HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN
DI PERUSAHAAN TAMBANG
Pricillya Regina Julya Tampi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia 30–55 tahun yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun dan bekerja di luar ruang/lapangan.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Peneliti menggunakan teknikpurposive samplingdalam pengambilan sampel penelitian.Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Stres Kerja dan Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan.Reliabilitas Skala Stres Kerja adalah 0,923 dari 38 item dan reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan adalah 0,948 dari 42 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows16.0. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment Pearsondengan program SPSS for windows 16.0. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah -0,606 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu adanya hubungan negatif antara variabel kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja.
RELATION BETWEEN PHYSICAL WORK ENVIRONMENT CONDITIONS
WITH JOB STRESS OF EMPLOYEES
IN THE MINING COMPANY
Pricillya Regina Julya Tampi
ABSTRACT
This research aimed to examine the relation between physical work environment conditions with job stress of employees in the mining company. The hypothesis in this research there was a negative relation between physical work environtment conditions and job stress of employees in the mining company. Subjects in this research were employees aged 30 – 55 years who had one year minimum term of work and worked outside the room/field. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data were obtained by using two scales, that is Job Stress Scale and Physical Environment Work Conditions Scale. Reliability of Job Stress scale reliability was 0,923 of 38 items and reliability of Physical Work Environment Conditions was 0,948 of 42 items. Reliability of both scales is obtained by using Cronbach Alpha of SPSS for Windows 16.00. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with SPSS for Windows 16.00 and were obtained coefficient correlation was -0,606 with significance level 0,000 (p < 0,01). The result showed that the hypothesis was accepted that there was negative relation between physical work environment conditions.job and job stress.
HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN
DI PERUSAHAAN TAMBANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Pricillya Regina JulyaTampi
NIM : 109114126
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iii
iv
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku
mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai
sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu
hari depan yang penuh harapan.”
(Yeremia 29 : 11)
“Cobalah untuk tidak menjadi orang sukses,
melainkan menjadi orang yang bernilai.”
(Albert Einstein)
“Karena masa depan sungguh ada,
dan harapanmu tidak akan hilang”
(1 Tawarikh 16 : 34)
“Diberkatilah orang yang
mengandalkan Tuhan,yang menaruh
harapannya pada Tuhan”
(Yeremia 17:5)
v
Karya ini aku persembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus, untuk kasih setia dan berkat yang terus
diberikan dalam hidupku
Anugerah terbesarku, Mama, Papa, dan Kak Ivonne
Keluarga keduaku, saudara, teman-teman, dan
sahabat-sahabatku yang terkasih, yang telah memberikan warna dalam
vii
HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN
DI PERUSAHAAN TAMBANG
Pricillya Regina Julya Tampi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia 30–55 tahun yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun dan bekerja di luar ruang/lapangan.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Peneliti menggunakan teknikpurposive samplingdalam pengambilan sampel penelitian.Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Stres Kerja dan Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan.Reliabilitas Skala Stres Kerja adalah 0,923 dari 38 item dan reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan adalah 0,948 dari 42 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows16.0. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment Pearsondengan program SPSS for windows 16.0. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah -0,606 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu adanya hubungan negatif antara variabel kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja.
viii
RELATION BETWEEN PHYSICAL WORK ENVIRONMENT CONDITIONS
WITH JOB STRESS OF EMPLOYEES
IN THE MINING COMPANY
Pricillya Regina Julya Tampi
ABSTRACT
This research aimed to examine the relation between physical work environment conditions with job stress of employees in the mining company. The hypothesis in this research there was a negative relation between physical work environtment conditions and job stress of employees in the mining company. Subjects in this research were employees aged 30 – 55 years who had one year minimum term of work and worked outside the room/field. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data were obtained by using two scales, that is Job Stress Scale and Physical Environment Work Conditions Scale. Reliability of Job Stress scale reliability was 0,923 of 38 items and reliability of Physical Work Environment Conditions was 0,948 of 42 items. Reliability of both scales is obtained by using Cronbach Alpha of SPSS for Windows 16.00. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with SPSS for Windows 16.00 and were obtained coefficient correlation was -0,606 with significance level 0,000 (p < 0,01). The result showed that the hypothesis was accepted that there was negative relation between physical work environment conditions.job and job stress.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat
dan kasih setiaNya yang luar biasa penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini juga tidak lepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak selama perjalanan studi penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Universitas Sanata Dharma khususnya Fakultas Psikologi sebagai almamaterku.
Terima kasih atas pembelajaran hidup yang begitu berharga yang telah penulis
dapatkan selama menjalakan studi di sini.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma, juga selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima
kasih atas nasihat-nasihat dan motivasi yang telah diberikan selama penulis
menjalankan studi di Fakultas Psikologi.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M. Psi., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan banyak bantuan, masukan, dan waktunya kepada penulis selama
xi
5. Bapak R. Landung Eko P., M.Psi. dan Bapak TM Raditya Hernawa, M.Psi.,
selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas berbagai masukan, saran, dan
kritik membangun yang telah diberikan agar skripsi yang disusun penulis dapat
menjadi lebih baik.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
memberikan begitu banyak pembelajaran dan pengetahuan sehingga penulis dapat
menambah wawasan mengenai dunia Psikologi.
7. Seluruh staff di Fakulas Psikologi, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas
Donny, dan Pak Gie. Terima kasih atas bantuan dan canda tawanya selama ini,
yang memberikan warna tersendiri ketika penulis menempuh studi di Fakultas
Psikologi. Semoga terus diberkati dalam tugas dan tanggung jawabnya.
8. PT Vale Indonesia Tbk sebagai perusahaan tempat penulis melakukan penelitian.
Terima kasih atas bantuan dan izin yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat melakukan penelitian.
9. Karyawan PT Vale Indonesia Tbk bagian Departemen Process Plant dan Utilities.
Terima kasih karena di tengah kesibukan dan tugas pekerjaannya masih
menyediakan waktu dan tenaganya sebagai subjek penelitian penulis.
10. Kedua orangtuaku. Papa dan Mama, rasanya tidak cukup mengucapkan rasa
sayang dan terima kasih di lembaran ini untuk kedua orang terhebatku di dunia
ini. Terima kasih Papa dan Mama atas semua yang sudah diberikan kepadaku
xii
studi di Yogyakarta. Semoga aku selalu bisa membahagiakan dan membanggakan
kalian terus.
11. Kakakku Ivonne Anastasya Ariesta Tampi, saudara sekaligus sahabatku. Terima
kasih kak sudah jadi tempat curhat dan untuk segala masukan dan bantuannya.
Terima kasih untuk selalu menenangkanku dengan caramu ketika aku mulai
merasa down.
12. Rio Ferland Junior. Terima kasih sudah selalu menamani hari-hariku. Terima
kasih sudah mau direpotkan selama aku menjalankan studi di Yogyakarta, mulai
dari waktu dan tenaga yang sudah kamu berikan sangat berharga. Thank you for
always there and making me smile even on my worst of day.
13. Raisa Vienlentia dan Andin Marchelyna, kedua sahabat lengketku yang paling
gokil dan gesrek :D Terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan kita selama
ini yang begitu berharga. Semoga ke depannya kita tetap seperti ini, melakukan
kegilaan dan hal-hal bodoh yang selalu bikin perut sakit karena ketawa. Aku
sayang kalian! Semoga kesuksesan senantiasa mengikuti kita.
14. Monica Astria Sitorus dan Agustina. Kedua sahabatku yang selalu ada di waktu
yang tepat untuk menghiburku (hahaha). Terima kasih kalian, sudah
bersama-sama saling membantu, menguatkan, dan berjuang menyelesaikan studi di Kota
Yoyakarta ini. Aku sayang kalian!
15. Kerabat Dewiku. Kak Jojo, Kak Dicky, Kak Rea, Kak Alvi, Kak Anggi, Raisa,
Istri, Nanda, Rani, Mitha, dan Lydia. Keluarga keduaku selama tinggal di
xiii
semua adalah spesialis humor yang handal. Aku akan kangen banget sama kalian.
Keep contactdankeep in touchya.
16. Geng YPS 2010 chapter Jogja. Monica, Agustina, Kiki, Rio, Randhy, Dedy,
Agung, Andar, Sammy, dan lainnya yang tidak sempat ngumpul bareng di
saat-saat terakhir karena keburu lulus duluan. Terima kasih atas kebersamaannya!
Terima kasih untuk malam-malam yang kita lalui hingga pagi bersama UNO
sambil curhat tentang kuliah dan skripsi masing-masing. Pada akhirnya semuanya
juga berhasil kita lewati. Selamat mengejar mimpi dan cita-cita masing-masing,
guys!
17. Sahabat-sahabatku 9999’ers. Ilva, Donna, Tinnang, Rini, Lisa, Anti, Agni, Wati.
Sahabat-sahabat tergokilku yang meskipun kita kuliahnya berpencar-pencar tapi
tetap bersatu padu meramaikan grup Line, BBM, dan Whatsapp :D. Terima kasih
kalian yang tak henti-hentinya memberikan semangat dari jauh dan selalu
memberikan cerita-cerita lucu.
18. Rosy Mardiniyanti dan Priscylia Anali Christy Rorie, dua sahabat yang sudah aku
anggap keluargaku sendiri. Terima kasih karena sudah selalu mendukungku
menyelesaikan skripsi ini. Selalu memberi keceriaan baru ketika aku mulai suntuk
dan butuh teman cerita. Sayang banget sama kalian!
19. Teman-teman di Kelas C dan D Fakultas Psikologi yang gokilnya tiada tara.
Senang dan sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari kelas ini. Kompak dan
keep contact terus yaa teman-teman meskipun kita udah pisah-pisah nanti. See
xiv
20.Paduan Suara Angel’s Voice, terima kasih atas pengalaman bernyanyi bersama selama ini.
21. Alice, Jasper, dan para Cibung yang telah menemani hari-hari penulis.
22. Seluruh pihak yang telah membangtu dan mendukung penyelesaian skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena
itu, kritik dan masukan sangat penulis harapkan agar skripsi ini bisa menjadi lebih
baik lagi.Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang mememerlukannya.
Penulis
xv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……… iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi
ABSTRAK ……… vi
ABSTRACT ……… vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………... ix
KATA PENGANTAR ………..………. x
DAFTAR ISI ………..………. xv
DAFTAR TABEL ………... xviii
DAFTAR GRAFIK ……… xix
DAFTAR LAMPIRAN ……….………... xx
BAB I. PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ……… 11
C. Tujuan Penelitian ……… 11
D. Manfaat Penelitian ……… 11
1. Manfaat Teoretis ……… 11
2. Manfaat Praktis ……… 12
BAB II. LANDASAN TEORI ……… 13
A. Stres Kerja ……… 13
1. Pengertian Stres ……… 12
2. Pengertian Stres Kerja ……… 15
3. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja ……… 16
4. Aspek-aspek Stres Kerja ……… 23
xvi
B. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 32
1. Pengertian Kondisi Lingkungan Pekerjaan ……… 32
2. Pengertian Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 33
3. Aspek-aspek Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan …… 36
4. Dampak Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ... 41
C. Karyawan di Perusahaan Tambang ……… 43
D. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang……… 47
E. Kerangka Pemikiran ……… 55
F. Hipotesis ……… 56
BAB III. METODE PENELITIAN……… 57
A. Jenis Penelitian ……… 57
B. Identifikasi Variabel Penelitian ……… 57
C. Definisi Operasional ……… 57
1. Stres Kerja……… 58
2. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 51
D. Subjek Penelitian ……… 60
E. Metode Pengumpulan Data ……….... 61
1. Skala Stres Kerja ……… 61
2. Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 64
F. Validitas dan reliabilitas Alat Ukur ……… 66
1. Validitas…..………. 66
2. Seleksi Item ……… 67
3. Reliabilitas ……… 70
G. Metode Analisis Data……… 70
1. Uji Asumsi ……….... 70
a. Uji Normalitas………..……….. 70
b. Uji Linearitas ………..……….. 71
xvii
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……..……….. 72
A. Pelaksanaan Penelitian ……… 72
B. Gambaran PT. Vale Indonesia ………..……….……. 73
C. Deskripsi Subjek Penelitian …..……….. 74
D. Deskripsi Data Penelitian ………..……….. 79
E. Analisis Data Penelitian …..……….. 83
1. Uji Asumsi ……..….………. 83
a. Uji Normalitas.….……….. 83
b. Uji Linearitas …..……….. 84
2. Uji Hipotesis ………...………. 85
3. Analisis Data Tambahan ……… 87
a. Uji U tingkat stres kerja dengan usia subjek ……… 87
b. Uji U tingkat stres kerja dengan pengalaman kerja subjek ………... 88
c. Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan usia subjek……… 89
d. Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan pengalaman kerja subjek ……… 90
F. Pembahasan ………...……… 91
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...………...……….. 98
A. Kesimpulan ………...………. 98
B. Saran ………...………. 98
DAFTAR PUSTAKA ………..…....…...….. …… 100
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blue PrintSkala Stres Kerja (Sebelum Penelitian) ... 64
Tabel 2 Blue PrintSkala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan (Sebelum Uji Coba) ………...…………66
Tabel 3 Blue PrintSkala Stres Kerja (Setelah Uji Coba) ... 68
Tabel 4 Blue PrintSkala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan (Setelah Uji Coba) ………...………69
Tabel 5 Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ………...………77
Tabel 6 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ……..……… 77
Tabel 7 Deskripsi Subjek Berdasarkan Lama Bekerja ……..……… 77
Tabel 8 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jabatan (Posisi) ………..…… 78
Tabel 9 Deskripsi Subjek Berdasarkan Shift Kerja ………..……… 78
Tabel 10 Deskripsi Data Penelitian ………..…… 79
Tabel 11 Norma Kategorisasi Skala ………..……… 81
Tabel 12 Kategorisasi Skor Skala Stres Kerja ………..……… 81
Tabel 13 Kategorisasi Skor Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……….. 82
Tabel 14 Hasil Uji Normalitas ………..……… 84
Tabel 15 Hasil Uji Linearitas ………..……… 85
Tabel 16 Hasil Uji Hipotesis ………..…… 86
Tabel 17 Uji U tingkat stres kerja dengan usia subjek ………..… 87
Tabel 18 Uji U tingkat stres kerja dengan pengalaman kerja subjek …….. 88
Tabel 19 Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan usia subjek ……….. 89
xix
DAFTAR GRAFIK
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Stres Kerja ………... 104 Lampiran 2 Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ………. 114 Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Stres Kerja ………. 121 Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan
Fisik Pekerjaan ………. 128 Lampiran 5 Hasil Uji T dan Uji Deskriptif Rata-Rata Empiris
Dan Teoritis Stres Kerja dan Kondisi Lingkungan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor penting yang
memberikan kontribusi bagi Indonesia. Pada tahun 2010, industri pertambangan
menyumbang Rp 173,3 triliun atau 0,3% dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hal tersebut menggambarkan betapa besar dan pentingnya industri
tambang di Indonesia. Di sisi lain, sektor industri ini cenderung memiliki
berbagai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja (Markkanen, 2004).
NIOSH (National Institute of Occupational Savety and Health) menyebutkan
bahwa fatality rate pada industri pertambangan dari tahun 2003 hingga tahun
2008 termasuk dalam kategori tinggi.
Markkanen (2004) berpendapat bahwa salah satu sektor yang memiliki
risiko kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja paling tinggi dapat dijumpai di
pertambangan. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Biro Statistik Buruh
Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa pertambangan merupakan salah satu
sektor industri yang paling berbahaya. Kemudian, data dariU.S. Bureau of Labor
Sourcetahun 2007 menunjukkan bahwa di antara 10 jenis industri, pertambangan
menempati posisi kedua sebagai industri yang memiliki angka kecelakaan
Karyawan yang bekerja di sektor pertambangan pun harus menghadapi
risiko bahaya yang cukup besar terkait pekerjaannya. Kecelakaan fatal dapat
terjadi ketika karyawan jatuh dari ketinggian, tertimpa, kejatuhan, atau terhantam
oleh benda atau mesin yang sedang bergerak. Bahaya yang lain dapat berupa
kebisingan, getaran, suhu panas, terpapar debu, gas, asap, dan bahan-bahan kimia
berbahaya. Selain itu, karyawan yang bekerja di sektor pertambangan juga tidak
lepas dari gangguan-ganggaun fisik akibat penggunaan peralatan kerja baik secara
mekanik ataupun manual sepertigangguan bahu, cidera pada pergelangan kaki dan
lutut, dan kelelahan dan gangguan tidur dalam kaitannya dengan kerja shift
(Markkanen, 2004).
Sebagai profesi yang memiliki risiko bahaya yang tinggi di lingkungan
kerjanya, pekerja tambang rentan mengalami tekanan atau stres karena mereka
setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan (Rini, 2002).
Data menunjukkan bahwa di antara 30 jenis profesi, karyawan tambang
merupakan profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi (Haslam, 2004).
Beehr dan Newman (1978) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang
timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaan. Pada dasarnya, stres
yang dialami oleh individu bersifat merusak apabila tidak ada keseimbangan
antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya (dalam
Waluyo, 2013). Munandar (2012) juga menyatakan bahwa stres merupakan suatu
kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah pada timbulnya penyakit fisik
Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
yang dikutip oleh Suksmono (2013), lebih dari setengah pekerja di Amerika
melihat stres kerja sebagai permasalahan besar dalam kehidupan mereka. The
American Institute of Stress memperkirakan bahwa stres dan penyakit yang
disebabkan oleh stres membuat dunia usaha di Amerika mengalami kerugian
sebesar 300 miliar dolar pertahun. Kerugian ini diakibatkan oleh banyaknya
jumlah jam kerja yang terbuang akibat absennya karyawan, turnover, dan biaya
yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai jaminan kesehatan para karyawannya.
Komunitas Eropa juga secara resmi menyatakan bahwa stres merupakan
permasalahan kesehatan yang terkait dengan pekerjaan terbesar kedua yang
dihadapi oleh para pekerja di Eropa (Suksmono, 2013).
Stres kerja yang dialami oleh karyawan tidak hanya dapat merugikan diri
karyawan itu sendiri tetapi juga dapat merugikan perusahaan. Pada diri karyawan,
konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang
tinggi, dan frustasi. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan
dengan aktivitas kerja saja, tetapi juga dapat meluas ke aktivitas lain di luar
pekerjaan seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, dan
kurang mampu berkonsentrasi (Waluyo, 2013). Selain itu, Arnold (dalam
Waluyo, 2013) juga menyatakan empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat
stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik,
kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam
meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara
psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi,
hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins,
1993, dalam Waluyo, 2013)
Menurut Munandar (2012) setiap faktor dalam pekerjaan dapat menjadi
pembangkit stres (stressor). Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
lima kategori besar yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi,
pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi,
tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan, serta ciri-ciri individu (Hurrel dkk, dalam
Munandar, 2012). Di samping itu, Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab
stres (stressor) terdiri dari empat hal utama, yaitu: (1) Extra Organizational
Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi,
keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta keadaaan komunitas/tempat
tinggal; (2) Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi,
struktur organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses
yang terjadi dalam organisasi; (3) Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya
kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial; (4) Individual Stressors,
yang terdiri dari disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, personal
control, learned helplessness, dan daya tahan psikologis. Di sisi lain, Riggio
(2008) mengemukakan bahwa sumber stres juga dapat berasal dari jenis
pekerjaan, organisasi, dan karakteristik individu. Stres kerja yang bersumber dari
peran kerja (meliputi ketidakjelasan peran, kurangnya kontrol terhadap pekerjaan,
kondisi fisik pekerjaan, hubungan interpersonal, pelecehan yang berasal dari
rekan kerja ataupun atasan, perubahan organisasional, dan konflik
keluarga-pekerjaan). Kemudian, stres kerja yang bersumber dari karakteristik individu
terdiri dari pola kepribadian Tipe A, ketidaktahanan individu terhadap stres, dan
kurangnyaself efficacy.
Faktor kunci dari stres adalah bagaimana seseorang mempersepsikan dan
memberikan penilaian terhadap situasi dan kemampuan yang dimilikinya untuk
menghadapi dan mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991,
dalam Waluyo, 2012). Maka dari itu, stres yang dialami individu sebenarnya
berada di bawah kontrol individu itu sendiri karena masalahnya ada pada individu
yang mempersepsikannya (Munandar, 2012).
Dalam melakukan pekerjaan, individu tidak lepas dari lingkungan
kerja.Lingkungan kerja merupakan aspek penting dalam mempengaruhi
pelaksanaan suatu pekerjaan dan juga memiliki pengaruh yang besar dalam
penyelesaian tugas (Anogoro dan Widiyanti, 1990).Menurut Nitisemito (1982)
lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai yang
dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan.Anogoro dan Widiyanti (1990) berpendapat bahwa lingkungan kerja
yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula kepada para karyawan,
pimpinan, dan hasil pekerjaannya. Lingkungan kerja yang kurang nyaman dari
antara lain semangat kerja karyawan semakin menurun, gairah kerja karyawan
menurun, dan tingkat produktifitas karyawan juga semakin menurun. Mia (2011)
juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang sehat dapat memberikan pengaruh
yang positif terhadap kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja,
penurunan absensi, dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya, tempat kerja yang
kurang sehat atau tidak sehat (sering terpapar zat yang berbahaya yang dapat
mempengaruhi kesehatan) dapat meningkatkan angka kecelakaan, rendahnya
kualitas kesehatan pekerja, meningkatkan biaya kesehatan, dan banyak lagi
dampak negatif lainnya.
Anogoro dan Widiyanti (1990) menyatakan bahwa lingkungan kerja
mencakup kondisi fisik maupun non-fisik (psikologis). Lingkungan fisik
merupakan keadaan ruangan beserta perlengkapan yang mendukung, sedangkan
lingkungan psikologis merupakan kondisi organisasi dan interaksi sosial di
dalamnya. Menurut Wignjosoebroto (2008) lingkungan fisik pekerjaan
merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi sosial, mental, dan fisik
dalam kehidupan pekerja. Lingkungan fisik pekerjaan yang merupakan keadaan
di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran, bau-bauan, dan warna, akan berpengaruh
secara signifikan terhadap hasil kerja seseorang dalam lingkungan kerjanya.
Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat objek-objek
secara jelas dan cepat tanpa menimbulkan masalah. Pencahayaan yang kurang
menyebabkan lelahnya mental dan menimbulkan kerusakan mata
(Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Setyadi (2012) pada
perusahaan garmen menemukan adanya hubungan positif antara pencahayaan di
tempat kerja dengan kelelahan. Selain itu, Suma’mur (2013) juga menambahkan
bahwa penerangan yang buruk dapat meningkatkan peristiwa kecelakaan.
Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki oleh telinga
yang dapat mengganggu ketenangan kerja (Wignjosoebroto, 2008). Kebisingan
juga diartikan sebagai semua suara atau bunyi yang bersumber dari alat-alat
proses produksi atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran. Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dan
menyebabkan teralihnya perhatian sehingga karyawan menjadi tidak fokus
terhadap masalah atau pekerjaan yang sedang dihadapi. Selain itu, motivasi untuk
berpikir dan bekerja menjadi lemah dan dapat mempengaruhi ketelitian seseorang
dalam berbuat dan bertindak. Penelitian yang dilakukan oleh Jennie (2007) pada
karyawan di sebuah pabrik semen menunjukkan adanya hubungan antara
intensitas kebisingan di lingkungan kerja dengan peningkatan tekanan darah.Hal
ini membuktikan bahwa kebisingan yang terdapat pada lingkungan kerja juga
dapat berpengaruh terhadap fisiologis pekerja.
Getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan
oleh alat-alat mekanis yang berdampak hingga ke tubuh dan dapat menimbulkan
akibat-akibat yang tidak diingikan pada tubuh (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian
dalam bidang pengolahan kayu menemukan adanya hubungan antara getaran
dengan kelelahan pada pekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
56,8 % pekerja mengalami kelelahan dalam tingkat sedang dan berat. Survei awal
yang dilakukan oleh peneliti juga menunjukkan bahwa 68,8 % pekerja merasa
teragnggu dengan adanya getaran yang dihasilkan oleh mesin dan 70,2 % pekerja
merasa cepat lelah setelah bekerja akibat getaran yang ditimbulkan.
Warna yang dimaksud di sini adalah tembok ruangan dan interior yang
ada di sekitar tempat kerja (Wignjosoebroto, 2008). Schultz (dalam Munandar,
2012) menyebutkan bahwa penggunaan warna pada ruangan kerja merupakan
upaya untuk menghindari timbulnya ketegangan mata. Selanjutnya, Suyatno
(1985) menyebutkan bahwa penggunaan warna juga dapat menciptakan efek
psikologis seperti ruangan yang dicat dengan warna gelap menyebabkan ruangan
terasa lebih sempit dan tertutup. Sebaliknya, ruangan yang dicat dengan warna
terang menyebabkan ruangan terasa lebih luas dan terbuka (dalam Munandar,
2012).
Iklim kerja merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi di tempat kerja. Iklim kerja dapat
mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja.
Lingkungan kerja yang memiliki suhu netralmerupakan lingkungan kerja yang
kondusif bagi para pekerja untuk melaksanakan dan memperoleh hasil pekerjaan
yang baik. Suhu yang panas dapat berakibat pada penurunan kemampuan
suhu yang panas pada lingkungan kerja juga dapat mempengaruhi fisiologis
pekerja. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Adella dkk (2010)
pada area peleburan di sebuah tambang nikel yang menunjukkan adanya
hubungan antara suhu lingkungan kerja dengan kadar asam urat urin pada para
pekerja. Pengoperasian mesin-mesin peleburan menghasilkan suhu yang tinggi
sehingga pekerja akan terpapar oleh radiasi panas. Selain itu, suhu tinggi yang
dihasilkan selama proses produksi juga menyebar ke seluruh sudut di area
peleburan, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga
meningkat.
Bau yang tidak disukai atau tidak enak dapat mengganggu perasaan orang
yang menciumnya, mengurangi kenyamanan, memberikan kesan tidak sehat, dan
mencerminkan keadaan kotor atau kurangnya kebersihan. Selain itu, bau-bauan
tertentu dapat menjadi petunjuk bagi adanya pencemaran oleh bahan berbahaya
atau beracun (Suma’mur, 2013).
Kondisi lingkungan fisik seperti yang telah dijelaskan secara umum di atas
sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan aspek-aspek yang
berkaitan dengan sosial, psikologis, dan motivasi manusia dalam rangka
peningkatan produktivitas kerja (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Soewondo terhadap 200 karyawan di sebuah perusahaan swasta
yang bergerak dalam bidang perminyakan menyatakan bahwa salah satu sumber
stres yang dialami oleh karyawan berhubungan dengan tempat mereka bekerja,
berisik, dan penerangan yang kurang. Kondisi ruangan pengap dan ventilasi udara
tidak ada, penerangan kurang jelas dan udara ruangan yang panasmembuat
individu mengalami perasaan tidak puas. Situasi tersebut juga menyebabkan
keamanan dan kenyamanan kerja karyawan terganggu sehingga karyawan
mengalami perasaan jengkel, tertekan, dan stres (Wijono, 2013).
Gibson (1996) menjelaskan bahwa lingkungan fisik pekerjaan merupakan
serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang
bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang besar
dalam mengarahkan tingkat laku karyawan. Maka dari itu, bagaimana karyawan
merasakan lingkungan kerjanya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak
menyenangkan, mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari
bagaimana karyawan memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap
sesuatu yang terjadi di lingkungan kerjanya. Andriani (2004) juga menjelaskan
bahwa setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal
walaupun berada dalam situasi yang sama. Apabila karyawan memiliki persepsi
yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut
sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, jika karyawan memiliki persepsi
yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut
sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Seseorang bisa saja menganggap
lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang lain menganggap lingkungan
karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan, kepentingan, maupun
harapan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan
dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang”.
A. Rumusan Masalah
- Apakah terdapat hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan
dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang?
B. Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan
dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi dalam bidang
Psikologi Ergonomi, yang berkaitan dengan akibat dari kondisi lingkungan
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Subjek Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman bagi karyawan yang bekerja di industri pertambangan
mengenai sejauh mana tingkat stres yang mereka alami terkait kondisi
lingkungan fisik pekerjaan tempat mereka bekerja.
b. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perusahaan,
khususnya perusahaan dalam industri pertambangan, mengenai stres kerja
yang dialami oleh karyawan berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik
pekerjaannya.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan
bagi peneliti selanjutnya berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres
Morgan dan King (dalam Waluyo, 2013) mendefinisikan stres sebagai
suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik
(badan), lingkungan, atau situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak
terkontrol. Sedangkan, Cooper (dalam Waluyo, 2013) mendefinisikan stres
sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat
ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas
kemampuan subjek.
Ivancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2005) mendefinisikan stres
sebagai “interaksi individu dengan lingkungan”. Lebih lanjut, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008) memberikan definisi yang lebih rinci sebagai
berikut: “stres merupakan respon adaptif, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau
kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan khusus pada
seseorang. Definisi yang hampir sejalan juga dikemukakan oleh Moorhead dan
Griffin (2013) yang menyatakan bahwa stres adalah respon adaptif seseorang
berlebihan kepada orang tersebut. Selain itu, Luthans (2005) juga
mendefinisikan stres sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang
menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan/atau perilaku bagi
organisasi.
Cartwright dan Cooper (dalam Rice, 1998) melihat stres sebagai tekanan
yang mendorong fungsi psikologis atau fisik di luar jangkauan stabilitas, yang
menghasilkan straindalam diri individu. Selye (dalam Wijono, 2010) yang
merupakan “penemu” stres menyatakan bahwa stres adalah suatu abstaksi, orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat ialah
akibat dari pembangkit stres. Pada dasarnya, stres merupakan bentuk
tanggapan individu, secara fisik maupun mental, terhadap perubahan di
lingkungannya yang dirasa mengganggu dan mengakibatkan individu
terancam.
Menurut Rice (1998) stres setidaknya memiliki tiga arti yang berbeda.
Pertama, stres dapat dapat mengacu pada suatu stimulus kejadian atau
lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tegang. Dalam hal ini, stres
adalah sesuatu yang bersifat eksternal. Kedua, stres juga dapat mengacu pada
respon subjektif. Dalam hal ini, stres adalah keadaan mental internal dari
ketegangan. Ini adalah interpretatif, emosional, pertahanan, dan proses coping
yang terjadi di dalam orang itu. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan
positif atau kedewasaan. Hasil tertentu tergantung pada faktor-faktor yang akan
mengacu pada reaksi fisik tubuh terhadap permintaan atau instruksi yang
merusak.
Stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila
tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang
dirasakannya (Hager, dalam Waluyo, 2013). Selain itu, faktor kunci dari stres
adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya
untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana,
dalam Waluyo, 2013).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon
adaptif, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi
dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan
psikologis atau fisik secara berlebihan pada seseorang.
1. Pengertian Stres Kerja
Menurut NIOSH Research (dalam Widhiastuti, 2002) stres kerja dapat
didefinisikan sebagai keadaan respon fisik dan emosi yang muncul ketika
persyaratan-persyaratan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya,
atau kebutuhan dari pekerja. Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2005)
mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul akibat interaksi antara
individu dan pekerjaannya yang ditandai dengan perubahan pada individu
tersebut dimana mereka menyimpang dari fungsi normal mereka. Kemudian,
sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa
reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah
suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara karyawan dengan pekerjaan,
dimoderatori oleh perbedaan individu, yang kemudian menyebabkan reaksi
fisiologis, psikologis, dan perilaku pada karyawan.
2. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri dari
empat hal utama, yaitu:
a. Extra Organizational Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi,
keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta
keadaaan komunitas/tempat tinggal.
b. Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses yang
terjadi dalam organisasi.
c. Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan sosial.
d. Individual Stressors, yang terdiri dari disposisi individu seperti pola
kepribadian Tipe A, personal control, learned helplessness, dan daya tahan
Cooper (dalam Munandar, 2012) menyebutkan faktor-faktor dalam
pekerjaan yang dapat menimbulkan stres ke dalam lima kategori besar yaitu:
(1) faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, (2) peran individu dalam
organisasi, (3) pengembangan karir, (4) hubungan dalam pekerjaan, dan (5)
struktur dan iklim organisasi. Salah satu sumber stres yang akan dibahas secara
rinci di sini adalah faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi
tuntutan fisik (bising, getaran, dan higiene) dan tuntutan tugas (kerja shift/kerja
malam dan beban kerja). Faktor tersebut dianggap lebih relevan dengan topik
penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai kondisi lingkungan fisik
pekerjaan di pertambangan.
1) Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan
Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan terdiri dari tuntutan fisik dan
tuntutan tugas. Tuntutan fisik mencakup kebisingan, getaran, dan higiene.
Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup kerja shift/kerja malam, beban
kerja, dan paparan terhadap risiko dan bahaya.
a. Tuntutan Fisik
- Bising
Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan pada alat
pendengaran, juga dapat menjadi sumber stres yang menyebabkan
ketidakseimbangan psikologis seseorang bahkan menyebabkan
timbulnya kecelakaan. Ivancevich dan Matteson (dalam Munandar,
berulang kali (sekitar 80 desibel) untuk jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah
menurunnya motivasi kerja. Bising oleh para pekerja pabrik dinilai
sebagai pembangkit stres yang membahayakan.
- Getaran
Getaran merupakan sumber stres yang kuat. Getaran yang beralih
dari benda-benda fisik ke tubuh seseorang dapat memberi pengaruh
yang tidak baik pada pelaksanaan pekerjaan.
- Higiene
Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit
stres. Para pekerja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, waktu
istirahat yang kurang, juga toilet yang kurang memadai sebagai faktor
tinggi pembangkit stres.
b. Tuntutan Tugas
- KerjaShift/Kerja Malam
Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan
sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk & Tepas,
dalam Munandar, 2012). Para pekerja shift malam lebih sering
mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja
pagi/siang dan dampak dari kerjashiftterhadap kebiasaan makan yang
mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.
Menurut Sutherland & Cooper(dalam Munandar, 2012) beban kerja
dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam empat kategori yaitu:
i. Beban Kerja Berlebih “Kuantitatif”
Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus
melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber
stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih
kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan
dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada
saat-saat tertentu, dalam saat-saat tertentu waktu akhir (deadline)
justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi
kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan
timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan
seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban
berlebih kuantitatif.
ii. Beban Kerja Terlalu Sedikit “Kuantitatif”
Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan
yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak, dapat
menimbulkan rasa bosan dan rasa monoton. Kebosanan dalam
kerja rutin sehari-hari sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas
Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal
untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.
iii. Beban Kerja Berlebih “Kualitatif”
Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang
dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada
pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan
pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan
mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika
kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan
intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik
tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi
menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati
kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan
cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan
reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa
kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut
merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif.
iv. Beban Kerja Terlalu Sedikit “Kualitatif”
Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana
tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan
yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan
kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan
motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa
bahwa ia "tidak maju-maju", dan merasa tidak berdaya untuk
memperlihatkan bakat dan ketrampilannya.
- Paparan terhadap Risiko dan Bahaya
Risiko dan bahaya yang berkaitan dengan jabatan tertentu
merupakan sumber dari stres. Kelompok-kelompok jabatan yang
dianggap memiliki risiko tinggi, dalam arti kata secara fisik berbahaya
antara lain pekerja tambang, tentara, pegawai di lembaga
pemasyarakatan, petugas pemadam kebakaran, pekerja pada eksplorasi
gas dan minyak, serta pekerja pada instalasi produksi. Berbagai kajian
menunjukkan bahwa para pekerja melihat risiko dan bahaya berkaitan
dengan pekerjaan sebagai sumber stres. Risiko terhadap paparan
bahan-bahan kimia tertentu seringkali dilaporkan oleh pekerja pabrik
sebagai salah satu pembangkit stres yang paling merugikan.Hal ini
mencakup uap dan debu yang terhirup serta paparan terhadap
bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan luka pada kulit.
Risiko dan bahaya yang berkaitan dengan profesi tertentu tidak
dapat diubah, tetapi persepsi karyawan terhadap risiko dapat dikurangi
melalui pelatihan dan pendidikan. Para karyawan yang merasa cemas
akan memiliki ketakutan, kurang termotivasi dalam bekerja,
kecelakaan, dan dalam jangka panjang dapat menderita akibtat-akibat
dari penyakit yang berhubungan dengan stres, termasuk sakit jantung
dan perut (ulcers).
2) Peran Individu dalam Organisasi
Kurang berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres
meliputi: konflik peran (role conflict) dan ketaksaan peran (role ambiguity).
3) Pengembangan Karir
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang
kurang.
4) Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya
kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan
masalah dalam organisasi (Kahn dkk, dalam Munandar, 2012).
5) Struktur dan Iklim Organisasi
Meliputi struktur organisasi yang berlaku di lembaga yang
bersangkutan.Apabila bentuk atau struktur organisasi kurang jelas dan
dalam jangka waktu yang lama tidak ada perubahan atau pembaharuan,
3. Aspek-aspek Stres Kerja
Luthans (2005) menjelaskan aspek stres kerja ke dalam tiga hal berikut,
yaitu:
1) Fisiologis
Masalah kesehatan yang dikaitkan dengan stres adalah sebagai berikut:
(1) masalah sistem kekebalan tubuh, dimana kemampuan untuk melawan
penyakit dan infeksi berkurang; (2) masalah sistem kardiovaskular, seperti
tekanan darah tinggi dan penyakit jantung; (3) masalah sistem
muskoloskeletal, seperti sakit kepala dan nyeri punggung; dan (4) masalah
sistem pencernaan, seperti diare dan sembelit.
2) Psikologis
Salah satu studi menemukan bahwa stres memiliki dampak yang kuat
pada tindakan agresif seperti agresi interpersonal, sabotase, permusuhan,
dan keluhan. Jenis-jenis masalah psikologis dari stres tersebut pada akhirnya
mengarah pada kinerja yang buruk, penurunan harga diri, ketidakmampuan
untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, serta ketidakpuasan kerja.
3) Perilaku
Perilaku yang dapat menyertai tingkat stres yang tinggi mencakup
makan secara berlebihan dan makan yang kurang, sulit tidur, meningkatkan
merokok dan minum (alkohol), dan penggunaan obat-obatan.
Kemudian, Beehr dan Newman (dalam Waluyo, 2013) juga menjelaskan
a. Gejala Psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil
penelitian mengenai stres kerja:
- Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung.
- Perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian).
- Sensitivedanhyperreactivity.
- Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi.
- Komunikasi yang tidak efektif.
- Perasaan terkucil dan terasing.
- Kebosanan dan ketidakpuasan kerja.
- Kelelahan mental, penurunan, fungsi intelektual, dan kehilangan
konsentrasi.
- Kehilangan spontanitas dan kreativitas.
- Menurunnya rasa percaya diri.
b. Gejala Fisiologis
Gejala–gejala fisiologis yang utama dan stres kerja adalah:
- Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan
mengalami penyakit kardiovaskular.
- Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh : adrenalin dan
nonadrenalin).
- Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung).
- Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sidrom kelelahan
yang kronis (chronic fatigue syndrome)
- Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada.
- Gangguan pada kulit.
- Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot.
- Gangguan tidur.
- Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan
terkena kanker.
c. Gejala Perilaku
Gejala–gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
- Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan.
- Menurunnya prestasi(performance) dan produktivitas.
- Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan.
- Perilaku sabotase dalam pekerjaan.
- Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,
mengarah ke obesitas.
- Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk
penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi.
- Meningkatnya kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti
menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi.
- Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan
teman.
- Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari
stres kerja meliputi aspek fisiologis, aspek psikologis, dan aspek perilaku.
4. Dampak Stres Kerja
Arnold (dalam Waluyo, 2013) juga menambahkan bahwa ada empat
konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu
yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, dan
mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Pada umumnya stres
kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri
karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja,
kecemasan yang tinggi, dan frustrasi (Rice, dalam Waluyo, 2013). Selain itu,
terdapat beberapa penyakit yang terkait dengan stres yaitu maag, radang usus,
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pernapasan, dan sakit kepala
migrain. Selain itu,stres dapat memperburuk masuk angin, flu, dan infeksi,
sehingga waktu pemulihan lebih lama (Beehr & Bhagat, 1985; Clark, 2005;
Hart & Cooper, 2001, dalam Riggio, 2008). Wolf (1986) mengatakan bahwa
stress kerja dapat berdampak buruk pada keadaan psikologis karyawan.
Tingginya kadar stres dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan kelelahan
mempengaruhi tingkat kecelakaan di tempat kerja (dalam Riggio, 2008).
Corders & Doughtery (1993) menambahkan bahwa kelelahan emosional,
pemisahan dari rekan kerja, penilaian diri yang negatif, dan penurunan harga
diri juga merupakan dampak dari stres (dalam Riggio, 2008). Selain itu, stres
juga dapat berdampak pada hasil kerja. Stres dipercaya dapat mengurangi
performansi kerja dan meningkatkan absenteisme danturnover(Riggio, 2008).
Menurut Moorhead dan Griffin (2010) stres dapat berdampak pada:
1. Individual
- Perilaku
Stres dapat merugikan orang yang mengalami stres itu sendiri
maupun orang lain. Salah satu perilaku yang ditunjukkan adalah merokok.
Penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang yang merokok
cenderung merokok lebih banyak ketika mereka mengalami stres.
Terdapat juga bukti bahwa penyalahgunaan alkohol dan obat-oabatan
berhubungan dengan stres. Dampak lainnya adalah kerentanan terhadap
kecelakaan, agresi dan kekerasan, serta perubahan selera makan.
- Psikologis
Dampak psikologis dari stres berhubungan dengan kesehatan mental
seseorang. Ketika individu mengalami stres yang begitu banyak di tempat
kerja, mereka dapat menjadi lebih tertekan dan tidur terlalu banyak atau
terlalu sedikit. Stres juga dapat menimbulkan masalah keluarga dan
- Kesehatan
Stres dapat berdampak pada kesehatan fisik seseorang. Penyakit
jantung dan stroke, merupakan dua penyakit yang kerap dihubungkan
dengan stres. Masalah kesehatan lainnnya yang diakibatkan oleh stres
meliputi sakit kepala, sakit punggung, berbagai kelainan perut dan
lambung, serta kondisi kulit, seperti jerawat dan gatal-gatal.
2. Organisasi
- Kinerja
Salah satu dampak nyata dari stres yang dialami oleh organisasi
adalah penurunan dalam hal kinerja. Bagi karyawan, penurunan seperti
ini dapat mengarah pada kualitas kerja yangburuk dan penurunan
produktivitas. Bagi manajer, hal ini dapat berdampak pada pengambilan
keputusan yang salah atau gangguan dalam hubungan kerja karena
individu menjadi mudah marah dan sulit diajak bergaul.
- Penarikan diri
Perilaku menarik diri juga merupakan dampak dari stres. Bagi
organisasi, dua bentuk perilaku penarikan diri yang paling signifikan
adalah absensi dan turnover. Orang-orang yang kesulitan mengatasi
stres dalam pekerjaan mereka memiliki kemungkinan untuk tidak masuk
kerja dengan alasan sakit atau bahkan mempertimbangkan untuk keluar
dari organisasi. Stres juga dapat menghasilkan bentuk penarikan diri lain
tenggat waktu makan siang lebih lama. Karyawan mungkin menarik diri
secara psikologis dengan berhenti memedulikan organisasi dan
pekerjaannya.
- Sikap
Dampak lain dari stres bagi organisasi berhubungan dengan sikap.
Kepuasan kerja, moral, dan komitmen terhadap organisasi semuanya
dapat dirugikan, bersama dengan motivasi untuk berkinerja pada tingkat
tinggi. Akibatnya, orang-orang mungkin lebih mudah mengeluh
mengenai hal-hal yang tidak penting dan hanya melakukan pekerjaannya
secara setengah-setengah.
- Kelelahan
Kelelahan (burnout) adalah perasaan umum dari keletihan yang
berkembang ketika seseorang pada saat yang sama mengalami terlalu
banyak tekanan. Orang-orang yang memiliki aspirasi yang tinggi dan
motivasi yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan dapat mengalami
kelelahan (burnout) dalam kondisi tertentu. Mereka rentan mengalami
kelelahan (burnout) ketika organisasi terlalu menekan dan hanya
menuntut untuk menjalankan tujuan dari organisasi itu sendiri. Dalam
situasi seperti ini, individu akan menempakan diri mereka terlalu banyak
ke dalam pekerjaan. Di samping berusaha memenuhi agendanya sendiri,
Lebih lanjut, Aamodt (2010) menjelaskan dampak dari stres kerja bagi
perusahaan, yaitu:
a. Job Performance
Studi menunjukkan bahwa secara umum, tingkat stres yang tinggi
mengurangi kinerja pada banyak tugas. Karyawan yang memiliki tingkat
stres yang tinggi dapat mengalami ketegangan baik secara fisik maupun
psikologis. Hal inilah yang pada akhirnya dapat menyebabkan karyawan
tidak dapat bekerja secara optimal.
b. Burnout
Burnout, merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh stres, biasanya
dialami oleh para profesional yang sangat termotivasi menghadapi tuntutan
kerja yang tinggi. Penelitian awal pada burnout adalah pada orang yang
bekerja di bidang pelayanan kesehatan yang ditargetkan sebagai profesi
yang paling banyak bepengalaman dalam burnout. Kemudian, definisi
diperluas untuk mencakup jenis-jenis profesi karyawan yang menjadi lelah
secara emosional dan tidak lagi merasa bahwa mereka memiliki dampak
positif pada orang lain atau pekerjaan mereka.Burnout dapat menyebabkan
seseorang mengalami kekurangan energi dan dipenuhi dengan frustasi dan
ketegangan. Orang-orang yang mengalami burnout juga memperlihatkan
jarak terhadap orang-orang yang bekerja dengan mereka. Orang-orang yang
melalui absenteisme, turnover, dan kinerja yang rendah (Parker & Kulik,
2005, dalam Aamodt, 2010).
c. Abseenteism and Turnover
Absenteisme dan turnover, yang mengakibatkan hilangnya
produktivitas dan pendapatan, adalah yang paling tinggi selama masa
burnout dan meningkatkan stres yang dialami oleh karyawan. Studi yang
dilakukan oleh Heaney dan Clemens (1995), menunjukkan bahwa
stres/penyakit dapat mengakibatkan kurang bahkan hilangnya produktivitas
yang kemudian hal tersebut dapat berujung padaturnover(Mitra, Jenkins, &
Gupta, 1992, dalam Aamodt, 2010 ).
d. Drug and Alcohol Abuse
Semakin tinggi tingkat stres dan kemarahan, maka akan semakin
sering juga penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol. Ada peningkatan
jumlah laporan berita kekerasan yang terjadi di tempat kerja. Dari
peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut, banyak dilakukan oleh karyawan yang
menyalahgunakan obat dan alkohol.
e. Health Care Cost
Salah satu konsekuensi dari stres yang dialami oleh organisasi adalah
terjadinya peningkatan asuransi kesehatan. Tingginya penggunaan fasilitas
kesehatan yang disebabkan oleh penyakit akibat stres mengakibatkan
organisasi harus membayar biaya asuransi kesehatan karyawan secara
Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa stres kerja dapat berdampak
pada individu dan organisasi tempat karyawan bekerja. Pada individu, stres
kerja dapat berdampak pada kesehatan fisik, psikologis, dan perilaku
karyawan. Kemudian, pada organisasi, stres kerja dapat berdampak pada
meningkatnya tingkat absensi dan turnover, burnout, menurunnya tingkat
produktivitas, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol di lingkungan kerja,
dan peningkatan asuransi kesehatan.
A. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan 1. Pengertian Kondisi Lingkungan Kerja
Menurut Anoraga dan Widiyanti (2001) lingkungan kerja adalah segala
sesuatu yang ada di sekitar karyawan dan yang dapat mempengaruhi dirinya
dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankannya. Menurut Nitisemito
(1982) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan. Kemudian, menurut Sedarmayanti (2010) lingkungan kerja adalah
keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar dimana
seseorang bekerja, metode kerja, serta pengaturan kerja baik sebagai
perseorangan maupun sebagai kelompok (dalam Riski, 2014).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya
2. Pengertian Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan
Menurut Tiffin dan McCormick (1958) lingkungan fisik pekerjaan adalah
semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi kinerja, kondisi fisik, dan psikologis karyawan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kemudian, menurut Wignjoesoebroto (2008)
lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan yang terdapat di sekitar
tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, dan warna. Hal-hal
tersebut dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia.
Kondisi lingkungan fisik pada hakikatnya diharapkan mampu meningkatkan
aspek kenyamanan kerja. Hal tersebut akan sangat penting dalam rangka
meningkatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan
motivasi manusia dalam rangka peningkatan produktivitas.
Menurut Nitisemito (1982) lingkungan fisik pekerjaan merupakan hal-hal
yang ada di sekitar para pekerja yang dapat dirasakan secara fisik melalui
indera dan dapat memepengaruhi diri pekerja dalam menjalankan tugas-tugas
yang dibebankan. Kemudian, menurut Sedarmayanti (dalam Riski, 2014)
lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat
di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Sedarmayanti (dalam Riski, 2014)
menjelaskan bahwa lingkungan fisik perkerjaan dapat dibagi ke dalam dua
(seperti: pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya), dan (2) lingkungan
perantara atau lingkungan umum, dapat juga disebut lingkungan kerja yang
mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi
udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan
lain-lain.
Gibson (1996) menjelaskan bahwa kondisi lingkungan fisik pekerjaan
merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh
orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran
yang besar dalam mengarahkan tingkah laku karyawan. Menurut Walgito
(2005) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
indera atau disebut juga proses sensoris. Stimulus yang diinderakan itu
kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga
individu menyadari dan mengerti mengenai apa yang diinderakannya itu
(Dafidoff, 1981, dalam Walgito, 2005). Kemudian, menurut Atkinson (dalam
Sobur, 2003) persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus
yang diterima individu dari lingkungan.
Dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda
antara individu satu dengan individu lainnya. Hal ini dikarenakan individu
memiliki perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman yang tidak sama
antara individu satu dengan individu lainnya. Hal inilah yang membuat
2005). Maka dari itu, kondisi lingkungan fisik pekerjaan yang terdapat dalam
suatu perusahaan dapat dipersepsikan secara berbeda oleh setiap karyawan
(Walgito, 2003). Bagaimana karyawan merasakan lingkungan fisik
pekerjaannya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan,
mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari bagaimana karyawan
memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap sesuatu yang terjadi di
lingkungan fisik pekerjaannya.
Andriani (2004) kemudian menjelaskan bahwa apabila karyawan
memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan
menerima hal tersebut sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, apabila
karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka
ia akan menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.
Seseorang bisa saja menganggap lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang
lain menganggap lingkungan kerjanya baik. Perbedaan pandangan terhadap
lingkungan kerja dapat terjadi karena masing-masing individu mempunyai
kebutuhan, kepentingan, maupun harapan yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan fisik
pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar
tempat kerja yang dapat m