BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Pisang bisa disebut sebagai tanaman serba guna. Bagian bawah tanaman,
yaitu bonggol pisang, dapat dijadikan sebagai sumber bibit untuk perbanyakan
tanaman pisang. Batang pisang merupakan batang semu yang bisa dijadikan
pakan ternak. Daun pisang bisa dijadikan sebagai pembungkus makanan. Bunga
pisang yang disebut jantung pisang dapat diolah menjadi sayur yang enak. Kulit
buah pisang dijadikan sebagai pakan ternak. Bagian buah pisang yang paling
banyak dimanfaatkan sebagai buah yang langsung dimakan atau ada yang diolah
menjadi pisang rebus, kolak pisang, kripik pisang, pisang goreng, dan lain-lain
(Kaleka, 2013).
2.1.1 Klasifikasi tanaman pisang
Hasil identifikasi pisang kepok dari Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi
LIPI Bogor Herbarium Bogoriense sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Suku : Musaceae
Genus : Musa
Jenis : Musa x paradisiaca ABB
Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan yang mempunyaisistem
perakaran dan batang di bawah tanah. Pohon pisang berakar rimpang
yangberpangkal pada umbi batang. Batang yang berdiri tegak di atas tanah
danterbentuk dari pelepah daun yang saling menelungkup dan disebut batang
semu.Tinggi batang semu berkisar antara 3,5 – 7,5 meter (Satuhu dan Supriyadi
2000).
Daun pisang letaknya tersebar. Helaian daun berbentuk lanset memanjang
dan mudah sekali robek oleh hembusan angin yang keras karena tidak
mempunyaitulang-tulang pinggir yang menguatkan lembaran daun. Bunga
berkelamin satu,berumah satu dan tersusun dalam tandan. Daun pelindung
berukuran panjang 10 –25 cm, berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok.
Bunga tersusun dalamdua baris yang melintang. Bakal buah berbentuk persegi,
sedangkan bunga jantantidak ada. Setelah bunga keluar, bunga membentuk sisir
pertama, kedua danseterusnya (Satuhu dan Supriyadi, 2000).
2.1.3 Syarat tumbuh
Syarat tumbuh tanaman pisang berhubungan dengan tanah sebagai media
tumbuh, unsur hara, cahaya matahari, dan air. Tanaman pisang memiliki sistem
perakaran yang dangkal. Agar pertumbuhannya optimal, dibutuhkan lapisan tanah
atas yang subur, gembur, dan banyak mengandung bahan organik. Penambahan
pupuk kandang akan memperbaiki stuktur tanah dan menyuplai unsur hara N, P, S
dan memperbaiki kemampuan tanah untuk menahan atau menyimpan air (Kaleka,
2013).
Faktor yang mempengaruhi syarat tumbuh adalah iklim. Tanaman pisang
tumbuh baik di daerah tropis. Tipe iklim yang sesuai adalah iklim basah sampai
yang baik untuk pertumbuhan tanaman pisang berkisar antara 18-35°C (Kaleka,
2013).
2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan manfaatnya bagi kepentingan manusia, pohon pisang
dibedakan menjadi pisang serat, pisang hias, dan pisang buah. Pada pisang serat
yang dimanfaatkan serat batangnya untuk pembuatan tekstil. Pisang hias ditanam
sebagai hiasan, misalnya pisang kipas. Sedangkan pisang buah ditanam dengan
tujuan untuk dimanfaatkan buahnya dan juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai
macam makanan olahan seperti kripik, sale pisang, pisang goreng, kolak pisang,
dan lainnya (Sunyoto, 2011).
Pisang yang tujuannya untuk dimanfaatkan buahnya, dapat dibedakan yaitu
buah yang dapat dimakan langsung setelah matang, misalnya pisang mas, pisang
raja, pisang ambon, pisang barangan. Buah pisang yang dapat dimakan setelah
diolah terlebih dahulu dengan cara direbus atau digoreng, misalnya pisang tanduk,
pisang kepok, pisang raja. (Kaleka, 2013).
Berdasarkan jenisnya, tanaman pisang yang selama ini dikenal
olehmasyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu Musa acuminatae, Musa balbisiana dan hasil persilangan alami maupun buatanantara
Musa acuminata dan Musa balbisiana. Musa acuminatamemiliki ciri umum tidak ada biji dalam buahnya. Musa acuminata disandikan AA, sedangkan untuk triploiddisandikan AAA. Contoh kultivar pisang yangtermasuk dalam kelompok
di masyarakat diantaranyaadalah pisang Klutuk Awu dan pisang Kluthuk Wulung
(Sumardi dan Wulandari, 2010).
Persilangan alami maupun buatan dari Musa acuminata dengan Musa balbisiana yang disebut Musa paradisiaca. Contohnya adalah Musa x paradisiaca
cv Kepok (ABB genom), Musa paradisiaca cvRaja nangka (AAB genom) and
Musa paradisiaca cv Kluthuksusu (ABB genom). (Sumardi dan Wulandari, 2010).
2.1.5 Kandungan gizi
Buah pisang merupakan bahan pangan yang penting bagi manusia. Pisang
memiliki nilai gizi tinggi terutama vitamin, pati, serta gula dan merupakan sumber
vitamin, mineral, dan energi bagi masyarakat dengan harga relatif murah
(Kaleka, 2013). Pada Tabel 2.1 dibawah ini diuraikan komposis kandungan gizi
buah pisang kepok per 100 g.
Tabel 2.1 Komposisi kimia pisang kepok per 100 g bahan
Komposis kimia Jumlah
Air (g) 70
Sumber: Satuhu dan Supriyadi (2000).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati,
simplisia hewani, dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah
simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan
(Ditjen POM, 2000).
2.2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar yang telah ditetapkan
(Ditjen POM, 1995).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Menurut Ditjen POM (2000) metode ekstraksi dengan menggunakan
pelarut dapat dibagi kedalam dua cara, yaitu:
a. Cara dingin, yaitu:
1. Maserasi, adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip
metode pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan. Maserasi kinetic
berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus
menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali
bahan.
b. Cara panas
1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
2. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3 Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
4 Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangans air mendidih, temperatur terukur
90°C) selama 15 menit.
5 Dekok, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30
menit.
2.3 Uraian Saluran Pencernaan Manusia
Sistem gastrointestinal merupakan pintu gerbang masuknya zat makanan,
vitamin, mineral, dan cairan ke dalam tubuh. Protein, lemak, dan karbohidrat
usus halus. Hasil pencernaan vitamin, mineral, dan air menembus mukosa dan
masuk ke dalam limfe atau darah (penyerapan). Pencernaan zat makanan
melibatkan kerja sejumlah besar enzim pencernaan yang dibantu oleh asam
klorida yang disekresi oleh lambung dan empedu yang disekresi oleh hepar
(Ganong, 2008).
Saluran cerna berfungsi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting,
garam dan air serta mengekskresi bagian makanan yang tak diserap dan sebagian
hasil akhir metabolisme. Dengan proses pencernaan yaitu proses penguraian
dengan bantuan enzim, diubah protein, karbohidrat dan lemak, menjadi bentuk
yang dapat diserap (Mutschler, 1991).
Makanan dicerna menjadi bubur (chimus) di dalam lambung yang kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim
pencernaan. Setelah zat-zat gizi diabsorpsi oleh villi ke dalam darah, sisa chimus
yang terdiri dari 90% air dan sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke
usus besar (kolon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada disini (flora)
mencernakan lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari
padanya dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga
diserap kembali, sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat dan
dikeluarkan dari tubuh sebagai tinja (Tan dan Kirana, 2007).
2.3.1 Lambung
Makanan dicerna dalam lambung, tercampur dengan asam, mukus, dan
pepsin, kemudian dikeluarkan ke dalam duodenum dengan kecepatan yang stabil
dan terkendali. Mukosa lambung banyak mengandung kelenjar. Di daerah pilorus
fundus, kelenjar juga mengandung sel parietal yang mensekresikan asam klorida
dan sel peptik yang mensekresikan pepsinogen. Sekret-sekret ini bercampur
dengan mukus (Ganong, 2008).
Apabila makanan masuk ke lambung, fundus dan bagian atas korpus akan
melemas dan mengakomodasi makanan dengan sedikit peningkatan tekanan.
Peristaltik kemudian dimulai di bawah korpus yang mencampur dan
menghaluskan makanan serta memungkinkan makanan dalam bentuk setengah
cair mengalir sedikit demi sedikit melalui pirolus dan memasuki duodenum
(Ganong, 2008).
2.3.2 Usus halus
Di usus halus, isi usus tercampur dengan sekresi sel-sel mukosa, getah
pankreas, dan empedu. Pencernaan yang dimulai dari mulut dan lambung,
diselesaikan di lumen dan sel-sel mukosa usus tempat produk pencernaan diserap,
bersamaan dengan sebagian besar vitamin dan cairan. Dalam usus halus terdapat
sekitar 9 liter air setiap hari yang terdiri dari 2 liter dari makanan dan 7 liter dari
sekresi saluran cerna, tetapi hanya 1-2 liter yang sampai ke kolon. Sel mukosa di
usus halus yang disebut dengan enterosit, memiliki sejumlah besar mikrovili yang
menutupi permukaan apikalnya. Di dalam mikrovili ini banyak terdapat enzim
(Ganong, 2008).
Usus halus terdiri atas duodenum, jejenum, dan ileum. Bagian pertama
duodenum terkadang disebut duodenal cup atau bulb. Daerah ini menerima isi lambung yang bersifat asam yang mengalir melalui pilorus. Berdasarkan
kesepakatan, 40% bagian atas usus halus sebelah distal duodenum disebut
jejenum dan 60% sisanya disebut ileum walaupun tidak terdapat batasan anatomi
di kolon. Usus halus berukuran lebih pendek pada keadaan hidup dibandingkan
pada keadaan mati karena setelah kematian, otot di sebagian besar saluran cerna
melemas sehingga jarak yang diukur saat otopsi menjadi lebih panjang. Jarak dari
pilorus ke katup ileosekum pada manusia hidup dikatakan sepanjang 285 cm
(Ganong, 2008).
2.3.2.1Motilitas usus
Usus halus mencerna dan menyerap kimus dari lambung melalui
serangkaian kontraksi otot polos, yaitu peristaltik dan segmentasi. Pada peristaltik,
kontraksi ini merupakan respon refleks yang timbul bila dinding saluran cerna
teregang oleh isi lumen (kimus) dan terjadi di semua bagian saluran cerna mulai
dari esophagus sampai rektum. Kontraksi ini mendorong kimus ke arah usus
besar. Aktivitas peristaltik dapat meningkat atau menurun melalui input autonom
(Ganong, 2008).
Kontraksi segmentasi merupakan kontraksi berbentuk cincin yang muncul
dalam interval yang relatif teratur di sepanjang usus lalu menghilang dan
digantikan oleh serangkaian kontraksi cincin lain di segmen-segmen di antara
kontraksi-kontraksi sebelumnya. Kontraksi ini mendorong kimus maju mundur
dan meningkatkan pajanannya pada permukaan mukosa. Kontraksi segmentasi
dipicu oleh peningkatan lokal influx Ca2+ disertai gelombang peningkatan
konsentrasi Ca2+
Pada kontraksi segmentasi, memperlambat waktu transit di usus halus
sehingga waktu transit sebenarnya lebih lama pada keadaan kenyang daripada
keadaan puasa. Hal ini memungkinkan kimus berkontak lebih lama dengan
(peristaltic rush), tidak terjadi pada orang normal tetapi timbul pada usus yang mengalami obstruksi (Ganong, 2008).
2.3.3 Kolon
Fungsi utama kolon adalah penyerapan air, natrium, dan mineral lainnya
sehingga membuat tinja menjadi semi padat. Diameter kolon lebih besar daripada
diameter usus halus dan panjangnya sekitar 100 cm pada orang dewasa hidup dan
sekitar 150 cm pada saat otopsi. Bagian ileum yang terdapat katup ileosekum
menonjol sedikit ke dalam sekum sehingga peningkatan tekanan kolon akan
menutupnya sedangkan peningkatan tekanan ileum akan menyebabkan katup
ileosekum terbuka. Jadi, katup ini mencegah refluks isi kolon ke dalam ileum.
Katup ini tertutup dalam keadaan normal. Setiap kali gelombang peristaltik
mencapainya, katup ini terbuka sebentar dan memungkinkan sebagian kimus
ileum masuk ke dalam sekum (Ganong, 2008).
Kolon mengandung bakteri dalam jumlah besar. Bakteri yang terdapat di
kolon meliputi Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja (Ganong, 2008).E.coli adalah anggota flora normal usus. E.coli berperan penting dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu dan penyerapan zat-zat makanan.
Bakteri ini menguraikan zat organik dalam makanan menjadi zatanorganik, yaitu
CO2, H2
E.coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaanmeningkat atau berada di luar usus. E.coli menghasilkan enterotoksin yangmenyebabkan beberapa kasus diare. E.coli berasosiasi dengan enteropatogenikmenghasilkan enterotoksin pada sel epitel. Toksin yang dihasilkan
oleh E.coli merangsang sekresi Na
O, energi, dan mineral(Ganiswara, 1995).
+
Penyakit yang disebabkan oleh E.coli yaitu infeksi saluran kemih, diare, sepsis, dan meningitis (Jawetz et al., 1995).
2.4 Uraian Diare
Diare (berasal dari bahasa Yunani dan Latin: dia, artinya melewati dan
rheein yang berarti mengalir atau berlari) merupakan masalah umum untuk orang yang menderita pengeluaran feses yang terlalu cepat dan terlalu encer (Rang, et
al., 2007). Diare secara umum didefinisikan sebagai bentuk tinja abnormal (cair)
yang disertai dengan peningkatan frekuensi buang air besar yakni lebih dari tiga
kali per hari (Guerrant, et al., 2001).
Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi
feses.Kandungan air umumnya 70% sampai 85% dari berat feses total.
Kandungan cairan feses menggambarkan keseimbangan antara sekresi air dan
elektrolit dan absorpsi di sepanjang saluran gastrointestinal.Diare merupakan
kondisi ketidak seimbangan absorpsi dan sekresi air dan elektrolit (Sukandar, dkk,
2008).Selama masa diare, terjadi peningkatan motilitas saluran cerna yang disertai
peningkatansekresi dan penurunan absorpsi cairan, yang mengakibatkan
kehilangan elektrolit (khususnya Na+
Pada diare infeksi, umumnya infeksi terdapat pada usus besar dan ujung
distal ileum. Dimanapun infeksi terjadi, menyebabkan mukosateriritasi dan
kecepatan sekresinya bertambah. Selain itu pergerakan dinding usus biasanya
meningkat. (Guyton, 1990). Diare yang disebabkan oleh kolera,toksinnya
langsung merangsang sekresi elektrolit dan cairan berlebihan pada ileum distalis
dan kolon. Jika sejumlah besar Na
) dan air (Rang, et al., 2007).
+
, K+, dan air keluar dari kolon dan usus halus
kardiovaskular, hipovalemia, dan akhirnya syok. Oleh karena itu, dasar
pengobatan yang penting adalah mengganti cairan elektrolit secepat
kehilangannya. (Guyton, 1990).
Terdapat 4 mekanisme patofisiologi yang mengganggu keseimbangan air
dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare, yaitu:
1. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi
natrium atau peningkatan sekresi klorida
2. Perubahan motilitas usus
3. Peningkatan osmolaritas luminal
4. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan(Sukandar, dkk., 2008)
2.4.1 Jenis-jenis diare
Berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan beberapa jenis diare sebagai
berikut:
a. Diare akibat virus yang disebabkan antara lain oleh rotavirus dan
adenovirus. Virus melekat pada sel mukosa usus dan menjadi rusak sehingga kapasitas absorpsi menurun dan sekresi air dan elektrolit
memegang peranan. Diare yang terjadi dapat bertahan terus sampai
beberapa hari setelah virus lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3-6
hari.
b. Diare bakterial invasif (bersifat menyerbu). Kuman pada keadaan tertentu
menjadi invasif ke dalam mukosa, dimana terjadi perbanyakan diri sambil
membentuk toksin. Enterotoksin ini dapat diserap ke dalam darah dan
menimbulkan gejala hebat, seperti demam tinggi, nyeri kepala dan
kejang-kejang. Selain itu mukosa usus yang telah dirusak mengakibatkan mencret
E. coli spec, Shigella, Salmonella dan Campylobacter. Diare ini bersifat “self-limiting”, artinya akan sembuh dengan sendirinya dalam k.l. 5 hari tanpa pengobatan, setelah sel-sel yang rusak diganti dengan sel-sel mukosa
baru.
c. Diare parasit, akibat protozoa seperti Entamoeba hystolica dan Giardia lamblia, yang membentuk enterotoksin juga. Diare akibat parasit biasanya bercirikan mencret cairan yang intermiten bertahan labih lama dari satu
minggu. Gejala lainnya dapat berupa nyeri perut, demam, anoreksia, nausea,
muntah-muntah dan rasa letih.
d. Akibat penyakit, misalnya colitis ulcerosa, p. Crohn, Irritable Bowel Syndrom (IBS), kanker kolon, dan infeksi HIV. Juga akibat gangguan-gangguan seperti alergi terhadap makanan/minuman, protein susu sapi, serta
intoleransi untuk laktosa karena defisiensi enzim laktase.
e. Akibat obat, yaitu digoksin, kinidin, garam-Mg, litium, sorbitol, β-bloker,
ACE inhibitors, reserpin, sitostatik, dan antibiotik berspektrum luas. Semua
obat ini dapat menimbulkan diare “baik” tanpa kejang perut dan perdarahan.
Adakalanya juga akibat penyalahgunaan laksansia dan penyinaran dengan
sinar X (radioterapi).
f. Akibat keracunan makanan. Keracunan makanan didefinisikan sebagai
penyakit yang bersifat infeksi atau toksis dan diperkirakan atau disebabkan
oleh mengkonsumsi makanan tercemar. Penyebab utamanya adalah tidak
memadainya kebersihan pada waktu pengolahan, penyimpanan dan
distribusi dari makanan/minuman dengan akibat pencemaran meluas (Tan
Berdasarkan mekanisme patofisiologinya, pengelompokan diare secara
klinis, yaitu:
a. Secretory diarrhea, terjadi ketika zat meningkatkan sekresi atau mengurangi penyerapan air dalam jumlah besardan elektrolit. Zat yang menyebabkan
kelebihan sekresi termasukpeptida intestinal vasoaktif (VIP) merangsang
sekresi getah usus, tidak terserapnyalemak makanan, pencahar, hormon
(seperti secretin),racun bakteri, dan garam empedu yang berlebihan. Banyak
dariagen tersebut merangsang intraseluler adenosin monofosfat siklik
danmenghambat Na+/K+
b. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan cairan intestinal (Sukandar, dkk., 2008).
-ATPase, yang menyebabkan peningkatan sekresi.
Selain itu, banyakmediator tersebut menghambat penyerapan ion secara
bersamaan. Puasa tidak mengubah volume tinja dalampasien (Spruill dan
Wade, 2005).
c. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaan yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke dalam saluran
pencernaan(Sukandar, dkk., 2008).
d. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di usus
halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri
yang berlebihan (Sukandar, dkk., 2008).
Berdasarkan waktu terjadinya, pengelompokan diare antara lain:
a. Diare akut
Diare ini berlangsung selama kurang dari dua minggu. Penyebabnya adalah
reaksi obat seperti magnesium yang terdapat pada antasida, antibiotik,
misoprostol, H2 reseptor bloker, dan proton pum inhibitor (Navaneethan
dan Giannella, 2011)
b. Diare persisten
.
Diare ini berlangsung selama dua sampai empat minggu. Diare persisten
merupakan kelanjutan dari diare akut, yang umumnya disebabkan karena
infeksi bakteri, virus, atau parasit (Navaneethan dan Giannella, 2011).
c. Diare kronik
Diare ini berlangsung selama lebih dari empat minggu. Penyebabnya adalah
irritable bowel syndrome (IBS), inflammatory bowel disease (IBD), kanker kolon, malabsorpsi lemak atau karbohidrat. karena penyakit kanker kolon
dan rektum atau penyakit yang berhubungan dengan gastrointestinal
(Navaneethan dan Giannella, 2011).
2.4.2 Obat antidiare
Penggolongan obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:
1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni membrantas bakteri penyebab
diare seperti antibiotika, sulfonamida, dan senyawa kinolon (Tan dan
Kirana, 2007).
2. Obtipansia untuk terapi simtomatis yang dapat menghentikan diare. Ada
beberapa cara antara lain:
a. Obat antimotilitas
Dua obat yang dipakai secara luas untuk mengendalikan diare adalah
difenoksilat dan loperamid. Keduanya merupakan analog meperidin dan
memiliki efek seperti opioid pada usus, mengaktifkan reseptor opioid
asetilkolin dan menurunkan peristaltik. Efek samping termasuk rasa
mengantuk, kejang perut dan pusing. Karena obat ini dapat menyebakan
megakolon yang toksik, maka tidak digunakan pada anak-anak atau pasien
dengan kolitis berat (Mycek, 2001). Loperamid adalah opioid yang paling
tepat untuk efek lokal pada usus karena tidak mudah menembus ke dalam
otak. Oleh karena itu loperamid hanya mempunyai sedikit efek sentral dan
tidak mungkin menyebabkan ketergantungan (Neal, 2006). Waktu paruhnya
adalah 7-14 jam. Loperamid tidak diserap dengan baik melaui pemberian
oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baik. Sifat ini menunjang
selektivitas kerja loperamid. Sebagian obat diekskresikan bersama tinja.
Loperamid tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan sirup 1 mg/5 ml dan
digunakan dengan dosis 4-8 mg per hari (Dewoto, 2007).
b. Obat antikolinergik
Penggunaan agen antikolinergik untuk pengobatan diare didasarkan pada
kemampuannya untuk mengurangi motilitas saluran usus. Dosis efektif yang
digunakan untuk obat ini, setara dengan 0,6 sampai 1,0 mg atropin, terkait
dengan tingginya insiden efek samping. Agen antikolinergik memiliki
margin sempit dari segi keamanan, terutama pada anak-anak. Donnagel
merupakan produk antidiare yang banyak digunakan, yang mengandung
campuran alkaloid belladonna dan adsorben kaolin dan pektin
c. Obat adsorben
(Gerald,
1981).
Obat-obat adsorben seperti kaolin, pektin, norit yang diaktifkan (karbon
aktif) dan atapulgit, digunakan secara luas untuk mengendalikan diare.
mikroorganisme, atau dengan melapisi atau melindungi mukosa intestinal.
Obat-obat ini kurang efektif dibandingkan dengan obat-obat antimotilitas
dan dapat mengganggu absorpsi obat lain (Mycek, 2001).
d. Adstringensia
Obat yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin) dan
tannalbumin, garam-garam bismuth dan aluminium (Tan dan Kirana, 2007).
3. Spasmolitika
Merupakan zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering
kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin (Tan dan
Kirana, 2007).
4. Suplemen Zinc (Zn)
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc
dapat menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi
epitel usus. Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang
mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian
diare.Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan
tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya (Black, et al., 2003).
Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak, berasal dari Ricinus comunis, suatu trigliserida ricinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus halus
minyak lemak terhidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserin dan asam risinoleat.
Asam risinoleat ini lah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar. Minyak
jarak juga sebagai emolien. Sebagai pencahar, obat ini tidak banyak digunakan
lagi karena banyak obat yang lebih aman. Minyak jarak menyebabkan kolik,
dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan
penginduksi diare secara eksperimental pada hewan percobaan (Tan dan Kirana,