1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Masa remaja merupakan masa yang paling rentan. Masa ini juga
akan menentukan bagaimana sikap dan kualitas hidup seseorang pada masa
dewasa. Para remaja pada umumnya mengalami masa krisis dalam
menentukan identitas dirinya, bahkan komitmen masa depan dipertaruhkan
di titik ini.1 Oleh kerana itu, pendidikan memegang peranan yang sangat
penting. Cremin berpendapat bahwa; pendidikan adalah : “usaha sengaja,
sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan atau
memperoleh pengetahuan, sikap dan nilai-nilai, keahlian-keahlian atau
kepekaan-kepekaan juga akibat dari usaha itu”. Kekuatan definisi ini adalah
tekanannya pada pendidikan sebagai kegiatan ke arah manusia yang utuh
serta dilakukan secara sengaja, sistematis dan terus menerus.2 Gunawan
mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia
2 secara manusiawi yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan
perkembangan zaman.3
Berkenaan dengan hal tersebut, secara khusus akan dibahas secara
singkat tentang pendidikan Kristen atau pendidikan pada konteks gereja.
Menurut Maria Haris, pendidikan di gereja adalah pendidikan yang berlangsung
seumur hidup.4 Meskipun demikian, dalam upaya menerapkan ide tersebut juga menghadapi tantangan karena anggapan bahwa pendidikan hanyalah untuk anak.
Oleh karena itu, ketika pendidikan akan keluar dari kesalahpahaman tersebut,
harus memberi nama lain, misalnya Pendidikan untuk Orang Dewasa (POD). 5 Khoe Yao Tung mengatakan bahwa; pendidikan Kristen harus tersusun dalam
kurikulum dari perspektif Kristen yang memberikan pengetahuan dan kebenaran
dalam kerangka kerja Alkitab. Pendidikan Kristen bertujuan untuk
mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa kini dan kehidupan kekal
dalam Kerajaan Allah.6
Berdasarkan definisi di atas, penulis berpendapat bahwa pendidikan
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan
saling terkait dalam rentang waktu sebelum dan sesudahnya serta dilakukan
3 Ary H.Gunawan, Sosiologi Pendidikan.Suatu Analisis Sosiologi tentang Berbagai Problem
Pendidikan (Jakarta:Pt Rineka Cipta,2000),55
4 Maria Harris, Fashion me a people(Kentucky:John Knox Press,1989),38 5 Ibid,39
3 selama manusia masih hidup. Karena pendidikan dipandang sebagai sebuah
kegiatan yang disengaja dan terus berjalan seumur hidup, maka dalam prosesnya
diperlukan suatu aturan main yang disusun secara sistematis untuk mendukung
tercapainya tujuan pendidikan. Oleh karena itu, gereja pun harus memberikan
pendidikan kepada warga Jemaatnya dengan serius. Pendidikan yang diberikan
tidak mungkin sama bagi semua jenjang usia, namun harus mempertimbangkan
kategori usia warga Jemaatnya, karena setiap fase perkembangan memiliki tugas
yang berbeda dan cara melakukan pendidikan yang berbeda pula.
Salah satu kategori yang harus diperhatikan dalam pendidikan warga
Jemaat adalah pendidikan kaum remaja-pemuda gereja yang berada dalam
rentang usia 12 – 20 tahun. Mereka merupakan bagian penting dan harus
mendapatkan perhatian serius. Menurut Erikson, dalam teori pentahapan
kehidupan manusia, anak usia 10 sampai 20 tahun masuk dalam tahap ke-5, yakni
identitas yang diperhadapkan dengan kebingungan peran. Pada usia ini manusia
mengeksplorasi kemandirian dan membangun kepekaan dirinya. Mereka
dihadapkan dengan penemuan tentang siapa dirinya, bagaimana masa depannya
dan ke mana tujuan hidup mereka diarahkan. Mereka juga diperhadapkan pada
kepemilikan banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa.7 Para remaja membutuhkan pendampingan yang serius, karena menurut Erikson, pada masa
4 ini anak muda juga mulai kuatir akan tempat mereka di masa depan, di dunia
sosial yang lebih besar.8
Dalam teori perkembangan iman yang dikemukakan oleh Fowler, ada
tujuh tahap perkembangan kepercayaan. Pertama, tahap 0, yang disebut
kepercayaan elementer awal. Tahap ini terjadi pada usia 0-2 atau 3 tahun, bersifat
paralinguistik, yakni sebelum munculnya kemampuan berbahasa. Kedua, tahap
1, yang disebut kepercayaan intuitif -proyektif. Tahap ini terjadi pada usia 3-7
tahun, di mana pengalaman disusun berdasarkan kesan-kesan
inderawi-emosional yang kuat sehingga persepsi dan perasaan menjadi bercampur dan
menimbulkan gambaran-gambaran intuitif dan konkrit yang mendalam dan
bertahan. Ketiga, tahap 2, yang disebut kepercayaan mitis-harfiah terjadi pada
usia 7-12 tahun. Pada tahap ini anak belajar melepaskan diri dari
egosentrismenya, mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif
orang lain serta memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan
orang lain. Keempat, tahap 3, disebut kepercayaan sintetis-konvensional terjadi
pada usia 12-20 tahun. Pada tahap ini, remaja mulai mengambil alih pandangan
pribadi orang lain menurut pola pengambilan perspektif pribadi secara timbal
balik. Identitas diri remaja dibentuk berdasarkan rasa dipercaya dan diteguhkan
oleh orang lain. Pada tahap ini remaja menciptakan operasi-operasi formal
5 kerangka arti dan makna baru yang menyebabkan mereka tertarik pada ideologi
dan agama. Kelima, tahap 4, yang disebut kepercayaan individuatif-reflektif
terjadi pada awal masa dewasa. Masa ini ditandai oleh refleksi kritis atas seluruh
pendapat, keyakinan, dan nilai (religius) lama. Mereka sudah mampu melihat diri
sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan dan yakin
bahwa mereka sendiri yang memikul tanggung jawab atas penentuan pilihan
ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan untuk mengikatkan diri dengan
cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan panggilan tugas.
Keenam, tahap 5, yang disebut kepercayaan eksistensial konjungtif, terjadi pada
usia 35 tahun ke atas. Pada masa ini perhatian utama ditujukan pada upaya
membuat hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio
dengan sumber ketaksadarannya, dan melampaui egosentrismenya yang tertutup
menuju pengabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain. Pola
pengertian kognitif-efektif mempunyai dampak besar pada tingkat kepercayaan
iman. Ketujuh, tahap 6 yang disebut kepercayaan eksistensial yang mengacu
pada universalitas terjadi pada usia 45 tahun ke atas. Pada masa ini, orang
memiliki visi dan tanggung jawab universal yang mendorongnya untuk
membaktikan seluruh diri penuh cinta kasih dalam berbagai macam keterlibatan
etis dan kreatif. Mereka juga melakukan perjuangan akan kebenaran, keadilan
6 menjelmakan daya dan dinamika kerajaan Allah sebagai persekutuan cinta dan
kesetiakawanan antara segala sesuatu yang ada.9
Jika dipahami secara mendalam tentang teori perkembangan kepercayaan yang
dikemukakan oleh Fowler, dapat kita ketahui bahwa remaja dan pemuda berada pada
tahap 3 yang disebut kepercayaan sintetis-konvensional. Pada tahap ini remaja
mengalami perubahan radikal yang sangat penting untuk mengintegrasikan segala
gambaran dari berbagai hal yang berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang
sesuai. Di masa yang sama, remaja juga sangat tertarik pada ideologi dan agama, karena
keduanya menyediakan system keyakinan dan nilai secara terlembaga dan
memungkinkan terwujudnya tanggungjawab social. Identitas diri remaja dibentuk
berdasarkan rasa dipercaya dan diteguhkan orang lain. Dengan demikian, remaja dan
pemuda membutuhkan pendampingan yang intensif untuk menguatkan kepercayaan
diri dan pemahaman akan Tuhan yang di imaninya.
Dalam perspektif Biblis, Amsal 22 : 6 mengungkapkan : ” Didiklah orang
muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan
menyimpang dari pada jalan itu” Kata didiklah merupakan sebuah kata perintah yang
berarti meminta pihak lain untuk melakukan pekerjaan “didik.” Kata mendidik yang
diartikan oleh Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto sebagai “memberi tuntunan mengenai
7 tingkah laku, kesopanan, dan kecerdasan pikiran.”10 Dengan kata lain, orang muda
harus mendapatkan haknya, yakni “dididik.” Kalimat perintah yang disampaikan dari
ayat tersebut juga mengandung tujuan, yakni agar orang muda tidak menyimpang dari
jalan didikan yang telah diterimanya.
Berdasarkan berbagai pandangan tersebut di atas, maka kita dapat memahami
bahwa orang muda dalam hal ini remaja dan pemuda memerlukan dasar pendidikan
yang kuat, memadai, tersusun rapi, terencana dengan baik, dilaksanakan secara
konsisten dan dievaluasi untuk mendapatkan masukan dan revisi. Hal tersebut harus
dilakukan untuk membantu mereka mencapai tingkat pembentukan identitas diri yang
positif. Oleh karena itu,gereja harus bertindak menjawab kebutuhan tersebut dengan
peletakan dasar yang benar, kuat, terarah serta berorientasi pada kepentingan
remaja-pemuda untuk menghadapi kahidupan masa kini dan masa yang akan datang, Fondasi
Pendidikan Kristen akan menjadi jawaban yang tepat. Menurut Singgih Gunarsa,
remaja mengalami kegelisahan, pertentangan, keinginan besar mencoba segala hal
yang belum diketahui, keinginan menjelajah ke alam sekitar, mengkhayal, berfantasi
dan aktifitas berkelompok.11Dalam kondisi tersebut, maka remaja memerlukan pengarahan yang serius agar tidak salah melangkah. Singgih Gunarsa juga menyatakan
bahwa ada kecanggungan pada remaja dan ada kekesalan antara remaja, orang tua dan
10 R.Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.edisi terbaru
(Tangerang:charisma publishing group,2009),137
8 pendidik.12 Oleh karenanya, gereja harus mampu menjembatani hubungan yang kurang nyaman tersebut.
Pendidikan bagi pemuda juga tidak kalah penting dengan pendidikan bagi
remaja. Masa remaja dan pemuda adalah masa yang tidak dapat dipisahkan. Banyak
gereja yang menggabungkan pelayanan remaja dan pemuda. Menurut Nuhamara,
pendidikan pemuda juga dimasukkan dalam golongan pendidikan orang dewasa.
Pendidikan ini merupakan pasar yang sepi. Bahkan fenomena ini dinyatakan sebagai
gejala umum yang terjadi dalam lingkungan gereja manapun.13
Sehubungan dengan hal tersebut, gereja wajib bertindak untuk membuat
pendidikan pada kategori. Tindakan gereja bukan hanya menerbitkan teori-teori
pelayanan belaka, namun harus melakukan karya nyata.
Jika dipahami secara mendalam, ada banyak persoalan yang harus diperhatikan
pada masa remaja dan pemuda. Banyak hal harus dipelajari dan dikaji secara serius
agar setiap gereja mampu membuat remaja dan pemuda berjalan pada rel yang
seharusnya. Robert W Pazmino mengatakan bahwa; orang Kristen biasanya mengalami
kebingungan dalam menghadapi keragaman teori pendidikan dalam masyarakat
12 Ibid,75-76
9 kontemporer.14 Untuk menjawab kebimbangan tersebut, maka Pazmino memberikan solusi berupa Fondasi Pendidikan Kristen yang terdiri dari 7 fondasi. Fondasi tersebut
adalah: 1) Fondasi Alkitabiah 2) Fondasi Teologis 3) Fondasi Filosofis 4) Fondasi
Historis 5) Fondasi Sosiologis 6) Fondasi Psikologis 7) Fondasi Kurikulum.
Fondasi Pendidikan Kristen yang dikemukakan oleh Pazmino merupakan dasar
pendidikan yang komplit. Dari ketujuh fondasi itu dapat dipahami bahwa semua aspek
pengajaran Kristen sudah masuk di dalamnya. Lebih istimewanya, pada salah satu
fondasi yakni fondasi kurikulum disebut sebagai pengikat yang mengintegrasikan dari
enam fondasi yang lain. Dengan demikian diharapkan bahwa Fondasi Pendidikan
Kristen ini akan mampu menjawab kebutuhan para remaja dan pemuda untuk
menghadapi berbagai gejolak pada masanya serta melakukan pengambilan keputusan
yang tepat atas kehidupan mereka di masa kini dan masa yang akan datang, tanpa
mengabaikan masa yang sudah berlalu sebagai dasar pembelajarannya.
Tujuh fondasi yang dikemukakan oleh Pazmino sangat terbuka untuk
dikembangkan, karena berbagai aspek yang dipertimbangkan dalam kegiatan
pendidikan ada di dalamnya. Para pendidik Kristen mendapatkan keleluasaan untuk
bereksplorasi mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan konteks budaya yang ada.
14 Robert W Pazmino. Fondasi Pendidikan Kristen. (Bandung :STT Bandung dalam kerjasama dengan
10 Dalam konteks GKJTU ditemukan adanya masalah, antara lain:1) tidak adanya
panduan yang jelas untuk pendidikan remaja-pemuda di tingkat jemaat, sehingga
pendidikan yang dilakukan berjalan begitu saja tanpa adanya alur yang jelas. Salah satu
contoh, kegiatan Pemahaman Alkitab. Para pemimpin mencari sendiri materi yang
harus disajikan, karena tidak tersedianya materi yang dipakai sebagi pedoman
pendidikan dalam kurun waktu tertentu. Panduan yang dimiliki saat ini hanya materi
katekisasi persiapan babtis / sidi, yakni katekismus Heidelberg. 2) kurangnya
keterlibatan majelis jemaat, klasis maupun sinode dalam penyediaan panduan
pendidikan remaja-pemuda.3) Remaja-pemuda lebih sering mendidik dirinya sendiri,
sehingga kebutuhan yang sesungguhnya sering tidak terjawab dan dapat dikatakan
masih jauh dari fondasi pendidikan Kristen. Oleh karena itu, penting bagi penulis
untuk melakukan penelitian atas kesesuaian pendidikan Kristen bagi remaja-pemuda
GKJTU dengan fondasi pendidikan Kristen.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini
adalah:
“Bagaimana Pendidikan Remaja-Pemuda GKJTU ditinjau dari
Perspektif Fondasi Pendidikan Kristen”.
I.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
11 “Mendiskripsikan dan menganalisa pendidikan Kristen bagi remaja
– pemuda GKJTU ditinjau dari perspektif Fondasi Pendidikan Kristen”
I.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi pemikiran kepada GKJTU untuk melaksanakan
pendidikan kepada remaja-pemuda secara sistematis sebagaimana yang
terdapat dalam Fondasi Pendidikan Kristen untuk membantu remaja – pemuda
bertumbuh secara holistic.
I.5 Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
Sugiyono, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek yang alamiah, dimana penelitian adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball,
teknik pengumpulan data dengan trianggulasi (gabungan),analisis data bersifat
kualitatif dan hasil penelitiannya lebih menekankan makna daripada
generalisasi.15
15 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung :
12 Dalam penelitian dengan metode kualitatif ini, digunakan beberapa
teknik dalam pengambilan data untuk mendukung tercapainya tujuan
penelitian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi.
1. Observasi
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematis gejala-gejala yang diselidiki.16
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis Observasi Non Partisipan.
Observasi Non Partisipan adalah kegiatan observasi dimana observer tidak ikut
di dalam kehidupan orang yang akan di observasi, dan terpisah kedudukannya,
dia berperan sebagai pengamat.17Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan di GKJTU Jemaat Bukit Hermon yang berada di wilayah Klasis
Kopeng, mewakili jemaat pedesaan, GKJTU Jemaat Bendosari berada di
wilayah Klasis Bendosari mewakili jemaat yang berada diantara pedesaan dan
perkotaan dan GKJTU jemaat Wonorejo yang berada di wilayah Klasis Salatiga
yang mewakili jemaat perkotaan. GKJTU Jemaat Wonorejo juga merupakan
16 Cholik Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta : PT Bumi Aksara,2010),1
13 Jemaat pertama bagi GKJTU. Pemilihan sampel tersebut dilakukan secara
purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.18
2. Wawancara.
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan.19 Peneliti melakukan wawancara dengan para pemimpin di aras Sinode, Klasis dan Jemaat, dengan informan kunci Majelis Pekerja Harian
(MPH) GKJTU, MPH Klasis dan majelis Jemaat. Untuk melengkapi informasi
yang dibutuhkan, peneliti juga melakukan wawancara dengan pengurus
Remaja-Pemuda di tingkat jemaat.
3. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan
dengan teknik memeriksa secara dekat subjek yang akan diteliti dari buku dan
lain-lain untuk memperoleh dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari lembaga
yang diteliti.20 Dalam hal ini, peneliti melakukan studi dokumentasi melalui catatan-catatan penting yang berkaitan dengan subyek yang akan diteliti, baik
18 http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/PENELITIAN_PENDIDIKAN/BBM_6.pdf
14 di tingkat sinode, klasis, jemaat maupun catatan-catatan yang ada pada
pengurus remaja–pemuda jemaat.
I.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
memberikan penjelasan tentang judul tesis dalam bab per bab. Bab satu, beisi
pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan. Bab dua, berisi tentang pendidikan remaja-pemuda dan fondasi
Pendidikan Kristen yang meliputi perkembangan psikologi dan perkembangan
iman remaja dan pemuda, pendidikan Kristen bagi remaja dan pemuda serta
fondasi pendidikan Kristen. Bab tiga berisi tentang diskripsi temuan hasil
penelitian. Bab empat berisi tentang pembahasan dan analisa pendidikan
remaja-pemuda GKJTU. Bab lima, berisi penutup, meliputi kesimpulan yang
terbagi dalam dua hal, yaitu temuan-temuan dan saran-saran.