• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang."

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN

DI PERUSAHAAN TAMBANG

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia 30–55 tahun yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun dan bekerja di luar ruang/lapangan.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Peneliti menggunakan teknikpurposive samplingdalam pengambilan sampel penelitian.Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Stres Kerja dan Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan.Reliabilitas Skala Stres Kerja adalah 0,923 dari 38 item dan reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan adalah 0,948 dari 42 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows16.0. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment Pearsondengan program SPSS for windows 16.0. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah -0,606 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu adanya hubungan negatif antara variabel kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja.

(2)

RELATION BETWEEN PHYSICAL WORK ENVIRONMENT CONDITIONS

WITH JOB STRESS OF EMPLOYEES

IN THE MINING COMPANY

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRACT

This research aimed to examine the relation between physical work environment conditions with job stress of employees in the mining company. The hypothesis in this research there was a negative relation between physical work environtment conditions and job stress of employees in the mining company. Subjects in this research were employees aged 30 55 years who had one year minimum term of work and worked outside the room/field. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data were obtained by using two scales, that is Job Stress Scale and Physical Environment Work Conditions Scale. Reliability of Job Stress scale reliability was 0,923 of 38 items and reliability of Physical Work Environment Conditions was 0,948 of 42 items. Reliability of both scales is obtained by using Cronbach Alpha of SPSS for Windows 16.00. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with SPSS for Windows 16.00 and were obtained coefficient correlation was -0,606 with significance level 0,000 (p < 0,01). The result showed that the hypothesis was accepted that there was negative relation between physical work environment conditions.job and job stress.

(3)

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN

DI PERUSAHAAN TAMBANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Pricillya Regina JulyaTampi

NIM : 109114126

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)

iii

(6)

iv

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku

mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai

sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu

hari depan yang penuh harapan.”

(Yeremia 29 : 11)

“Cobalah untuk tidak menjadi orang sukses,

melainkan menjadi orang yang bernilai.”

(Albert Einstein)

“Karena masa depan sungguh ada,

dan harapanmu tidak akan hilang”

(1 Tawarikh 16 : 34)

“Diberkatilah orang yang

mengandalkan Tuhan,yang menaruh

harapannya pada Tuhan”

(Yeremia 17:5)

(7)

v

Karya ini aku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, untuk kasih setia dan berkat yang terus

diberikan dalam hidupku

Anugerah terbesarku, Mama, Papa, dan Kak Ivonne

Keluarga keduaku, saudara, teman-teman, dan

sahabat-sahabatku yang terkasih, yang telah memberikan warna dalam

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN

DI PERUSAHAAN TAMBANG

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia 30–55 tahun yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun dan bekerja di luar ruang/lapangan.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Peneliti menggunakan teknikpurposive samplingdalam pengambilan sampel penelitian.Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Stres Kerja dan Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan.Reliabilitas Skala Stres Kerja adalah 0,923 dari 38 item dan reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan adalah 0,948 dari 42 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows16.0. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment Pearsondengan program SPSS for windows 16.0. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah -0,606 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu adanya hubungan negatif antara variabel kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja.

(10)

viii

RELATION BETWEEN PHYSICAL WORK ENVIRONMENT CONDITIONS

WITH JOB STRESS OF EMPLOYEES

IN THE MINING COMPANY

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRACT

This research aimed to examine the relation between physical work environment conditions with job stress of employees in the mining company. The hypothesis in this research there was a negative relation between physical work environtment conditions and job stress of employees in the mining company. Subjects in this research were employees aged 30 55 years who had one year minimum term of work and worked outside the room/field. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data were obtained by using two scales, that is Job Stress Scale and Physical Environment Work Conditions Scale. Reliability of Job Stress scale reliability was 0,923 of 38 items and reliability of Physical Work Environment Conditions was 0,948 of 42 items. Reliability of both scales is obtained by using Cronbach Alpha of SPSS for Windows 16.00. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with SPSS for Windows 16.00 and were obtained coefficient correlation was -0,606 with significance level 0,000 (p < 0,01). The result showed that the hypothesis was accepted that there was negative relation between physical work environment conditions.job and job stress.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat

dan kasih setiaNya yang luar biasa penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini juga tidak lepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai

pihak selama perjalanan studi penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Universitas Sanata Dharma khususnya Fakultas Psikologi sebagai almamaterku.

Terima kasih atas pembelajaran hidup yang begitu berharga yang telah penulis

dapatkan selama menjalakan studi di sini.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma, juga selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima

kasih atas nasihat-nasihat dan motivasi yang telah diberikan selama penulis

menjalankan studi di Fakultas Psikologi.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M. Psi., selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan banyak bantuan, masukan, dan waktunya kepada penulis selama

(13)

xi

5. Bapak R. Landung Eko P., M.Psi. dan Bapak TM Raditya Hernawa, M.Psi.,

selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas berbagai masukan, saran, dan

kritik membangun yang telah diberikan agar skripsi yang disusun penulis dapat

menjadi lebih baik.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

memberikan begitu banyak pembelajaran dan pengetahuan sehingga penulis dapat

menambah wawasan mengenai dunia Psikologi.

7. Seluruh staff di Fakulas Psikologi, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas

Donny, dan Pak Gie. Terima kasih atas bantuan dan canda tawanya selama ini,

yang memberikan warna tersendiri ketika penulis menempuh studi di Fakultas

Psikologi. Semoga terus diberkati dalam tugas dan tanggung jawabnya.

8. PT Vale Indonesia Tbk sebagai perusahaan tempat penulis melakukan penelitian.

Terima kasih atas bantuan dan izin yang telah diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat melakukan penelitian.

9. Karyawan PT Vale Indonesia Tbk bagian Departemen Process Plant dan Utilities.

Terima kasih karena di tengah kesibukan dan tugas pekerjaannya masih

menyediakan waktu dan tenaganya sebagai subjek penelitian penulis.

10. Kedua orangtuaku. Papa dan Mama, rasanya tidak cukup mengucapkan rasa

sayang dan terima kasih di lembaran ini untuk kedua orang terhebatku di dunia

ini. Terima kasih Papa dan Mama atas semua yang sudah diberikan kepadaku

(14)

xii

studi di Yogyakarta. Semoga aku selalu bisa membahagiakan dan membanggakan

kalian terus.

11. Kakakku Ivonne Anastasya Ariesta Tampi, saudara sekaligus sahabatku. Terima

kasih kak sudah jadi tempat curhat dan untuk segala masukan dan bantuannya.

Terima kasih untuk selalu menenangkanku dengan caramu ketika aku mulai

merasa down.

12. Rio Ferland Junior. Terima kasih sudah selalu menamani hari-hariku. Terima

kasih sudah mau direpotkan selama aku menjalankan studi di Yogyakarta, mulai

dari waktu dan tenaga yang sudah kamu berikan sangat berharga. Thank you for

always there and making me smile even on my worst of day.

13. Raisa Vienlentia dan Andin Marchelyna, kedua sahabat lengketku yang paling

gokil dan gesrek :D Terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan kita selama

ini yang begitu berharga. Semoga ke depannya kita tetap seperti ini, melakukan

kegilaan dan hal-hal bodoh yang selalu bikin perut sakit karena ketawa. Aku

sayang kalian! Semoga kesuksesan senantiasa mengikuti kita.

14. Monica Astria Sitorus dan Agustina. Kedua sahabatku yang selalu ada di waktu

yang tepat untuk menghiburku (hahaha). Terima kasih kalian, sudah

bersama-sama saling membantu, menguatkan, dan berjuang menyelesaikan studi di Kota

Yoyakarta ini. Aku sayang kalian!

15. Kerabat Dewiku. Kak Jojo, Kak Dicky, Kak Rea, Kak Alvi, Kak Anggi, Raisa,

Istri, Nanda, Rani, Mitha, dan Lydia. Keluarga keduaku selama tinggal di

(15)

xiii

semua adalah spesialis humor yang handal. Aku akan kangen banget sama kalian.

Keep contactdankeep in touchya.

16. Geng YPS 2010 chapter Jogja. Monica, Agustina, Kiki, Rio, Randhy, Dedy,

Agung, Andar, Sammy, dan lainnya yang tidak sempat ngumpul bareng di

saat-saat terakhir karena keburu lulus duluan. Terima kasih atas kebersamaannya!

Terima kasih untuk malam-malam yang kita lalui hingga pagi bersama UNO

sambil curhat tentang kuliah dan skripsi masing-masing. Pada akhirnya semuanya

juga berhasil kita lewati. Selamat mengejar mimpi dan cita-cita masing-masing,

guys!

17. Sahabat-sahabatku 9999’ers. Ilva, Donna, Tinnang, Rini, Lisa, Anti, Agni, Wati.

Sahabat-sahabat tergokilku yang meskipun kita kuliahnya berpencar-pencar tapi

tetap bersatu padu meramaikan grup Line, BBM, dan Whatsapp :D. Terima kasih

kalian yang tak henti-hentinya memberikan semangat dari jauh dan selalu

memberikan cerita-cerita lucu.

18. Rosy Mardiniyanti dan Priscylia Anali Christy Rorie, dua sahabat yang sudah aku

anggap keluargaku sendiri. Terima kasih karena sudah selalu mendukungku

menyelesaikan skripsi ini. Selalu memberi keceriaan baru ketika aku mulai suntuk

dan butuh teman cerita. Sayang banget sama kalian!

19. Teman-teman di Kelas C dan D Fakultas Psikologi yang gokilnya tiada tara.

Senang dan sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari kelas ini. Kompak dan

keep contact terus yaa teman-teman meskipun kita udah pisah-pisah nanti. See

(16)

xiv

20.Paduan Suara Angel’s Voice, terima kasih atas pengalaman bernyanyi bersama selama ini.

21. Alice, Jasper, dan para Cibung yang telah menemani hari-hari penulis.

22. Seluruh pihak yang telah membangtu dan mendukung penyelesaian skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan

satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena

itu, kritik dan masukan sangat penulis harapkan agar skripsi ini bisa menjadi lebih

baik lagi.Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang mememerlukannya.

Penulis

(17)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

ABSTRAK ……… vi

ABSTRACT ……… vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………... ix

KATA PENGANTAR ………..………. x

DAFTAR ISI ………..………. xv

DAFTAR TABEL ………... xviii

DAFTAR GRAFIK ……… xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….………... xx

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan Penelitian ……… 11

D. Manfaat Penelitian ……… 11

1. Manfaat Teoretis ……… 11

2. Manfaat Praktis ……… 12

BAB II. LANDASAN TEORI ……… 13

A. Stres Kerja ……… 13

1. Pengertian Stres ……… 12

2. Pengertian Stres Kerja ……… 15

3. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja ……… 16

4. Aspek-aspek Stres Kerja ……… 23

(18)

xvi

B. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 32

1. Pengertian Kondisi Lingkungan Pekerjaan ……… 32

2. Pengertian Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 33

3. Aspek-aspek Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan …… 36

4. Dampak Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ... 41

C. Karyawan di Perusahaan Tambang ……… 43

D. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang……… 47

E. Kerangka Pemikiran ……… 55

F. Hipotesis ……… 56

BAB III. METODE PENELITIAN……… 57

A. Jenis Penelitian ……… 57

B. Identifikasi Variabel Penelitian ……… 57

C. Definisi Operasional ……… 57

1. Stres Kerja……… 58

2. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 51

D. Subjek Penelitian ……… 60

E. Metode Pengumpulan Data ……….... 61

1. Skala Stres Kerja ……… 61

2. Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 64

F. Validitas dan reliabilitas Alat Ukur ……… 66

1. Validitas…..………. 66

2. Seleksi Item ……… 67

3. Reliabilitas ……… 70

G. Metode Analisis Data……… 70

1. Uji Asumsi ……….... 70

a. Uji Normalitas………..……….. 70

b. Uji Linearitas ………..……….. 71

(19)

xvii

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……..……….. 72

A. Pelaksanaan Penelitian ……… 72

B. Gambaran PT. Vale Indonesia ………..……….……. 73

C. Deskripsi Subjek Penelitian …..……….. 74

D. Deskripsi Data Penelitian ………..……….. 79

E. Analisis Data Penelitian …..……….. 83

1. Uji Asumsi ……..….………. 83

a. Uji Normalitas.….……….. 83

b. Uji Linearitas …..……….. 84

2. Uji Hipotesis ………...………. 85

3. Analisis Data Tambahan ……… 87

a. Uji U tingkat stres kerja dengan usia subjek ……… 87

b. Uji U tingkat stres kerja dengan pengalaman kerja subjek ………... 88

c. Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan usia subjek……… 89

d. Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan pengalaman kerja subjek ……… 90

F. Pembahasan ………...……… 91

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...………...……….. 98

A. Kesimpulan ………...………. 98

B. Saran ………...………. 98

DAFTAR PUSTAKA ………..…....…...….. …… 100

(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue PrintSkala Stres Kerja (Sebelum Penelitian) ... 64

Tabel 2 Blue PrintSkala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan (Sebelum Uji Coba) ………...…………66

Tabel 3 Blue PrintSkala Stres Kerja (Setelah Uji Coba) ... 68

Tabel 4 Blue PrintSkala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan (Setelah Uji Coba) ………...………69

Tabel 5 Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ………...………77

Tabel 6 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ……..……… 77

Tabel 7 Deskripsi Subjek Berdasarkan Lama Bekerja ……..……… 77

Tabel 8 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jabatan (Posisi) ………..…… 78

Tabel 9 Deskripsi Subjek Berdasarkan Shift Kerja ………..……… 78

Tabel 10 Deskripsi Data Penelitian ………..…… 79

Tabel 11 Norma Kategorisasi Skala ………..……… 81

Tabel 12 Kategorisasi Skor Skala Stres Kerja ………..……… 81

Tabel 13 Kategorisasi Skor Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……….. 82

Tabel 14 Hasil Uji Normalitas ………..……… 84

Tabel 15 Hasil Uji Linearitas ………..……… 85

Tabel 16 Hasil Uji Hipotesis ………..…… 86

Tabel 17 Uji U tingkat stres kerja dengan usia subjek ………..… 87

Tabel 18 Uji U tingkat stres kerja dengan pengalaman kerja subjek …….. 88

Tabel 19 Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan usia subjek ……….. 89

(21)

xix

DAFTAR GRAFIK

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Stres Kerja ………... 104 Lampiran 2 Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ………. 114 Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Stres Kerja ………. 121 Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan

Fisik Pekerjaan ………. 128 Lampiran 5 Hasil Uji T dan Uji Deskriptif Rata-Rata Empiris

Dan Teoritis Stres Kerja dan Kondisi Lingkungan

(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor penting yang

memberikan kontribusi bagi Indonesia. Pada tahun 2010, industri pertambangan

menyumbang Rp 173,3 triliun atau 0,3% dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi

Indonesia. Hal tersebut menggambarkan betapa besar dan pentingnya industri

tambang di Indonesia. Di sisi lain, sektor industri ini cenderung memiliki

berbagai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja (Markkanen, 2004).

NIOSH (National Institute of Occupational Savety and Health) menyebutkan

bahwa fatality rate pada industri pertambangan dari tahun 2003 hingga tahun

2008 termasuk dalam kategori tinggi.

Markkanen (2004) berpendapat bahwa salah satu sektor yang memiliki

risiko kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja paling tinggi dapat dijumpai di

pertambangan. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Biro Statistik Buruh

Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa pertambangan merupakan salah satu

sektor industri yang paling berbahaya. Kemudian, data dariU.S. Bureau of Labor

Sourcetahun 2007 menunjukkan bahwa di antara 10 jenis industri, pertambangan

menempati posisi kedua sebagai industri yang memiliki angka kecelakaan

(24)

Karyawan yang bekerja di sektor pertambangan pun harus menghadapi

risiko bahaya yang cukup besar terkait pekerjaannya. Kecelakaan fatal dapat

terjadi ketika karyawan jatuh dari ketinggian, tertimpa, kejatuhan, atau terhantam

oleh benda atau mesin yang sedang bergerak. Bahaya yang lain dapat berupa

kebisingan, getaran, suhu panas, terpapar debu, gas, asap, dan bahan-bahan kimia

berbahaya. Selain itu, karyawan yang bekerja di sektor pertambangan juga tidak

lepas dari gangguan-ganggaun fisik akibat penggunaan peralatan kerja baik secara

mekanik ataupun manual sepertigangguan bahu, cidera pada pergelangan kaki dan

lutut, dan kelelahan dan gangguan tidur dalam kaitannya dengan kerja shift

(Markkanen, 2004).

Sebagai profesi yang memiliki risiko bahaya yang tinggi di lingkungan

kerjanya, pekerja tambang rentan mengalami tekanan atau stres karena mereka

setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan (Rini, 2002).

Data menunjukkan bahwa di antara 30 jenis profesi, karyawan tambang

merupakan profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi (Haslam, 2004).

Beehr dan Newman (1978) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang

timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaan. Pada dasarnya, stres

yang dialami oleh individu bersifat merusak apabila tidak ada keseimbangan

antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya (dalam

Waluyo, 2013). Munandar (2012) juga menyatakan bahwa stres merupakan suatu

kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah pada timbulnya penyakit fisik

(25)

Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)

yang dikutip oleh Suksmono (2013), lebih dari setengah pekerja di Amerika

melihat stres kerja sebagai permasalahan besar dalam kehidupan mereka. The

American Institute of Stress memperkirakan bahwa stres dan penyakit yang

disebabkan oleh stres membuat dunia usaha di Amerika mengalami kerugian

sebesar 300 miliar dolar pertahun. Kerugian ini diakibatkan oleh banyaknya

jumlah jam kerja yang terbuang akibat absennya karyawan, turnover, dan biaya

yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai jaminan kesehatan para karyawannya.

Komunitas Eropa juga secara resmi menyatakan bahwa stres merupakan

permasalahan kesehatan yang terkait dengan pekerjaan terbesar kedua yang

dihadapi oleh para pekerja di Eropa (Suksmono, 2013).

Stres kerja yang dialami oleh karyawan tidak hanya dapat merugikan diri

karyawan itu sendiri tetapi juga dapat merugikan perusahaan. Pada diri karyawan,

konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang

tinggi, dan frustasi. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan

dengan aktivitas kerja saja, tetapi juga dapat meluas ke aktivitas lain di luar

pekerjaan seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, dan

kurang mampu berkonsentrasi (Waluyo, 2013). Selain itu, Arnold (dalam

Waluyo, 2013) juga menyatakan empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat

stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik,

kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam

(26)

meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara

psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi,

hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins,

1993, dalam Waluyo, 2013)

Menurut Munandar (2012) setiap faktor dalam pekerjaan dapat menjadi

pembangkit stres (stressor). Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam

lima kategori besar yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi,

pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi,

tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan, serta ciri-ciri individu (Hurrel dkk, dalam

Munandar, 2012). Di samping itu, Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab

stres (stressor) terdiri dari empat hal utama, yaitu: (1) Extra Organizational

Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi,

keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta keadaaan komunitas/tempat

tinggal; (2) Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi,

struktur organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses

yang terjadi dalam organisasi; (3) Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya

kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial; (4) Individual Stressors,

yang terdiri dari disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, personal

control, learned helplessness, dan daya tahan psikologis. Di sisi lain, Riggio

(2008) mengemukakan bahwa sumber stres juga dapat berasal dari jenis

pekerjaan, organisasi, dan karakteristik individu. Stres kerja yang bersumber dari

(27)

peran kerja (meliputi ketidakjelasan peran, kurangnya kontrol terhadap pekerjaan,

kondisi fisik pekerjaan, hubungan interpersonal, pelecehan yang berasal dari

rekan kerja ataupun atasan, perubahan organisasional, dan konflik

keluarga-pekerjaan). Kemudian, stres kerja yang bersumber dari karakteristik individu

terdiri dari pola kepribadian Tipe A, ketidaktahanan individu terhadap stres, dan

kurangnyaself efficacy.

Faktor kunci dari stres adalah bagaimana seseorang mempersepsikan dan

memberikan penilaian terhadap situasi dan kemampuan yang dimilikinya untuk

menghadapi dan mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991,

dalam Waluyo, 2012). Maka dari itu, stres yang dialami individu sebenarnya

berada di bawah kontrol individu itu sendiri karena masalahnya ada pada individu

yang mempersepsikannya (Munandar, 2012).

Dalam melakukan pekerjaan, individu tidak lepas dari lingkungan

kerja.Lingkungan kerja merupakan aspek penting dalam mempengaruhi

pelaksanaan suatu pekerjaan dan juga memiliki pengaruh yang besar dalam

penyelesaian tugas (Anogoro dan Widiyanti, 1990).Menurut Nitisemito (1982)

lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai yang

dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang

dibebankan.Anogoro dan Widiyanti (1990) berpendapat bahwa lingkungan kerja

yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula kepada para karyawan,

pimpinan, dan hasil pekerjaannya. Lingkungan kerja yang kurang nyaman dari

(28)

antara lain semangat kerja karyawan semakin menurun, gairah kerja karyawan

menurun, dan tingkat produktifitas karyawan juga semakin menurun. Mia (2011)

juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang sehat dapat memberikan pengaruh

yang positif terhadap kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja,

penurunan absensi, dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya, tempat kerja yang

kurang sehat atau tidak sehat (sering terpapar zat yang berbahaya yang dapat

mempengaruhi kesehatan) dapat meningkatkan angka kecelakaan, rendahnya

kualitas kesehatan pekerja, meningkatkan biaya kesehatan, dan banyak lagi

dampak negatif lainnya.

Anogoro dan Widiyanti (1990) menyatakan bahwa lingkungan kerja

mencakup kondisi fisik maupun non-fisik (psikologis). Lingkungan fisik

merupakan keadaan ruangan beserta perlengkapan yang mendukung, sedangkan

lingkungan psikologis merupakan kondisi organisasi dan interaksi sosial di

dalamnya. Menurut Wignjosoebroto (2008) lingkungan fisik pekerjaan

merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi sosial, mental, dan fisik

dalam kehidupan pekerja. Lingkungan fisik pekerjaan yang merupakan keadaan

di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara,

pencahayaan, kebisingan, getaran, bau-bauan, dan warna, akan berpengaruh

secara signifikan terhadap hasil kerja seseorang dalam lingkungan kerjanya.

Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat objek-objek

secara jelas dan cepat tanpa menimbulkan masalah. Pencahayaan yang kurang

(29)

menyebabkan lelahnya mental dan menimbulkan kerusakan mata

(Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Setyadi (2012) pada

perusahaan garmen menemukan adanya hubungan positif antara pencahayaan di

tempat kerja dengan kelelahan. Selain itu, Suma’mur (2013) juga menambahkan

bahwa penerangan yang buruk dapat meningkatkan peristiwa kecelakaan.

Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki oleh telinga

yang dapat mengganggu ketenangan kerja (Wignjosoebroto, 2008). Kebisingan

juga diartikan sebagai semua suara atau bunyi yang bersumber dari alat-alat

proses produksi atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan

gangguan pendengaran. Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dan

menyebabkan teralihnya perhatian sehingga karyawan menjadi tidak fokus

terhadap masalah atau pekerjaan yang sedang dihadapi. Selain itu, motivasi untuk

berpikir dan bekerja menjadi lemah dan dapat mempengaruhi ketelitian seseorang

dalam berbuat dan bertindak. Penelitian yang dilakukan oleh Jennie (2007) pada

karyawan di sebuah pabrik semen menunjukkan adanya hubungan antara

intensitas kebisingan di lingkungan kerja dengan peningkatan tekanan darah.Hal

ini membuktikan bahwa kebisingan yang terdapat pada lingkungan kerja juga

dapat berpengaruh terhadap fisiologis pekerja.

Getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan

oleh alat-alat mekanis yang berdampak hingga ke tubuh dan dapat menimbulkan

akibat-akibat yang tidak diingikan pada tubuh (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian

(30)

dalam bidang pengolahan kayu menemukan adanya hubungan antara getaran

dengan kelelahan pada pekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

56,8 % pekerja mengalami kelelahan dalam tingkat sedang dan berat. Survei awal

yang dilakukan oleh peneliti juga menunjukkan bahwa 68,8 % pekerja merasa

teragnggu dengan adanya getaran yang dihasilkan oleh mesin dan 70,2 % pekerja

merasa cepat lelah setelah bekerja akibat getaran yang ditimbulkan.

Warna yang dimaksud di sini adalah tembok ruangan dan interior yang

ada di sekitar tempat kerja (Wignjosoebroto, 2008). Schultz (dalam Munandar,

2012) menyebutkan bahwa penggunaan warna pada ruangan kerja merupakan

upaya untuk menghindari timbulnya ketegangan mata. Selanjutnya, Suyatno

(1985) menyebutkan bahwa penggunaan warna juga dapat menciptakan efek

psikologis seperti ruangan yang dicat dengan warna gelap menyebabkan ruangan

terasa lebih sempit dan tertutup. Sebaliknya, ruangan yang dicat dengan warna

terang menyebabkan ruangan terasa lebih luas dan terbuka (dalam Munandar,

2012).

Iklim kerja merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara,

kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi di tempat kerja. Iklim kerja dapat

mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja.

Lingkungan kerja yang memiliki suhu netralmerupakan lingkungan kerja yang

kondusif bagi para pekerja untuk melaksanakan dan memperoleh hasil pekerjaan

yang baik. Suhu yang panas dapat berakibat pada penurunan kemampuan

(31)

suhu yang panas pada lingkungan kerja juga dapat mempengaruhi fisiologis

pekerja. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Adella dkk (2010)

pada area peleburan di sebuah tambang nikel yang menunjukkan adanya

hubungan antara suhu lingkungan kerja dengan kadar asam urat urin pada para

pekerja. Pengoperasian mesin-mesin peleburan menghasilkan suhu yang tinggi

sehingga pekerja akan terpapar oleh radiasi panas. Selain itu, suhu tinggi yang

dihasilkan selama proses produksi juga menyebar ke seluruh sudut di area

peleburan, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga

meningkat.

Bau yang tidak disukai atau tidak enak dapat mengganggu perasaan orang

yang menciumnya, mengurangi kenyamanan, memberikan kesan tidak sehat, dan

mencerminkan keadaan kotor atau kurangnya kebersihan. Selain itu, bau-bauan

tertentu dapat menjadi petunjuk bagi adanya pencemaran oleh bahan berbahaya

atau beracun (Suma’mur, 2013).

Kondisi lingkungan fisik seperti yang telah dijelaskan secara umum di atas

sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan aspek-aspek yang

berkaitan dengan sosial, psikologis, dan motivasi manusia dalam rangka

peningkatan produktivitas kerja (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang

dilakukan oleh Soewondo terhadap 200 karyawan di sebuah perusahaan swasta

yang bergerak dalam bidang perminyakan menyatakan bahwa salah satu sumber

stres yang dialami oleh karyawan berhubungan dengan tempat mereka bekerja,

(32)

berisik, dan penerangan yang kurang. Kondisi ruangan pengap dan ventilasi udara

tidak ada, penerangan kurang jelas dan udara ruangan yang panasmembuat

individu mengalami perasaan tidak puas. Situasi tersebut juga menyebabkan

keamanan dan kenyamanan kerja karyawan terganggu sehingga karyawan

mengalami perasaan jengkel, tertekan, dan stres (Wijono, 2013).

Gibson (1996) menjelaskan bahwa lingkungan fisik pekerjaan merupakan

serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang

bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang besar

dalam mengarahkan tingkat laku karyawan. Maka dari itu, bagaimana karyawan

merasakan lingkungan kerjanya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak

menyenangkan, mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari

bagaimana karyawan memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap

sesuatu yang terjadi di lingkungan kerjanya. Andriani (2004) juga menjelaskan

bahwa setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal

walaupun berada dalam situasi yang sama. Apabila karyawan memiliki persepsi

yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut

sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, jika karyawan memiliki persepsi

yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut

sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Seseorang bisa saja menganggap

lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang lain menganggap lingkungan

(33)

karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan, kepentingan, maupun

harapan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan

dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang”.

A. Rumusan Masalah

- Apakah terdapat hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan

dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang?

B. Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan

dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi dalam bidang

Psikologi Ergonomi, yang berkaitan dengan akibat dari kondisi lingkungan

(34)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

pemahaman bagi karyawan yang bekerja di industri pertambangan

mengenai sejauh mana tingkat stres yang mereka alami terkait kondisi

lingkungan fisik pekerjaan tempat mereka bekerja.

b. Bagi Perusahaan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perusahaan,

khususnya perusahaan dalam industri pertambangan, mengenai stres kerja

yang dialami oleh karyawan berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik

pekerjaannya.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan

bagi peneliti selanjutnya berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik

(35)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres Kerja

1. Pengertian Stres

Morgan dan King (dalam Waluyo, 2013) mendefinisikan stres sebagai

suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik

(badan), lingkungan, atau situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak

terkontrol. Sedangkan, Cooper (dalam Waluyo, 2013) mendefinisikan stres

sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat

ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas

kemampuan subjek.

Ivancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2005) mendefinisikan stres

sebagai “interaksi individu dengan lingkungan”. Lebih lanjut, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008) memberikan definisi yang lebih rinci sebagai

berikut: “stres merupakan respon adaptif, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau

kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan khusus pada

seseorang. Definisi yang hampir sejalan juga dikemukakan oleh Moorhead dan

Griffin (2013) yang menyatakan bahwa stres adalah respon adaptif seseorang

(36)

berlebihan kepada orang tersebut. Selain itu, Luthans (2005) juga

mendefinisikan stres sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang

menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan/atau perilaku bagi

organisasi.

Cartwright dan Cooper (dalam Rice, 1998) melihat stres sebagai tekanan

yang mendorong fungsi psikologis atau fisik di luar jangkauan stabilitas, yang

menghasilkan straindalam diri individu. Selye (dalam Wijono, 2010) yang

merupakan “penemu” stres menyatakan bahwa stres adalah suatu abstaksi, orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat ialah

akibat dari pembangkit stres. Pada dasarnya, stres merupakan bentuk

tanggapan individu, secara fisik maupun mental, terhadap perubahan di

lingkungannya yang dirasa mengganggu dan mengakibatkan individu

terancam.

Menurut Rice (1998) stres setidaknya memiliki tiga arti yang berbeda.

Pertama, stres dapat dapat mengacu pada suatu stimulus kejadian atau

lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tegang. Dalam hal ini, stres

adalah sesuatu yang bersifat eksternal. Kedua, stres juga dapat mengacu pada

respon subjektif. Dalam hal ini, stres adalah keadaan mental internal dari

ketegangan. Ini adalah interpretatif, emosional, pertahanan, dan proses coping

yang terjadi di dalam orang itu. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan

positif atau kedewasaan. Hasil tertentu tergantung pada faktor-faktor yang akan

(37)

mengacu pada reaksi fisik tubuh terhadap permintaan atau instruksi yang

merusak.

Stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila

tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang

dirasakannya (Hager, dalam Waluyo, 2013). Selain itu, faktor kunci dari stres

adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya

untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana,

dalam Waluyo, 2013).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon

adaptif, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi

dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan

psikologis atau fisik secara berlebihan pada seseorang.

1. Pengertian Stres Kerja

Menurut NIOSH Research (dalam Widhiastuti, 2002) stres kerja dapat

didefinisikan sebagai keadaan respon fisik dan emosi yang muncul ketika

persyaratan-persyaratan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya,

atau kebutuhan dari pekerja. Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2005)

mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul akibat interaksi antara

individu dan pekerjaannya yang ditandai dengan perubahan pada individu

tersebut dimana mereka menyimpang dari fungsi normal mereka. Kemudian,

(38)

sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa

reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah

suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara karyawan dengan pekerjaan,

dimoderatori oleh perbedaan individu, yang kemudian menyebabkan reaksi

fisiologis, psikologis, dan perilaku pada karyawan.

2. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja

Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri dari

empat hal utama, yaitu:

a. Extra Organizational Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi,

keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta

keadaaan komunitas/tempat tinggal.

b. Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur

organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses yang

terjadi dalam organisasi.

c. Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,

kurangnya dukungan sosial.

d. Individual Stressors, yang terdiri dari disposisi individu seperti pola

kepribadian Tipe A, personal control, learned helplessness, dan daya tahan

(39)

Cooper (dalam Munandar, 2012) menyebutkan faktor-faktor dalam

pekerjaan yang dapat menimbulkan stres ke dalam lima kategori besar yaitu:

(1) faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, (2) peran individu dalam

organisasi, (3) pengembangan karir, (4) hubungan dalam pekerjaan, dan (5)

struktur dan iklim organisasi. Salah satu sumber stres yang akan dibahas secara

rinci di sini adalah faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi

tuntutan fisik (bising, getaran, dan higiene) dan tuntutan tugas (kerja shift/kerja

malam dan beban kerja). Faktor tersebut dianggap lebih relevan dengan topik

penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai kondisi lingkungan fisik

pekerjaan di pertambangan.

1) Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan terdiri dari tuntutan fisik dan

tuntutan tugas. Tuntutan fisik mencakup kebisingan, getaran, dan higiene.

Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup kerja shift/kerja malam, beban

kerja, dan paparan terhadap risiko dan bahaya.

a. Tuntutan Fisik

- Bising

Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan pada alat

pendengaran, juga dapat menjadi sumber stres yang menyebabkan

ketidakseimbangan psikologis seseorang bahkan menyebabkan

timbulnya kecelakaan. Ivancevich dan Matteson (dalam Munandar,

(40)

berulang kali (sekitar 80 desibel) untuk jangka waktu yang lama dapat

menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah

menurunnya motivasi kerja. Bising oleh para pekerja pabrik dinilai

sebagai pembangkit stres yang membahayakan.

- Getaran

Getaran merupakan sumber stres yang kuat. Getaran yang beralih

dari benda-benda fisik ke tubuh seseorang dapat memberi pengaruh

yang tidak baik pada pelaksanaan pekerjaan.

- Higiene

Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit

stres. Para pekerja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, waktu

istirahat yang kurang, juga toilet yang kurang memadai sebagai faktor

tinggi pembangkit stres.

b. Tuntutan Tugas

- KerjaShift/Kerja Malam

Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan

sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk & Tepas,

dalam Munandar, 2012). Para pekerja shift malam lebih sering

mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja

pagi/siang dan dampak dari kerjashiftterhadap kebiasaan makan yang

mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.

(41)

Menurut Sutherland & Cooper(dalam Munandar, 2012) beban kerja

dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam empat kategori yaitu:

i. Beban Kerja Berlebih “Kuantitatif”

Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus

melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber

stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih

kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan

dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada

saat-saat tertentu, dalam saat-saat tertentu waktu akhir (deadline)

justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi

kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan

timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan

seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban

berlebih kuantitatif.

ii. Beban Kerja Terlalu Sedikit “Kuantitatif”

Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat

mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan

yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak, dapat

menimbulkan rasa bosan dan rasa monoton. Kebosanan dalam

kerja rutin sehari-hari sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas

(42)

Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal

untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

iii. Beban Kerja Berlebih “Kualitatif”

Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang

dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada

pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan

pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan

mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika

kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan

intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik

tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi

menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati

kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan

cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan

reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa

kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut

merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif.

iv. Beban Kerja Terlalu Sedikit “Kualitatif”

Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana

tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan

yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan

(43)

kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan

motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa

bahwa ia "tidak maju-maju", dan merasa tidak berdaya untuk

memperlihatkan bakat dan ketrampilannya.

- Paparan terhadap Risiko dan Bahaya

Risiko dan bahaya yang berkaitan dengan jabatan tertentu

merupakan sumber dari stres. Kelompok-kelompok jabatan yang

dianggap memiliki risiko tinggi, dalam arti kata secara fisik berbahaya

antara lain pekerja tambang, tentara, pegawai di lembaga

pemasyarakatan, petugas pemadam kebakaran, pekerja pada eksplorasi

gas dan minyak, serta pekerja pada instalasi produksi. Berbagai kajian

menunjukkan bahwa para pekerja melihat risiko dan bahaya berkaitan

dengan pekerjaan sebagai sumber stres. Risiko terhadap paparan

bahan-bahan kimia tertentu seringkali dilaporkan oleh pekerja pabrik

sebagai salah satu pembangkit stres yang paling merugikan.Hal ini

mencakup uap dan debu yang terhirup serta paparan terhadap

bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan luka pada kulit.

Risiko dan bahaya yang berkaitan dengan profesi tertentu tidak

dapat diubah, tetapi persepsi karyawan terhadap risiko dapat dikurangi

melalui pelatihan dan pendidikan. Para karyawan yang merasa cemas

akan memiliki ketakutan, kurang termotivasi dalam bekerja,

(44)

kecelakaan, dan dalam jangka panjang dapat menderita akibtat-akibat

dari penyakit yang berhubungan dengan stres, termasuk sakit jantung

dan perut (ulcers).

2) Peran Individu dalam Organisasi

Kurang berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres

meliputi: konflik peran (role conflict) dan ketaksaan peran (role ambiguity).

3) Pengembangan Karir

Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang

mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang

kurang.

4) Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya

kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan

masalah dalam organisasi (Kahn dkk, dalam Munandar, 2012).

5) Struktur dan Iklim Organisasi

Meliputi struktur organisasi yang berlaku di lembaga yang

bersangkutan.Apabila bentuk atau struktur organisasi kurang jelas dan

dalam jangka waktu yang lama tidak ada perubahan atau pembaharuan,

(45)

3. Aspek-aspek Stres Kerja

Luthans (2005) menjelaskan aspek stres kerja ke dalam tiga hal berikut,

yaitu:

1) Fisiologis

Masalah kesehatan yang dikaitkan dengan stres adalah sebagai berikut:

(1) masalah sistem kekebalan tubuh, dimana kemampuan untuk melawan

penyakit dan infeksi berkurang; (2) masalah sistem kardiovaskular, seperti

tekanan darah tinggi dan penyakit jantung; (3) masalah sistem

muskoloskeletal, seperti sakit kepala dan nyeri punggung; dan (4) masalah

sistem pencernaan, seperti diare dan sembelit.

2) Psikologis

Salah satu studi menemukan bahwa stres memiliki dampak yang kuat

pada tindakan agresif seperti agresi interpersonal, sabotase, permusuhan,

dan keluhan. Jenis-jenis masalah psikologis dari stres tersebut pada akhirnya

mengarah pada kinerja yang buruk, penurunan harga diri, ketidakmampuan

untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, serta ketidakpuasan kerja.

3) Perilaku

Perilaku yang dapat menyertai tingkat stres yang tinggi mencakup

makan secara berlebihan dan makan yang kurang, sulit tidur, meningkatkan

merokok dan minum (alkohol), dan penggunaan obat-obatan.

Kemudian, Beehr dan Newman (dalam Waluyo, 2013) juga menjelaskan

(46)

a. Gejala Psikologis

Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil

penelitian mengenai stres kerja:

- Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung.

- Perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian).

- Sensitivedanhyperreactivity.

- Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi.

- Komunikasi yang tidak efektif.

- Perasaan terkucil dan terasing.

- Kebosanan dan ketidakpuasan kerja.

- Kelelahan mental, penurunan, fungsi intelektual, dan kehilangan

konsentrasi.

- Kehilangan spontanitas dan kreativitas.

- Menurunnya rasa percaya diri.

b. Gejala Fisiologis

Gejala–gejala fisiologis yang utama dan stres kerja adalah:

- Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan

mengalami penyakit kardiovaskular.

- Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh : adrenalin dan

nonadrenalin).

- Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung).

(47)

- Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sidrom kelelahan

yang kronis (chronic fatigue syndrome)

- Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada.

- Gangguan pada kulit.

- Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot.

- Gangguan tidur.

- Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan

terkena kanker.

c. Gejala Perilaku

Gejala–gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:

- Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan.

- Menurunnya prestasi(performance) dan produktivitas.

- Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan.

- Perilaku sabotase dalam pekerjaan.

- Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,

mengarah ke obesitas.

- Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk

penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,

kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi.

- Meningkatnya kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti

menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi.

(48)

- Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan

teman.

- Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari

stres kerja meliputi aspek fisiologis, aspek psikologis, dan aspek perilaku.

4. Dampak Stres Kerja

Arnold (dalam Waluyo, 2013) juga menambahkan bahwa ada empat

konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu

yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, dan

mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Pada umumnya stres

kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri

karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja,

kecemasan yang tinggi, dan frustrasi (Rice, dalam Waluyo, 2013). Selain itu,

terdapat beberapa penyakit yang terkait dengan stres yaitu maag, radang usus,

tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pernapasan, dan sakit kepala

migrain. Selain itu,stres dapat memperburuk masuk angin, flu, dan infeksi,

sehingga waktu pemulihan lebih lama (Beehr & Bhagat, 1985; Clark, 2005;

Hart & Cooper, 2001, dalam Riggio, 2008). Wolf (1986) mengatakan bahwa

stress kerja dapat berdampak buruk pada keadaan psikologis karyawan.

Tingginya kadar stres dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan kelelahan

(49)

mempengaruhi tingkat kecelakaan di tempat kerja (dalam Riggio, 2008).

Corders & Doughtery (1993) menambahkan bahwa kelelahan emosional,

pemisahan dari rekan kerja, penilaian diri yang negatif, dan penurunan harga

diri juga merupakan dampak dari stres (dalam Riggio, 2008). Selain itu, stres

juga dapat berdampak pada hasil kerja. Stres dipercaya dapat mengurangi

performansi kerja dan meningkatkan absenteisme danturnover(Riggio, 2008).

Menurut Moorhead dan Griffin (2010) stres dapat berdampak pada:

1. Individual

- Perilaku

Stres dapat merugikan orang yang mengalami stres itu sendiri

maupun orang lain. Salah satu perilaku yang ditunjukkan adalah merokok.

Penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang yang merokok

cenderung merokok lebih banyak ketika mereka mengalami stres.

Terdapat juga bukti bahwa penyalahgunaan alkohol dan obat-oabatan

berhubungan dengan stres. Dampak lainnya adalah kerentanan terhadap

kecelakaan, agresi dan kekerasan, serta perubahan selera makan.

- Psikologis

Dampak psikologis dari stres berhubungan dengan kesehatan mental

seseorang. Ketika individu mengalami stres yang begitu banyak di tempat

kerja, mereka dapat menjadi lebih tertekan dan tidur terlalu banyak atau

terlalu sedikit. Stres juga dapat menimbulkan masalah keluarga dan

(50)

- Kesehatan

Stres dapat berdampak pada kesehatan fisik seseorang. Penyakit

jantung dan stroke, merupakan dua penyakit yang kerap dihubungkan

dengan stres. Masalah kesehatan lainnnya yang diakibatkan oleh stres

meliputi sakit kepala, sakit punggung, berbagai kelainan perut dan

lambung, serta kondisi kulit, seperti jerawat dan gatal-gatal.

2. Organisasi

- Kinerja

Salah satu dampak nyata dari stres yang dialami oleh organisasi

adalah penurunan dalam hal kinerja. Bagi karyawan, penurunan seperti

ini dapat mengarah pada kualitas kerja yangburuk dan penurunan

produktivitas. Bagi manajer, hal ini dapat berdampak pada pengambilan

keputusan yang salah atau gangguan dalam hubungan kerja karena

individu menjadi mudah marah dan sulit diajak bergaul.

- Penarikan diri

Perilaku menarik diri juga merupakan dampak dari stres. Bagi

organisasi, dua bentuk perilaku penarikan diri yang paling signifikan

adalah absensi dan turnover. Orang-orang yang kesulitan mengatasi

stres dalam pekerjaan mereka memiliki kemungkinan untuk tidak masuk

kerja dengan alasan sakit atau bahkan mempertimbangkan untuk keluar

dari organisasi. Stres juga dapat menghasilkan bentuk penarikan diri lain

(51)

tenggat waktu makan siang lebih lama. Karyawan mungkin menarik diri

secara psikologis dengan berhenti memedulikan organisasi dan

pekerjaannya.

- Sikap

Dampak lain dari stres bagi organisasi berhubungan dengan sikap.

Kepuasan kerja, moral, dan komitmen terhadap organisasi semuanya

dapat dirugikan, bersama dengan motivasi untuk berkinerja pada tingkat

tinggi. Akibatnya, orang-orang mungkin lebih mudah mengeluh

mengenai hal-hal yang tidak penting dan hanya melakukan pekerjaannya

secara setengah-setengah.

- Kelelahan

Kelelahan (burnout) adalah perasaan umum dari keletihan yang

berkembang ketika seseorang pada saat yang sama mengalami terlalu

banyak tekanan. Orang-orang yang memiliki aspirasi yang tinggi dan

motivasi yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan dapat mengalami

kelelahan (burnout) dalam kondisi tertentu. Mereka rentan mengalami

kelelahan (burnout) ketika organisasi terlalu menekan dan hanya

menuntut untuk menjalankan tujuan dari organisasi itu sendiri. Dalam

situasi seperti ini, individu akan menempakan diri mereka terlalu banyak

ke dalam pekerjaan. Di samping berusaha memenuhi agendanya sendiri,

(52)

Lebih lanjut, Aamodt (2010) menjelaskan dampak dari stres kerja bagi

perusahaan, yaitu:

a. Job Performance

Studi menunjukkan bahwa secara umum, tingkat stres yang tinggi

mengurangi kinerja pada banyak tugas. Karyawan yang memiliki tingkat

stres yang tinggi dapat mengalami ketegangan baik secara fisik maupun

psikologis. Hal inilah yang pada akhirnya dapat menyebabkan karyawan

tidak dapat bekerja secara optimal.

b. Burnout

Burnout, merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh stres, biasanya

dialami oleh para profesional yang sangat termotivasi menghadapi tuntutan

kerja yang tinggi. Penelitian awal pada burnout adalah pada orang yang

bekerja di bidang pelayanan kesehatan yang ditargetkan sebagai profesi

yang paling banyak bepengalaman dalam burnout. Kemudian, definisi

diperluas untuk mencakup jenis-jenis profesi karyawan yang menjadi lelah

secara emosional dan tidak lagi merasa bahwa mereka memiliki dampak

positif pada orang lain atau pekerjaan mereka.Burnout dapat menyebabkan

seseorang mengalami kekurangan energi dan dipenuhi dengan frustasi dan

ketegangan. Orang-orang yang mengalami burnout juga memperlihatkan

jarak terhadap orang-orang yang bekerja dengan mereka. Orang-orang yang

(53)

melalui absenteisme, turnover, dan kinerja yang rendah (Parker & Kulik,

2005, dalam Aamodt, 2010).

c. Abseenteism and Turnover

Absenteisme dan turnover, yang mengakibatkan hilangnya

produktivitas dan pendapatan, adalah yang paling tinggi selama masa

burnout dan meningkatkan stres yang dialami oleh karyawan. Studi yang

dilakukan oleh Heaney dan Clemens (1995), menunjukkan bahwa

stres/penyakit dapat mengakibatkan kurang bahkan hilangnya produktivitas

yang kemudian hal tersebut dapat berujung padaturnover(Mitra, Jenkins, &

Gupta, 1992, dalam Aamodt, 2010 ).

d. Drug and Alcohol Abuse

Semakin tinggi tingkat stres dan kemarahan, maka akan semakin

sering juga penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol. Ada peningkatan

jumlah laporan berita kekerasan yang terjadi di tempat kerja. Dari

peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut, banyak dilakukan oleh karyawan yang

menyalahgunakan obat dan alkohol.

e. Health Care Cost

Salah satu konsekuensi dari stres yang dialami oleh organisasi adalah

terjadinya peningkatan asuransi kesehatan. Tingginya penggunaan fasilitas

kesehatan yang disebabkan oleh penyakit akibat stres mengakibatkan

organisasi harus membayar biaya asuransi kesehatan karyawan secara

(54)

Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa stres kerja dapat berdampak

pada individu dan organisasi tempat karyawan bekerja. Pada individu, stres

kerja dapat berdampak pada kesehatan fisik, psikologis, dan perilaku

karyawan. Kemudian, pada organisasi, stres kerja dapat berdampak pada

meningkatnya tingkat absensi dan turnover, burnout, menurunnya tingkat

produktivitas, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol di lingkungan kerja,

dan peningkatan asuransi kesehatan.

A. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan 1. Pengertian Kondisi Lingkungan Kerja

Menurut Anoraga dan Widiyanti (2001) lingkungan kerja adalah segala

sesuatu yang ada di sekitar karyawan dan yang dapat mempengaruhi dirinya

dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankannya. Menurut Nitisemito

(1982) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai

yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang

dibebankan. Kemudian, menurut Sedarmayanti (2010) lingkungan kerja adalah

keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar dimana

seseorang bekerja, metode kerja, serta pengaturan kerja baik sebagai

perseorangan maupun sebagai kelompok (dalam Riski, 2014).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah

segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya

(55)

2. Pengertian Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan

Menurut Tiffin dan McCormick (1958) lingkungan fisik pekerjaan adalah

semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat

mempengaruhi kinerja, kondisi fisik, dan psikologis karyawan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Kemudian, menurut Wignjoesoebroto (2008)

lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan yang terdapat di sekitar

tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara,

pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, dan warna. Hal-hal

tersebut dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia.

Kondisi lingkungan fisik pada hakikatnya diharapkan mampu meningkatkan

aspek kenyamanan kerja. Hal tersebut akan sangat penting dalam rangka

meningkatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan

motivasi manusia dalam rangka peningkatan produktivitas.

Menurut Nitisemito (1982) lingkungan fisik pekerjaan merupakan hal-hal

yang ada di sekitar para pekerja yang dapat dirasakan secara fisik melalui

indera dan dapat memepengaruhi diri pekerja dalam menjalankan tugas-tugas

yang dibebankan. Kemudian, menurut Sedarmayanti (dalam Riski, 2014)

lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat

di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara

langsung maupun secara tidak langsung. Sedarmayanti (dalam Riski, 2014)

menjelaskan bahwa lingkungan fisik perkerjaan dapat dibagi ke dalam dua

(56)

(seperti: pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya), dan (2) lingkungan

perantara atau lingkungan umum, dapat juga disebut lingkungan kerja yang

mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi

udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan

lain-lain.

Gibson (1996) menjelaskan bahwa kondisi lingkungan fisik pekerjaan

merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh

orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran

yang besar dalam mengarahkan tingkah laku karyawan. Menurut Walgito

(2005) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses

penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat

indera atau disebut juga proses sensoris. Stimulus yang diinderakan itu

kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga

individu menyadari dan mengerti mengenai apa yang diinderakannya itu

(Dafidoff, 1981, dalam Walgito, 2005). Kemudian, menurut Atkinson (dalam

Sobur, 2003) persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus

yang diterima individu dari lingkungan.

Dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda

antara individu satu dengan individu lainnya. Hal ini dikarenakan individu

memiliki perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman yang tidak sama

antara individu satu dengan individu lainnya. Hal inilah yang membuat

(57)

2005). Maka dari itu, kondisi lingkungan fisik pekerjaan yang terdapat dalam

suatu perusahaan dapat dipersepsikan secara berbeda oleh setiap karyawan

(Walgito, 2003). Bagaimana karyawan merasakan lingkungan fisik

pekerjaannya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan,

mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari bagaimana karyawan

memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap sesuatu yang terjadi di

lingkungan fisik pekerjaannya.

Andriani (2004) kemudian menjelaskan bahwa apabila karyawan

memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan

menerima hal tersebut sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, apabila

karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka

ia akan menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.

Seseorang bisa saja menganggap lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang

lain menganggap lingkungan kerjanya baik. Perbedaan pandangan terhadap

lingkungan kerja dapat terjadi karena masing-masing individu mempunyai

kebutuhan, kepentingan, maupun harapan yang berbeda-beda antara satu

dengan yang lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan fisik

pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar

tempat kerja yang dapat m

Gambar

Grafik 1Scatter Plot…………………………………………………..
Blue PrintTabel 1 Skala Stres Kerja
Blue PrintTabel 2 Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan
Blue PrintTabel 3 Skala Stres Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Persepsi Terhadap Lingkungan Paikososial Kerja Dan Kepuasan Kerja Dengan Komitmen Karyawan Pada Perusahaan.. Sekripsi (Tidak

Kesimpulan penelitian menyatakan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara stres kerja dengan produktivitas kerja, namun generalisasi hasil- hasil

Dubrin (dalam Doelhadi, 1995) mengatakan bahwa stres kerja diartikan sebagai stres yang terjadi pada pekerjaan, yang disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu, yang

Pada kenyataannya pekerjaan di perusahaan leasing tersebut juga memberikan tekanan dan beban kerja pada karyawan yang dapat menyebabkan stres.. Dampak negatif

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ada hubungan negatif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan tingkat stres kerja karyawan. Subyek dalam penelitian ini

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dan stres kerja dengan

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap lingkungan kerja fisik adalah pemahaman / penilaian karyawan terhadap kondisi tempat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik terhadap kinerja karyawan melalui kepuasan kerja sebagai