• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PENDERITA EPISTAKSIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE TAHUN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROFIL PENDERITA EPISTAKSIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE TAHUN SKRIPSI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PENDERITA EPISTAKSIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE TAHUN 2017-2018

SKRIPSI

Oleh :

MARIA A SIMBOLON

160100089

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PROFIL PENDERITA EPISTAKSIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

PERIODE TAHUN 2017 - 2018

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

MARIA A SIMBOLON

160100089

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)

i

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Profil Pasien Epistaksis Anterior dan Posterior di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2017-2018” ini sebagai salah satu syarat kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari orangtua dan berbagai pihak, mulai dari pemilihan topik dan judul hingga terbentuk hasil skripsi yang sudah mumpuni ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ferryan Sofyan, Sp.THT-KL(K), selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan banyak waktu dan tanpa mengenal lelah dalam memberikan dorongan, bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

3. dr. Ahmad Yapiz Hasby, M.Ked (An) Sp.An selaku ketua penguji dan dr.

Meriza Martineta, M.Gizi, selaku anggota penguji yang telah memberikan nasihat dan saran yang sangat membangun sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik – baiknya.

4. Ayahanda A.R. Simbolon dan Ibunda K. Simamora yang telah mengasuh, membesarkan dan membimbing serta senantiasa memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Saudara saudara saya Brevi Simbolon, Seprina Simbolon, Monalisa Simbolon, Cicilia Simbolon dan adik tercinta Frans Aroka Simbolon yang selalu memotivasi dan memberi penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Nicholas Prananda Sembiring yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi serta semangat kepada penulis.

(5)

7. Lintong, Yuni, Michelle, Yan Joshua dan semua teman – teman sejawat dan seperjuangan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi, semangat, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang merupakan hasil penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dari berbagai sisi, baik dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia kedokteran.

Medan, 28 September 2019 Penulis,

(6)

ABSTRAK

Latar Belakang: Epistaksis adalah penyakit emergensi THT yang paling umum terjadi, biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri namun dapat mengancam jiwa dan sering memberikan pengalaman yang menakutkan bagi penderitanya. Tujuan: Untuk mengetahui profil penderita epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Tahun 2017 – 2018. Metode: Penelitian ini adalah deskriptif rettrospektif dengan cara pengumpulan data sekunder yang diambil dari rekam medis penderita epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Tahun 2017 – 2018.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS untuk melihat statistik dan persentase setiap variable yang diteliti. Hasil : Hasil penelitian ini menemukan 95 penderita epistaksis. . Keluhan utama epistaksi yang paling banyak dirasakan pasien di RSUP HAM pada tahun 2017 - 2018 adalah epistaksis anterior, yaitu ditemukan pada 92 orang dan ditemukan terbanyak pada kelompok usia 16-30 tahun; yaitu berjumlah 24 orang dimana pasien lebih banyak berjenis kelamin laki laki; dengan jumlah 62 orang . Penderita epistaksis di RSUP HAM pada tahun 2017- 2018 seringkali disertai dengan penyakit sistemik ; yaitu pada 56 orang, lama rawatan yang diperlukan penderita epistaksis paling banyak dalam rentan 4-7 hari ; yaitu berjumlah 27 orang ,serta penggunaan jenis tampon terbanyak yang digunakan untuk mengatasi epistaksis adalah tampon anterior yang digunakan pada 92 orang .Kesimpulan : Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa penderita epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2017 – 2018 terbanayak adalah dengan keluhan epistaksis anterior (96,8 %) , usia dengan rentang 16-30 tahun (25,3%), jenis kelamin laki laki (65,3%), penyakit penyerta sistemik (58,9%) lama rawatan antara rentang 4-7(28,4%) dan dengan penggunaan tampon anterior (96,8%)

Kata Kunci : profil, epistaksis anterior, epistaksis posterior

(7)

ABSTRACT

Background: Epistaxis is the most common ENT disease, usually mild and self-healing but can be life-threatening and often provides a frightening experience for the sufferer. Objective: To know the profile of the epistaxis in RSUP Haji Adam Malik Medan period year 2017 – 2018. Method:

This study is a descriptive rettrospective by way of collecting secondary data taken from the medical record of the epistaxis in RSUP Haji Adam Malik Medan period year 2017 – 2018. Data processing is done using SPSS to see statistics and percentages of each variable being researched.

Result: The results of the study found 95 patients with epistaxis. . The main complaints of the most experienced epistaction of the patient in RSUP HAM in 2017-2018 is the anterior epistaxis, which is found in 92 people and found most in the age group of 16-30 years; Which amounted to 24 people who are more male genital; With a total of 62 people. Epistaxis patients in RSUP HAM in 2017-2018 often accompanied by systemic diseases; i.e. in 56 people, duration of treatment is required the most epistaxis in vulnerable 4-7 days; Which amounted to 27 people, as well as the use of the most types of tampon used to overcome epistaxis is the anterior tampon used in 92 people. Conclusion: From this result can be concluded that the epistaxis sufferer in RSUP Haji Adam Malik Medan Period 2017 – 2018 is consieved is with the anterior epistaxis complaint (96.8%), age with a range of 16-30 years (25.3%), male gender (65.3 %), systemic diseases (58.9%) Duration of treatment between the range of 4-7 (28,4%) And with the use of anterior tampons (96.8%)

Keyword: profile, anterior epistaxis, posterior epistaxis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Abstrak ... iv

Daftar Isi... vi

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Singkatan……… x

Daftar Riwayat Hidup……….... xi

Lembar Pernyataan Orisinalitas……… xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Anatomi Hidung dan Vaskularisasi Hidung... 5

2.1.1 Anatomi Hidung... 5

2.1.2 Anatomi Vaskularisasi Hidung... 7

2.2 Epistaksis... . 8

2.2.1 Definisi... 8

2.2.2 Etiologi... 8

2.2.3 Patofisiologi... . 11

2.2.4 Diagnosis... . 12

2.2.5 Tatalaksana... . 14

2.2.6 Komplikasi... . 20

2.3 Kerangka Teori... . 21

2.4 Kerangka Konsep... 22

BAB III. METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Jenisdan Desain Penelitian ... 23

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 23

3.3.1 Populasi Penelitian ... 23

3.3.2 Sampel Penelitian ... 23

3.4 Jenisdan Teknik Pengumpulan Data ... 23

(9)

3.4.1 Jenis Data ... 23

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.5 Definisi Operasional ... 24

3.6 Diagram Alur Penelitian ... 25

3.7 Metode Analisis Data ... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Hasil Penelitian ... 26

4.2 Pembahasan ... 29

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 32

5.1 Kesimpulan……… 32

5.2 Saran……….. 32

DAFTAR PUSTAKA ... 27

LAMPIRAN………. 29

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Lateral dinding hidung ... 6

2.2 Arteri yang mempedarahi kavum hidung ... 7

2.3 Letak perdarahan epistaksis ... 12

2.4 Tampon anterior ... 16

2.5 Kateter foley ... 17

2.6 Penatalaksanaan pada kasus epistaksis sesuai dengan guideline dari Kelompok Studi Rhinologi PERHATI-KL. 18 2.7 Kerangka Teori Penelitian ... 20

2.8 Kerangka Konsep Penelitian ... 21

3.1 Diagram Alur Penelitian... 24

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Penyebab epistaksis tersering pada anak ... 11

2.2 Hasil skrining perdarahan dengan kemungkinan Diagnosisi... 14

4.1 Tabel Keluhan Utama... 26

4.2 Tabel Usia Pasien ... 27

4.3 Tabel Jenis Kelamin ... 27

4.4 Tabel Penyakit Penyerta ... 28

4.5 Tabel Lama Rawatan ... 28

4.6 Tabel Jenis Tampon ... 28

(12)

DAFTAR SINGKATAN

RSUP : RumahSakitUmumPemerintah THT : TelingaHidungTenggorokan

NSAIDS : Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug PT : Prothrombin Time

aPTT : Activated Partial Thromboplastin Time

PERHATI-KL : Perhimpunan Ahli THT Bedah Kepala Leher Indonesia ABC : Airway, Breathing, Circulation

TSS : Toxic Shock Syndrome

PO : Per Oral

QID : Quater In Die / 4 Kali Sehari TID : Ter In Die /3 Kali Sehari DS : Double Dose

(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama Maria A

Simbolon

NIM 160100089

Tempat, Tanggal lahir

Muara/31 Oktober 1998

Jenis Kelamin PEREMPUAN

Alamat Jalan Gereja No 37A, Harjosari II,

Medan Amplas

Email / Telepon maria.a.simbolon@gmail.com 082370578352

Fakultas / Prodi KEDOKTERAN /

PENDIDIKAN DOKTER

Universitas SUMATERA UTARA

Riwayat Pendidikan

SD SD Negeri No 173742 Sipoholon, Tapanuli Utara,

Sumatera Utara

SMA SMA Negeri 1 Sidikalang, Dairi, Sumatera Utara

Tahun 2004 s.d 2010 Tahun 2013 s.d 2016

SMP SMP Negeri 2 Tarutung

Tapanuli Utara,

Sumatera Utara

Strata 1

Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara

Tahun 2010 s.d 2013 Tahun 2016 s.d

sekarang Karya yang Pernah Dibuat

No Judul Jenis Tahun

1. MARI BUNUH PJK! Video Edukasi 2017

Prestasi

No Nama Kompetisi Hasil/Capaian Tahun

1. PMO (PEMA Medical Olympiad) Cabang Digestive

Juara I 2019

2. Chiang Mai

University International Medical Challenge

Babak Semi Final

2019

(14)

3 RMO ( Regional Medical Olympiad) Cabang Digestive

Juara Umum 2019 4 IMO ( Indonesian International Medical

Olympiad) Cabang Digestive

Juara Umum 2019

Pengalaman Organisasi

No Nama Organisasi Jabatan Tahun Aktif

1. Mahasiswa Internasional (MI) PEMA FK USU 2017

Anggota 2017

2. Kerohanian (KRH) PEMA FK USU 2018

Anggota 2018

3. Kewirausahaan (KWH) PEMA FK USU 2019

Sekretaris Departemen

2019

(15)

PERNYATAAN

Profil Penderita Epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Tahun 2017 Sampai Dengan Tahun 2018

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan yang penulis lakukan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian skripsi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, 28 September 2019 Penulis,

Maria A Simbolon NIM. 160100089

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang memiliki makna hidung berdarah (Bestari J Budiman, 2012). Epistaksis terjadi satu kali dalam seumur hidup pada 60% populasi manusia. (Matthew R. Purkey, Zachary Seeskin, &

Rakesh Chandra, 2014) dan sekitar 60% anak-anak pernah mengalami satu kali epistaksis sebelum berusia 10 tahun (Karen Davies, 2014). Sedangkan kejadian epistaksis pada infant sangat jarang dengan angka kejadian 1 per 5200 infant. (S Paranjothy, 2009) Epistaksis adalah masalah yang sangat umum dirasakan oleh banyak orang, biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri namun dapat mengancam jiwa dan sering memberikan pengalaman yang menakutkan bagi penderitanya. (Corbridge, 2011).

Kejadian epistaksis pada wanita dan pria umumnya sama. Pada Januari 2002 sampai Agustus 2007 Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in Brazil melakukan penelitian dan mencatat 40 pasien dengan diagnosis epsitaksis yang terdiri dari 27 pasien perempuan (67,5%) dan 13 pasien laki-laki (32,5%).

(Lyon Lalita, 2016).

Perdarahan pada epistaksis biasanya diakibatkan oleh penyakit lokal ataupun sistemik dengan sumber perdarahan yang berasal dari bagian depan atau belakang hidung. Terdapat dua jenis epistaksis yaitu epistaksis anterior yang berasal dari Pleksus Kiesselbach dan epistaksis posterior yang berasal dari Pleksus Woodruff. (Vina Zulfiani, 2017).

Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada

(17)

tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer. (Delfitri Munir, 2006)

Epsitaksis anterior pada anak-anak biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernafasan akut dan rinitis alergi. (Saskatchewan, 2016) Kejadian epistaksis anterior lebih sering dijumpai pada anak anak usia 2-10 tahun, sedangkan epistaksis posterior lebih sering dijumpai pada orang tua usia 50-80 tahun serta biasanya disertai dengan penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. (Vina Zulfiani, 2017)

Pada penelitian yang dilakukan di University Hospital of Wales rata-rata lama rawat inap pasien dengan diagnosis primer epistaksis akut bervariasi dari 2,8 hingga 3,8 hari selama periode tersebut1 April 1995 hingga 1 April 2009 (rata-rata: 3,2 hari) (SJC Fishpool, 2012)

Dikutip dari Dewar, Mitchell, 4,5% dari 374 orang yang dirawat oleh karena hipertensi memiliki riwayat epistaksis. Sedangkan Herkner dkk melaporkan sekitar 33 orang pasien (15,5%) dari 213 pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan epistaksis memiliki peningkatan tekanan darah. (Bestari J Budiman, 2012).

Epistaksis merupakan penyakit yang terdaftar di standar kompetensi kedokteran Indonesia sebagai penyakit dengan tingkat kemampuan 4A yang artinya lulusan dokter harus sudah mampu membuat diagnosa klinik dan menatalaksana penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas (SKDI, 2012) dan kurangnya penelitian terbaru tentang epistaksis di Indonesia membuat penulis tertarik untuk meneliti profil penderita epistaksis di RSUP Haji Adam Malik periode tahun 2017-2018.

2

(18)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah profil penderita epistaksis di RSUP HAM periode tahun 2017- 2018?

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil pasien penderita epistaksis di RSUP HAM periode 1 Januari 2017-31 Desember 2018?

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui profil penderita epistaksis berdasarkan : 1. Keluhan utama

2. Usia

3. Jenis kelamin 4. Penyakit penyerta 5. Lama rawatan 6. Jenis tampon

1.4 MANFAAT

Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat, kepada:

1. Peneliti

Diharapkan dapat melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian dan menambah ilmu serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diteliti

2. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Diharapkan dapat menjadi masukan bagi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara dalam memberikan pendidikan dan pelatihan kepada mahasiswa mengenai pembelajaran mengenai epistaksis.

3

(19)

3. Dunia Penelitian

Sebagai bahan dalam penelitian selanjutnya.

4. Masyarakat dan Pembaca

Diharapkan dapat berguna sebagai bahan untuk meningkatkan pengetahuan.

4

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI HIDUNG DAN VASKULARISASI HIDUNG 2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung merupakan bagian dari saluran pernafasan bagian atas. Di dalam hidung terdapat organ-organ penciuman. Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan kavum hidung, bagian kiri dan kanan hidung di pisahkan oleh nasal septum.

Setiap kavum terbagi atas olfactory area dan respiratory area.

Fungsi dari hidung adalah untuk penciuman, pernafasan, menyaring debu, melembabkan udara, menerima dan mengeliminasi sekresi mukosa nasal, sinus paranasal, dan duktus lakrimalis.

1) Hidung bagian luar terdiri atas tulang dan kartilago. Tulang hidung terdiri atas : tulang hidung (os nasalis).

2) Prosessus frontalis os maksila.

3) Prosessus nasalis os frontal. Sedangkan, kartilago hidung terdiri atas : - Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.

- Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor.

- Beberapa pasang kartilago ala minor.

- Tepi anterior kartilago septum.

Lubang hidung merupakan jalan masuk ke kavung hidung, melalui choanae memasuki nasopharynx. Seluruh permukaan kavum hidung dilapisi oleh mukosa kecuali bagian vestibule of the nose yang dilapisi oleh kulit. Mukosa hidung melekat dengan kuat ke periosteum dan perikondrium dari tulang dan kartilago hidung. Ruangan-ruangan di dalam kavun hidung berujung saling berhubungan, seperti : nasofaring posterior, sinus paranasal superior dan lateral, dan lacrimal sac dan konjungtiva superior. Bagian dua pertiga dari mukosa hidung merupakan respiratory area, dan sepertiga area superiornya merupakan olfactory area. Udara

(21)

area pernafasan bagian atas lainnya menuju paru-paru sedangkan olfactory area memiliki mukosa khusus yang mengandung saraf penghidu.

Batas-batas kavitas hidung adalah sebagai berikut :

1. Bagian atap kavum hidung adalah melengkung dan sempit, kecuali pada bagian akhir posterior.

2. Bagian lantai kavum hidung lebih lebar dari pada bagian atap kavum hidung dibentuk oleh hard palate.

3. Bagian tengah dari dinding kavum hidung dibentuk oleh septum hidung, yang komponen utamanya adalah perpendicular plate of the ethmoid, vormer, septal cartilage dan nasal crests of the maxillary and palatine bones.

4. Bagian dinding lateral kavum hidung tidak merata oleh karna konka hidung).

Konka hidung membagi kavum hidung menjadi empat jalur lewat udara : - Spheno-ethmoidal recess

- Meatus hidung bagian posterior - Meatus hidung bagian tengah

- Meatus hidung bagian inferior. (Keith L. Moore, 2015) -

Gambar 2.1 Lateral dinding hidung (Keith L. Moore, 2015)

6

(22)

2.1.2 Anatomi Vaskularisasi Hidung

Hidung diperdarahi oleh pembuluh darah utama yang berasal dari arteri karotis interna dan eksterna. Arteri optalmika merupakan percabangan dari arteri karotis interna yang bercabang lagi menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior dimana cabang anterior lebih besar dibanding dengan cabang posterior.

Pada bagian medialnya melintasi bagian atap hidung untuk memperdarahi bagian superior dari septum hidung dan dinding lateral hidung.

Arteri karotis eksterna bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna, arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior dan memperdarahi hidung bagian anterior.

Arteri maksilaris interna bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatine mayor di fossa pterigopalatina. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan bagian dinding lateral hidung.

Terjadi anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, arteri ethmoidalis anterior dan arteri labialis superior pada bagian anterior septum hidung yang membentuk plekxus kiesselbach atau sering uga disebut little’s area.

Pada dinding lateral hidung terjadi anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri faringeal asendens yang membentuk plexus woodruff.

Epistaksis anterior sering terjadi di daerah plekxus kiesselbach. Epistaksis anterior lebih mudah dilihat sumber perdarahannya sehingga lebih mudah untuk ditangani dibanding dengan epistaksis posterior. Epistaksis dibatasi oleh ostium sinus maksilaris. (Bestari J Budiman, 2012)

7

(23)

Gambar 2.2 Arteri yang mempedarahi kavum hidung (Paulsen, 2011)

2.2 EPISTAKSIS 2.2.1 Definisi

Epistaksis berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti perdarahan dari hidung. (Windiastuti, 2012) . Epistaksis merupakan penyakit emergensi yang saat menjadi kronik atau terjadi berulang dapat merupakan gejala dari kelainan patologis penyakit lainnya. Hidung berdarah atau epistaksis merupakan keluhan utama tersering di unit gawat darurat yang di rujuk ke spesialis telinga hidung tenggorokan (THT). (Soto-Galindo & González, 2017)

2.2.2. Etiologi

Epistaksis adalah penyakit emergensi THT yang paling umum terjadi, mulai dari bercak saja hingga kondisi yang mengancam jiwa.

Penyabab tersering epistaksis meliputi trauma, tumor pada kavum hidung, kebiasaan mencongkel hidung, adanya benda asing di kavum hidung dll. Selain itu penyakit sistemik seringkali juga dapat menjadi penyebab epistaksis seperti : hipertensi , penyakit hati, gangguan perdarahan dan gagal ginjal. Usia rata rata penderita epistaksis adalah 40,7 tahun dan terjadi lebih sering pada pria disbanding pada wanita dengan rasio 1.78 : 1. Insiden tertinggi pada pria diakibatkan oleh trauma. (Sigdel B, 2019)

8

(24)

Secara umum penyebab epistaksis bisa di bagi menurut lokal, sistemik, lingkungan, dan obat-obatan.

1. Lokal

Penyebab lokal epistaksis meliputi trauma, neoplasia, septal abnormalitas, penyakit inflamatori dan penyebab iatrogenic. Penyebab lokal trauma dan inflamasi sering terjadi pada anak anak. Neoplasia merupakan penyebab yang cukup jarang terjadi. (Yau, 2015)

Penyebab lokal yang sering terjadi pada anak-anak sekitar 80% merupakan rhinitis bakterial,pada sepertiga kasus terlihat krusta dan ekskoriasi bagian anterior septum akibat kebiasaan mengorek hidung yang pada anak-anak.

Stafilokokus aureus memiliki peranan dalam proses infeksi, kolonisasi bakteri ini dalam rongga hidung menghasilkan inflamasi kronik yang menyebabkan neovaskuarisasi septum yang mudah berdarah bila dikorek sehingga terjadi epistaksis rekuren. Penyebab lokal lain adalah adanya benda asing di hidung. Penelitian akhir-akhir ini memerlihatkan insiden pembesaran adenoid juga dapat menyebabkan epistaksis, obstruksi hidung menyebabkan aliran turbulen pada hidung di depan obstruksi akibat adenoid yang membesar, sehingga kekeringan meningkat, dapat menyebabkan disrupsi mukosa dan epistaksis. (Marbun, 2017)

2. Sistemik

Epistaksis dapat terjadi pada semua jenjang usia namun yang tersering pada kelompok usia lansia (50-80 tahun) dan kelompok usia anak-anak (2- 20 tahun). Jika pasien yang datang adalah remaja haruslah dipertimbangkan kemungkinan penggunaan kokain atau adanya Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma adalah tumor jinak namun dapat mengakibatkan perdarahan. Manifestasi klinisnya adalah obstruksi hidung, sakit kepala, rhinorrhea dan anosmia.

(Yau, 2015)

Hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya epistaksis yang terjadi.

Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. (Bestari J Budiman, 2012)

9

(25)

Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangiectasia) kerupakan kelainan bawaan yang di turunkan secara autosom dominan.

Trauma ringan pada mukosa hidung sudah dapat menyebabkan perdarahan yang hebat pada penderita sindrom ini. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula arteriovenous. (Bestari J Budiman, 2012)

Pada leukemia Perdarahan akibat trombositopenia merupakan komplikasi paling sering . Manifestasi perdarahan akibat trombositopenia dapat berupa ptekie atau purpura, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga perdarahan otak (Rofinda, 2012)

Pada demam berdarah dengue derajat II epistaksis dapat menjadi gejala perdarahannya. (ICRC, 2016)

Faktor lainnya seperti alkohol juga diperkirakan sebagai penyebab yang dapat meningkatkan faktor resiko kejadian epistaksis karena dalam beberapa penelitian di temukan bahwa pasien yang datang dengan keluhan epistaksis memiliki riwayat mengonsumsi alkohol dalam waktu 24 jam terakhir. Alkohol dapat menurunkan jumlah platelet dan memperpanjang waktu perderahan (Yau, 2015)

Epistaksis dapat menjadi manifestasi berbagai jenis penyakit sistemik lainnya.

3. Lingkungan

Penderita epistaksis meningkat saat musim dingin yang kering, hal ini diakibatkan oleh perubahan suhu dan kelembapan. Kejadian epistaksis juga berhubungan dengan ritma sirkardian yang memuncak saat pagi hari dan menurun saat sore menjelang malam.

4. Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan over-the-counter dan obat-obatan yang diresepkan. NSAIDS ( nonsteroidal anti-inflammatory drug ), warfarin, clopidogrel dan meningkatnya kepopuleran dari obat oral faktor X inhibitor adalah obat-obat populer yang dapat menyebabkan perpanjangan waktu perdarahan. (Yau, 2015)

10

(26)

Tabel 2.1 Penyebab epistaksis tersering pada anak (Windiastuti, 2012)

2.2.3 Patofisiologi

Kebanyakan perdarahan hidung atau epistaksis terjadi di bagian anterior, yang berasal dari plexus kiesselbach.

Epistaksis posterior cukup jarang terjadi tetapi lebih serius dari pada epistaksis anterior. Epistaksis posterior berasal dari septum posterior yang menuutupi tulang vormer . epistaksis posterior cendeung terjadi pada pasien dengan riwayat aterosklerosis atau pada pasien yang memiliki gangguan perdarahan dan pada pasien yang memiliki riwayat operasi hidung atau operasi sinus. (Marvin P. Fried, 2018)

11

(27)

Gambar 2.3 Letak perdarahan epistaksis (s.wong, 2018)

2.2.4 Diagnosis

Untuk mendiagnosis epistaksis perlu dilakukan beberapa hal berikut : 1. Anamnesa

Pada sebagian besar kasus epistaksis sudah dapat didiagnosa cukup dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Harus diperhatikan jumlah kehilangan darah, bila tidak berat kemungkinan bukan merupakan masalah sistemik, dan apa bila lokasi perdarahan anterior sudah dapat ditentukan tidak perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Pada saat melakukan anamnesa harus di tanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat terjadi perdarahan sebelumnya, ada atau tidaknya penyakit penyerta dan riwayat pemakaian obat obatan seperti warfarin atau aspirin. Kejadian epistaksis kebanyakan terjadi oleh karena trauma ringan pada bagian septum anterior hidung seperti kebiasaan mencongkel hidung oleh karena itu saat melakukan anamnesis harus menanyakan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Apa bila pasien sering mengalami atau memiliki riwayat perdarahan hidung berulang , serta mudah memar 12

(28)

atau tanda perdarahan lainnya harus dicurigai bahwa pasien memiliki penyebab sistemik dan dianjurkan pemeriksaan hematologis.

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemerikasaan fisik haruslah dipastikan keadaan umum pasien dan tanda vitalnya apakah stabil atau tidak. Pemeriksaan hidung harus dilakukan dengan teliti untuk memastikan lokasi dan penyebab perdarahan, gunakan lampu kepala dan speculum nasal untuk memudahkan dan mengoptimalkan pemeriksaan. Jika pasien dating dengan trauma nasal perhatikan apakah ada septal hematoma yang tampak berupa massa hitam kebiruan pada septum. Perhatikan apa ada hemangioma mukosa atau teleangiektasi. Jikalau di temukan perdarhan namun tidak tampak sumber perdarahannya saat pemeriksaan menggunakan speculum nasal keungkinan besar merupakan epistaksis posterior.

Pada inspeksi haruslah diperhatikan apakah ada jaundice, petekie, purpura, limfadenopati dan hepatomegali, jika dijumpai hal- hak tersebut menunjukkan adanya kemungkinan gangguan perdarahan. Pucat, takikardi, irama gallop, atau perubahan ortostatik tanda vital merupakan. pertanda telah terjadinya kehilangan darah dalam jumlah yang cukup besar Tekanan darah tinggi atau hipertensi dapat juga mengakibatkan epistaksis walaupun kasusnya cukup jarang ditemui.

3. Pemeriksaan laboraturium

Pada kebanyakan kasus epistaksis pemeriksaan laboraturium tidak perlu dilakukan terkusus pada kejadian yang tidak berulang serta dijumpai riwayat trauma. Namun jika dicurigai kehilangan darah yang cukup bermakna, leuimia ataupun keganasan perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap,

4. Pemeriksaan PT, APTT

Jika pasien memiliki riwayat mengkonsumsi obat anti koagulasi seperti heparin dan warfarin dan apa bila pasien dicurigai memiliki gangguan koagulopati selain dilakukan pemeriksaan darah lengkap juga di lakukan 13

(29)

pemeriksaan prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) dan waktu perdarahan.

5. Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan sinusitis akut, fraktur ataupun keganasan pada sinus. (Bidasari Lubis, 2007)

Tabel 2.2 Hasil skrining perdarahan dengan kemungkinan diagnosis (Bidasari Lubis, 2007).

2.2.5 Tatalaksana

Sekitar 80%-90% penanganan epistaksis merupakan tindakan non bedah.

Setiap pasien yang datang ke unit gawat darurat harus diperiksa secara menyeluruh , cek jarul nafas, saturasi oksigen dan sirkulasi juga tanda-tanda vital harus stabil.

Dudukkan pasien dengan posisi kepala fleksi ke depan, kontrol tekanan darah. Kemudian lakukan pemeriksaan hidung untuk menentukan lokasi perdarahan epistaksis anterior dengan menggunakan spekulum hidung, lampu kepala dengan cahaya yang baik, periksa hidung. Bersihkan hidung dari darah dan bekuan darah hisap dengan penghisap khusus, sehingga kavum hidung tampak jelas dan maksimal. Untuk epistaksis posterior gunakan spatel lidah yang 14

(30)

diletakkan di tengah lidah, dengan kaca diletakkan di ruangan antara palatum mole dengan dinding faring belakang untuk memeriksa koana dan konka superior bagian belakang. Endoskop hidung yang digunakan adalah endoskop kaku 1,7 mm 30 derajat dengan sumber cahaya yang baik, kamera, monitor untuk dapat mengevaluasi kasus dan mendeteksi lokasi perdarahan dan menilai berat ringannya perdarahan sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan dengan tepat.

a. Epistaksis anterior

Tampon anterior merupakan tindakan paling sering dilakukan. Pengobatan dengan topical lebih banyak dipilih karena memiliki efek samping yang minimal, obat topical yang sering digunakan di unit gawat darurat contohnya adalah oxymetazolin, obat ini memiliki hasil yang baik sekitar 65-75% kasus. Namun pada pasien dengan riwayat hipertensi penggunaannya harus hati-hati, terutama pada pasien dengan kecemasan yang sangat tinggi dengan perdarhan yang masif. Akhir-akhir ini banyak percobaan menggunakan topical tranexamic acid yang merupakan obat yang digunakan pada pasien hereditary hemorrhagic teleangiectasia, obat ini di tambahkan kedalam tampon untuk menangani kasus epistaksis anterior. Percobaan menunjukaan hasil yang lebih cepat disbanding dengan penggunaan oxymetazolin. Intervensi non bedah yang dilakukan adalah dengan memasukkan tampon hidung dengan rhinoskopi anterior dilakukan kauterisaasi dengan bahan kimia yaitu silver nitrat atau nitras argenti atau elektrik bipolar. Nitras argenti lebih banyak digunakankarena harganya lebih tejangkau dan lebih mudah di dapat. Tampon hidung merupakan tindakan yang efektif dan sederhana untuk menghentikan perdarahan. Tersedianya tampon hidung, pemakaian yang mudah, biayany yang murah dan dapat di dilakukan oleh dokter umum menyebabkan tampon hidung sebagai first line therapy. Keberhasilan dari penanganan epistaksis dinilai saat pengangkatan tampon apakah masih terdapt perdarahan atau tidak.

Pemasangan dari pada tampon dapat mengaktifkan vasovagal reflex.

vasovagal reflex terjadi saat terinduksinya aktivitas otonom sehingga 15

(31)

terjadi vasodilatasi yang dapat menyebabkan neurogenic shock sehingga membuat pasien pingsan. vasovagal reflex bersifat tidak berat dan sementara. Selain vasovagal reflex pemasangan tampon juga meinduksi refleks nasopulmoner yang menyebabkan perubahan fungsi paru sehingga terjadi hipoksi dan akibatnya terjadi reflex hopoxema arterial. Selain kedua reflex tersebut keberadaan tampon juga dapat mengiritasi mukosa nasal dan laring menyebabkan apnea reflex pada pusat inspirasi yang menyebabkan bradikardi melalui mekanisme sinoaortik kemoreseptor.

Hal-hal tersebut menyebakan bradikardi dan hipotensi pada semua pasien yang dilakukan tatalaksana pemasangan tampon hidung. Namun pada beberapa orang bradikardi dan hipotensi yang terjadi sangatlah ekstrim oleh karna itu penting sekali untuk selalu memeriksa dan mengontrol tekanan darah dan denyut jantung pada saat pemasangan. (Marbun, 2017)

Gambar 2.4 Tampon anterior (Erica Simon, 2016)

b. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior lebih jarang dijumpai dari pada epistaksis anterior, untuk penatalaksanaannya diperlukan tampon Beloq, atau dengan kateter Foley. Setelah pemasangan tampon posterior pasien dirawat, oleh karena risiko obstruksi saluran pernapasan, hipoksemia dan disaritmia. Tampon diangkat dalam dua hari kemudian. Selama pemasangan tampon diberikan antibiotika. (Marbun, 2017)

16

(32)

Gambar 2.5 Kateter foley. (Erica Simon, 2016)

Tujuan penatalaksanaan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan.

Urutan tindakan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.

b. Pada epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit.

c. Tentukan sumber perdarahan dengan terlebih dahulu memasang kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah kemudian dicari bleeding point.

d. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior). (dr. Meilnia K., 2017)

18

(33)

Gambar 2.6 Penatalaksanaan pada kasus epistaksis sesuai dengan guideline dari Kelompok Studi Rhinologi PERHATI-KL (dr. Meilnia K., 2017)

Dalam melakukan penangan epistaksis pemeriksan harus memastikan penggunaan alat pelindung diri untuk mencegah kontaminasi terkhusus saat melakukan rinoskopi atau endoskopi . pemeriksaa harus mengunakan pelindung mata, jas lab dan masker wajah. (Rafael Beck, 2018)

Umumnya epistaksis anterior dapat dihentikan dengan mudah menggunakan bahan kimia, elektrokauter atau tampon kavum nasi anterior. Epistaksis anterior timbul akibat pecahnya pembuluh darah dari pleksus Kiesselbach yang terletak pada bagian anteroinferior septum nasi, dikenal sebagai Little’s Area. Epistaksis anterior umumnya unilateral, stabil dan tidak masif. Kejadian epistaksis anterior lebih sering daripada epistaksis posterior, yaitu lebih dari 80% kasus. Epistaksis posterior yang masif sering memerlukan rawat inap dan penanganan yang lebih.

Epistaksis posterior berasal dari kavum nasi posterior dan septum nasi bagian 19

(34)

posterior, biasanya terjadi secara spontan dan tiba-tiba disertai dengan mual, hematemesis, anemia, hemoptisis atau melena. (punagi, 2017)

Apabila pasien datang dengan perdarahan yang berat ikuti aturan ABC (airway, breathing, circulation). Amankan jalan nafas, berikan oksigen dan jaga kestabilan denyut jantung. Jika terdapat tanda- tanda hypovolemia segera berikan terapi cairan via intravena. Selalu periksa dan jaga tekanan darah pasien. (Rafael Beck, 2018)

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi yang disebabkan oleh tampon posterior adalah ketidaknyamanan pasien, otitis media, obstruksi sinus, pemasangan yang tidak tepatdapat menyebabkan penekatan terhadap kartilago dan mukosa nasal dapat menyebabkan nekrosis, hipoventilasi dan toxic shock syndrome (TSS).

Penyebab tersering TSS adalah oleh karena infeksi Staphylococcus aureus.

Pencegahan TSS dapat dilakukan dengan penambahan antibiotik pada tampon dan pemberian antibiotik secara sistemik, rekomendasi antibiotic yang diberikan adalah :

1. Lini Pertama: PO cephalexin 250-500 mg QID atau PO amoxicillin/

clavulanate 250-500 mg TID

2. Lini kedua: PO clindamycin 150-300 mg QID atau PO trimethoprim / sulfamethoxazole DS

Terapi harus dilanjutkan selama 7-10 hari

Efek samping terbesar adalah myocardial infarction dan kematian juga pernah dilaporkan sebagai komplikasi dari pada pemasangan tampon posterior.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan refleks nasopulmoner yang menyebabkan penurunan oksigen pada arteri. Namun saat ini keberadaan reflex menjadi kontroversial karena beberapa studi terbaru mengungkapkan bahwa stimulasi nervus vagus, simtomatik anemia, perdarahan berulang serta efek sedasi analgesia yang digunakan merupakan penyebabkan apnea dam hipoksia yang menyebabkan komplikasi tersebut.

20

(35)

2.3 KERANGKA TEORI

Berikut ini adalah kerangka teori Penelitian Profil penderita epistaksis di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Tahun 2017-2018 :

Gambar 2.7 Kerangka Teori Penelitian

Epistaksis

Anterior Posterior

Akut Berulang

Definisi Etiologi Patofisiologi Diagnosis Penanganan Komplikasi

21

(36)

2.4. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep adalah suatu visualisasi atau uraian mengenai kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti

Gambar 2.8 Kerangka Konsep Penelitian

Gambaran Pasien Penderita Epistaksis

Keluhan Utama

Usia Jenis Kelamin Penyakit Penyerta

Lama Rawatan

Jenis Tampon

22

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 JENIS DAN DESAIN PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain penelitian cross-sectional.

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien epistaksis yang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan mulai dari 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Desember 2018.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dari data rekam medis pasien epistaksis di RSUP HAM pada tahun 2017 sampai dengan 2018 dengan metode total sampling.

3.4 JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA 3.4.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien penderita epistaksis di RSUP Haji Adam Malik yang telah terkumpul mulai tahun 2017 sampai dengan 2018.

(38)

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari rekam medis poliklinik RSUP Haji Adam Malik setelah sebelumnya diberi izin berdasarkan surat pengantar pengambilan data untuk keperluan penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dari pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.5 DEFINISI OPERASIONAL

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Keluhan Utama Keluhan yang paling berat dirasakan pasien, sehingga menyebabkan pasian tersebut berobat ke dokter

Observasi rekam medis.

1. Epistaksis anterior 2. Epistaksis posterior

Nominal

Usia Satuan yang mengukur

lama keberadaan suatu makhluk atau benda

Observasi rekam medis

1. 0-15 tahun 2. 15-30 tahun 3. 30-45 tahun 4. 45-60 tahun 5. >60 tahun

Interval

Jenis Kelamin Atribut-atribut

anatomis dan fisiologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Observasi rekam medis

1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

Penyakit Penyerta Penyakit-penyakit yang diderita pasien saat mengalami epistaksis.

Observasi rekam medis

1. Lokal 2. Sistemik 3. Lingkungan 4. Obat-obatan

Nominal

Lama Rawatan Waktu yang diperlukan utuk pengobatan penderita.

Observasi rekam medis

1. Kurang dari 24 jam 2. 1 sampai 2 hari 3. 3 sampai 5 hari 4. 6 sampai 8 hari

Interval

Jenis Tampon Tampon yang digunakan untuk menghentikan perdarahan.

Observasi rekam medis

1. Tampon anterior 2. Tampon posterior 3. Tampon

anterior+Tampon posterior

Nominal

24

(39)

3.6 DIAGRAM ALUR PENELITIAN

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

3.7 METODE ANALISIS DATA

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan aplikasi computer SPSS (Statistical Product and Service Solution). Data penelitian akan dianalisis secara univariat untuk melihat gambaran deskriptif dari penyakit yang diteliti.

Pengurusan surat izin survei awal Melakukan survei awal

Pengurusan ethical clearance Pengambilan data rekam medis

Pengolahan data dan analisis data

25

(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Penelitian tentang profil pasien epistaksis tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik yang terletak di Jalan Bunga Lau, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No.

2233/Menkes/SK/XI/2011 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan yang juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km 12 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara.

Responden yang menjadi sampel penelitian ini adalah seluruh pasien rinosinusitis kronik yang datang berobat ke RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018. Penelitian ini menggunakan metode total sampling dengan sampel yang diteliti sebanyak 95 orang. Karakteristik yang dinilai adalah berdasarkan keluhan utama ,usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, lama rawatan, dan jenis tampon. Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang akan dinilai.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan Utama Pasien No Keluhan Utama Frekuensi Persentase (%)

1 Epistaksis Anterior 92 96,8

2 Epistaksis Anterior dan Posterior

3 3,2

Total 95 100

(41)

27

Dari hasil yang diperoleh, keluhan utama terbanyak yang di peroleh adalah epistaksis anterior, yaitu ditemukan pada 92 orang (96,8%) diikuti dengan keluhan epistaksis anterior yang disertai dengan epistaksis posterior yang ditemukan pada 3 orang (3,2 %) dan yang paling sedikit adalah keluhan epistaksis posterior saja yaitu 0 orang ( 0%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Usia Pasien No Usia Pasien Frekuensi Persentase (%)

1 0-15 22 23,2

2 16-30 24 25,3

3 31-45 18 18,9

4 46-60 19 20

5 >60 12 12,6

Total 95 100

Dari hasil yang diperoleh, responden terbanyak berasal dari kelompok usia 16-30 tahun; yaitu berjumlah 24 orang (25,3%); dan yang paling sedikit berasal dari kelompok usia diatas 60 tahun; yaitu berjumlah 12 orang (12,6%).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien.

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

1 Laki- laki 62 65,3

2 Perempuan 33 34,7

Total 95 100

Dari hasil yang diperoleh, pasien epistaksis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 lebih banyak berjenis kelamin laki laki;

dengan jumlah 62 orang (65,3%); dibanding perempuan; dengan jumlah 33 orang (34,7%).

(42)

28

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyakit Penyerta.

No Penyakit

Penyerta

Frekuensi Persentase (%)

1 Lokal 11 11.6

2 Sistemik 56 58.9

3 Tidak Diketahui 28 29.5

Total 95 100

Dari 95 sampel penelitian, penyakit terbanyak yang menyertai epistaksis adalah penyakit sistemik yaitu 56 orang ( 58,9%) sedangkan yang penyakit yang paling sedikit menyertai epistaksis adalah penyakit lokal yaitu 11 orang (11,6%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Rawatan.

No Lama rawatan Frekuensi Persentasi (%)

1 <24 jam 36 37.9

2 2-3 hari 16 16.8

3 4-7 hari 27 28.4

4 >7 hari 16 16.8

Total 95 100

Dari 95 sampel penelitian, pasien epistaksis paling banyak dirawat dengan lama rawatan 4-7 hari yaitu 27 orang (28,4%) dan yang paling sebentar adalah 2-3 hari dan > 7 hari dengan masing-masing 16 orang ( 16,8%).

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Tampon.

No Jenis Tampon Frekuensi Persentase (%)

1 Tampon Anterior 92 96.8

2 Tampon Anterior

dan Tampon Posterior

3 3.2

Total 95 100

(43)

29

Dari hasil yang diperoleh, jenis tampon terbanyak yang di digunkan adalah tampon, yaitu digunakan pada 92 orang (96,8%) diikuti dengan penggunaan tampon anterior yang disertai dengan tampon posterior yang digunakan pada 3 orang (3,2 %) dan yang paling sedikit adalah penggunaan tampon posterior saja yaitu 0 orang ( 0%).

4.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari data rekam medis pasien epistaksis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2017 sampai dengan 2018, diperoleh data mengenai profil pasien sebagai berikut

Angka kejadian epistaksis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 adalah sebanyak 95 orang.

Menurut tabel 4.1 , pasien epistaksis paling banyak datang dengan keluhan epistaksis anterior dengan jumlah 92 pasien (96,8%) diikuti dengan keluhan epistaksis anterior yang disertai dengan epistaksis posterior yang ditemukan pada 3 orang (3,2 %) Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Waseem Ahmad Shah(2015) di SKIMS Medical College Bemina, Srinagar sejak bulan Juli tahun 2014 sampai dengan Januari2015, dimana dari 114 sampel yang diteliti, penderita epistaksis paling banyak dating dengan keluhan epistaksis anterior, yaitu sebanyak 79 orang (69,29%) diikuti dengan keluahan epistaksis posterior sebanyak 24 orang (21,05 %) dan yang paling sedikit adalah pasien yang dating dengan keluhan epistaksis anterior dan posterior sekaligus yaitu 11 orang ( 9,64 %).

Berdasarkan tabel 4.2, pasien epistaksis lebih banyak berasal dari kelompok usia 16-30 tahun; yaitu berjumlah 24 orang (25,3%). Hasil ini menunjukkan angka yang sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Sigdel B (2019) di Gandaki Medical Collage Teaching Hospital pada april 2015 sampai dengan april 2016, dimana dari 84 sampel yang diteliti, kelompok usia 21-30 tahun merupakan kelompok usia terbanyak mengalami epistaksis, yang berjumlah 21 orang (26,9%) .Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Waseem Ahmad Shah(2015) di SKIMS Medical College Bemina, Srinagar sejak bulan Juli

(44)

30

tahun 2014 sampai dengan Januari 2015 dimana dari 114 sampel yang diteliti kelompok usia yang terbanyak adalah dari kelompok usia 05-10 tahun dan 61-70 tahun yang sama sama berjumlah 20 orang ( 17,5 %)

Menurut tabel 4.3, Dari hasil data sekunder yang diperoleh pada pasien epistaksis di RSUP HAM pada tahun 2017 samapai dengan tahun 2018 lebih banyak berjenis kelamin laki laki; dengan jumlah 62 orang (65,3%); dibanding perempuan; dengan jumlah 33 orang (34,7%). Hasil ini memiliki keidentikan dengan beberapa hasil penelitian lain seperti pada penelitian yang dilakukan Sigdel B (2019) di Gandaki Medical Collage Teaching Hospital pada april 2015 sampai dengan april 2016, dimana dari 78 sampel yang diteliti jumlah laki laki adalah 50 orang ( 64,1 %) dibanding dengan perempuan 28 orang (35,9%), dan penelitian yang dilakukan oleh Waseem Ahmad Shah(2015) di SKIMS Medical College Bemina, Srinagar sejak bulan Juli tahun 2014 sampai dengan Januari 2015 dimana dari 114 sampel pasien dengan jenis kelamin laki laki berjumlah 74 orang (64,9 %) sedangkan pasien berjenis kelamin perempuan berjumlah 40 orang (35,1 %).

Berdasarkan tabel 4.4 , Dari 95 sampel penelitian, penyakit terbanyak yang menyertai epistaksis adalah penyakit sistemik yaitu 56 orang ( 58,9%) sedangkan yang penyakit yang paling sedikit menyertai epistaksis adalah penyakit lokal yaitu 11 orang (11,6%). Hasil ini bertentangan demgam penilitian yang dilakukan Waseem Ahmad Shah(2015) di SKIMS Medical College Bemina, Srinagar sejak bulan Juli tahun 2014 sampai dengan Januari 2015 dimana pasien yang datang dengan keluhan epistaksis lebih banyak disertai dengan penyakit lokal yaitu sebanyak 55 orang (48,2 %) barulah kemudian diikuti dengan penyakit sistemik yaitu sebnyak 38 orang (27,2 %) .

Menurut tabel 4.5 , Dari 95 sampel penelitian, pasien epistaksis paling banyak dirawat dengan lama rawatan 4-7 hari yaitu 27 orang (28,4%) dan yang paling sebentar adalah 2-3 hari dan > 7 hari dengan masing-masing 16 orang ( 16,8%).

Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh SJC Fishpool di NHS hospital pada bulan April 1991 sampai dengan Desember 2009 dimana lama

(45)

31

rawatan pasien dengan epistaksis di rawat inap selama 2,8 sampai 3,8 hari dengan rata rata 3,2 hari.

Menurut tabel 4.6 Dari hasil yang diperoleh, jenis tampon terbanyak yang di digunkan adalah tampon, yaitu digunakan pada 92 orang (96,8%) diikuti dengan penggunaan tampon anterior yang disertai dengan tampon posterior yang digunakan pada 3 orang (3,2 %) dan yang paling sedikit adalah penggunaan tampon posterior saja yaitu 0 orang ( 0%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Waseem Ahmad Shah(2015) di SKIMS Medical College Bemina, Srinagar sejak bulan Juli tahun 2014 sampai dengan Januari 2015 dimana penggunaan tampon anterior lebih banyak dilakukan dari pada pemasangan tampon posterior dengan jumlah 29 pemasangan tampon anterior (25,4 %) dan 9 pemasangan tampon posterior (7,8%).

(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini didapatkan:

1. Keluhan utama epistaksi yang paling banyak dirasakan pasien di RSUP HAM pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 adalah epistaksis anterior, yaitu ditemukan pada 92 orang (96,8%).

2. Pasien epistaksi di RSUP HAM pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 terbanyak pada kelompok usia 16-30 tahun; yaitu berjumlah 24 orang (25,3%);

3. Pasien epistaksis di RSUP HAM pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 lebih banyak berjenis kelamin laki laki; dengan jumlah 62 orang (65,3%); dibanding perempuan; dengan jumlah 33 orang (34,7%).

4. Penyakit penyerta pasien epistaksis di RSUP HAM pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 terbanyak adalah penyakit sistemik yaitu 56 orang ( 58,9%).

5. lama rawatan pasien yang menderita epistaksis paling banyak dalam rentan 4-7 hari yaitu 27 orang (28,4%)

6. jenis tampon terbanyak yang digunakan untuk mengatasi epistaksis di RSUP HAM pada tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 tampon anterior yang digunakan pada 92 orang (96,8%).

5.2 SARAN

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan populasi yang berbeda diperlukan untuk menilai data yang lebih akurat mengenai variabel-variabel yang telah diteliti.

2. Perlu adanya edukasi yang baik diberikan kepada pasien agar pasien dapat memahami bahaya-bahaya yang dapat disebabkan epistaksis agar

(47)

33

pasien dapat mencari pengobatan yang tepat agar terhindar dari komplikasi lebih lanjut dan dapat memperbaiki kualitas hidupnya.

3. Bagi petugas kesehatan diharapkan mampu mendokumentasikan rekam medik pasien dengan lengkap agar data-data yang dibutuhkan mudah diperoleh.

(48)

34

DAFTAR PUSTAKA

ICRC. (2016). Retrieved 06 18, 2019, from Hospital Care for Children:

http://www.ichrc.org/622-demam-berdarah-dengue-diagnosis-dan-tatalaksana Bestari J Budiman, A. H. (2012). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah

Hubungannya? Jurnal Kesehatan Andalas, 75.

Bidasari Lubis, R. A. (2007). Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak. Sari Pediatri, 9, 75-76.

Chaabana, M. R., & Dong Zhang. (2018). Factors influencing recurrent emergency department visits for epistaxis in the elderly.

Corbridge, R. J. (2011). Essential ENT (2 ed.). london: Hodder Arnold.

Delfitri Munir, Y. H. (2006). Epistaksis . Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 , 275.

dr. Meilnia K., S. T.-K. (2017). EPISTAKSIS. In peningkatan keterampilan klinis THT KL untuk dokter umum (p. 19). bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Erica Simon, D. M. (2016). emdocs. Retrieved may 10, 2019, from http://www.emdocs.net/emergency-department-management-posterior-

epistaxis/

Karen Davies, ,. K. (2014). Pediatric epistaxis: Epidemiology, management &

impact on quality of. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 4.

KEITH L. MOORE, A. M. (2015). Moore Essential Clinical Anatomy (5 ed.).

Lyon Lalita, O. I. (2016). Kesehatan hidung di Sekolah Polisi Negara Karombasan Manado. Jurnal e-Clinic (eCl), 4.

Marbun, E. M. (2017). Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. 71.

Marvin P. Fried, M. (2018). MSD MANUAL VERSION. Retrieved MAY 8, 2019, from https://www.msdmanuals.com/professional/ear,-nose,-and-throat- disorders/approach-to-the-patient-with-nasal-and-pharyngeal-

symptoms/epistaxis

(49)

35

Matthew R. Purkey, B., Zachary Seeskin, M., & Rakesh Chandra, M. (2014).

Seasonal Variation and Predictors of Epistaxis. Laryngoscope, 124, 2028.

Mohamad R. Chaabana, D. Z. (2018). Factors influencing recurrent emergency department visits for. Auris Nasus Larynx., 2.

Paulsen, W. (2011). Sobotta Atlas of Human Anatomy Head, Neck, and Neuroanatomy (15 ed.).

punagi, a. q. (2017). epistaksis diagnosis dan tatalaksana terkini. Makassar, Sulawesi Selatan: digi pustaka.

Rafael Beck, M. S. (2018). Current Approaches to Epistaxis Treatment in Primary and Secondary Care. Deutsches Ärzteblatt International, 12.

Rofinda, Z. D. (2012). Kelainan Hemostasis pada Leukemia. Jurnal Kesehatan Andalas, 69.

S Paranjothy, 1. D. (2009). The incidence and aetiology of epistaxis in infants: a.

s.wong, a. (2018, 12). Retrieved may 13, 2019, from MDedge:

https://www.mdedge.com/familymedicine/article/190507/pain/epistaxis- guide-assessment-and-management

Saskatchewan. (2016). ANTERIOR EPISTAXIS ADULT & PEDIATRIC. 1.

Sigdel B, N. R. (2019). Etiological Profile and Management of Epistaxis in.

Journal of Gandaki Medical College-Nepal, 12, 15.

SJC Fishpool, A. T. (2012). Patterns of hospital admission with epistaxis for 26,725 patients over an 18-year period in Wales, UK. Ann R Coll Surg Engl, 560.

SKDI. (2012). STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA.

Soto-Galindo, G. A., & González, J. L. (2017). Epistaxis Diagnosis and treatment update : review. scimed central Annals of Otolaryngology and Rhinology.

Vina Zulfiani, M. I. (2017). Pria Usia 66 Tahun Dengan Epistaksis Posterior Et causa Hipertensi Derajat II. Medula, 7, 55.

Windiastuti, E. (2012). Epistaksis pada Anak. Kegawatan pada Bayi dan Anak, 145.

Yau, S. (2015). An update on epistaxis. The Royal Australian College of General practitioners , 44.

Gambar

Gambar 2.1 Lateral dinding hidung (Keith L. Moore, 2015)
Gambar 2.2 Arteri yang mempedarahi kavum hidung (Paulsen, 2011)
Tabel 2.1 Penyebab epistaksis tersering pada anak (Windiastuti, 2012)
Gambar 2.3 Letak perdarahan epistaksis (s.wong, 2018)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel 5.3, keluhan utama yang paling sering didapati pada penderita rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 adalah hidung tersumbat dengan persentase

Bagian dari tulang klavikula yang paling sering terkena yaitu pada bagian pertengahan klavikula, hanya 1 kasus datang dengan fraktur terbuka, dengan mekanisme trauma tidak

Kesimpulan : Dari hasil penelitian menunjukan bahawa pasien yang datang pada Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik yang sering mengalami karsinoma nasofaring dari kelompok

Kesimpulan : Dari hasil penelitian menunjukan bahawa pasien yang datang pada Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik yang sering mengalami karsinoma nasofaring dari kelompok

Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Chandra Sianturi di RSUP Haji Adam Malik 2001-2004 yang menyatakan bahwa dari 219 pasien yang menderita sindroma

Adam Malik Medan periode 2015 dan untuk mengetahui usia, jenis kelamin, keluhan, durasi tertelan benda asing, lokasi corpus , jenis corpus dan tatalaksana yang terbanyak

Hasil penelitian tahun 2015 yang didapatkan dari rekam medis menunjukkan pasien corpus alienum esofagus dengan jumlah terbesar adalah pasien dengan usia 0-5 tahun yaitu sebanyak

Bagian dari tulang klavikula yang paling sering terkena yaitu pada bagian pertengahan klavikula, hanya 1 kasus datang dengan fraktur terbuka, dengan mekanisme trauma tidak