Info Artikel
_________________
Keywords: Sekolah, kultural, bimbingan dan konseling
____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Sekolah tidak boleh membedakan kepentingan dan keutamaan terhadap suku , ras, agama dan golongan, sebab sekolah dijadikan dan menjadikan dirinya wadah baru yang meleburkan nilai-nilai suku bangsa asal. Proses kultural dalam pendidikan terjadi karena pertemuan individu yang membawa budayanya masing-masing, sehingga pendidikan akan berhadapan dengan pluralisme dan multikultural.
Basis dan proses kultural diyakini mampu mencegah disintegrasi bangsa, berbeda dengan pendidikan yang lebih menekankan proses kompetisi individual . Proses kultural terjadi karena secara riil Indonesia memiliki keragamnya siswa yang berasal dari berbagai bahasa, sosial, budaya, agama, dan kemampuan ekonomi.
Pada kenyataannya sikap primordialisme dan etnosentrisme yang ada pada siswa justru sering dominan di sekolah sehingga menyebabkan terjadinya konflik. Untuk itulah perlunya belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Kultur sekolah bila tercipta akan nyaman bagi siswa, orang tua, guru, dan masyarakat sebab kultur inklusi melibatkan semua tanpa memandang perbedaan, meningkatkan kerjasama, dan peka budaya dengan menghargai realitas kehidupan. Realitas kehidupan siswa dari berbagai lintas budaya tersebut menunjukkan perlunya tindakan untuk mengakomodir berbagai lintas budaya.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi:
Gedung A2 Lantai 1 FIP Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
180
PENDAHULUAN
Sekolah adalah masyarakat kecil yang terdiri dari berbagai latar belakang yang beragam. Beragamnya latar belakang siswa adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Siswa berasal dari berbagai latar sosial, ekonomi, suku, ras, dan budaya yang berbeda menyatu dalam sebuah lembaga yang dinamakan sekolah, yang mengakibatkan warga di dalamnya terlibat hubungan-hubungan sosial.
Dari pemahaman ini mengisyaratkan pendidikan sebagai suatu gejala sosial, artinya dalam pendidikan akan bertemu antara siswa dengan siswa, guru dengan guru yang berlatar belakang dari berbagai lapisan masyarakat. Proses bertemunya antar individu ini pula akan terjadi akulturasi yang mengandung konteks budaya dan akan terjadi relasi yang harmonis. Relasi antar-siswa, antar-guru, dan antar pihak- pihak terkait dalam pendidikan khususnya di sekolah merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan karena akan memberikan dampak psikologis terutama dalam hubungan dialogis di antara mereka.
Wacanana-wacana dialogis memiliki kuantitas dan kualitas hubungan yang tidak dibatasi oleh rang dan waktu. Prinsip-prinsip dialogis, dengan kualitas impersonal seperti ikatan empati, identifikasi diri, saling pengertian, dan mengambil peranan orang lain, dianggap
sebagai konsep yang penting dalam
interaksionisme simbolis dan dengan sendirinya tidak bisa dijelaskan secara keseluruhan oleh perspektif mekanis dan biologis, dan bahkan juga psikologis. Struktur dialogis berakar dalam kehidupan sehari-hari artinya hubungan- hubungan sosial selalu didasarkan atas signifikasi proses-proses interaksi. Manusia selalu berbicara dalam kondisi dialogis dan polifoni. Dalam kehidupan sehari-hari cirri-ciri dialogis ditandai oleh aktivitas bertanya, mendengar, menjawab, mengobjektivasikan, dan menginternalisasikan, yang terjadi dalm sirkulasi yang konstan.
Kehidupan di sekolah yang diawali dari interaksi sosial antar kelompok yang berbeda sering dihinggapi semangat superioritas yang
berlebihan. Yakni semangat yang menilai bahwa kelompoknya (insider) adalah kelompok yang paling sempurna (perfecness), sementara kelompok lain (outsider) tidak lain hanyalah sebagai pelengkap (complementer) dalam dimensi kehidupan di sekolah. Pada akhirnya muncul sikap bahwa outsider adalah kelompok kedua yang dipandang kurang berarti hingga menjadi bahan ejekan, dilecehkan dan dihina. Puncak dari semangat egosentirsme, etnosentrisme, dan chauvinisme tersebut adalah klaim kebenaran (truth claim), dari sinilah muncul sikap narsisme. Sikap narsisme bisa juga muncul karena faktor ekonomi, ada yang berlatar ekonomi kuat, sedang, dan lemah.
Kelompok ekonomi yang tercukupi (kaya) membentuk komunitas yang selalu mengikuti trend baik dalam berpakaian maupun dalam penampilan sehingga memprioritaskan diri untuk menjaga image (gengsi). Dengan adanya pengelompokan anak-anak yang setingkat lebih tinggi ekonominya, menyebabkan anak- anak yang berada di kalangan ekonomi bawah
merasa terasingkan, dan mereka pun
mengelompok untuk membentuk suatu
komunitas sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, di samping komunikasi sosial, juga dikenal secara luas teknologi dan elektronik, termasuk berbagai keterampilan praktis, yaitu hubungan-hubungan dengan tulis menulis dan kemampuan bicara (Ranjabar,2013). Bahasa sebagai sarana komunikasi, bahasa sebagai institusi, di satu pihak mengandaikan fungsi dan kondisinya sebagai salah satu factor dalam menopang stabilitas struktur social, sekaligus memelihara konvensi dan tradisi sosiokultural baik secara structural maupun horizontal. Pada kenyataan komunikasi yang sudah canggih dengan muncul handphone android sudah bergeser fungsi yang sebenarnya. Dari kecanggihan teknologi ini memunculkan komunitas jejaring sospial, kelompok ini adalh mereka yang menggunakan twitter, BBM, ataupun face book. Keikutsertaan anak dalam komunitas jejaring sosial merupakan sarana untuk mengekspresikan diri, sarana mendapatkan popularitas, pengakuan eksistensi diri dari teman sebaya, dan merupakan wahana
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
181
membentuk gaya hidup tertentu. Gaya hidup yang sudah membudaya dan membatasi komunikasi hanya bagi mereka yang hanya mereka yang memiliki handphone canggih saja yang masuk dalam komunitas sebagai gaya hidup atau budaya baru di sekolah.
Gaya hidup anak di sekolah tidak selalu ditunjukkan dengan barang tetapi ada juga yang
membentuk kelompok yang merasa
kelompoknya “berkuasa” di sekolah. Kelompok ini mereka yang suka menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. Tindak kekerasan pun kadang berawal dari permasalahan sepele, misalnya berawal dari segala sesuatu yang berbeda dapat menjadi sebuah pemicu terjadi bulling.
Perbedaan di sini bisa saja karena beda pendapat, beda warna kulit, bentuk tubuh, gaya bahasa, bentuk rambut, perbedaan aksen atau hal-hal yang berkaitan dengan orang tua yang memiliki masalah, seringkali menjadikan sebagai bahan olokan atau bullying verbal. Perbedaan budaya juga akan dapat menimbulkan stres akulturatif sebagai "tanggapan oleh orang-orang untuk peristiwa kehidupan yang berakar pada
kontak antar budaya”. Stress akulturasi
merupakan suatu fenomena yang muncul ketika kelompok individu yang berbeda budaya
melakukan kontak yang mengakibatkan
perubahan pada budaya asal salah satu kelompok atau keduanya.
Beda budaya disekolah juga dapat
memunculkan sikap narsisme (sikap
membanggakan atau mengunggulkan diri) yang muncul dari egosentrisme, etnosentrisme dan chauvinisme yang akhirnya akan memunculkan sikap dirinya atau kelompoknya yang paling sempurna. Dari sikap ini muncul kelompok- kelompok superior dan kelompok inferior yang menganggap satu kelompok budaya tertentu lebih unggul dibandingkan dengan kelompok budaya lain. Perilaku semacam ini bila tidak ditangani akan menimbulkan sikap permusuhan, gap, culture shock, withdrawl, dan perpecahan di antara siswa.
Pada akhirya ada kelompok-kelompok yang eksis, superior, menguasai, dan membentuk “in group felling” yang kuat dan
mereka yang di luar kelompok adalah out-grup atau kelompok yang tidak eksis. Mereka yang tidak eksis inilah yang kemungkinan akan mengalami stress akulturasi akibat tidak mampu beradaptasi dengan siswa-siswa lainnya, atau mereka akan mengalami shock culture. Pengelompokan siswa yang ada telah mengarah
pada kesenjangan sosial, yang dapat
menghancurkan nilai-nilai tertentu yang dihidupi bersama di sekolah, dan mencederai konsep kultur sekolah.
PEMBAHASAN
Dilema psikologis yang dihadapi guru tidak hanya dalam kaitan dengan siswa, namun juga dengan pihak lain seperti orang tua, kepala sekolah, keluarga, dan birokrasi pendidikan dengan tuntuan. Guru masih berhadapan dengan tantangan yang bersifat sosial, ekonomi, cultural, dan bahkan politik. Guru dituntut berperilaku ideal, normatif namun berbagai kendala ekonomis membuat mereka berada dalam situasi konflik. Kondisis keluarga seperti tuntuan kebutuhan hidup yang makin menambah panjangnya dilema psikologis (Surya, 2013).
Pendidikan tidak terjadi dalam vakum tetapi terlaksana di dalam suatu kehidupan yang berbudaya yang dimiliki suatu masyarakat (Mastuhu,200). Kepribadian seseorang terbentuk karena nilai-nilai budya dimana seseorang itu dilahirkan, dibesarkan dan dididik. Ralph Linton (Mastuhu,2004) mengupas mengenai latar belakang kebudayaan dari terbentuknya kepribadian manusia. Tanpa kebudayaan tidak mungkin lahir suatu kepribadian. Oleh sebab itu proses pendidikan tidak bisa lain dari proses pembudayaan. Dari nilai-nilai kebudayaan yang terwujud di dalam kehidupan keluarga, masyarakat lokal, masyarakat nasional, dan seterusnya ke dalam kehidupan masyarakat dunia semua terwujud di dalam nilai-nilai yang hidup di dalam lingkungan kemanusiaan yang semakin meluas. Pendidikan bukan semata-mata mentransformasikan nilai-nilai univeral tetapi juga nilai-nilali partikular atau yang khusus, yang hidup di dalam suatu masyarakat yang konkret. Bukan tanpa pengenalan nilai-nilai khusus
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
182
tersebut tidak mungkin seseorang menggapai nilai-nilai yang lebih abstrak atau nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam suatu masyarakat yang multi etnis misalnya tidak mungkin seorang peserta didik secara langsung dapat dilepaskan di dalam kebudayaan mayoritas. Pengalaman- pengalaman pendidikan akan berhasil apabila bertitik tolak dari nilai-nilai budaya asal yang secara bertahap memasuki nilai-nilai yang dimiliki oleh masysrakat yang lebih luas.
Pendidikan selama ini direduksi sebagai proses untuk lulus Ujian Nasional saja, tetapi tidak dicetak dan tidak diarahkan untuk membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab. Kebanggan berlebihan dari orang tua hanyalah ketika anaknya lulus dengan nilai tinggi dan bisa meneruskan ke jenjang sekolah yang favorit. Kebanggaan yang sudah melupakan aspek-aspek normative, psikomotor, afeksi, tetapi hanya semata-mata kognitif sebagai ukuran. Tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi juga menjadikan manusia yang berbudaya (dedicated and civilized human being). Dengan demikian proses pendidikan kita dapat dirumuskan menjadi proses hominisasi dan humanisasi seorang yang berlangsung di lingkungan hidup keluarga dan masysrakat yang berbudaya, kini dan masa depan (Tilar,2010).
Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan atau institutionalization (pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, system norma dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarganya kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula dengan ,meniru berbagai macam tinakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiannya, maka tindakan itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan (Ranjabar, 2013). Dari kebiiasaan ini akan tertanam pada perilaku anak baik di lingkungan masyarakat
ataupun di lingkungan sekolah. Anak akan merasa hormat pada guru, kepala sekolah, dan karyawan lain di sekolah. Anak akan membiasakan mengucap salam, berjabat tangan, mengahrgai pendapat orang lain, membuang sampah pada tempatnya yang akhirnya tercipta kultur yang nyaman. Begitu pula di sekolah diajarkan dan ditanamkan melalui semua mata pelajaran akan arti pentingya kultur yang baik sehingga masyarakat mendapat manfaat dari sekolah.
Menurut Pidarta (2014) manfaat sekolah atau pendidikan bagi masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan sebagai transmisi budaya dan pelesatari budaya
2. Sekolah sebagai pusat budaya bagi masyarakat
3. Sekolah mengmebangkan kepribadian anak di samping oleh keluarga sendiri.
4. Pendidikan membuat orang menjadi warga Negara yang baik, tahu akan kewajiban dan haknya.
5. Pendidikan meningkatkan integrasi social atau kemampuan bermasyarakat.
6. Pendidikan meningkatkan kamampuan
menganalisis secara kritis, melalui pengajaran ilmu, teknologi, dan kesenian. 7. Sekolah meningkatkan alat control social
dengan member pendidikan agama dan budi pekerti.
8. Sekolah membantu memecahkan masalah- masalah sosial.
9. Pendidikan adalah sebagai perubah social melalui kebudayaan-kebudayaan yang baru. 10. Pendidikan berfungsi sebagai seleksi dan
alokasi tenaga kerja.
11. Pendidikakn dapat meodifikasi hierarki ekonomi masyarakat.
Dikuatkan Nursyam (dalam Sudrajat, 2004), setidak ada tiga budaya yang perlu dikembangkan di sekolah, yaitu budaya akademik, budaya nasional serta lokal, dan budaya demokratis. Ketiga kultur ini harus menjadi prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah. Beberapa hal terkait ketiga budaya sekolah tersebut adalah ;
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
183
Pertama, budaya akademik. Kultur
akademik memiliki ciri pda setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik yang kuat, artinya merujuk pada teori, dasar hokum, dan nilai kebenaran yang teruji, bukan pada popularitas semata atau sangkaan yang tidak memiliki dasar empiric yang kuat. Kultur akdemik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak kearifan alam bersikap, serta kepiawian dalam berpikir dan berargumentasi.
Kedua, budaya nasional dan lokal. Budaya nasional tercermin pada pengembamgan sekolah
yang memeilihara, membangun, dan
mengembangkan budaya bangsa yang poisitif
dalam kerangka pembangunan manusia
seutuhnya. Sekolah menjadi benteng pertahanan terkikisnya budaya akibat gencarnya serangan budaya asing yang tidak relevan seperti budaya hedonism, individualism, dan materialism. Jika dunia luar melalui entertaintment dan advertisement sangat gencar menawarkan konsumerisme dan matmerialisme semata, sekolah secara konsisten dan persisten menanamkan nilali-nilai transedental rela berkorban dan ikhlas beramal. Di sisi lain sekolah terus mengembangkan seni tradisi yang berakar pada budaya lokal yang dikreasi untuk dikemas secara modern dengan tetap mempertahankan keaslliannya.
Ketiga, budaya demokratis. Kultur
demokratis menampilkan corak berkehidupan yang mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun kemajuan. Kultur ini jauh dari pola tindakan diskriminatif dan otoriatrianosme serta sikap mengabdi atasan secara membabi buta. Warga sekolah bertindak objektif , trasnsparan, dan bertanggungjawab.
Perilaku siswa di sekolah tidak pernah lepas dari nilai-nilai yang ditanamkan dalam dirinya . Sosiologi berpandangan bahwa perilaku itu tidak bebas, melainkan mengikuti pola yang kontinu dan pola itu yang sebagai pengaturan perilaku adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat. Jadi, setiap orang sadar atau tidak sadar dalam berperilaku ditentukan oleh nilai- nilai yang dianutnya atau yang dianut oleh kelompoknya. Perilaku atau hubungan social
manusia selalu bertalian dengan nilai-nilai. Nilai adalah gabungaan semua unsure kebudayaan yang dianggap baik/buruk dalam suatu masyarakat, karena itu pula masyarakat mendorong dan mengharuskan warganya untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang dianggap ideal itu (Ranjabar, 2013).
Beberapa nilai budaya yang cenderung mempengaruhi tingkat social budaya bangsa, disebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Budaya santai akibat pengaruh alam dan lingkungan tidak mendorong terwujudnya etos kerja yang menghargai waktu, ketelitian, ketekunan, kesabaran dalam usaha, dan ketabahan dalam mengalami kesulitan.
2. Daya serap dan persepsi warga masyarakat terhadap budaya asing yang tingkat kemajuannya menunjukkan dorongan bagi masyarkat.
3. Kecenderungan tetap mempertahankan nilai budaya feodal, yaitu mentalitas priyayi dan orientasi kepada status yang mementingkan gelar daripada kualitas manusia dan yang menghambat daya kreativitas serta kemampuan pribadi yang amat diperlukan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Nilai budaya yang merugikan orang lain atas dasar senioritas belaka atau pengkat. Sikap ini bertentangan dengan nilai keterbukaan dan kebenaran objekktif.
Beberapa nilai budaya yang bersifat dinamik dan cenderung mempengaruhi tingkat sosial budaya, antara lain sebagai berikut :
1. Bidang agama. Sikap dan tingkah laku para penyelenggara negara dalam menghadapi kecenderungan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di satu pihak dan umat beragama di lain pihak dapat mempengaruhi tingkat ketahanan bangsa. Kerukunan umat beragama masih dijadikan isu terbatas di beberapa daerah tertentu,
namun perwujudan tanggung jawab
bersama dalam pembangunan tumbuh
berkembang sesuai dengan yang
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
184
2. Bidang pendidikan. Tantangan dalam
bidang pendidikan terletak pada
kemampuan pemerintah untuk
mengembangkan suatu sistem pendidikan beserta sarana dan prasaran. Di samping itu, peningkatan kualitas terhadap pendidikan merupakan masalah yang mendesak yang
harus diselesaikan, juga perlu
mengembangkan kehidupan di kampus yang mapan, sebagi pendukung utama dalam pengembangan nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,.
3. Bidang komunikasi social. Dalam era
masyarakat informasi terdpat
kecenderungan semakin kuatnya
menghindarkan pengaruh asing di tanah air, di samping semakin banyak arus wisatawan yang berkunjung sehingga memerlukan perhatian khusus terhadap pelestarian budaya nasional, serta kepribadian bangsa. 4. Bidang ilmu pengetahuan., teknologi dan
penelitian. Tantangan cenderung terletak pada kemampuan pemilihan, penguasaan dan pemanfaatn teknolgi yang datang dari luar negeri. Langkanya kemampuan sumber daya manusia berkualitas merupakan salah satu hambatan untuk dapat mempercepat proses nilai tambah bagi pengelolaan sumber daya alam dan upaya memperluas kesempatan kerja yang memerlukan tenaga- tenaga professional yang siap pakai. 5. Bidang kesehatan. Meningkatnya kesadaran
kesehatan membawa akibat tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan
kesehatan. Meningkatnya penyakit
degenerative dan menigkatnya harapan hidup membawa akibat biaya kesehatan tinggi, yang akan cenderung membawa masalah social.
Metode mengajar yang dipergunakan oleh guru merupakan unsur yang penting bagi perwujudan perilaku siswa. Oleh karena itu, pembelajaran dengan menggunakan metode dan media secara tepat dan variasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi. Pemilihan dan penggunaan media mengajar seyogianya memperhatikan factor-faktor: karakteristik siswa, perkembangan siswa, materi pelajaran, tuntutan
lingkungan, saran dan lain-lain. Dalam proses belajar mengajar akan terjadi interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Pola-pola interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran akan bervariasi tergantung pada situasi baik internal maupun eksternal. Sekurang-kurangnya ada empat pola interaksi yang dapat terjadi: yaitu (1) interaksi individual- individual, (2) interaksi individual-kelompok, (3) interaksi kelompok-individual, dan (4) interaksi kelompok-kelompok
Pendidikan yang manusiawi meletakkan proses belajar-pembelajaraan lebih pada pengembangan berbagai potensi manusia secara seimbang-kinerja otak dan emosi- melalui konsep pembelajaran konstruktif, aktif, kreatif-inovatif, dan mneyenangkan. Pendekatan ini lebih meletakkan peserta didik sebagai actor atau subyek yang secara aktif mencari dan
membangun pengetahuan bukan sekedar
penerima/diberi pengetahuan; memampukan peserta didik untuk mengolah dan menggunakan
pengetahuanya untuk diabdikan pada
pengembangan peradaban manusia dan
perikehidupan bersama; dan belajar ,melalui beragam aktivitas yang mengasyikkan yang berlangsung dalam suasana hati/emosi (dan aspek-aspek afeksi lainnya) yang gembira. Dengan demikian, pintu masuk untuk memperoleh informasi baru (pengetahuan) akan lebih lebar dan hasilnya akan terekam dengan baik. Kehadiran pelayanan BK dalam konteks pendidikan yang manusia dapat memandu sikap/perilaku guru untuk lebih menghargai peserta didik sebagai individu yang bebas memilih dan mengolah pilihan-pilihan hidupnya sendiri (Barus dan Hastuti,2011)
Program bimbingan akan berjalan secara efektif apabila didukung oleh semua pihak, yang dalam hal ini khususnya para guru mata pelajaran. Onselor berkolaborasi dengan guru dalam rangka memperoleh informasi tentang peserta didik (prestasi dan pribadinya), dan mengientifikasi aspek-aspek yang terkait degan peranan guru matapelajaran dalam pemberian layanan bimbingan kepada peserta didik. Aspek- aspek itu diantaranya : (a) menciptakan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi belajar
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
185
pesrta didik; (b) memahami karakteristik peserta didik yang unik dan beragam; (c) menandai peserta didik yang diduga bermasalah; (d) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar melalui program remedial teaching ; (e) mereferal (mengalihtangankan) peserta didik yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru bimbingan dan konseling; (f) memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja yang diminati peserta didik; (g) memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan sehingga dapat memberikan informasi yang luas kepada peserta didik tantang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja, suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja); (h) menampilkan pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual (hal ini penting karena guru merupakan “figure
central” bagi peserta didik); dan (i) memberikan
infromasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara efektif.
Kartadinata (2014) menyatakan bahwa diperlukan reformulasi paradigma bimbingan dan konseling yang mengedepankan oreintasi
kolaboratif, dalam upaya mewujudkan
pembelajaran yang menumbuhkan hard skills dan soft skills secara terpadu, memandirikan peserta didik dalam menavigasi kehidupan da pengembangan kariir, dan mewujudkan fungsi outreach untuk membangun daya dukung lingkungan lingkungan perkembangan peseta didik.
PENUTUP
Budaya sekolah akan membangun
komitmen dan identifikasi dengan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Nilai-nilai dan norma berrati kaidah-kaidah yang menjadi tolok ukur dalam menilai perilaku social yang merupakan manifestasi pikiran, perasaan, dan sikap individu sebagai bagian atau mewakili klompok social, yang berlangsung dalam suatu situasi sosial berdasarkan strukutur sosio kultural ada kelompok social masing-masing. Nilai-nilai dan norma di dalam sturktur sosio kultural dikonkritkan menjadi filsafat/pandangan hidup,
dan ideologi. Budaya juga merupakan realitas hidup dan eksistensi insan manusia.
Iklim atau budaya sekolah dapat diciptakan secara sengaja, walaupun dapat juga berkembang secara kebetulan. Ada sekolah yang memiliki iklim akademis yang kuat, iklim disiplin, iklim seni, iklim karakter, iklim