• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan pencucian uang ( money laundering ) belakangan ini makin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan pencucian uang ( money laundering ) belakangan ini makin"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Kejahatan pencucian uang ( money laundering ) belakangan ini makin mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar negara-negara. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan di mana kini semakin maraknya kejahatan money laundering dari waktu ke waktu, sementara kebenyakan negara belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbilkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.

Apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering? Di Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 15 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi pencucian uang dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi sebagai berikut:

(2)

“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asak usul Harata Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harata Kekayaan yang sah.”

Dalam prakteknya, banyak dana potensial yang dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam investasi di bidang property pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh lebih rendah.1Diperkirakan jumlah yang dihasilkan melalui tindak pidana, seperti drug

trafficking, arms trafficking, bank fraund, counterfeiting dan sejenisnya, melalui

money laundering di seluruh dunia mencapai US $ 600 milyar per tahun. 2

Tahun 1988 diadakan konvensi internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering yang sudah tergolong pula sebagai kejahatan internasional yaitu United Nation Convention Againts Illictit Traffic in

Narcotic Drug and Psychotropic Substances atau lebih dikenal dengan nama UN

Drug Convention. Kemudian untuk menindaklanjuti konvensi tersebut,

dibentuklah Financial Action Task Force ( selanjutnya disingkat FATF), sebuah

1

Bismar Nasution, Rejim Anti-Money laundering di Indonesia. Bandung: Pusat Informasi Hukum Indonesia, 2005,hal.1

2 N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Cetakan Kedua (Edisi

(3)

organisasi yang bertujuan membebaskan Bank dari praktek money laundering. Organisasi ini di bentuk pada bulan Juli 1989 di Paris, Perancis.

FATF memperkirakan jumlah uang yang diputihkan setiap tahun di seluruh dunia melalui transaksi bisnis haram natkotik berkisar antara US $ 300 milyar hingga US $ 500 milyar.3Pada tanggal 22 Juni 2001, FATF memasukkan Indonesia, di samping negara lainnya ke dalam daftar hitam Non Cooperative or

Territories ( selanjutnya disingkat NCCT’s) atau kawasan yang tidak kooperatif

dalam menangani kasus money laundering. Kesembilan belas negara lainnya ialah Mesir, Rusia, Hongaria, Israel, Lebanon, Philipina, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik Dominika, Guatemala, ST. Kitts dan Nevis, St. Vincent dan Grenadines, serta Ukraina.4

FATF memasukkan Indonesia ke dalam daftar hitam NCCT’s setelah dikeluarkannya rekomendasi yang dikenal dengan mana The 40 FATF

Recommendations. Rekomendasi inilah antara lain belum ditindaklanjuti oleh

negara Indonesia, di mana salah satu hal penting ialah mengenai diberlakukannya Jika Indonesia dan negara lainnya di atas tidak menangani money

laundering secara sunguh-sungguh, maka FATF akan memberikan tindakan

pinitif approach yang makin keras. Tidak tertutp kemungkinan diberikan sanksi

berupa hambatan transaksi perbankan seperti transfer, Letter of Credit (L/C), pinjaman luar negeri, dan lain-lain.

3 Ibid. 4 Ibid, hal.1-2

(4)

Undang-Undang Anti Money Laundering. Hingga pada Februari 2005 barulah Indonesia keluar dari NCCT’s setelah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang dan melakukan upaya-upaya lainnya yang sesuai dengan The 40 FATF Recommendations.

Berhubung money laundering merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa dan negara maka pada gilirannya, sifat

money laundering menjadi universal dan menembus batas-batas yurisdiksi negara,

sehingga masalahnya bukan saja bersifat nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional. Praktek money laundering busa dilakukan oleh seseorang tanpa harus misalnya ia bepergian ke luar negeri. Hal ini bisa dicapai dengan kemajuan teknologi melalui sistem cyberspace (internet), di mana pembayaran melalui bank secara elektronik (cyberpayment) dapat dilakukan. Begitu pula seseorang pelaku

money laundering bisa mendepositokan uang kotor (dirty money, hot money)

kepada suatu bank tanpa mencantumkan identitasnya, seperti halnya berlaku di Austria.

Sifat kriminalitas money laundering adalah berkaitan dengan latar belakang perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini kemudian dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu seperti dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke bank atau penyedia jasa keuangan lainnya yang non perbankan, seperti perusahaan asuransi, sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana haram tersebut.

(5)

Masalah money laundering telah dikenal sejak lama yaitu sejak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan laundry, yakni perusahaan pencucian pakaian. Perusahaan ini dibeli oleh mafia America Serikat atas hasil/dana yang diperoleh dari berbagai uaha gelap (illegal), yang untuk selanjutnya dipergunakan sebagai cara pemutihan uang hasil dari transaksi illegal berupa pelacuran, minuman keras atau perjudian. Kemudian istilah ini populer pada tahun 1984 tatkala Interpol mengusut pemutihan uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan Pizza Connection. Kasus demikian menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransfer ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang itu dilakukan dengan menggunakan restoran pizza yang berada di Amerika Serikat sebagai sarana usaha untuk mengelabui sumber-sumber dana tersebut.5

Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit guna menyulitkan para pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling disukai karena kerumitannya dan daya jangkaunya menembus batas-batas yurisdiksi. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pelaku money

laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang. Salah satu transaksi

finansial yang digunakan dalam pemutihan asuransi kerap dijadikan kendaraan untuk melakuan tindak pidana pencucian uang. Hal ini erat kaitannya dengan

(6)

kejahatan di Perusahaan Asuransi.

Sama halnya dengan bank, biasanya pelaku kejahatan money laundering di asuransi menggunakan modus-modus yang canggih agar sulit ditelusuri, namun tidak menutup kemungkinan kejahatan tersebut dilakukan secara tradisional sehingga mudah mendeteksinya. Pada dasarnya kejahatan money laundering asuransi bisa dilakukan oleh orang dalam perusahan maupun orang luar atau tertanggung. Terkadang kejahatan asuransi ini juga diinisiasi oleh pihak perantara yaitu agen maupun broker asuransi.6

Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang mengatur antara lain, pertama, telah memperluas berlakunya ketentuan identifikasi nasabah dan membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( selanjutnya disingkat PPATK) yaitu kerangka kerja bagi suatu Financial Intelligence Unit (selanjutnya disingkat FIU). FIU adalah lembaga yang berwenang menerima

Kejahatan pencucian uang yang terjadi pada Perusahaan Asuransi antara lain dilakukan dengan melakukan pembayaran polis yang nilainya jauh di atas kemampuan keuangan yang wajar, penggelapan premiasuransi, tindakan pembayaran lump-sump terhadap wire-transfer dengan menggunakan uang asing dan tindakan lain yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan pada asuransi.

6

Fahmi Aulia, Waspadai Merebaknya Insurance Fraudulent, Jurnal Uang dan Bank, Nomor 5, Maret 2005, hal.49

(7)

laporan dari penyedia jasa keuangan.

Kedua, mengkriminalisasi pencucian uang hasil kejahatan dan

mengharuskan dibuatnya pelaporan mengenai transaksi-transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions) oleh penyedia jasa keuangan, sekalipun defenisi dari transaksi-transaksi yang demikian masih sangat terbatas.7

Berkaitan dengan pencegahan money laundering pada penyedia jasa keuangan non bank maka Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dikeluarkanlah ketentuan mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know

Your Customer) untuk Lembaga Keuangan Non Bank yang dituangkan dalam

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006. Peraturan ini mencakup pada lembaga keuangan non bank berupa perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Ketentuan tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang agar sistem perbankan di Indonesia tidak digunakan sebagai sarana money laundering.8

Perusahaan Asuransi merupakan salah satu penyedia jasa keuangan yang oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006 diwajibkan untuk menetapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dengan konsisten. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya kejahatan pencucian uang yang terjadi

7 Yusuf Saprudin, Money Laundering. Jakarta: Grafika Indah, Februari 2006, hal.3 8 Ibid,hal.149

(8)

pada perusahaan asuransi antara lain melakukan pembayaran polis yang nilainya jauh di atas kemampuan keuangan yang wajar, tindakan pembayaran lump-sump terhadap wire-transfer dengan menggunakan uang asing dan tindakan lain yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan dan lain sebagainya yang seluruhnya mengarah pada praktik money laundering.

Selain hal tersebut, guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di bentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK). Lembaga ini merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.

Fungsi PPATK ini sangat penting karena merupakan kunci untuk membongkar praktik pencucian uang. Fungsi PPATK mirip dengan Financial

Intelegence Unit yang diberi otoritas sebagai suatu lembaga strategis dalam

pemberantasan pencucian uang secara preventif maupun represif. 9

Adanya penerapan Prinsip Know Your customer dan terbentuknya PPATK ini diharapkan tindak pidana pencucian uang bias dicegah dan diberantas terutama pada sektor lembaga keuangan. Akan tetapi kenyataan di dalam praktikya sendiri, penerapan Prinsip Know Your customer pada perusahaan

(9)

asuransi masih belum terlaksana dengan baik. Baik itu yang dilakukan oleh perusahaan asuransi itu sendiri maupun dari pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan penerapan tersebut yakni PPATK dan Direktorat Jenderal Menteri Keuangan yang saling terkait dan berkoordinasi di dalam pelaksanaan Prinsip

Know Your customer tersebut.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis merasa tertarik membahas masalah penerapan Prinsip Know Your customer sebagai upaya pencegahan money

laundering pada perusahaan asuransi dan hal-hal apa saja yang menjadi kendala

dalam penerapan prinsip tersebut. Untuk menguraikan masalah ini, penulis melihat ketentuan dari Undang-Undang Nomor 15 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, ketentuan mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) untuk Lembaga Keuangan Non Bank yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penerapan Prinsip Know Your customer. oleh karena itu untuk membahas hal terebut penulis memilih judul skripsi ini, yaitu “Kajian Undang-Undang Money Laundering Dikaitkan dengan Prinsip Know

(10)

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan dibahas oleh penuils pada skripsi ini, antara lain:

1. Bagaimanakah pengaturan money laundering pada perusahaan asuransi? 2. Bagaimanakah pengaturan dan ketentuan sanksi dalam penerapan

Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi ?

3. Bagaimanakah hambatan dalam pelaksanaan Prinsip Know Your

Customer pada Perusahaan Asuransi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah

a. Untuk mengetahui pengaturan tentang money laundering pada Perusahaan Asuransi

b. Untuk mengetahui pengaturan dan ketentuan sanksi terhadap penerapan Know Your Customer Principle’s pada perusahaan Asuransi.

c. Untuk mengetahui perihal hambatan dalam pelaksanaan Know

(11)

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain: a. Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam permasalahan tersebut di atas akan memberikan kontribusi pemikiran dan pandangan terhadap kejahtan money

laundering dan upaya pencegahannya melalui Prinsip Mengenal

Nasabah terutama dalam penerapannya, serta peran PPATK dalam upaya pelaporan kejahatann money laundering. Selama ini diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya tindak pidana pencucian uang di Indonesia disebabkan lemahnya atau kurangnya lembaga keuangan untuk menetapkan identifikasi dan pengenalan nasabah seningga cenderung dapat dimanfaatkan untuk dilakukannya tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis

Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya lembaga keuangan dalam hal ini terkait dengan perusahaan asuransi yang berhubungan langsung dengan penerapan prinsip tersebut sehingga dapat menerapkan prinsip ini sebaik-baiknya sehingga tindak pidana pencucian uang dapat dicegah, serta Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar hitam sehingga NCCT’s oleh FATF.

(12)

D. Keaslian Penulisan

“Kajian Undang-Undang Money laundering Dikaitkan dengan

Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi” merupakan

judul skripsi yang belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Kalaupun ada terdapat judul yang hampir sama dengan ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Penulis menyusunnya melalui referensi buku-buku, media cetak dan elektronik, sertabantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam tinjauan kepustakaan penulis mencoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang akan menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna bagi penulis untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam topik yang diangkat dari permasalahan yang telah disebutkan diatas

1. Pengertian Money Laundering

Secara etimologis money laundering terdiri dari kata money yang berarti uang dan laundering yang berarti pencucian.10

10

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cetakan IX. Jakarta: PT. Gramedia, 1980.

(13)

maundering adalah pencucian uang. Menurut Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana pencucian Uang menyatakan bahwa:

“Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harata Kekayaan yang sah.”

Sesuai dengan Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tindak pidana yang memicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajaakn, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius, baik terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara

(14)

keseluruhan.11 Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar. Tindak pidana pencucian uang merupakan

organized crime sehingga penangulangannya merupakan tanggungjawab

negara per negara yang diwujudkan dalam kerjasama regional atau internasional melalui forum bilateral dan multilateral.12

Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni “money

laundering.”Apa yang dimaksud dengan money laundering, memang tidak

ada definisi yang universal karena baik negara-negara maju maupun negara-negara dari dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi-definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Namun, para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan pencucian uang.

Menurut Pasal 641 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999-2000 dinyatakn bahwa:

“Setiap orang yang menyimpan uang di bank atau tempat lain, mentransfer, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar dengan uang atau kertas bernilai uang yang diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana narkotika atau psikotropika, tindak pidana ekonomi atau finansial, atau tindak pidana korupsi,....”

11 Adrian Sutedi.Op.Cit,hal:12 12

(15)

Penjelasan pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 641 tersebut lazim dikenal dengan istilah pencucian uang hasil kejahatan (money laundering).

Pengertian money laundering telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Menurut Welling, money laundering adalah:

“money laundering is the process by wich one counceals the existence, illegal source, or illegal applicaton of income, and tahan disguises that income to make it appear legitimate (pencucian uang

adalah proses yang satu counceals keberadaan, sumber ilegal, atau ilegal applicaton pendapatan, dan tahan penyamaran bahwa pendapatan untuk membuatnya tampak sah)”.13

“money laundering is the concealment of existence, nature of illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered

Pamela H. Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar

Crime: Cases and Marerial, definisi money laundering diberikan sebagai

berikut:

14

Demikian juga dengan yang dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai berikut:

(pencucian uang adalah penyembunyian keberadaan, sifat ilegal sumber dana ilegal sedemikian rupa sehingga dana akan muncul sah jika ditemukan)”.

15

13

Sarah N welling..Smurfs, Money Laundering and The United States Criminal Federal Law.The Law Book Company, 1992,hal.201

14

Pamela H. Bucy.White Collar crime: Case and Materials. St.Paul:west Publishing Co,1992, hal.128

15

Henry Campbell Black.Black Law Dictionary,Sixth Edition. St.Paul Minn: West Publishing Co,1991 ,hal.611

(16)

“term used to describe investment or other transfer of money flowing form racketeering, drug transactions, and either illegal sources into legitimate channels so that its original source can not be traced (istilah yang digunakan untuk menggambarkan investasi

atau pengalihan bentuk uang mengalir pemerasan, transaksi narkoba, dan salah satu sumber yang ilegal ke saluran sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri)”.

Dari beberapa definisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam system keuangan (financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari system keuangan itu, maka uang tersebut telah berubah menjadi sah.

Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahan. Pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehinga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan yang legal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari

(17)

kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

2. Money Laundering dalam Perusahaan Asuransi

Menurut Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 telah disebutkan secara limitatif yaitu sebanyak 25 jenis kejahatan yang memicu terjadinya pencucian uang yang salah satunya di bidang asuransi.

Menurut Pasal 246 KUHD dinyatakan bahwa:

“Asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penngantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya jarena suatu peristiwa yang tak tertentu.”

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa:

“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Perwujudan dari lembaga asuransi tidak lain adalah sebagai perusahaan asuransi dengan semua kelengkapannya sebagai suatu

(18)

organisasi kerja dalam dunia usaha.16 Perusahaan itu sendiri menurut Kamus Hukum Ekonomi Elips17 dinyatakan sebagai persekutuan orang yang bekerja sama untuk mencari keuntungan. Perusahaan asuransi melakukan kegiatan-kegiatan dengan mengadakan dan melaksanakan perjanjian-perjanjian asuransi dengan banyak pihak, menempatkannya menjadi suatu lembaga dengan fungsinya yang bersifat ganda. Pertama, perusahaan asuransi dalam mengadakn perjanjian-perjanjian asuransi dan nanti pada suatu saat ia melukukan kewajibannya sesuai perjanjian, berarti perusahaan bersedia mengambil alih dan menerima resiko pihak lain, dengan siapa ia mengadakan perjanjian asuransi. Dalam hal ini perusahaan berfungsi sebagai lembaga penerima dan pengambil risiko pihak lain.18

Kedua, Perusahaan Asuransi pada hakikatnya mempunyai potensi

pula sebagai penghimpun dana dari kumpulam premi yang tidak termanfaatkan untuk operasional perusahaan. Dengan demikian jelas dapat dikatakan nampak perusahaan asuransi sebagai lembaga penghimpun dan penyerap dana masyarakat. Hal inilah yang menunjukkan lembaga asuransi pada fungsi keduanya sebagai penyerap dana pada masyarakat. 19

16 Sri Rejeki Hartono. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar

Grafika,2008, hal.79

17 Normin S.Pakpahan. Loc.Cit. 18 Sri Rejeki Hartono .Loc.Cit. 19 Ibid.

(19)

Menurut pasal menurut pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa:

“Perusahaan perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria.”

Perusahaan Asuransi sebagai suatu lembaga keuangan non bank sangat rentan terhadap terjadinya tindak pidana pencucian uang . perusahaan asuransi yang berhubungan langsung dengan dengan masyarakat dan khususnya yang dapat menerima transaksi tunai dapat digunakan untuk pencucian uang. Sebagai contoh, pembayaran premi secara tunai untuk polis asuransi yang kemudian dibatalkan untuk mendapatkan pengembalian premi atau pembayaran klaim. Selain itu adanya lump sum investment dalam produk-produk likuid (terutama yang bernilai tinggi) misalnya pembayaran premi asuransi kerugian, sangat rentan untuk digunakan oleh pelaku tindak pidana sehingga dibutuhkan alat bukti yang cukup untuk memudahkan pengusutan dikemudian hari terutama terhadap transaksi bisnis tunai.20

20 http//:www.surya.co.id.di akses tanggal:5 Februari 2010

Hal-hal yang demikianlah yang mengakibatkan bahwa perusahaan asuransi sebagai salah satu pemicu dilakukannya tindak pidana pencucian uang.

(20)

3. Pengertian Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Customer Prinsiple (KYC principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tetapi juga dalam rangka untuk melindungi bank atau lembaga keuangan non bank, dalam hal ini salah satunya adalah asuransi dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah. Khususnya terhadap terhadap para nasabah, pihak asuransi harus mengenali para nasabah agar tidak terjerat di dalam pencucian uang.21

Mengenai identitas nasabah sendiri telah ada pengaturannya di dalan pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang mewajibkan kepada setiap Lembaga Keuangan untuk meminta kepada nasabahnya untuk memberitahukan secara lengkap dan akurat mengenai identitas Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Prinsip Menenal Nasabah dinyatakan bahwa:

“Prinsip Menenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank untuk mengetahui identitas nasabah dan memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.”

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Prinsip Mengenal Nasabah dinyatakan bahwa:

“Prinsip Menenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank untuk mengetahui identitas dan latar belakang nasabah serta memantau kegiatan transaksi nasabah.”

(21)

dirinya dengan mengisi formulir yang telah di sediakan oleh pihak Lembaga Keuangan. Identifikasi nasabah ini diwajibkan bagi nasabah itu sendiri atau orang lain dengan meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain.

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada perusahaan asuransi sendiri telah diwajibkan. Dalam lampiran I-AI Keputusan Direktur Jendral Keuangan, Nomor Keputusan 2833/LK/2003 telah diatur tentang Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah . Pedoman inilah sebagai dasar dari perusahaan asuransi untuk menetapkan standar dalam penerapan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada perusahaan asuransi dan diharapkan semua unsur staf perusahaan asuransi remasuk agen perusahaan asuransi wajib mempelajari dan mengikuti pedoman tersebut.

Pelaporan dan pengawasan tentang palaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sendiri di atur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. PPATK berkedudukan di pusat dan bertanggungjawab kepada Presiden.

Fungsi PPATK sangat penting karena merupakan kunci untuk membongkar praktik pencucian uang. Baik secara preventif maupun

(22)

represif.22

1. Jenis Penelitian F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini tujuannya lebih terarah, maka metode penulisan yang yang digunakan, antara lain:

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jaaln menganalisanya. Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan.23

Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu penelitian hokum normatif dan penelitian hukum empiris. Perbedaan mendasar dari klasifikasi penelitian hukum tersebut terletak pada cara pandang peneliti terhadap hukum. Dalam penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai suatu norma atau kaidah yang otonom dan terlepas dari hubungan hukum dengan masyarakat. Sementara penelitian hukum empiris atau sosiologis, hukum dipandang dalam kaitannya dengan masyarakat atau

22

Edi Setiadi dan Rena Yulia Loc.Cit.

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: UI Pres.1986, hal.43.

(23)

sebagai gejala sosial. 24

2. Sumber Data

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yang didukung dengan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah bahan hukum primer dan sekunder, yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan money laundering dan prinsip know your customer. Selain itu digunakan juga bahan-bahan tulisan yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Kemudian dikaitkan dengan penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang berupaya untuk melihat bagaimana pihak-pihak yang terkait responsif dan konsisten dalam menggunakan aturan-aturan yang terkait dengan itu. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak asuransi dan beberapa nasabah terkait dengan penerapan Prinsip Know Your Customer.

a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui riset dengan meminta data yang berkaitan dengan skripsi serta dengan melakukan wawancara terkait dengan data yang dibutuhkan tersebut b. Data Sekunder yang terdiri dari:

1) Bahan / Sumber primer, berupa: bahan-bahan hokum yang mengikuti yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan norma/kaidah hukum yang terkait.

(24)

2) Bahan hukum sekunder, berupa: Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian yang terkait dengan skripsi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber lainnya yang terkait dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan ketentuan-ketentuan yangmendukung data primer dan data sekunder, seperti : kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu: penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yangdigunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambildari media maupun setak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

b. Penelitian Lapangan (Fields Research), yaitu: suatu pengumpulan data dengan cara terjun ke lapangan guna memperoleh data-data yang diperlukan, dan data yang diperoleh itu disebut data primer. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka , seketika dengan seseorang yakni pewawancara yang mengajukan pertanyaan-pertanyaanyang dirancang

(25)

untuk memperoleh jawaban-jawabanyang relevan dengan masalah penelitian kepada responden.

4. Analisis Data

Penelitian hukum umumnya dikenal 2 (dua) macam yaitu analisis data, yakni analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif memandang bahwa yang terpenting adalah meneliti fakta atau sebab-sebab terjadinya gejala-gejala sosial tertentu. Biasanya hal tersebut dilakukan dengan mengumpulakan data melalui daftar pertanyaan yang terstruktur yang menghasilkan data-data serta memungkinkan melakukan korelasi antara gejala-gejala dengan menggunakan bantuan statistik.25

Sebaliknya analisis kualitatif memandang yang terpenting adalah memahami prilaku manusia dari sudut pandang orang yang bersangkutan sendiri. Oleh karena itu seorang peneliti akan berusaha mengumpulkan data dengan menggunakan pengamatan pertisipatif, pedoman pertanyaan atau pedoman wawancara dan jika memugkinkan menganalisis dokumen-dokumen yang bersifat pribadi. Penelitian ini sering disebut penelitian yang holistic karena mencari informasi yang sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti. Dengan ketentuan bahwa data-data yang berbeda tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dari

25

Edy Ihksan dan Mahmul Siregar, Diktat Perkuliahan Metode Penelitian Hukum. Universitas Sumareta Utara Medan, hal. 43.

(26)

objek yang diteliti. 26

Penulis melakukan penelitian denan analisis data kualitatif. Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis oleh penulis kemudian di analisis secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan apa yang dinyatakan oleh responden atau informan27

26

Ibid.

27 Responden adalah orang yang memberikan informasi tentang sikap, tindakan, persepsi,

tanggapan, atau segala sesuatu menyangkut dirinya sendiri. Sedangkan informan adalah orang yang memberikan informasi mengenai sikap, tindakan, persepsi, tanggapan atau segala sesuatu tentang orang yang memiliki hubungan tertentu dengan dirinya.

secara lisan dan prilaku nyata dari responden yang diamati, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan skripsi ini sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Secara sisrematika, dalam penyusunan skripsi ini penulis membahasnya dalam lima bab, yaitu:

BAB I : pada bab ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran awal tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

(27)

BAB II: pada bab ini penulis mencoba untuk memaparkan tentang sejarah dan perkembangan praktek money laundering, latar belakang pembentukan Undang money laundering, peraturan khusus dalam Undang-Undang money laundering , kejahatan money laundering pada perusahaan asuransi, tahap-tahap dan proses money laundering pada perusahaan asuransi serta money laundering pasif pada asuransi.

BAB III: pada bab ini penulis membahas pengaturan tentang prinsip know your

customer pada perusahaan asuransi, penerapan prinsip know your

customer pada perusahaan asuransi, dan ketentuan sanksi.

BAB IV: pada bab ini penulis mencoba memaparkan tentang kurang kooperatifnya perusahaan asuransi dalam penerapan prinsip know your

customer, kurangnya koordinasi aparat terkait untuk melakukan

pelaporan dan penggawasan penerapan prinsip know your customer. BAB V: pada bab ini penulis menutup seluruh pembahasan pada skripsi ini.

Dalam bab ini penulis menarik kesimpulan yang menjawab permasalahan yang dimaksud dan beberapa saran sebagai kontribusi pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Hasil belajar biologi siswa yang dibelajarkan advance organizer bentuk skema lebih tinggi daripada basil belajar

Setelah mengetahui bentuk layanan, jumlah koleksi, data statistik pengunjung, bentuk promosi Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Kulon Progo, maka penulis ingin

Pada dasarnya, ujar Eriyanto dalam bukunya analisis framing, framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara

lot=MarketInfo(Symbol(),MODE_MINLOT); } // di sini juga di filter supaya jika lotnya lebih kecil dari batas minimum yang sudah ditentukan oleh broker, maka lotnya diubah sesuai

penerimaan daerah yang cukup besar guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selain itu setiap tahunnya Jumlah Kunjungan Wisatawan, Jumlah Penduduk dan Produk Domestik

Proses pembusukan pada kotoran ayam akan menimbulkan bau yang disebabkan oleh pelepasan gas amonia yang merupakan salah satu limbah yang berbau clan berbahaya

Gambar 12 Grafik nilai fungsi objektif untuk clustering berdasarkan daerah Tabel hasil clustering berdasarkan pelanggan yang berisi data yang digunakan, nilai

[r]