO:
DATA PENUNJANG
Isilah beberapa pertanyaan di bawah ini, sesuai dengan keadaan diri saudara.
Nama (inisial) : Nama pasangan (inisial) :
Jenis kelamin :
Usia :
Suku Bangsa :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Lama menjalin hubungan dengan pasangan :
Akan menikah bulan lagi.
1. Apakah alasan saudara melaksanakan pernikahan?
_____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________
2. Apakah saudara sudah merasa siap untuk melangsungkan pernikahan?
____________________________________________________________________
Hal apa yang membuat saudara merasa siap/tidak siap?
_____________________________________________________________________
4. Bagaimana dengan kesiapan saudara untuk melangsungkan pernikahan: a. Dalam hal materi:
_________________________________________________________________
b. Dalam hal immateri:
__________________________________________________________________
5. a. Bagaimana dukungan yang diberikan lingkungan dan keluarga kepada saudara dalam mempersiapkan pernikahan?
__________________________________________________________________
b. Apakan terdapat hambatan dari pihak keluarga terhadap pernikahan saudara? __________________________________________________________________
6. Apa yang menjadi harapan saudara dalam kehidupan pernikahan?
_____________________________________________________________________
7. Seberapa pentingkah pernikahan ini bagi saudara? Alasannya?
_____________________________________________________________________
8. Apakah pernikahan yang akan saudara langsungkan menggunakan adat istiadat dari daerah tertentu?
_____________________________________________________________________
9. Apakah ada paksaan dari pihak keluarga saudara untuk melangsungkan pernikahan dengan adat istiadat tertentu?
_____________________________________________________________________
10. a. Apakah saudara merasa terbeban dengan adanya adat istiadat tersebut?
___________________________________________________________________
b. Jika ya, mengapa?
KUESIONER STATE ANXIETY
Petunjuk pengisian kuesioner:
Berikut ini terdapat beberapa pernyataan yang digunakan orang untuk menggambarkan dirinya. Sekarang saudara bayangkan bagaimana perasaan saudara dalam mempersiapkan pernikahan, kemudian berilah tanda checklist ( ) pada kotak yang sesuai dengan apa yang saudara rasakan. Ke- 4 pilihan jawaban tersebut adalah:
(1) tidak sama sekali
(2) cenderung tidak
(3) cenderung menggambarkan
(1) tidak sama sekali (2) cenderung tidak
(3) cenderung menggambarkan (4) sangat menggambarkan
No Pernyataan (1) (2) (3) (4)
1 Saya merasa tenang dalam mempersiapkan pernikahan saya 2 Saya merasa aman dalam mempersiapkan pernikahan saya 3 Saya merasa tegang dalam mempersiapkan pernikahan saya 4 Saya merasa menyesal dalam mempersiapkan pernikahan saya
5 Saya merasa ringan, tidak ada beban dalam mempersiapkan pernikahan saya 6 Saya merasa bingung dalam mempersiapkan pernikahan saya
7 Saya merasa yakin akan diri saya sendiri dalam mempersiapkan pernikahan saya
8 Saya merasa santai dalam mempersiapkan pernikahan saya 9 Saya merasa cemas dalam mempersiapkan pernikahan saya 10 Saya merasa nyaman dalam mempersiapkan pernikahan saya 11 Saya merasa percaya diri dalam mempersiapkan pernikahan saya 12 Saya merasa takut dalam mempersiapkan pernikahan saya 13 Saya merasa gelisah dalam mempersiapkan pernikahan saya 14 Saya merasa lekas gugup dalam mempersiapkan pernikahan saya 15 Saya merasa tentram dalam mempersiapkan pernikahan saya 16 Saya merasa puas dalam mempersiapkan pernikahan saya
17 Saya merasa memikirkan banyak hal dalam mempersiapkan pernikahan saya 18 Saya merasa sangat gembira dalam mempersiapkan pernikahan saya
KUESIONER TRAIT ANXIETY
Petunjuk pengisian kuesioner:
Berikut ini terdapat beberapa pernyataan yang digunakan orang untuk menggambarkan dirinya. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti. Sekarang bayangkan perasaan yang saudara rasakan pada umunya dalam kehidupan sehari-hari, kemudian berilah tanda checklist ( ) pada kotak yang sesuai dengan apa yang saudara rasakan. Ke- 4 pilihan
jawaban tersebut adalah:
(1) hampir tak pernah
(2) terkadang
(3) sering
(1) hampir tak pernah
5 Saya merasa ringan, tidak ada beban 6 Saya merasa bingung
7 Saya merasa yakin akan diri saya sendiri 8 Saya merasa santai
9 Saya merasa cemas 10 Saya merasa nyaman 11 Saya merasa percaya diri 12 Saya merasa takut 13 Saya merasa gelisah 14 Saya merasa lekas gugup 15 Saya merasa tentram 16 Saya merasa puas
17 Saya merasa memikirkan banyak hal 18 Saya merasa sangat gembira
(Lampiran 3.1. Validitas alat tes State Anxiety)
4 Saya merasa menyesal dalam mempersiapkan pernikahan saya
- 0.300290374 Diterima
5 Saya merasa ringan, tidak ada beban dalam mempersiapkan pernikahan saya
+ 0.777183822 Diterima
6 Saya merasa bingung dalam mempersiapkan pernikahan saya
10 Saya merasa nyaman dalam mempersiapkan pernikahan saya
11 Saya merasa percaya diri dalam
13 Saya merasa gelisah dalam mempersiapkan pernikahan saya
- 0.435325793 Diterima
14 Saya merasa lekas gugup dalam mempersiapkan pernikahan saya
- 0.307582244 Diterima
15 Saya merasa tentram dalam mempersiapkan pernikahan saya
20 Saya merasa senang dalam mempersiapkan pernikahan saya
(Lampiran 3.2. Validitas alat tes Trait Anxiety) 17 Saya merasa memikirkan banyak hal -
Reliability
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
40 100,0
0 ,0
40 100,0
Valid Excludeda
Total Cases
N %
Listwise deletion based on all variables in the procedure. a.
Reliability Statistics
,644 20
Cronbach's
LAMPIRAN III:
Lampiran
Gambaran Derajat Trait dan State Anxiety
Tabel 4.1 Jenis kelamin dengan trait anxiety dengan state anxiety
Jenis kelamin Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Pria 8 4 4 4
66.67% 33.33% 50% 50%
Wanita 7 5 4 4
58.33% 41.67% 50% 50%
Tabel 4.2 Usia dengan trait anxiety dengan state anxiety
Usia Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
23-30 tahun 10 6 3 4
62.50% 37.50% 42.86% 57.14%
31-38 tahun 5 3 5 4
62.50% 37.50% 55.56% 44.44%
Tabel 4.3 Suku bangsa dengan trait anxiety dengan state anxiety
suku bangsa Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Tabel 4. 4 Pendidikan dengan trait anxiety dengan state anxiety
pendidikan Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
SMU 3 2 1 4
Tabel 4.5 Pekerjaan dengan trait anxiety dengan state anxiety
pekerjaan Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Tabel 4.6 Alasan menikah dengan trait anxiety dengan state anxiety
alasan menikah Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
untuk menggenapi firman 3 3 3 2
Tabel 4.7 Alasan siap memasuki pernikahan dengan trait anxiety dengan state anxiety alasan siap memasuki
pernikahan
Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Tabel 4.8 Materi yang dikhawatirkan dengan trait anxiety dengan state anxiety
materi yang dikhawatirkan Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Keuangan setelah 5 7 6 6
menikah 41.67% 58.33% 50% 50%
biaya pesta 10 2 2 2
83.33% 16.67% 50% 50%
Tabel 4.9 Dukungan yang diberikan oleh keluarga dengan trait anxiety dengan state anxiety Dukungan yang diberikan
oleh keluarga
Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
materi, doa, dan dukungan 15 7 8 7
68.18% 31.82% 53.33% 46.67%
keuangan 0 2 0 1
0% 100% 0% 100%
Tabel 4.10 Harapan setelah menikah dengan trait anxiety dengan state anxiety
harapan setelah menikah Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
membangun keluarga yang 15 9 8 8
Harmonis dan bahagia 37.5% 22.5% 20% 7.5%
Tabel 4.11 Alasan penting tidaknya pernikahan dengan trait anxiety dengan state anxiety alasan penting tidaknya
pernikahan
Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Tabel 4.12 Melaksanakan pernikahan adat dengan trait anxiety dengan state anxiety
melaksanakan pernikahan adat
Trait Tinggi, State Tinggi Trait Rendah, State Tinggi Trait Tinggi, State Rendah Trait Rendah, State Rendah
Tidak melaksanakan 13 7 8 7
65% 35% 53.33% 46.67%
Melaksanakan 2 2 0 1
50% 50% 0% 100%
Tabel 4.13 Tabulasi silang Trait Anxiety dan State Anxiety
Konstruk anxiety Trait anxiety Total
State anxiety Rendah tinggi
rendah 8 8 16
50% 50% 40%
tinggi 9 15 24
37.50% 62.50% 60%
Total 17 23 40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan orang lain. Relasi dengan individu lain merupakan aspek sentral dalam kehidupan manusia, sebagai sumber
kegembiraan saat berjalan dengan baik, namun dapat juga menjadi sumber kesedihan saat berjalan dengan buruk (Miller, 2007: 3). Salah satu bentuk relasi yang penting adalah relasi interpersonal dengan lawan jenis atau relasi pacaran yang mulai dirasakan saat individu
memasuki usia dewasa. Menurut Santrock, usia dewasa bertahan pada usia 20an dan tetap
berjalan sampai usia 40an.
Masa dewasa adalah masa-masa individu menghadapi dunia kerja yang kompleks dan menantang, dengan tugas-tugas yang sangat terspesialisasi dan juga masa untuk membentuk relasi yang akrab dengan lawan jenis. Salah satu aspek penting dalam relasi dewasa awal ini
adalah adanya komitmen dengan individu lain (Santrock, 2004: 484). Komitmen dengan individu lain dapat diwujudkan dalam relasi pacaran. Pada individu dewasa, kegiatan berpacaran terutama
ditujukan untuk mencari pasangan hidup, sebagai langkah awal untuk membentuk kehidupan berkeluarga (Cox, 1986:76). Melalui pernikahan, dua individu yang telah menjalin relasi yang intim meresmikan ikatan mereka secara religius dan hukum, yang diharapkan dapat berjalan
langgeng, sehingga kehidupan berkeluarga dapat dijalani dengan harmonis.
Menurut Undang-undang Pernikahan RI No. 1 tahun 1974 Bab 1 pasal 1, pernikahan adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Bab1 pasal 2 dinyatakan bahwa: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian pernikahan menurut Agama Kristen Protestan sesuai dengan perngertian pernikahan secara hukum dan secara teori,
yaitu pernikahan merupakan hubungan yang intim antara pria dan wanita, yang memiliki komitmen untuk hidup bersama dan disahkan secara agama dan hukum. Jadi pernikahan
merupakan hal yang penting dan tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Pada tahap ini
ditandai dengan munculnya komitmen tanpa syarat untuk saling mencintai dan memiliki (Gilbert
dan Reinda Lumoindong, 2007: 14-15). Dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu
peristiwa yang sakral dan membutuhkan komitmen dari kedua belah pihak.
Komitmen pernikahan adalah janji antara pria dan wanita untuk menjadi satu selamanya.
Dengan kata lain, di dalam pernikahan individu akan mengalami perubahan untuk menjadi pribadi yang berbeda, yang lebih baik akibat hasil bersatunya dengan pasangan. Pernikahan adalah sebuah komitmen untuk mengharapkan dan menerima pasangan dari sisi yang terbaik
sekaligus sisi yang terburuk (Paul Gunadi, 2008). Setelah pasangan saling mengenal dengan lebih dekat, sehingga mereka dapat merasa lebih yakin, terbuka dan memahami pasangannya,
kemudian mereka melakukan komitmen untuk melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius, karena itu pengenalan sebelum memasuki pernikahan sangat penting. Salah satu cara untuk mengenal pasangan adalah melalui program persiapan pernikahan. Dalam program persiapan
pernikahan ini terdapat konseling pranikah dan kelas bimbingan pranikah.
Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, Psik., (Kompas Cybermedia, 2005), Konseling
dan menjaga relasi yang baik kepada interaksi yang memuaskan. Dengan demikian, disfungsi relasi dapat dihindari sedini mungkin. Dalam hal ini, kedua belah pihak harus belajar bahwa
mengatasi permasalahan yang masih ringan akan lebih mudah daripada menunggu masalah menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Jadi melalui konseling pranikah, kedua belah pihak akan menyadari bahwa mereka mendapat kesempatan untuk mengukur kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan masing-masing serta menemukan area relasi yang dapat dikembangkan.
Salah satu bentuk konseling pranikah adalah konseling pastoral. Konseling pastoral yaitu
konseling yang diadakan oleh lembaga keagamaan, yakni gereja dan dilakukan oleh pendeta atau konselor di gereja tersebut. Selain memfasilitasi penyesuaian diri individu, kegiatan konseling pranikah ini juga bertujuan mendasarkan relasi pernikahan yang akan dijalani individu
berdasarkan prinsip-prinsip kerohanian (Dr. Yakob B. Susabda, http://www.sabda.org). Gereja “X” merupakan salah satu institusi masyarakat yang melaksanakan kegiatan program persiapan
pernikahan secara rutin. Program persiapan pernikahan yang diadakan di Gereja “X”, berdasarkan pada ajaran Kristiani sebagai dasar dari kehidupan berumah tangga. Tujuan dari program persiapan pernikahan di Gereja ”X” adalah agar individu melakukan pernikahan hanya
sekali seumur hidup, mempersiapkan individu agar semakin dewasa, semakin mengenal diri dan pasangan, juga semakin siap memasuki dunia pernikahan. Persyaratan pendaftaran pemberkatan
nikah di Gereja “X” adalah pendaftaran dilakukan lima bulan sebelumnya agar bekal untuk memasuki pernikahan dapat diberikan secara lengkap dan memiliki waktu yang cukup panjang untuk mendiskusikan hal-hal yang masih mengganjal, sehingga pasangan pranikah benar-benar
siap dalam memasuki pernikahan, sudah dibaptis, memiliki kartu anggota jemaat Gereja “X”, surat keterangan belum menikah, dan surat persetujuan dari orangtua kedua belah pihak di atas
Di Gereja “X”, program persiapan pernikahan terdiri dari kelas bimbingan pranikah dan konseling pranikah. Pasangan pranikah mengikuti kelas bimbingan pranikah selama satu
setengah bulan. Jika pasangan pranikah tidak masuk satu kali saja dalam kelas bimbingan pranikah, maka pemberkatan nikah ditunda atau pasangan tersebut harus mengikuti kelas susulan, karena diharapkan seluruh peserta mendapatkan materi secara utuh. Materi dalam kelas
bimbingan pranikah diberikan oleh pendeta di Gereja “X”. Dalam kelas bimbingan pranikah diberikan bekal untuk memasuki pernikahan, seperti tujuan pernikahan, bagaimana membina
hubungan suami istri, cara mendidik anak juga mengenai hubungan seksual berdasarkan ajaran Kristiani. Para peserta bimbingan pranikah juga diberikan beberapa pertanyaan mengenai seberapa jauh mereka siap untuk menikah dan apa rencana setelah mereka menikah, seperti,
mengenai keuangan, pekerjaan, mengenai relasi keluarga dari kedua belah pihak, dan rencana untuk memiliki keturunan. Ada kalanya peserta program persiapan pernikahan mulai
memikirkan mengenai hal yang belum pernah terpikirkan sebelumnya ketika materi dalam kelas bimbingan dibagikan. Hal ini juga dapat menimbulkan kecemasan dalam diri individu. Sesi konseling pranikah dilakukan dua sampai empat kali pertemuan, disesuaikan dengan kebutuhan
dari individu yang mengikuti program persiapan pernikahan. Konseling pranikah dilakukan oleh pendeta yang akan melakukan pemberkatan nikah di Gereja ”X”. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pendeta di Gereja ”X”, konseling dapat dilakukan antara pendeta dengan kedua calon mempelai secara bersama-sama atau dilakukan secara terpisah. Melalui proses konseling, calon mempelai diharapkan menjadi lebih terbuka wawasannya mengenai pernikahan yang akan
mereka hadapi. Jika terdapat permasalahan yang baru diketahui atau terpikirkan saat proses konseling, pendeta menuntun mereka untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada
Menurut Pendeta di Gereja ”X”, hal yang sering ditemukan oleh pendeta dalam proses konseling pranikah adalah adanya ketakutan dan kekhawatiran mempersiapkan pernikahan,
misalnya takut gagal dalam menjalani kehidupan berumah tangga, merasa belum mapan, takut tidak dapat menyelesaikan masalah dalam pernikahan, takut dana untuk pernikahan tidak mencukupi, pernikahan yang terkesan dipaksakan (seperti karena faktor usia, faktor keluarga
atau faktor lingkungan), kurang percaya terhadap pasangan, masih merasa ragu untuk menikah, adanya rahasia yang belum diketahui oleh pasangannya, khawatir jika setelah menikah nanti
pasangannya akan selingkuh dan khawatir jika memiliki penyakit kandungan (seperti kista atau mium). Terdapat juga peserta yang tidak ingin melakukan konseling secara bersamaan dengan pasangannya karena masih ada hal-hal yang belum diketahui pasangannya. Selain itu ada
individu yang merasa tidak yakin dengan pasangannya setelah melakukan proses konseling dan membatalkan rencana pernikahan. Hal-hal tersebut menunjukan adanya kecemasan dalam
mempersiapkan pernikahan. Pada umumnya, semakin dekat dengan hari pernikahan peserta program persiapan pernikahan merasa lebih tegang. Ketika membicarakan mengenai persiapan pernikahan, masalah kecilpun dapat berubah menjadi masalah yang besar. Jika terjadi hal seperti
ini pendeta akan membantu pasangan tersebut mendiskusikannya dan mencari jalan keluarnya bersama-sama. Namun, bagi beberapa individu rasa cemas dan khawatir tersebut akan tetap ada
sampai hari pernikahan dan hal tersebut cukup mengganggu aktivitas mereka dalam mempersiapkan pernikahan.
Kecemasan pranikah dapat terjadi pada saat seorang individu merasa belum cocok atau
belum yakin sepenuhnya dengan pasangan, merasa belum mapan secara materi, merasa belum siap mental, belum melihat komitmen dari pasangan, keluarga belum menyetujui pernikahan
pasangan karena masih ada beberapa hal yang mengganjal, masih ada rahasia yang belum diketahui oleh pasangannya dan individu merasa bingung dan khawatir bagaimana menghadapi
kehidupan setelah menikah yang sebelumnya belum pernah dijalani (Pdt Gilbert dan Reinda
Lumoindong, 2007: 217).
Menurut Spielberger (Spielberger, 1972:10), kecemasan adalah reaksi emosional yang
tidak menyenangkan pada bahaya-bahaya yang nyata maupun bahaya-bahaya yang dibayangkan, seperti adanya ketegangan. Kecemasan dasar yang dimiliki oleh individu sehari-hari disebut
dengan trait anxiety, sedangkan kecemasan dalam menghadapi suatu situasi tertentu disebut state
anxiety. State anxiety dalam diri individu dipengaruhi juga oleh cognitive appraisal. Cognitive
appraisal yaitu proses penilaian kognitif mengenai situasi yang dialami.
Menurut McMahon, Slavson, Mowrer (http://karim71.blogspot.com/2009/12/faktor-penyebab-timbulnya-kecemasan.html) terdapat juga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kecemasan individu yaitu faktor kognitif, faktor lingkungan dan faktor proses belajar. Faktor kognitif adalah penilaian individu terhadap situasi yang ia alami. Jika individu memiliki penilaian kognitif bahwa pernikahan itu sulit untuk dijalani, memiliki resiko yang besar, hanya
sekali seumur hidup maka dalam hal ini yang menyebabkan individu merasa cemas adalh faktor kognitif. Faktor lingkungan adalah kecemasan yang dipengaruhi oleh lingkungan individu.
Misalnya individu yang harus menjalankan upacara adat merasa lebih cemas daripada individu yang tidak melangsungkan upacara adat. Sedangkan faktor proses belajar adalah individu mempelajari suatu hal dari apa yang pernah dialami sebelumnya, yang memperingatkan adanya
ia merasa cemas mengenai pernikahan yang akan dihadapi. Faktor yang mempengaruhi
kecemasan ini diolah oleh individu melalui cognitive appraisal.
Menurut koselor di Gereja “X” contoh kasus yang ditemukan adalah terdapat pasangan yang ketika mengikuti program persiapan pernikahan memiliki masalah mengenai keuangan. Mempelai wanita memiliki penghasilan lebih besar dibandingkan mempelai pria, juga mempelai
wanita terlalu sibuk bekerja. Mempelai pria memiliki kekhawatiran, bahwa jika setelah menikah istrinya akan memandang lebih rendah kepada suaminya dan kurang memperhatikan keluarga
mereka. Namun permasalahan ini tidak menemukan penyelesaian sampai hari pernikahan. Setelah tiga bulan menikah, pasangan ini kembali konsultasi ke pendeta di Gereja “X” dan memutuskan untuk bercerai karena suami merasa tidak dianggap dan tidak dihargai karena
berpenghasilan lebih rendah dari istrinya. Oleh sebab itu program persiapan pernikahan sangat penting untuk dilaksanakan agar tidak terjadi hal seperti contoh tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sepasang suami istri yang mengikuti program persiapan pernikahan di Gereja “X” Bandung, mereka memaparkan bahwa rasa khawatir sebelum memasuki pernikahan pasti selalu ada, bahkan sampai pada hari pernikahan pun rasa
khawatir itu tetap ada. Sebelum menikah mereka memiliki kekhawatiran mengenai keuangan, masa depan anak dan ada pihak keluarga yang kurang menyetujui pernikahan mereka. Namun
dalam kehidupan pernikahan mereka, setiap hari mereka belajar saling mengerti satu sama lain dan mengkomunikasikan setiap permasalahan yang timbul juga dicari cara penyelesaiannya. Sampai sekarang pernikahan mereka sudah berjalan selama enam tahun dan dikaruniai seorang
anak. Kecemasan-kecemasan yang mereka alami mengenai keuangan dan masa depan anak memang terjadi, namun sampai saat ini karena komunikasi yang baik antar pasangan, semuanya
Terdapat juga contoh kasus lain, menurut pemaparan seorang wanita yang melaksanakan program persiapan pernikahan di Gereja “X” Bandung, sebelum menikah ia memiliki
kekhawatiran bahwa pasangannya akan selingkuh, berbuat kasar, dan tidak bertanggungjawab. Namun karena merasa sangat mencintai pria tersebut dan percaya jika sudah menikah calon suaminya akan berubah menjadi lebih baik, akhirnya mereka menikah. Setelah setahun
pernikahan mereka, apa yang ia khawatirkan terjadi. Ia mengalami penganiayaan fisik juga tidak dinafkahi. Pada tahun kedua pernikahan, mereka memutuskan untuk berpisah.
Dalam survey awal terdapat sepuluh orang peserta program persiapan pranikah di Gereja ’X’ Bandung, yang berada dalam tahap dewasa, dengan usia 25-31 tahun. Berdasarkan wawancara dengan sepuluh orang yang menjadi peserta program persiapan pranikah di Gereja
“X”, Bandung didapatkan data sebagai berikut. Sebanyak 40% (empat orang) menjabarkan bahwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka jarang sekali merasa sedih, gelisah dan
cemas (trait anxiety). Mereka merasa sedih atau cemas jika mengalami kegagalan dalam
pekerjaan atau saat menghadapi kondisi yang tidak terduga atau di luar rencana. Masalah yang mereka hadapi membuat mereka sulit tidur, gelisah, dan tidak nafsu makan. Jika tidak ada
permasalahan dan segala sesuatunya berjalan dengan lancar mereka merasa santai, bahagia dan
dapat menikmati hidup. Dalam mempersiapkan pernikahan ini ada perasaan khawatir (state
anxiety) dalam diri mereka karena merasa belum mapan dalam hal materi, masih ada kekurangan-kekurangan dana untuk melangsungkan pernikahan, kekhawatiran mengenai keadaan ekonomi setelah menikah, juga khawatir karena akan memasuki lingkungan tempat
tinggal yang baru di luar kota setelah menikah dan harus meninggalkan orangtua. Mereka berusaha untuk membicarakan apa yang mereka takutkan dan khawatirkan, namun seringkali
uring-uringan, sering mengeluh, sering melamun dan sulit tidur atau terjaga dari tidur mereka karena pikirannya dipenuhi dengan hal-hal mengenai pernikahan. Keadaan ini terus berulang,
hingga menganggu aktivitas sehari-hari dan terkadang mengganggu hubungan dengan pasangannya. Dapat disimpulkan dari pemaparan tersebut bahwa kecemasan mereka alami dipengaruhi oleh faktor kognitif.
Sebanyak 20% (dua orang) dalam kehidupan sehari-hari merasa bahwa permasalahan yang dihadapi sangat sulit. Seringkali masalah datang bertubi-tubi, sehingga dalam keadaan tidak
ada masalah pun, mereka mudah merasa tegang, karena ada kekhawatiran bahwa mungkin dalam
waktu yang tidak lama masalah akan datang lagi (trait anxiety). Mereka jarang sekali merasa
santai. Mereka merasa bahagia jika sedang menikmati saat-saat liburan, itupun hanya awal dan
akhir tahun. Bagi mereka pernikahan ini sangat penting dan hanya sekali seumur hidup. Mereka berusaha mempersiapkan pernikahan ini sebaik mungkin, baik secara materi maupun jasmani.
Masa pacaran yang mereka jalani kurang dari satu tahun dan mereka merasa khawatir, apakah sudah benar-benar saling mengenal dan siap masuk dalam kehidupan berumahtangga. Ada juga perasaan takut gagal dalam berumahtangga. Saat mereka coba mendiskusikan hal-hal mengenai
pernikahan, seringkali pertengkaran terjadi (state anxiety). Hal ini membuat mereka bingung,
sulit tidur, semakin gelisah dari pada biasanya dan kurang konsentrasi dalam bekerja. Walaupun
mereka sering merasa khawatir dalam kehidupan sehari-hari, mereka tetap berharap bahwa pernikahannya kelak akan membuat kehidupan mereka lebih baik, dan sebagai suami dan istri, mereka sama-sama bekerja, saling melengkapi dan saling mendukung dalam setiap hal. Menurut
penjelasan mereka kecemasan yang dialami ini dipengaruhi oleh faktor kognitif.
Sebanyak 20% (dua orang) menjabarkan bahwa, dalam menjalani kehidupan sehari-hari
kota atau luar negri untuk liburan, jadi mereka sering merasa tenang, santai dan bahagia. Jika menghadapi permasalahan sehari-hari mereka dapat menyelesaikannya dengan baik, hal ini
disebabkan adanya dukungan dari orangtua dan keluarga besar. Bagi mereka masalah yang terberat adalah jika kehilangan anggota keluarga, ditipu oleh teman bisnis, hal-hal seperti itu yang dapat menimbulkan kesedihan yang mendalam. Namun saat mereka belajar merelakan,
maka hal itu dapat teratasi. Saat ini bagi mereka pernikahan merupakan hal yang indah dan sakral, kejadian terpenting dalam hidup mereka, maka dari itu mereka mempersiapkan
pernikahan ini setahun sebelum tanggal pernikahan dan diantara mereka sudah tidak ada lagi hal yang mengganjal. Hal ini juga dikarenakan masa pacaran mereka yang sudah berlangsung selama 5 tahun, jadi mereka merasa sudah saling mengenal dengan baik. Mereka tidak merasa
cemas, tidak ada perasaan takut (state anxiety) mengenai pernikahan yang akan dihadapi, karena
semua yang mereka butuhkan untuk memasuki pernikahan telah siap semuanya. Mereka
berharap jika kelak sudah menikah istri tidak bekerja, hanya menjadi ibu rumah tangga, hanya suami yang mencari nafkah, dan saling mengisi dan melengkapi. Kehidupan mereka untuk memasuki pernikahan tergolong mapan, karena mereka sudah memiliki rumah dan usaha sendiri.
Bagi mereka faktor yang mempengaruhi kecemasannya adalah faktor kognitif, karena mereka merasa semuanya sudah disiapkan dengan baik, maka mereka tidak merasa cemas dalam
mempersiapkan pernikahan.
Sebanyak 20% (dua orang) dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya, masalah dalam pekerjaan membuat mereka uring-uringan, kurang percaya diri dan gelisah, namun semuanya
masih bisa terkendali (trait anxiety). Biasanya masalah yang dialami adalah kejenuhan dalam
pekerjaan, karena pekerjaan sangat menumpuk juga lembur kerja. Jika mereka mulai jenuh,
mereka, segala sesuatu ada saatnya, seperti saatnya bekerja, mereka benar-benar fokus kepada pekerjaan, saatnya bersama dengan keluarga, mereka benar-benar fokus kepada keluarga. Jadi
mereka belajar untuk membagi waktu agar lebih bisa menikmati hidup dan lebih santai. Bagi mereka pernikahan merupakan hal yang terpenting dalam hidup, bersifat suci dan sakral, dan hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup baik dipandang dari sudut agama maupun adat.
Itulah sebabnya persiapan pernikahan ini menimbulkan kecemasan bagi mereka (state anxiety)
namun mereka berusaha agar hal tersebut tidak sampai mengganggu relasi mereka dengan
pasangan, karena jika sudah merasa lelah atau jenuh mereka tidak melanjutkan perbincangan mengenai pernikahan, agar tidak terjadi pertengkaran. Adapun hal yang menimbulkan kecemasan adalah adat istiadat leluhur yang harus mereka jalani saat upacara pernikahan. Hal ini
cukup menganggu karena mereka belum mengerti benar jalannya adat pernikahan tersebut. Selain itu hal yang masih mengganjal adalah adanya kekurangan materi, namun hal tersebut
masih diusahakan sampai menjelang hari pernikahan. Harapan mereka mengenai pernikahan adalah, dalam kehidupan berumahtangga mereka ingin saling mengisi dan berbagi, karena itu mereka akan sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Penyebab
kecemasan dalam diri mereka adalah faktor kognitif karena mereka merasa bahwa pernikahan itu sakral juga ada kekurangan materi dan faktor lingkungan karena mereka akan menjalani upacara
adat.
Melalui hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti dengan pendeta dan peserta program persiapan pernikahan, masalah yang ditemukan di Gereja “X” adalah menjelang lima
bulan akan melaksanakan pernikahan terdapat peserta pranikah yang tidak merasa cemas juga terdapat peserta yang merasa cemas sehingga kecemasan yang dialami mengganggu aktivitas
efektif dalam mempersiapkan pernikahan dan individu merasa lebih cepat lelah, bahkan ada yang sampai menunda atau membatalkan pernikahan. Bagi pasangan yang sudah menikah, jika
masalah kecemasan ini tidak diselesaikan akar permasalahannya dapat menimbulkan perceraian. Hal-hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian deskriptif mengenai derajat
kecemasan berdasarkan state dan trait anxiety yang dihayati oleh pasangan pranikah.
1.2. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah pada penelitian ini adalah:
Seberapa tinggi derajat trait dan state anxiety pada pasangan pranikah yang mengikuti
program persiapan pernikahan di Gereja “X”, Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran mengenai trait dan state anxiety pada individu yang
sedang mengikuti program persiapan pernikahan di Gereja “X”, Bandung.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh gambaran mengenai derajat kecemasan pada individu yang sedang
mengikuti program persiapan pernikahan di Gereja “X”, Bandung berdasarkan derajat trait dan
state anxiety juga cognitive appraisal.
1.4. Kegunaan Penelitian
- Sebagai bahan masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Klinis
dan Psikologi Keluarga mengenai trait dan state anxiety pada pasangan pranikah.
- Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti lain yang tertarik untuk meneliti
mengenai trait dan state anxiety pada pasangan yang mengikuti program persiapan
pernikahan dan mendorong dikembangkannya penelitian-penelitian lain yang
berhubungan dengan topik tersebut.
1.4.2. Kegunaan Praktis
- Memberi informasi bagi Konselor Gereja “X” mengenai adanya trait dan state anxiety
agar dapat membantu peserta program persiapan pernikahan agar dapat mengendalikan
kecemasan yang dirasakan pada saat mempersiapkan pernikahan.
- Memberi informasi bagi pasangan pranikah di Gereja “X” mengenai derajat trait dan
state anxiety agar individu lebih memahami diri dan pasangannya sehingga diharapkan mereka dapat mengendalikan kecemasan-kecemasan dalam mempersiapkan pernikahan.
1.5. Kerangka Pemikiran
Menurut Santrock, usia dewasa dimulai seseorang pada usia 20 tahunan sampai usia 40
tahunan. Masa dewasa adalah masa dimana individu menghadapi dunia kerja yang kompleks dan
menantang, dengan tugas-tugas yang sangat terspesialisasi dan juga masa membentuk relasi yang akrab dengan individu lain. Salah satu aspek penting dalam relasi ini adalah adanya komitmen
di Gereja ’X’, Bandung ini memiliki usia antara 23 sampai 38 tahun, artinya mereka berada pada usia dewasa dan saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan. Pernikahan dalam agama
Kristen merupakan suatu hal yang sakral dan hanya sekali seumur hidup. Pernikahan juga merupakan suatu komitmen untuk mengharapkan dan menerima pasangan, baik dari sisi yang terbaik hingga sisi yang terburuk. Komitmen dalam pernikahan inilah yang mengikat individu
jika sudah menikah sehingga tidak boleh bercerai. Jika individu memandang komitmen dalam
pernikahan ini sebagai stressor karena merupakan suatu hal yang sulit untuk dijalani maka
individu tersebut akan cenderung mengalami kecemasan dalam menghadapi pernikahan.
Menurut Spielberger, kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan
pada keadaan bahaya yang nyata maupun yang dibayangkan, yang diikuti oleh pengalaman
subjektif seperti ketegangan, rasa takut atau kegelisahan (Spielberger, 1972:10). Terdapat dua
konstruk untuk menjelaskan kecemasan yang dikemukakan oleh Spielberger, yaitu trait anxiety
dan state anxiety. Trait anxiety adalah kecemasan dasar atau kecemasan umum yang sifatnya
relatif menetap dan terbentuk dari pengalaman masa lalu. Trait anxiety mengacu pada perbedaan
individual dalam mengalami kecemasan, yaitu, perbedaan-perbedaan dalam individu untuk
menangkap stimulus yang dianggap berbahaya atau mengancam, dan kecenderungan berespon
pada ancaman-ancaman tersebut dengan reaksi-reaksi yang diperlihatkan dalam bentuk state
anxiety (Spielberger, 1972: 39). Individu dengan trait anxiety yang relatif tinggi, cenderung lebih
mudah mempersepsi situasi hidup sebagai ancaman, sehingga derajat state anxietynya akan lebih
mudah meningkat saat menghadapi keadaan yang dapat menimbulkan kecemasan dibandingkan
dengan individu yang memiliki derajat trait anxiety yang rendah (Spielberger, 1972:40). Bagi
peserta program persiapan pernikahan yang memiliki derajat trait anxiety yang tinggi, cenderung
saat menghadapi situasi yang dianggap mengancam. Walaupun situasi pernikahan telah berlalu,
namun trait anxiety dapat memicu derajat state anxiety tetap berada pada derajatyang tinggi.
State anxiety dapat dikonseptualisasikan sebagai keadaan emosional yang berubah-ubah atau kondisi emosi individu yang memiliki variasi intensitas dan fluktuasi sepanjang waktu. Kondisi ini dihayati sebagai ketegangan yang dirasakan secara sadar dan diaktivasi oleh sistem
saraf pusat. State anxiety harus dirasakan dalam derajat yang tinggi sehingga individu dapat
mempersepsi keadaan sebagai hal yang berbahaya atau mengancam. Dalam situasi yang tidak
memunculkan stress, atau dalam situasi dimana bahaya yang ada tidak ditangkap individu
sebagai hal yang mengancam, state anxiety akan berada dalam derajat yang rendah (Spielberger,
1972: 39).
Tinggi rendahnya state anxiety individu juga dipengaruhi oleh cognitive appraisal
individu. Cognitive appraisal yaitu proses penilaian kognitif mengenai situasi yang dialami oleh
individu. Saat ini situasi yang sedang dialami oleh peserta program persiapan pernikahan adalah situasi dalam mempersiapkan pernikahan. Situasi persiapan pernikahan ini dianggap sebagai
stressor atau tidak tergantung dari cognitive appraisal individu dalam menilai situasi tersebut.
Jika individu memandang bahwa pernikahan itu sebagai stressor maka derajat state anxiety akan
cenderung tinggi. Jika individu memandang pernikahan bukan hal yang mencemaskan, maka
derajat state anxiety cenderung rendah. Trait anxiety dan pengalaman individu juga turut
mempengaruhi proses cognitive appraisal, maka dari itu individu dengan derajat trait anxiety
yang tinggi cenderung lebih mudah mempersepsi situasi tertentu sebagai stressor (Spielberger,
1972:42-43).
Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kecemasan individu, yaitu faktor kognitif, faktor
individu. Faktor kognitif adalah penilaian individu terhadap situasi yang ia alami. Kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi yang menakutkan dan pernah
menimbulkan situasi yang menimbulkan rasa sakit, maka apabila individu dihadapkan pada peristiwa yang sama ia akan merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya. Faktor lingkungan adalah kecemasan yang muncul dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal,
seperti adat-istiadat, kondisi dan nilai dalam masyarakat. Salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari hubungan-hubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi,
adat-istiadat, dan nilai-nilai dalam masyarakat, karena itu lingkungan sosial individu dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kecemasan individu. Sedangkan faktor proses belajar adalah individu mempelajari suatu hal dari apa yang pernah dialami sebelumnya, yang memperingatkan
adanya peristiwa berbahaya dan menyakitkan.
Kecemasan dalam mempersiapkan pernikahan merupakan state anxiety. Derajat state
anxiety dipengaruhi oleh derajat trait anxiety dalam diri individu, artinya jika individu pada
dasarnya memiliki derajat trait anxiety yang tinggi maka derajat state anxietynya akan
cenderung tinggi. Terdapat juga faktor yang berpengaruh terhadap kecemasan individu yaitu
faktor kognitif, faktor lingkungan dan faktor pengalaman. Ketiga faktor ini diolah oleh cognitive
appraisal individu. Cognitive appraisal individu juga turut mempengaruhi tinggi rendahnya
derajat state anxiety. Sebagai contoh, jika individu memiliki derajat trait anxiety yang rendah,
tetapi cognitive appraisal memandang pernikahan sebagai suatu hal yang sulit untuk dijalani,
sekali seumur hidup, merasa takut gagal karena adanya faktor proses belajar dengan melihat
pengalaman orang lain yang gagal dalam berumahtangga dan kecemasan-kecemasan tersebut
tidak dapat dikendalikan maka state anxiety dalam diri individu cenderung tinggi. Tidak hanya
persiapan-persiapan pernikahan, kekhawatiran akan persiapan-persiapan resepsi, dana yang dibutuhkan, dan
kehidupan setelah pernikahan. Jika cognitive appraisal memandang bahwa situasi pernikahan
tidak lagi mengancam setelah pernikahan itu berlalu, maka derajat state anxiety dalam individu
akan rendah.
Individu yang memiliki derajat trait anxiety yang tinggi, cenderung memiliki cognitive
appraisal yang mudah memandang suatu situasi sebagai hal yang mengancam. Jika faktor kognitif individu memandang pernikahan sebagai hal yang sulit dijalani, tidak boleh salah dalam
memilih pasangan, belum lagi individu memiliki faktor proses belajar yang buruk mengenai pernikahan yang dialami oleh orang lain, atau mengalami kesulitan dalam mempersiapkan
pernikahannya, maka derajat state anxiety individu cenderung tinggi. Bagi individu yang
memiliki derajat trait anxiety yang tinggi, memiliki kecenderungan walaupun situasi pernikahan
telah berlalu, derajat state anxiety tetap berada pada derajat yang tinggi.
Bagi individu yang memiliki derajat trait anxiety yang tinggi dan mudah menilai suatu
situasi sebagai ancaman, namun jika cognitive appraisal memandang bahwa situasi pernikahan
merupakan suatu hal yang tidak mengancam, mudah untuk dijalani, segala keperluan untuk
persiapan pernikahan sudah sebagian besar terpenuhi, juga tidak memiliki pengalaman buruk mengenai pernikahan, tidak ada faktor lingkungan yang menghambat juga faktor proses belajar
mengenai pernikahan itu baik maka derajat state anxiety individu akan cenderung rendah.
Individu yang memiliki derajat trait anxiety yang rendah, memiliki cognitive appraisal
yang cenderung memandang situasi pernikahan sebagai hal yang tidak mengancam. Misalnya
individu memiliki penilaian kognitif bahwa pernikahan itu dapat dilewati dengan baik, dan yakin
Dengan demikian, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat disusun dalam bagan sebagai berikut;
Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir
• Jika individu memiliki derajat trait anxiety yang rendah, maka derajat state anxiety dalam menghadapi pernikahan cenderung rendah.
• Tinggi atau rendahnya derajat state anxiety turut dipengaruhi oleh derajat trait anxiety
1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat
ditarik suatu gambaran umum mengenai derajat trait dan state anxiety pada para
pasangan peserta program persiapan pernikahan di Gereja ‘X’, dengan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Sebanyak 62,5% responden memiliki derajat trait dan state anxiety yang
tinggi Artinya, peserta program persiapan pernikahan di Gereja ‘X’ yang
memiliki derajat trait anxiety tinggi, cenderung memiliki derajat state
anxiety yang tinggi juga dalam mempersiapkan pernikahan.
2. Sebanyak 37,5% responden memiliki derajat trait anxiety yang rendah
namun derajat state anxiety yang tinggi. Artinya, meskipun individu
memiliki derajat trait anxiety yang rendah, namun tidak selalu memiliki
derajat state anxiety yang rendah juga. Hal ini turut dipengaruhi oleh
cognitive appraisal individu dalam memandang pernikahan.
3. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui responden yang memiliki
cognitive appraisal mengenai kekhawatiran terhadap kondisi keuangan
2
memiliki derajat state anxiety yang cenderung tinggi, meskipun derajat
trait anxietynya rendah.
4. Individu yang harapan dalam mempersiapkan pernikahannya terpenuhi,
memiliki derajat state anxiety yang cenderung rendah meskipun individu
tersebut memiliki derajat trait anxiety yang tinggi. Individu yang harapan
mengenai persiapan pernikahannya tidak terpenuhi memiliki derajat state
anxiety yang cenderung tinggi meskipun memiliki derajat trait anxiety
yang rendah.
5.2. Saran
5.2.1. Saran Teoretis
• Saran bagi Ilmu Psikologi
- Agar hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi ilmu
Psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Klinis mengenai kecemasan
dalam mempersiapkan pernikahan bukan hanya dilihat dari trait dan state
anxiety tetapi juga bagaimana cognitive appraisal individu.
- Agar dapat menjadi bahan masukan bagi bidang Psikologi Keluarga
mengenai adanya derajat trait dan state anxiety juga cognitive appraisal
3
• Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian sejenis
- Agar dapat mengadakan penelitian-penelitian dengan desain penelitian
yang lebih bervariasi, misalnya studi korelasi untuk membahas trait dan
state anxiety juga cognitive appraisal agar dapat mengetahui hubungan
apa saja yang dapat terjadi antara trait anxiety, state anxiety dan cognitive
appraisal dalam mempersiapkan pernikahan.
- Memperdalam informasi melalui wawancara yang berhubungan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan individu dalam menghadapi
pernikahan, sehingga dapat memperdalam pembahasan dari hasil
penelitian.
5.2.2. Saran Praktis
• Bagi Konselor pranikah di gereja ‘X’
- Agar dapat menggunakan informasi mengenai kecemasan (trait dan
state anxiety) pada pasangan pranikah sehingga dapat dimanfaatkan
untuk memfasilitasi kegiatan program persiapan pernikahan.
- Dengan mengetahui adanya trait dan state anxiety yang dimiliki
peserta program persiapan pernikahan, para konselor diharapkan dapat
4
• Bagi pasangan pranikah
- Agar dapat menggunakan informasi mengenai adanya trait dan state
anxiety juga cognitive appraisal dalam membahas relasi individu
dewasa dengan pasangannya agar individu lebih memahami diri dan
pasangannya sehingga diharapkan mereka dapat saling mengerti,
memahami juga dapat membantu mengendalikan
5
DAFTAR PUSTAKA
Cox, Frank D. 1984. Human Intimacy: Marriage, The Family And Its Meaning. St.Paul, Minnesota: West Publishing.CO.
Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology. London: SAGE Publications.
Lumoindong, Gilbert dan Reinda. 2007. Dua Hati Sejuta Rasa. Jakarta: GL Ministry.
Miller, Rowland S. et al, 2007. Intimate Relationship 4th edition, New York: McGraw-Hill .
Santrock, John W.2004. Life span development, 9 thed. Boston, USA:McGraw Hill Book Co.
Siegel, Sidney. 1997. Statistic non Parametrik : Untuk Ilmu Ilmu Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan.1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES: Jakarta.
Spielberger, Charles D. 1972. Anxiety: Current Trends in Theory and Research (Volume 1). New York and London: Academic Press.
6
DAFTAR RUJUKAN
Paul Gunadi. 2008. Komitmen Pernikahan. TELAGA. (Diakses 15 Desember 2009).
Sawitri Supardi Sadarjoen, Psik. 2005. Arsip Kompas Cybermedia
(http://202.146.5.33/kesehatan/news/0511/13/125423.htm, diakses 5
September 2008).
Yakob Susabda. 2007. Konseling Pastoral.Sabda.org (www.sabda.org.SABDA.org _PUBLIKASI _ e-Konsel _ Edisi 26.htm, diakses 5 September 2008).
Karim. 2009. Faktor Penyebab Timbulnya Kecemasan.
1
DAFTAR PUSTAKA
Cox, Frank D. 1984. Human Intimacy: Marriage, The Family And Its Meaning. St.Paul, Minnesota: West Publishing.CO.
Kumar, Ranjit. 1996. Research Methodology. London: SAGE Publications.
Lumoindong, Gilbert dan Reinda. 2007. Dua Hati Sejuta Rasa. Jakarta: GL Ministry.
Miller, Rowland S. et al, 2007. Intimate Relationship 4th edition, New York: McGraw-Hill .
Santrock, John W.2004. Life span development, 9 thed. Boston, USA:McGraw Hill Book Co.
Siegel, Sidney. 1997. Statistic non Parametrik : Untuk Ilmu Ilmu Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan.1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES: Jakarta.
Spielberger, Charles D. 1972. Anxiety: Current Trends in Theory and Research (Volume 1). New York and London: Academic Press.
2
DAFTAR RUJUKAN
Paul Gunadi. 2008. Komitmen Pernikahan. TELAGA. (Diakses 15 Desember 2009).
Sawitri Supardi Sadarjoen, Psik. 2005. Arsip Kompas Cybermedia
(http://202.146.5.33/kesehatan/news/0511/13/125423.htm, diakses 5
September 2008).
Yakob Susabda. 2007. Konseling Pastoral.Sabda.org (www.sabda.org.SABDA.org _PUBLIKASI _ e-Konsel _ Edisi 26.htm, diakses 5 September 2008).
Karim. 2009. Faktor Penyebab Timbulnya Kecemasan.