• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proceeding Seminar Konseling Berbasis Multikultural 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proceeding Seminar Konseling Berbasis Multikultural 2015"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

TIM PENYUNTING

Ketua

: Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd., Kons

Sekretaris

: Mulawarman, Ph.D

Anggota

: 1. Prof. Dr. Sugiyo, M.Si

2. Sunawan, Ph.D

3. Dr. Catharina Tri Anni, M.Pd.

4. Drs. Heru Mugiarso, M.Pd., Kons

5. Kusnarto Kurniawan, S.Pd., M.Pd., Kons

Layout

: 1. Sigit Hariyadi, S.Pd., M.Pd

2. Zaki Nurul Amin, S.Pd

3. Annas Prasetyo

4. Najibulloh Faozi

PROCEEDING

Konseling Berbasis Multikultural

ISBN : 978-602-18084-3-6

@2015, Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES

Diterbitkan oleh :

Fakultas ILmu Pendidikan UNNES

Alamat

: Gd. A2 Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229

Telp

: (024) 8508019

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat

Berkat dan Rahmat serta karunia-Nya, sehingga penyusunan proseding ini dapat diselesaikan

sebagaimana mestinya. Panitia bersyukur bahwa proseding ini dapat hadir di hadapan para

pembaca yang budiman. Ide dasar penyusunan proseding makalah seminar nasional Bimbingan

dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang adalah sebagai rasa

tanggung jawab akademik dan professional untuk menumbuh kembangkan kualitas pelayanan

konseling agar mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas serta kemajuan profesi

bimbingan dan konseling di Indonesia.

Pada seminar nasional Bimbingan dan Konseling kali ini mengambil tema ; “Konseling

Berbasis Multikultural”. Tujuan dari kegiatan ini adalah mampu meningkatkan profesionalitas

konselor dalam bidang kajian lintas budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai

upaya tindak lanjut dari kegiatan ini, maka artikel yang masuk dalam kegiatan seminar ini

dipublikasikan dalam bentuk proseding agar selanjutnya dapat dengan mudah dibaca oleh

banyak kalangan. Dalam proseding ini terdapat 29 artikel atau makalah yang terdiri dari 3

bagian yaitu makalah dari pembicara utama dan makalah yang bersumber dari para kontributor.

Terselenggaraanya seminar nasional ini sampai tersusunnya prosiding ini berkat kerja

sama dengan berbagai pihk. Oleh karenanya penyunting bermaksud menyampaikan terima

kasih kepada pihak-pihak:

1.

Para partisipan yang telah menyumbangkan ide dan gagasannya dalam artikel yang ada

guna mendukung kegiatan seminar dan kemajuan pelayanan serta profesi bimbingan

dan konseling.

2.

Redaksi dan penyunting yang telah bekerja keras sehingga prosiding semnas ini bisa

diterbitkan

Penyunting menyadari masih terdapat kekurangan di sana-sini baik dari

penyelenggaraan seminar maupun prosiding ini. Oleh karena itu diharapkan balikan, diskusi

dan ulasan yang membangun dari berbagai pihak. Namun demikian diharapkan prosiding ini

dapat berkontribusi terhadap terselenggaranya Ujian Nasional yang bebas, jujur dan akuntabel

dan pengayaan kajian ilmiah, khusunya, di bidang Bimbingan Konseling.

Semarang, Mei 2013

(4)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ...

i

Susunan Tim Penyunting ...

ii

Kata Pengantar ...

iii

Daftar Isi

...

iv

BAB I

Strategi Intervensi Konseling Berbasis Multikultural ...

1

Prof. Madya Dr. Abd. Halim Mohd Hussin

BAB II

Implikasi Landasan Multikultural dalam Praksis Pelayanan Bimbingan dan

Konseling di Sekolah ...

8

Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.,Kons

BAB III

Pelayanan Konseling dalam Perspektif Indigenous dan Kearifan Lokal ...

26

Drs. HM. Eddy Widiyatmadi, M.Si

BAB IV

Kebudayaan Dasar Etika Pelaksanaan Konseling ...

31

Richma Hidayati, S.Pd. M.Pd

BAB V

Pengaruh Nilai Islami dan Budaya terhadap Perencanaan Karier ...

39

Asroful Kadafi, Enggar Kurniawan

BAB VI

Biblio-Konseling Berbasis Cerita Rakyat Sebagai Alternatif Layanan Bk di

Sekolah ...

47

Sigit Hariyadi, S.Pd., M.Pd

BAB VII

Pendidikan Multikultural di Perguruan Tinggi: Tantangan dan Kompetensi Global

Indonesia ...

56

Edwindha P. N, S.Pd, Kons

BAB VIII

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keyakinan (Belief) Mahasiswa untuk Mencari

Bantuan Psikologis ...

63

Mulawarman, Ph.D

BAB IX

Pengembangan Faktor Protektif untuk Meningkatkan Resiliensi Mahasiswa

Minoritas ...

70

Eem Munawaroh, M.Pd

BAB X

Pengaruh Identitas Etnis dan Peran Gender Terhadap Orientasi Karir Siswa

Keturunan Jawad dan Tionghoa...

76

Zakki Nurul Amin, S.Pd

BAB XI

Manajemen Pembelajaran

Self Regulated Learning Anak Usia Dini Berbasis

Ramah Anak ...

85

Luluk Elyana

BAB XII

Koneksitas Nilai-nilai Luhur di dalam Semar (Badranaya) terhadap Ciri-ciri

Konselor Multibudaya dan Praktik Konseling Multibudaya ...

92

Nora Yuniar Setyaputri, M.Pd

BAB XIII

Pelayanan Konseling Berbasis Multikultural ... 100

(5)

v

BAB XIV

Sang Murabbi: Konseling Kiai di Lingkungan Pondok Pesantren ... 106

Galang Surya Gumilang, M.Pd

BAB XV

Pengembangan Keterampilan Sosial Siswa Melalui Pemahaman Multikultural

dalam Bimbingan Konseling ... 115

Dra. Sri Muji Wahyuti, M.Pd., Kons

BAB XVI

Konseling Individu Bagi Penderita Tuna Rungu Wicara di Sekolah Inklusif

Berbasis Multikultural ... 123

Drs. Tawil, Drs. Arie Supriyatno, M.Si, & Danang Suryanto

BAB XVII

Profil Kompetensi Kultural pada Mahasiswa Filipina ... 128

Lutfhi Noorfitriyani, S.Pd

BAB XVIII Inventori Berbasis Budaya Sebagai Alat untuk Memahami Individu ... 135

Amin Wahyudi, M.Pd., Agus Supriyanto., M.Pd

BAB XIX

Telaah Karakter Ideal Konselor Berdasarkan Tokoh Punakawan Semar ... 142

Wahyu Nanda Eka Saputra, Caraka Putra Bhakti

BAB XX

Upaya Pengembangan Pelatihan Peningkatkan Kompetensi Berbasis Budaya Guru

Bk di Sekolah ... 148

Dr. Awalya, M.Pd., Kons

BAB XXI

Rekonstruksi Konseling Personal... 159

Dwi Bhakti Indri M, S.Pd

BAB XXII

Model Bimbingan dan Konseling Berbasis Budaya Lokan Samin Surosentiko

Peluang dan Penerapanya Dalam Praktik ... 166

Gudnanto, S.Pd, M.Pd, Kons

BAB XXIII Pengembangan Kompetensi Kesadaran Multikultural Konselor Melalui

Pengembangan Keterampilan Metakognitif Konselor ... 172

Umi Rahayu Fitriyanah, S. Pd

BAB XXIV Membangun Kultur Sekolah Melalui Layanan Bimbingan dan Konseling ... 179

Agus Basuki

BAB XXV

Pendidikan Multikultural untuk Anak Usia Dini ... 187

Marini, S.Pd, M.Pd

BAB XXVI Perilaku Prososial Ditinjau dari Aspek Budaya Jawa ... 193

Rischa Pramudia Trisnani & Tyas Martika Anggriana

BAB XXVII Menjadi Konselor Multikultural Bagi ABK (Tuna Daksa) ... 200

Sugesti Yoan Ahmad Yani & Syafrina Maula Tsaniah

BAB XXVIII Kepribadian Orang Jawa dan Praktik Indegenous Dalam Bimbingan dan

Konseling ... 206

Muya Barida, M.Pd, Ulfa Danni Rosada, M.Pd

(6)

1

Seminar Nasional

KONSELING BERBASIS MULTIKULTURAL

BIMBINGAN DAN KONSELING FIP UNNES

KAUNSELING BERASASKAN PELBAGAI BUDAYA

Dato’ Dr Abd Halim Mohd Hussin

Pengarah Bahagian Pengurusan Psikologi, Jabatan Perkhidmatan Awam Malaysia

Presiden Persatuan Kaunseling Malaysia ( PERKAMA International)

PENGENALAN

Aspek kepelbagaian budaya merupakan perkara penting yang perlu diberi perhatian oleh kaunselor dalam memastikan penyampaian perkhidmatan yang berkesan diberikan kepada klien. Dalam konteks kaunseling pelbagai budaya, ia merujuk kepada kaunseling yang melibatkan kaunselor dan klien dari latar belakang budaya yang berbeza sama ada berbeza etnik, agama, usia, kelompok sosial, status ekonomi atau jantina. Pedersen (1988) mendefinisikan kaunseling pelbagai budaya berlaku apabila kaunselor dan klien berbeza dari segi budaya, berkerja samaada dalam budaya klien, budaya kaunselor atau di satu budaya ketiga. Manakala Jackson (1987) pula menyatakan “counseling in which the counselor and client are culturally different because of the socialization acquired in distinct cultural, subcultural, racio-etnic, or socioeconomic environment differences and similarities may be real or perceived”.

Halim (2005) menyatakan bahawa kaunseling silang budaya ( multikultural) bukan sahaja wujud dalam perbezaan antara kaunselor dan klien dari segi umur, ras, etnik, gender dan kepercayaan, malah ianya melewati dari segi kancah masalah dan kesukaran hidup yang dialami oleh klien. Sebagai contoh, seorang penagih dadah (klien kecanduan narkoba) misalnya sudah tentu mempunyai paradigm dan parameter pemikiran dan emosi yang jauh berbeza dengan individu yang boleh berfungsi

secara normal dan memenuhi norma masyarakat.

Kaunselor pelbagai budaya mesti mempunyai satu set kepakaran yang merangkumi aspek kepercayaan dan sikap, kefahaman dan pengetahuan, dan kemahiran (Baruth & Manning, 1991;Lee, 95).

Dari perspektif Metatheoretical, semua kaedah membantu akhirnya wujud dalam konteks budaya. Ivey (1997) dalam pembicaraannya berhubung dengan hubungan menolong dalam kaunseling mengupas pendekatan dan kaedah-kaedah membantu dari pelbagai teori. Berdasarkan analisis teori ke atas teori-teori yang mantap dan kukuh mendapati bahawa apa juga kaedah hubungan membantu akhirnya banyak dipengaruhi oleh budaya samada terlihat secara ekstrinsik maupun intrinsik.

ORIENTASI KOGNITIF

(7)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

2

PENGARUH PERSEKITARAN MAKRO

DAN MIKRO

Kefahaman tentang bagaimana persekitaran hidup klien secara umum dan terperinci menyumbang kepada pembentukan personaliti klien. Oleh yang demikian seorang kaunselor yang mempunyai kompetensi dalam silang budaya akan berupaya mengaitkan segala elemen makro dan mikro yang mempengaruhi kliennya. Dengan kefahaman ini, kaunselor akan dapat menembusi dinding kefahaman untuk mengumpul maklumat bagi memahami kliennya dalam konteks ikatan yang lebih terapeutik.

SUB-BUDAYA KLIEN

Komponen sub-budaya memerlukan kefahaman yang mendalam tentang aspek kelestarian dan kemandirian klien. Sub-budaya merupakan elemen penting dalam menentukan pandangan hidup dan orientasi minda individu. Sub-budaya perlu dilihat sebagai aspek penting dalam memahami oriemntasi kognitif serta orientasi emosi yang kemudiannya menghasilkan gaya tingkahlaku seseorang sebagai punca tindakan. Sub-budaya wujud dalam semua kehidupan individu samada yang berfungsi secara memenuhi norma masyarakat maupun yang melencong dari nilai dan norma masyarakat.

5 ASPEK PENTING DALAM KECEKAPAN KAUNSELING BERASASKAN PELBAGAI BUDAYA

Definisi Kaunseling Pelbagai Budaya

Apa yang berlaku apabila seorang kaunselor profesional mengendalikan sesi kaunseling bersama kliennya dari kelompok budaya yang berbeza dan bagaimana ia mungkin memberi kesan kepada interaksi dalam hubungan kaunseling itu sendiri.?

Definasi ini boleh dikembangkan dengan merangkumi ketidaksamaan dalam agama dan kerohanian, orientasi seksual, jantina, umur dan

kematangan, kelas sosio ekonomi, sejarah keluarga dan juga lokasi geografi. Langkah pertama dalam menentukan keberkesanan kaunseling berasaskan kepelbagaian budaya ialah untuk mengenalpasti dan mengiktiraf perbezaan antara kaunselor dan klien.

Mengenalpasti Perbezaan Budaya

Salah satu daripada langkah yang perlu diambil dalam hubungan kaunseling dengan klien ialah membincangkan apa yang menyebabkan seseorang itu hadir dalam sesi kaunseling dan seterusnya mengenalpasti masalah yang dikemukakan. Gaya biasa yang diamalkan dibarat dalam usaha mendapatkan jawapan menggunakan pendekatan secara lansung tidak serasi dengan budaya lain. Teknik ini merangkumi penggunaan bahasa badan, kontak mata dan penggunaan soalan soalan terbuka. Masyarakat asia umpamanya merasakan bahawa kaedah ini adalah kurang sopan. Keprihatinan terhadap perbezaan budaya adalah penting untuk membina kepercayaan yang diperlukan dalam melaksanakan sesi kaunseling yang efektif.

Memahami dan Membicarakan Isu-Isu Dalam Kaunseling Berasaskan Pelbagai Budaya

Salah satu daripada alat yang paling efektif seseorang kaunselor boleh lakukan ialah dengan mewujudkan hubungan kaunseling dengan klien dari budaya yang lain. Dengan cara ini kaunselor tidak akan mempengaruhi kepercayaan klien yang anda berupaya menawarkan pertolongan profesional. Antara kaedah dalam membina rapport atau hubungan yang mesra ialah dengan menyatakan kesediaan kita untuk belajar dari klien dan menunjukkan rasa hormat kita terhadap pandangan hidup klien, kepercayaan, dan kaedah penyelesaian masalah yang diamalkan oleh klien. Mempelajari tentang realiti kehidupan klien akan menghasilkan sebuah intervensi yang bersifat sensitif budaya.

Peranan Kendiri dalam kaunseling pelbagai budaya

(8)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

3

berkompentesi budaya. Mulakan dengan

memahami dengan sejelasnya pandangan hidup kita sendiri serta kepercayaan-kepercayaan kita terhadap mereka yang berbeza dengan kita. Analisis kendiri adalah umpama muhasabah diri terhadap nilai dan pandangan hidup.

Pendidikan kaunseling pelbagai budaya berterusan

Adalah penting untuk seseorang konselor itu memahami bahawa bukan mudah untuk kita menjadi ahli atau pakar dalam perbezaan budaya yang unik. Memahami budaya yang pelbagai adalah satu proses pembelajaran berterusan dan setiap pengamal kaunseling perlu menyedari bahawa kita sentiasa belajar dari setiap klien yang

kita temui. Pengalaman klinikal inilah yang mendewasakan kita dalam bidang pengkhususan kita.

SIFAT - SIFAT KOMPETENSI PERSPEKTIF BUDAYA DALAM KAUNSELING

Baruth & Manning (1991) telah mengemukakan satu set kepakaran yang perlu ada pada seorang kaunselor pelbagai budaya iaitu:

1. Kepercayaan dan Sikap

2.

Pengetahuan

3. Kemahiran

Rajah 1: Sifat-Sifat Kompetensi Perspektif Budaya Dalam Kaunseling

MENINGKATKAN KESEDARAN

TERHADAP ANDAIAN KENDIRI, NILAI DAN BIAS

Bagi meningkatkan kesedaran kaunselor terhadap andaian kendiri, nilai dan bias terhadap klien. Tiga aspek asas yang perlu diamalkan oleh kaunselor iaitu:

Kepercayaan dan Sikap

Kepercayaan merujuk kepada agama dan pantang larang agama dan juga pantang larang sosial yang membimbing ahli dalam berinteraksi dengan orang lain. Rogers (1957), komponen sikap merentasi segala ciri personaliti, pendekatan dan tatacara kaunseling yang digunakan. Manakala Patterson dan Welfel (1994), menyatakan kaunselor yang memahami budayanya akan jelas dengan identiti budayanya dan berupaya mengenalpasti nilai, kepercayaan, dan tingkah laku yang khusus bagi sesuatu budaya. Selain itu, Patterson dan Welfel (1994),

KEMAHIRAN

PENGETAHUAN

KEPERCAYAAN

DAN SIKAP

Sifat-sifat

kompetensi

perspektif

budaya dalam

(9)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

4

penerokaan tentang sejarah budaya boleh

membantu kaunselor membebaskan dirinya dari kepompong budaya.

Kepercayaan dan sikap perlu ada pada kaunselor dalam meningkatkan kesedaran kaunselor terhadap andaian, nilai dan bias yang ada dalam diri kaunselor. Terdapat 4 kemahiran yang perlu diaplikasikan oleh kaunselor iaitu:

a) Kaunselor yang mempunyai kemahiran budaya bergerak dari keadaan tidak memahami dan menyedari akan budaya warisan sendiri kepada keupayaan menilai dan menghormati perbezaan

b) Kaunselor yang mempunyai kemahiran budaya menyedari bagaimana latarbelakang dan pengalaman budaya, sikap, niilai , pengaruh yang menghasilkan bias mempengaruhi proses psikologi mereka. c) Kaunselor yang mempunyai kemahiran

budaya berkemampuan mengenalpasti batasan kecekapan dan kepakaran atau keahlian mereka.

d) Kaunselor yang mempunyai kemahiran budaya selesa dengan perbezaan-perbezaan yang wujud antara diri mereka dan klien samada dari segi ras, ethnik, budaya maupun kepercayaan.

Pengetahuan

Terdapat 3 bentuk pengetahuan yang perlu ada pada kaunselor dalam meningkatkan kesedaran terhadap andaian kendiri dan bias terhadap klien.

a) Mempunyai pengetahuan khusus tentang ras dan warisan mereka sendiri dan menyedari bagaimana ianya secara peribadi dan profesional memberi kesan terhadap definisi mereka dan bias mereka terhadap normaliti dan abnormaliti terkait dengan proses kaunseling

b) Mempunyai pengetahuan dan kefahaman tentang bagaimana opresi, rasisme, diskriminasi, dan stereotyping memberi kesan kepada diri sendiri,. Ini akan membolehkan kita menghargai sikap rasis kita, kepercayaan kita dan perasaan kita. c) Mempunyai pengetahuan tentang impak

sosial mereka terhadap orang lain. Mempunyai pengetahuan tentang gaya

komunikasi yang pelbagai, menyedari bagaimana pertembungan komunikasi boleh terjadi dan berkeupayaan menjakakan perkara-perkara yang tidak diingini dalam intervensi yang dilaksanakan dalam hubungan kaunseling.

Kemahiran

Pelbagai kemahiran yang diperlukan dalam memperkaskan kaunselor agar kompeten dalam mengendalikan kaunseling pelbagai budaya.

a) Sentiasa mencari dan mendapatkan pendidikan, konsultasi dan latihan untuk meningkatkan pengalaman bagi memperkayakan kefahaman dan keberkesanan dalam hubungan menolong proses kaunseling untuk populasi yang berbeza. Dengan memiliki keupayaan mengenalpasti batasan kecekapan mereka akan mudak berusaha mendapatkan konsultasi, mendapatkan latihan lanjutan, merujuk kepada konselor yang lebih berkepakaran dan sentiasa berusaha memperbaiki diri.

b) Sentiasa meneroka dan meningkatkan kefahaman terhadap diri mereka sebagai kelompok ras yang memilii budaya yang tersendiri dan secara aktifnya meneroka dan memahami identiti non-rasis.

MEMAHAMI PANDANGAN HIDUP KLIEN YANG BERBEZA BUDAYA

Memahami pandangan hidup klien yang berbeza budaya merupakan kompenan yang penting dalam membantu kaunselor memahami corak pemikiran, tingkah laku dan emosi klien terhadap sesuatu isu. Memahami budaya klien dapat meningkatkan kepercayaan klien terhadap kompetensi kaunselor walaupun berbeza budaya. Tiga set kepakaran yang perlu dipraktikan oleh kaunselor iaitu:

Kepercayaan dan Sikap

(10)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

5

lain. Berusaha dan bersedia untuk membuat

perbandingan secara prihatin dan minda terbuka terhadap perbezaan kepercayaan dan sikap dalam keadaan yang memelihara aspek tidak menghukum ( nin-judgemental) b) Sedar akan “stereotyping” mereka dan persepsi yang mungkin dipegangi terhadap ras dan etnik yang lain..

Pengetahuan

a) Mempunyai pengetahuan dan maklumat yang khusus tentang kelompok dimana mereka memberi perkhidmatan kaunseling itu.Mereka sedar tentang pengalaman hidupnya, warisan budayanya, dan latarbelakang sejarah berkaitan dengan perbezaaan budaya klien.

b) Memahami bagaimana ras, budaya dan etnik boleh memberi kesan kepada pembentukkan personaliti, pemilihan vokasional, manifestasi kecelaruan psikologi, tingkahlaku mendapatkan pertolongan dan kesesuaian atau ketidaksesuaian pendekatan kaunseling yang diaplikasikan.

c) Mempunyai pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang memberi kesan kepada kehidupan ras dan etnik. Kemiskinan, pengasingan, peminggiran dan lain-lain yang memberi kesan kepada kehidupan mereka dan akan mungkin mempengaruhi proses kaunseling.

Kemahiran

a) Membiasakan diri dengan penyelidikan yang berkaitan serta dapatan dan penemuan kajian yang terkini yang berhubung dengan kesihatan mental dan kecelaruan mental pelbagai ras dan etnik.

b) Terlibat secara aktif dalam aktiviti diluar setting kaunseling seperti majlis komuniti, keraian sosial dan politik, majlis keraian umum, persahabatan, kejiranan dan yang lain-lain agar perspektif kefahaman terhadap kelomok lain bukan sekadar kefahaman biasa tetapi lebih dari latihan akademia dan khidmat menolong.

MEMBANGUNKAN STRATEGI DAN TEKNIK INTERVENSI YANG SESUAI

Dalam membangunkan strategik dan teknik intervensi yang bersesuaian dengan mayarakat yang pelbagai tiga aspek yang perlu ada pada kaunselor bagai memastikan kaunselor berkompentsi dalam melaksanakan tugas iaitu:

Sikap dan Kepercayaan

a) Menghormati kepercayaan agama dan kerohanian klien serta nilai klien terhadap kefungsian fizikal dan mental

b) Menghormati amalan hubungan menolog yang sediada yang wujud dalam bahawa bahasa yang lain kelompok tertentu serta rangkaian khidmat menolongnya

c) Menghargai dan memberi nilai terhadap bilingual dan tidak melihat bahasa yang lain itu sebagai halangan dalam kaunseling

Pengetahuan

a) Jelas tentang ciri-ciri generik dalam kaunseling dan terapi

b) Menyedari akan halangan dan kekangan institusional yang menghalang sesuatu kelompok mendapatkan perkhidmatan kesihatan mental

c) Mempunyai pengetahuan tentang potensi bias dalam penilaian dan menggunakan prosidur untuk mentafsir dapatan penilaian dengan sentiasa mengambilkira ciri ciri budaya dan linguistiknya

d) Mempunyai pengetahuan tentang kelompok lain dari segi struktur keluarganya, hairaki, nilai dan kepercayaan

e) Sedar akan amalan-amalan yang bersifat diskriminasi diperingkat komuniti yang mungkin memberi kesan kepada kebajikan psikologi mereka

Kemahiran

a) Mampu untuk terlibat dalam pelbagai tindakbalas verbal dan non-verbal

(11)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

6

c) Berkeupayaan mendapatkan konsultasi

dengan pengamal khidmat menolong tradisional atau pemimpin agama dalam merawat isu-isu yang berlkait dengan silang budaya.

d) Berkemampuan mengedalikan sesi dalam keadaan bahasa yang berbeza secara profesional

e) Mempunyai pengetahuan dan kepakaran menggunakan instrument pengujian dan penilaian tradisional

f) Berusaha untuk mengelakkan amalan bias, prejudis, dan diskriminasi.

g) Mengambil tanggungjawab mendidik klien dalam proses intervensi psikologikal seperti mencapai matlamatnya, ekspektasi, , hak perundangan dan orientasi kaunselor itu sendiri.

LATIHAN PENINGKATKAN KESEDARAN DIRI

Locke (1992) mencadangkan pengamal menjawab beberapa soalan seperti berikut:

1) Apakah warisan budaya saya? Apakah budaya ibu bapa saya dan datuk nenek saya? Adakah saya sudah mengenal pasti budaya apa yang diamalkan dalam kumpulan saya?

2) Apakah kerelevanan budaya dengan nama saya? Bagaimana saya mengambil keputusan sebagai pengamal? Apakah standard budaya yang terlibat dalam proses? Apa yang saya fahami mengenai hubungan antara budaya dan kaunseling? 3) Apakah kebolehan yang unik, aspirasi,

harapan dan batasan yang perlu saya pengaruhi hubungan saya dengan budaya pelbagai individu?

ISU-ISU KEPELBAGAIAN DALAM MASYARAKAT KONTEMPORARI

Isu-isu kepelbagian dalam masyarakat kontemporari pada masa kini meliputi perkara-perkara seperti (1) Ras dan etnik (2) Agama dan kerohanian (3) Status sosioekonomi (4) Budaya dan amalan (5) Orientasi seksualiti (6) Keupayaan dan ketidakupayaan (7) Ideologi dan

pemikiran (8) Desakan dan keperluan utama dalam profesion kaunseling (9) Melewati aspek teori dan amalan (10) Akibat perubahan berterusan demografi populasi yang mencetuskan peningkatan kepelbagaian dalam masyarakat

SIFAT - SIFAT KOMPETENSI PERSPEKTIF BUDAYA DALAM KAUNSELING

Kefahaman terhadap dinamika zon silang budaya yang merangkumi :

a. Aspek kepelbagaian dalam masyarakat b. Aspek pengupayaan dalam kaunseling c. Aspek perkembangan diri:-

i. Kefahaman etika silang budaya ii. Kefahaman terhadap amalan

terbaik dalam kaunseling silang budaya

ISU-ISU PIAWAIAN DAN KECEKAPAN DALAM KAUNSELING SILANG BUDAYA

Pendidikan Kaunseling.

Existing (APA) guidelines suggest that competence in the cultures of persons being

studied or served should be included “when necessary.” As long as that phrase is allowed to

stand, cultural factors and the expertise in being responsive to them rest with the complainant, not the psychologist. In view of the present state of our knowledge about the presence of cultural factors in all forms of psychological functioning, we conclude that psychologists individually and collectively cannot justify the inclusion of the

conditional phrase “when necessary.”

Kajian Hills & Strozier (1996) menunjukkan bahawa 89% program pengajian counseling psychology yang ditawarkan kini memberi fokus kepada unsur-unsur silang budaya.

Kajian ini walaubagaimana pun, tidak berjaya memberi indikasi terhadap isu-isu seperti :

a) Integrasi dalam keseluruhan kurikulum kaunseling

(12)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

7

c) Tahap komitmen jabatan dalam penawaran

program pengajian yang melihat aspek silang budaya sebagai elemen utama. Kebimbangan utama ahli kaunseling silang budaya adalah:

a) Ahli profesional melihat kursus silang budaya sebagai kurang penting berbanding dengan kursus lain.

b) Kursus silang budaya diajar oleh mereka yang kurang berpengalaman.

c) Kursus berbentuk kurang terancang tanpa kerangka konseptual yang kukuh.

d) Perbezaan budaya hanya dilihat dari perspektif intelektual tanpa merujuk isu-isu sosiopolitikal dalam kaunseling seperti the socio-political ramifications of counseling (oppression, discrimination, and racism) (Ponterotto & Casas, 1991; Sue, 1990; Sue & Sue, 1990; Sue et al., 1982). Secara realitinya, kebanyakkan kaunselor tidak mempunyai pengalaman praktikal yang mencukupi dalam latihan dan kehidupan seharian yang berkait dengan ras dan ethnic minoritis,

RUMUSAN

Kaunseling silang budaya (multtikultural) bukan sesuatu yang baru dalam konteks kemahiran dalam perkhidmatan menolong. Berasaskan kepada metateorikal adalah jelas menunjukkan bahawa setiap kaunselor mesti mempunyai kemahiran silang budaya kerana setiap proses membantu adalah melibatkan elemen budaya. Kaunseling silang budaya ( konseling berbasiskan multicultural) dengan itu merupakan satu sub-bidang kaunseling yang berbentuk keahlian atau kepakaran.

(13)

8

Seminar Nasional

KONSELING BERBASIS MULTIKULTURAL

BIMBINGAN DAN KONSELING FIP UNNES

IMPLIKASI LANDASAN MULTIKULTURAL DALAM PRAKSIS PELAYANAN

KONSELING DI SEKOLAH

Prof.Dr.Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons.

Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Ketua Umum Pengurus Besar ABKIN

Info Artikel

_________________

Keywords:

multicultural , competence counselor,praxis counseling services in schools

____________________

Abstrak

___________________________________________________________________ Counseling is a profession that is intended for any individual who is developing in the prevention, development, exploration, empowerment, change and remediation of life in an increasingly complex and challenging. From the point of view of professional counseling assistance devoted to improving the dignity of humanity in ways that facilitate the development of an individual or group of individuals in accordance with the power, potential and actual capabilities and its opportunities, and help overcome the weaknesses and obstacles and constraints encountered in development itself. Counseling is used by counselors as a framework of thinking and acting that nuanced humanity and individual.

Multicultural perspective as a working basis in the practice of counseling services in Indonesia, both in school settings as well as setting the wider community is a community that must be realized because Indonesia is a multicultural society. The main issues that must be considered counselors use a grounding in practical multicultural guidance and counseling services in Indonesia, especially those who have emik standpoint, is the dominant theories based on cultural values of Indonesian society. Counselors in working with counselee different cultures, the counselor must keep in mind some general considerations when working with a particular cultural group. The counselor is important to keep reminding ourselves that each individual served, as well as any counseling session is unique.

The effectiveness of counseling depends on many factors, one of the most important factors is the relationship to one another, and mutual understanding between the counselor and counselee. Such relationships will usually be more easily achieved if the counselor and counselee coming from the same culture or are familiar with the background of each. Understand and confront the diversity and cultural differences in a positive, is a matter develops self-awareness and develop awareness of others. The counselor should be aware of the implications of cultural diversity for the counseling process will seriously take into account the cultural diversity and its various dynamics that occur within and between diverse cultures in Indonesia.

Professional school counselors appreciate and understand the differences in schools in some areas such as race, ethnicity, gender, age, particularities, language, sexual orientation and socio-economic status. Professional school counselors work to ensure that students of different backgrounds have access to the service needs and opportunities

The challenge for professional counselors working in schools is twofold. First, they have to reach the level of competence of awareness, knowledge, and skills to make a difference in the lives of all students. Second, they should achieve leadership qualities and skills to assist them in assessing schools, organize, and evaluate programs, policies, and procedures to better serve all students with diverse cultures. The process of multicultural counseling in school counseling program should be realized in accordance with the comprehensive development of cultural backgrounds different from the students at school.

© 2015 Universitas Negeri Semarang  Alamat korespondensi:

Gedung A2 Lantai 1 FIP Unnes

Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: seminarbkunnes@gmail.com

(14)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

9

PENGANTAR

Di era globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi,kemungkinan bertemunya orang-orang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga antar budaya dengan berbagai keragamannya. Multikultural (keragaman budaya) merupakan aspek utama dari kehidupan manusia. Manusia berbeda dalam berbagai variabel yaitu variabel etnografik,variabel demografik,dan variabel status. Variabel etnografik seperti etnisitas,kewarganegaraan,agama,dan

bahasa;variabel demografik seperti umur, gender,tempat tinggal,dan sebagainya; dan variabel status seperti latar belakang sosial,ekonomi,dan pendidikan dan afiliasi keanggotaan formal atau informal (Pedersen,1990:550). Budaya membentuk perilaku,pemikiran, persepsi,nilai,tujuan,moral dan proses kognitif (Cohen,1998),hal ini bisa terjadi baik pada tahap sadar,maupun tidak sadar.

Pemahaman terhadap seluk-beluk budaya lokal dan sikap-sikap yang menyertai perbedaan antar-budaya,berkaitan dengan dengan pergeseran hubungan antar-peradaban yang mempengaruhi pola-pola hubungan antar individu dan antar kelompok individu. Dalam hal ini,siapapun yang terlibat dalam kajian antar-budaya dituntut untuk memiliki perspektif global. Mungkin perspektif ini tidak langsung berkaitan dengan pemahaman konselor terhadap perilaku konseli,tetapi memberikan perspektif pada bagaimana seorang konselor dalam melakukan pelayanan konseling memposisikan dalam perkembangan global.

Budaya adalah sekelompok orang yang mengidentifikasikan atau berasosiasi satu dengan yang lain berdasarkan pada kesamaan tujuan,kebutuhan,atau latar belakang.Elemen bersama suatu budaya adalah pengalaman belajar, kepercayaan,dan nilai. Aspek-aspek budaya seperti ini adalah jejaring signifikan yang memberi koherensi dan arti terhadap kehidupan. Sementara sebuah budaya mendefinisikan diri

secara parsial dalam kaitannya dengan kesamaan fisik,yang lain mungkin menekankan kesamaan sejarah dan filosofi,dan yang lain lagi mungkin mengkombinasikan keduanya. Kata budaya adalah kata yang multidimensi,istilah multikultural juga telah terkonseptualisasi dalam beberapa cara.

Multikultural merupakan kata sifat yang dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu “multi” dan “culture”. Secara umum,kata “multi “berarti banyak,ragam,dan atau aneka. Sedangkan kata “culture” dalam bahasa Inggris

memiliki beberapa maka, yaitu

kebudayaan,kesopanan,dan atau pemeliharaan. Atas dasar ini,kata multikultural dalam pengertian disini diartikan sebagai keragaman budaya sebagai bentuk dari keragaman latar belakang manusia. Dengan demikian secara etismologis konseling multikultural didefinisikan sebagai konseling yang memperhatikan

keberagaman budaya sasaran

layanan.Karakteristik konseling

multikultural,yaitu (1) berprinsip pada demokrasi, kesetaraan,dan keadilan; (2) berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; (3) mengembangkan sikap mengakui,menerima, dan menghargai keberagaman budaya.

Multikultural adalah pengakuan terhadap pluralisme budaya yang perlu dipelihara sebagai khasanah kekayaan kebudayaan ummat manusia. Karena ada pengakuan,maka kebudayaan yang beragam itu hidup sejajar dalam harmoni dan toleransi. Sekalipun selalu ada yang menjadi “budaya utama” atau budaya mayoritas yang menjadi mainstream dalam suatu komunitas, multikultural memastikan adanya

hak hidup,pengakuan,dan bahkan

pengertian,harmoni,dan perdamaian;bukan konflik! Perspektif multikultural ini berbeda dengan “paradigma peradaban” yang dikemukakan oleh Samuel P.Huntington (1999) yang melihat masa depan akan diliputi oleh benturan antar peradaban.

(15)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

10

Persoalan yang tidak sekedar menuntut

pemecahan melainkan lebih pada pemahaman dan kesadaran akan multikultural yang

membawa pada kemampuan

beradaptasi,menerima perbedaan,membangun hubungan yang luas,dan mengatasi konflik yang berakar pada perbedaan budaya,serta memenangkan globalisasi.

Kita banyak menghadapi suatu kenyataan,bahwa di dalam kebudayaan nasional ternyata terdapat keanekaragaman budaya atau dalam suatu bangsa sering terdiri dari subkultur-subkultur. Kasus seperti ini akan dijumpai pula di negara Indonesia yang terdiri dari banyak etnis atau suku,sehingga kemungkinan akan muncul pluralitas budaya. Dalam beberapa hal,istilah ras,kultur,dan etnis telah digunakan secara tumpang tindih oleh para profesional. Johnson (1990) mengingatkan kategori pembicaraan yang ganda ini dan menghimbau bahwa istilah ini biasanya digunakan menyesuaikan dengan konteks.

Menghormati perbedaan dalam segala bentuk adalah penting sebagai landasan kerja dalam konseling. Tanpa pendirian seperti ini,kesejahteraan dari konseli terancam dan rasa hormat dan martabat yang seharusnya dimiliki setiap orang menjadi terabaikan. Bahkan perilaku negatif terhadap konseli karena usia, jenis kelamin, orientasi seksual, etnik,kerohanian, telah diketahui dapat berpengaruh buruk terhadap proses konseling.

Perspektif multikultural sebagai landasan kerja dalam praksis pelayanan konseling di Indonesia baik dalam setting sekolah maupun setting masyarakat luas merupakan suatu yang harus diwujudkan karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural. Isu utama yang harus diperhatikan para konselor yang menggunakan landasan multikultural dalam praksis pelayanan bimbingan dan konseling di Indonesia,terutama mereka yang memiliki sudut pandang emik, adalah dominannya teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Konselor dalam bekerja dengan konseli yang berbeda budaya, konselor harus ingat beberapa pertimbangan umum ketika bekerja dengan kelompok budaya tertentu.

Konselor penting sekali untuk selalu mengingatkan diri bahwa setiap individu yang dilayani, seperti halnya setiap sesi konseling, adalah unik. Besar kemungkinan bahwa lebih banyak perbedaan dalam kelompok-kelompok daripada perbedaan antar-kelompok ketika mengkonseling orang dari budaya tertentu. Pengetahuan tentang tradisi budaya untuk dapat memberi layanan konseling yang efektif. Konselor harus berusaha mengenali klien, masalah, dan diri mereka sendiri dengan seimbang.

URGENSI LANDASAN MULTIKULTURAL

DALAM PRAKSIS KONSELING

Konseling adalah sebuah aktivitas yang sederhana sekaligus kompleks. Konseling mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis,pencegahan dan pemecahan masalah. Tugas konseling adalah memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengeksplorasi,menemukan,dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu. Konseling didesain untuk menolong konseli memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan,dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka,dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (Burks dan Stefflre,1979:14).

Konseling identik dengan kehidupan. Konseling adalah kehidupan itu sendiri. Konseling adalah proses kehidupan dan bukan proses untuk mempersiapkan hidup. Hidup yang sewajarnya adalah hidup di mana manusia dapat mengembangkan diri dan mewujudkan diri sebagai mahluk individu, sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk beragama. Pendidikan adalah perwujudan diri (Wilds & Lottich,1961:246) ini berarti bahwa konseling sebagai bagian pendidikan juga berusaha untuk

membantu manusia untuk dapat

(16)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

11

dalam kehidupan. Konseling adalah upaya untuk

membantu individu-individu yang sedang dalam proses perkembangan untuk mencapai tugas perkembangannya sehingga akan menjadi manusia yang mandiri, berdaya dan berbudaya bangsa Indonesia. Tugas perkembangan adalah suatu tugas yang muncul pada atau kira-kira pada saat tertentu dalam jalan hidup individu, yang apabila tugas itu dapat dilaksanakan dengan berhasil akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas selanjutnya; sedangkan kegagalan

melaksanakannya menyebabkan

ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, membawakan penolakan masyarakat pada dirinya, dan kesulitan-kesulitan dalam melaksanakan tugas berikutnya (Havighurst,1961:2).

Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidupan masyarakat modern, masyarakat yang sedang berkembang dan masyarakat multikultural yang penuh dengan risiko dalam kehidupannya. Konseling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan bermasyarakat dimana individu-individu yang dilayani hidup dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya dan beragam budaya (multikultural). Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya, karena dalam proses konseling akan terjadi perjumpaan budaya antara budaya konselor dan budaya konseli. Namun, konsep maupun praksis mengenai konseling dan kebudayaan belum semuanya melihat keterkaitan yang organis antara konseling dan kebudayaan.

Konseling adalah proses pemberdayaan dan pembudayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakat. Konsekuensinya adalah proses konseling itu harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia. Terkandung makna disini bahwa melalui proses konseling diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika konseling ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia

menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka konseling harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Konselor perlu memahami manusia dalam segala hal aktualisasinya, kemungkinannya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi pada diri manusia.

(17)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

12

Kefektifan suatu konseling bergantung

pada banyak faktor, salah satu faktor yang terpenting adalah hubungan satu sama lain,dan saling mengerti antara konselor dan konseli. Hubungan seperti itu biasanya akan lebih mudah tercapai jika konselor dan konseli berasal dari budaya yang sama atau tidak asing dengan latar belakang masing-masing. Bagaimanapun juga,sangatlah penting bagi seorang konselor untuk peka terhadap latar belakang konseli dan kebutuhan khususnya. Jika tidak,konselor akan salah memahami dan membuat konseli frustasi,bahkan dapat menyakiti konseli. Memahami dan menghadapi keberagaman dan perbedaan budaya dengan positif,adalah masalah mengembangkan kesadaran diri dan mengembangkan kesadaran akan diri orang lain.Perbedaan antara konselor dengan konseli jangan sampai berpengaruh negatif terhadap proses konseling.

Istilah multikultural tidak saja merujuk pada kenyataan sosial-antropologis adanya pluralitas kelompok etnis,bahasa,dan agama yang berkembang di Indonesia,tetapi juga mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima keragaman budaya. Dengan kata lain,multikultural sulit tumbuh jika tidak ditopang oleh kualitas pendidikan yang baik. Mengingat keragaman itu merupakan fakta primordial,yang keberadaannya mendahului kelahiran seseorang yang secara sederhana disebut “takdir”,maka konselor ditunutut untuk menerima keragaman itu secara positif. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keyakinan agama yang menyatakan, seseorang terlahir dalam sebuah komunitas tertentu itu merupakan kehendak Tuhan,maka menyangkal keragaman warna kulit,budaya,dan agama sama halnya menyangkal kehendak Sang Pencipta.

Di Indonesia, juga pada tingkat global, konseling dan penyadaran paham multikultural amat urgen dilakukan bersamaan dengan derasnya arus globalisasi informasi dan mobilitas penduduk sehingga perjumpaan dengan orang lain (encounter with the others) semakin intens. Untuk bisa menghargai semua keragaman etnis,budaya, dan agama tentu diperlukan beberapa prasyarat. Pertama, secara

teologis-filosofis diperlukan kesadaran dan keyakinan bahwa setiap individu dan kelompok etnis itu unik,namun dalam keunikannya,masing-masing memiliki kebenaran dan kebaikan universal, hanya saja terbungkus dalam wadah budaya,bahasa,dan agama yang beragam dan bersifat lokal. Kedua,secara psikologis memerlukan pengkondisian terhadap orang lain atau kelompok berbeda. Cara paling mudah untuk menumbuhkan sikap demikian adalah melalui contoh keseharian yang ditampilkan orang tua, guru,konselor di sekolah dan pengajaran agama. Ketiga,desain kurikulum pendidikan,program konseling, dan kultur sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik mengalami secara langsung makna multikultural dengan panduan guru dan konselor yang memang sudah disiapkan secara matang. Keempat,pada tahap awal hendaknya diutamakan untuk mencari persamaan dan nilai-nilai universal dari keragaman budaya dan agama yang ada sehingga aspek-aspek yang dianggap sensitif dan mudah menimbulkan konflik tidak menjadi isu dominan. Kelima, dengan berbagai metode yang kreatif dan inovatif hendaknya nilai-nilai luhur Pancasila disegakan kembali dan ditanamkanpada peserta didik khususnya konseli agar sense of citizenship dari sebuah negara,bangsa semakin kuat.

Konselor harus ingat bahwa konseli adalah multikultural dalam perasaan dan pikiran (sense) mereka yang telah dipengaruhi oleh sedikitnya lima kultural. Agaknya orang-orang bukannya tinggal di satu kultur,tetapi hidup dalam lima kultur yang saling terjalin satu sama lain (Vontress,1986 ):

a. Universal : manusia di seluruh penjuru dunia ini secara biologis mirip;misal: pria dan wanita adalah mempu untuk memproduksi keturunan dan melindungi serta menjamin berlangsungnya keturunan.

b. Ekologis : lokasi atau tempat manusia di atas bumi menentukan bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan yang alami itu.

(18)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

13

d. Regional : manusia cenderung untuk

menempati suatu daerah,dengan begitu menciptakan kultur area-specific.

e. Racial-Ethnic : manusia mempunyai perbedaan kesukuan dan rasial tertentu;sehingga semua orang mencerminkan latar belakang kesukuan dan rasial mereka.

Lima kultur ini menurut

Vontress,membentuk kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi cara konseli mempersepsi permasalahan mereka,kemungkinan pemecahan masalah,dan proses konseling.

Fokus yang paling menonjol dari multikulturalisme adalah keunikan dan konsep kelompok yang terpisah yang menfasilitasi perhatian pada perbedaan individual (Locke,1998). Oleh karena itu,konseling multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling dimana konselor dan konselinya berbeda (Locke,1990:18). Perbedaan itu mungkin hasil dari sosialisasi lewat cara kultural yang unik,kejadian-kejadian hidup yang traumatis maupun yang menghasilkan perkembangan,atau produk dari dibesarkan dalam lingkungan etnik tertentu.

Kita menyadari bahwa hubungan antar budaya adalah suatu tantangan besar bagi manusia. Di dalamnya terdapat kepastian akan adanya perbedaan yang kadang menyakitkan terutama ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan,kepastian akan kemungkinan mengalami konflik,kepastian untuk mau bekerja keras belajar menerima perbedaan. Disisi lain tantangan tersebut sesungguhnya juga memberikan kesempatan besar bagi manusia untuk mengaktualisasikan potensi dan keunikan masing-masing. Kesempatan untuk menampilkan warna masing-masing budaya dan membuat lebih indah taman dunia dengan bunga budaya yang beraneka ragam dan warna budaya. Dalam kaitannya dengan profesi konseling,juga merupakan tantangan dan kesempatan bagi konselor untuk dapat memberikan pelayanan secara efektif dan bermartabat kepada konseli dengan keragaman budaya.Dengan demikian hubungan konseling tidaklah sederhana,sebab masing-masing konseli membawa latar belakang

historis dan budaya khusus yang mempunyai implikasi kuat untuk hasil konseling itu. Oleh karena itu,pemahaman tentang konseling multikultural sangat diperlukan.

Menurut Von-Tress (1988) konseling multikultural adalah konseling di mana konselor dan konselinya berbeda secara kultural oleh karena secara sosialisasi berbeda dalam memperoleh budayanya,subkultur,racial ethnic,atau lingkungan sosial-ekonomi. APA (Sue,dkk.,1982) menggambarkan konseling atau terapi antar budaya sebagai hubungan konseling di mana dua atau lebih peserta berkenaan dengan latar belakang budaya,nilai-nilai,dan gaya hidup (lifestyle). Oleh karena itu diperlukan kompetensi keragaman budaya bagi konselor untuk bekerja dengan konseli yang berlatar belakang budaya beragam. Konselor dituntut memiliki tingkat kesadaran,pengetahuan,dan keterampilan yang akurat dalam bekerja dengan individu dari latar belakang budaya yang berbeda.Konselor perlu dilatih untuk mendapatkan keefektifan di lebih akan usaha pendidikan dan latihan semacam ini mendesak karena setiap negara mempunyai identitas sendiri-sendiri.

Bila dilihat dalam konteks Indonesia ,identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengebangannya. Identitas nasional Indonesia bersumber dari nilai-nilai adat, budaya, bahasa, suku bangsa di wilayah nusantara,nilai-nilai ideologis,falsafah atau pandangan hidup bangsa,nilai-nilai historis yang dialami masa lampau, nilai-nilai religius dan sebagainya. Identitas nasional merupakan pandangan hidup bangsa,kepribadian bangsa,fisafat Pancasila dan juga sebagai ideologi negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia.

(19)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

14

Indonesia. Bagaimanakah keadaan kebudayaan

Indonesia? Lambang negara kita menggambarkan dengan jelas Bhineka Tunggal Ika. Kita adalah bineka, tetapi menjadi satu di dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam UUD 1945 dikemukakan bahwa kebudayaan Indonesia terdiri atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Memang demikian halnya dengan kebudayaan daerah yang bineka itu merupapakan kekuatan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Puncak-puncak atau hal-hal yang unik dan luar biasa nilainya bagi kesatuan bangsa dapat disumbangkan kepada kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional Indonesia juga merupakan suatu proses yang terus menerus menjadi dan dikembangkan, apalagi di dalam era globalisasi dewasa ini juga dapat dipetik hal-hal positif dari dunia global yang terbuka ( Tilaar, 2009).

Ki Hadjar Dewantara bukanlah seorang yang membenci atau menolak kebudayaan asing, tetapi beliau tetap bertolak dan berpegang pada kebudayaan Indonesia, yaitu kebudayaan etnis yang ditingkatkan menjadi milik bangsa Indonesia yang bersatu (KI Hadjar Dewantoro,1977:345). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Ketiga-tiganya tidak boleh dipisah-pisahkan, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,kehidupan dan penghidupan anak-anak didik selaras dengan dunianya. Dalam kerangka konsep Ki Hadjar Dewantara pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang, menyangkut daya cipta (kognitif),daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi

perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota

masyarakat yang berguna, dan

bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Sehubungan dengan hal tersebut, tuntutan terhadap pentingnya konseling keberagaman budaya (multikultural) di Indonesia sejalan dengan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara jelas mengakomodasikan nilai-nilai pancasila,nilai-nilai agama, kebudayaan, hak asasi manusia dan semangat multikultural. Bahkan,nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu prinsip

penyelenggraan pendidikan

(20)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

15

personal dan emosional,serta kematangan sosial.

Hasil konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan umumnya.

Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:

a. Suku Bangsa : golongan sosial yang khusus bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang tiga ratus dialek bahasa.

b. Agama : Bangsa Indonesia dikenal masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara

adalah agama

Islam,Kristen,Katolik,Hindu,Budha,dan Kong Hu Cu.

c. Kebudayaan: Pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakukan dan benda –benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.

d. Bahasa: Unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.

Dari unsur-unsur identitas nasional Indonesia yang menjadi pembentuk jati diri bangsa dikelompokkan menjadi tiga,yaitu:

1. Identitas fundamental,yaitu Pancasila yang merupakan filsafah bangsa,dasar negara,dan ideologi negara.

2. Identitas Instrumental,yaitu UUD 1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara,Bendera Negara,Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.

3. Identitas Alamiah,yaitu negara kepulauan yang pluralis dalam suku,bahasa,agama dan kepercayaan serta adat budaya, nilai

ideologis dan falsafah dalam proses berbangsa dan bernegara.

Identitas lainnya yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,yaitu:

1. Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (Pasal 35) Simbol warna bendera merah putih ini mencerminkan sikap dan perilaku bangsa Indonesia senantiasa menunjukkan kebenaran dan kesucian dalam membela kebenaran dan keadilan demi tegaknya NKRI. Dikibarkan pertama kali pada upacara proklamasi kemerdekaan RI Tanggal 17 Agustus 1945.

2. Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36). Pada tanggal 28 Oktober 1928 lahir sumpah pemuda,saat itu para pemuda-pemudi Indonesia beikrar bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional yang diharapkan dapat mengikat persatuan secara kokoh.

3. Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Pasal 36A).

4. Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 36B).

Keempat identitas tersebut merupakan identitas yang penting,karena merupakan jati diri atau identitas NKRI sebagai sarana pemersatu,dan wujud eksisten bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan

(21)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

16

yang alami,dan tidak perlu dilenyapkan,tetapi

dikelola agar tetap berada dalam persatuan,seperti indahnya warna-warni pelangi di angkasa.

Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan atau motto bangsa Indonesia yang terdapat dalam Lambang Negara “Burung Garuda”. Bhineka Tunggal Ika menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen,bangsa yang mempunyai keanekaragaman,baik dalam aspek agama,budaya,maupun ras dan suku bangsa. Kebhinekaan adalah sifat nyata bangsa Indonesia yang membanggakan,namun sekaligus sering menimbulkan keprihatinan. Karena mengatur masyarakat heterogen jauh lebih sulit dibandingkan mengatur masyarakat yang homogen.

Keragaman ras dan suku bangsa Indonesia yang hidup berserak pada ribuan pulau melahirkan adat budaya yang sangat beragam. Sehingga Indonesia memang berciri multibudaya atau multikultur. Ciri ini merupakan ciri lahir bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Ciri manusia beragam budaya (multibudaya) adalah manusia yang berpikir,bersikap dan berperilaku yang menghargai,menghormati dan mampui berkomunikasi dengan sesamanya dan hidup damai dalam masyarakat multibudaya.

Dengan demikian ciri khas (karakter) bangsa Indonesia yaitu berkarakter bangsa yang ber-bhineka tunggal ika atau manusia antar budaya,bangsa yang majemuk sebagai ciri warga negara Indonesia,yaitu:

a. Memiliki pengetahuan,sikap dan perilaku yang tidak terbatas pada budaya tertentu. b. Dapat hidup dalam masyarakat majemuk

yang memiliki keragaman budaya.

c. Menghargai dan menghormati budaya yang beraneka ragam.

d. Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

e. Mencintai sesama

manusia,keluarga,masyarakat,bangsa,dan tanah airnya.

f. Menghormati sesama warga negara tanpa membedakan latar belakang sosial dan budayanya.

g. Dapat hidup bersama dalam masyarakat

majemuk yang berbeda

budaya,etnik,agama,istiadat dan sebagainya.

h. Tolerasi keagamaan,menerima dan menghormati adanya beragam agama dan kepercayaan. Karena kebutuhan ber Tuhan ada pada setiap manusia dengan cara penyembahan yang berbeda.

Jika kita melihat kondisi Indonesia yang masyarakat multikultural dan masyarakat berkembang dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern maka sudah selayaknyalah wawasan multikultural dan wawasan modern diterapkan dalam dunia konseling di Indonesia, Wawasan multikultural dan wawasan modern sangat penting bagi konselor,agar dapat memberikan pelayanan konseling secara efektif kepada semua sasaran layanan yang berada dalam masyarakat multikultural dan masyarakat modern. Memahami pengaruh nilai budaya, pengaruh nilai modernisasi, keyakinan, perilaku dan hal-hal lain terhadap klien jelas penting ketika konselor dan klien dari latar belakang budaya berbeda berusaha membangun hubungan dan memahami satu sama lain. Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu melayani individu-individu dalam masyarakat multikulutral dan masyarakat modern.

MULTIKULTURAL DALAM PRAKSIS

KONSELING DI SEKOLAH

(22)

(self-Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

17

determination) mereka melalui pilihan yang telah

diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka,dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (Burks dan Stefflre,1979:14).

Keefektifan seorang konselor dan sebuah konseling ditentukan oleh (a) kepribadian dan latar belakang konselor; (b) pendidikan formal yang didapat oleh konselor; dan (c) kemampuan konselor untuk terlibat dalam kegiatan konseling profesional seperti melanjutkan pendidikan, supervisi, advokasi, dan membangun portofolio (Glading,2009). Konselor dan proses konseling mempunyai efek yang dinamis terhadap orang lain; kalau tidak bermanfaat, kemungkinan besar justru memberikan dampak yang tidak diinginkan (Carkhuff,1969; Ellis,1984; Mays & Franks,1980).

Kefektifan suatu konseling bergantung pada banyak faktor,salah satu faktor yang terpenting adalah hubungan satu sama lain,dan saling mengerti antara konselor dan konseli. Hubungan seperti itu biasanya akan lebih mudah tercapai jika konselor dan konseli berasal dari budaya yang sama atau tidak asing dengan latar belakang masing-masing. Bagaimanapun juga,sangatlah penting bagi seorang konselor untuk peka terhadap latar belakang konseli dan kebutuhan khususnya. Jika tidak,konselor akan salah memahami dan membuat konseli frustasi, bahkan dapat menyakiti konseli. Memahami dan menghadapi keberagaman dan perbedaan budaya dengan positif,adalah masalah mengembangkan kesadaran diri dan mengembangkan kesadaran akan diri orang lain. Perbedaan antara konselor dengan konseli jangan sampai berpengaruh negatif terhadap proses konseling.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural dan masyarakat berkembang yang berada dalam masa transisi dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mengakui adanya pluralisme budaya yang perlu dipelihara sebagai khasanah kekayaan kebudayaan ummat manusia. Karena ada pengakuan,maka kebudayaan yang beragam itu hidup sejajar dalam harmoni dan toleransi.

Sekalipun selalu ada yang menjadi “budaya utama” atau budaya mayoritas yang menjadi mainstream dalam suatu komunitas, keberagaman

budaya memastikan adanya hak

hidup,pengakuan,dan bahkan

pengertian,harmoni,dan perdamaian;bukan konflik! Perspektif keberagaman budaya ini berbeda dengan “paradigma peradaban” yang dikemukakan oleh Samuel P.Huntington (1999) yang melihat masa depan akan diliputi oleh benturan antar peradaban.

Pendekatan penting dalam pelayanan konseling multikultural adalah fokus pada hubungan antara persoalan personal dan realitas sosial/politik. Di sini konseli tidak hanya dipahami dalam terminologi psikologis murni,tapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah budaya. Perasaan,pengalaman,dan identitas dari konseli dipandang dibentuk oleh lingklungan budaya. Ramirez (1991) berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling multikultural adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat mulikultural. Dia menyatakan bahwa tujuan utama dalam menghadapi konseli dari berbagai kelompok etnis adalah mengembangkan “fleksibelitas kultural”.Ramirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota kelompok kultur yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil oleh Ramirez (1991) menggunakan penyesuaian gaya dan pemahaman kultural konseli oleh konselor di pertemuan awal,kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku kultural. Jelas pendekatan ini menuntut fleksibelitas kultural dan kesadaran diri tingkat tinggi dalam diri konselor.

Pelayanan konseling bertugas melayani individu-individu normal yang sedang dalam proses memperkembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan yang dijalaninya. Perkembangan individu itu secara dinamik terkait dengan lingkungan dan budaya sekitarnya. Konseling yang kehirauan utamanya dipusatkan pada

(23)

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

18

manusia,mendasarkan pada pencapaian

tujuannya melalui interaksi konselor dan individu yang kondusif. Interaksi tersebut harus diletakan dalam konteks budaya Indonesia, sehingga pendekatan konselor terhadap individu (konseli) dapat dipertanggungjawabkan. Bagi konselor Indonesia,pelayanan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia yang dilandasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa penyelenggaraan pelayanan konseling harus dilandasi oleh dan mempertimbangkan keberagaman budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju, yaitu masyarakat modern.

Konseli-konseli yang berlatar belakang sosial budaya yang berbhineka itu tidak dapat disamaratakan dalam memberikan pelayanan konseling. Meskipun bangsa Indonesia sedang menuju pada satu budaya kesatuan bangsa Indonesia,tetapi akar budaya asli yang sekarang masih patut dikenali,dihargai,dan dijadikan pertimbangan utama dalam pelayanan konseling. Masyarakat Indonesia bersifat multi-etnik,karena itu konselor menghadapi individu-individu dengan berbagai latar belakang budayanya,dan dengan berbagai kebutuhan dan masalahnya yang kemungkinan besar bermuatan budaya.

Di dalam proses konseling konselor maupun konseli membawa serta karakteritik-karakteristik psikologinya,seperti kecerdasan,bakat,minat,sikap, motivasi, kehendak,dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Sejauh ini, di Indonesia banyak perhatian diberikan terhadap aspek-aspek psikologis tersebut (terutama pada pihak konseli),dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun konseli yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling.

Misalnya, etnik,afiliasi

kelompok,keyakinan,nilai-nilai,norma-norma,kebiasaan,bahasa verbal maupun non verbal, dan termasuk bias-bias yang dibawa dari

budayanya. Semakin banyak kesesuaian antara konselor dan konseli dalam psikologis dan sosial budaya akan semakin besar kemungkinan konseling berjalan efektif,dan demikian juga sebaliknya.

Dipandang dari perspektif budaya, situasi konseling adalah sebuah “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dengan konseli. Sundberg (1981:305) melukiskan konseling sebagai “a cultural solution to personal problem solving”. Dalam konseling terjadi proses belajar,transferensi dan kaunter-transferensi,serta saling menilai. Pada keduanya juga terjadi saling menarik inferensi. Bukan hanya konselor yang menarik inferensi,melainkan juga sebaliknya. Dari segi konselor,ketepatan inferensi yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling tergantung pada kemampuan pemahaman secara utuh terhadap konseli. Dari segi konseli, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya. Masalah timbul manakala ada inkongruensi antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi inferensi kedua belah pihak,dan sumber terjadinya distorsi yang sangat besar adalah ketidakpekaan konselo terhadap latar belakang budaya konseli. Penguasaan konselor atas teori-teori dan teknik-teknik konseling yang standar saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya distorsi dan mengatasi kecenderungan orientasi pseudoetik pada konselor.

Gambar

Gambar 2. Model Pencarian Bantuan (Cramer, 1999)
Tabel 1. Deskripsi Hasil Berdasarkan Keseluruhan Skor Responden
Gambar 1.
Gambar 1
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperkirakan perubahan proses bisnis yang terjadi akibat adanya e-commerce ini saya akan melakukan penelitian pada sebuah perusahaan manufaktur yang bergerak

/// AccelStepper significantly improves on the standard Arduino Stepper library in several ways: /// \li Supports acceleration and deceleration /// \li Supports multiple

Tindakan pembedahan telah berhasil dilakukan dengan anestesi umum dengan memfokuskan pada prinsip-prinsip yang berlaku untuk pasien usia lanjut dan sesuai dengan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan profil teks anekdot yang terdapat dalam buku teks SMA. 2) Mendeskripsikan profil

Paduan Menjadi Sekertaris Profesional.Trans Media Pustaka.. Rumsari

Hasil karakterisasi kulit batang lantung terlapis pati talas yang direndam dalam air secara umum menunjukan hasil yang sama dengan hasil uji tarik sampel yang tanpa

Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan penelitian untuk mengetahui efek infusa bunga rosella terhadap penurunan kadar Serum Glutamate Piruvat

pemahaman konsep matematika siswa kelas VIII MTs Negeri Ngantru.. Prosedur pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah meminta ijin.. kepala sekolah MTs Negeri Ngantru