Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
KAJIAN LITERATUR
Kompetensi Kesadaran Multikultural Konselor
Istilah wawasan lintas budaya dapat
digunakan secara simultan dengan istilah – istilah
lain, seperti : multi-kultural, antar budaya, inter- kultural, silang-budaya, cross cultural, trans- kultural, cuonseling across-cultural (Dedi, S. 20015). Pedersen (1991) mengutip pendapat Brislin (1990), yang menyebutkan bahwa ada tujuh aspek budaya pada diri individu, yaitu: (1) bagian jalan hidup yang digunakan orang, (2) gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi, (3) pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi, (4) sosialisasi anak- anak ke kedewasaan, (5) pola-pola konsep dan tindak secara konsisten, (6) pola-pola budaya dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, dan (7) rasa tidak berdaya atau kebingungan menakala terjadi perubahan pola-pola budaya.
Konseling berwawasan lintas budaya
sekarang menjadi begitu penting, ketika
perjumpaan budaya dalam masyarakat global menjadi semakin terbuka dan hampir tanpa batas. Konseling berwawasan lintas-budaya merupakan layanan bantuan kepada konseli
dengan memperhatikan latar budayanya.
Hubungan konselor-konseli pada dasarnya merupakan hubungan dua orang yang memiliki keberbedaan budaya. Perhatian terhadap latar
budaya konseli penting untuk dilakukan
mengingat faktor budaya memiliki kontribusi terhadap pelaksanaan konseling. Latar budaya
yang mempribadi dalam diri konseli
merefleksikan cara pandang konseli terhadap masalah dan tingkah laku aktual dalam menghadapi masalah. Pelaksanaan konseling dipangaruhi oleh beragam entitas. Salah satu entitas di maksud adalah faktor budaya. Faktor
budaya tersebut imerge dalam hubungan konselor-
klien.
Keberbedaan dan keberagaman budaya yang menjadi latar pribadi konselor dan konseli cenderung dapat menghambat pelaksanaan konseling. Aktualisasi dari budaya seperti bahasa, nilai, stereotip, kelas sosial dan semisalnya dalam kondisi tertentu dapat menjadi sumber penghambat proses pencapaian tujuan konseling. Disamping itu, model pendekatan konseling yang dipergunakan konselor untuk membantu mengentaskan masalah konseli, yang
notabene merupakan salah satu penciri
profesionalitas profesi konseling juga merupakan produk suatu budaya tertentu yang karenanya dalam penerapannya juga belum tentu sesuai dengan budaya konseli.
Kalimat yang selalu digunakan untuk menekankan pentingnya mengenal perbedaan
individu ialah “setiap individu itu unik”. Dengan
pengetahuan bahwa setiap individu itu berbeda dalam berbagai aspek perkembangannya, maka konselor akan mampu menyediakan layanan BK yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik/ konseli. Merupakan sebuah tantangan bagi konselor agar dirinya dapat mengenal siapa peserta didik yang akan ia layani, namun tidak semua konselor mau menerima tantangan itu dan menyamaratakan model layanan konseling pada setiap peserta didik yang dilayaninya. Akibatnya, kebutuhan konseli tidak dapat dicapai, konseli tidak dapat mandiri dalam kehidupannya, dan potensi konseli tidak berjalan maksimal, itu semua akibat dari layanan konseling yang tidak efektif.Jika demikian maka layanan konseling
dinilai tidak dapat menjawab
kebutuhankebutuhan konseli.Kenyataan ini
merupakan alasan mengapa konselor perlu mengenal perbedan-perbedaan pada diri peserta
didiknya.
Sue (Dalam Corey, G. 1997. 37-38) dan
kawan-kawan mengusulkan sejumlah
kompetensi minimum yang harus dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas budaya, yaitu
1. Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural:
a. Mereka sadar akan sistim nilai, sikap dan
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
175
ini semua mungkin mempengaruhi klien dari kelompok minoritas
b. Mereka mau menghargai kebinekaan
budaya, mereka merasa tidak terganggu kalau klien mereka adalah berbeda ras dan menganut keyakinan yang berbeda dengan mereka
c. Mereka percaya bahwa integrasi berbagai
sistem nilai dapat memberi sumbangan
baik terhadap pertumbuhan terapis
maupun klien
d. Mereka ada kapasitas untuk berbagai
pandangan dengan kliennya tentang dunia tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis
e. Mereka peka terhadap keadaan (seperti
bias personal dan keadaan identitas etnik) yang menuntut adanya acuan klien pada kelompok ras atau budaya masing-masing
2. Pengetahuan konselor yang efektif secara
multikultural:
a. Mereka mengerti tentang dampak konsep
penindasan dan rasial pada profesi kesehatan mental dan pada kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka
b. Mereka sadar akan hambatan institutional
yang tidak memberi peluang kepada kelompok minoritas untuk memanfaatkan pelayanan psikologi secara penuh di masyarakat
c. Meraka tahu betapa asumsi nilai dari teori
utama konseling mungkin berinteraksi dengan nilai dari kelompok budaya yang berbeda
d. Mereka sadar akan ciri dasar dari
konseling lintas kelas/budaya/
berwawasan budaya dan yang
mempengaruhi proses konseling
e. Mereka sadar akan metoda pemberian
bantuan yang khas budaya (indegenous)
f. Mereka memilki pengetahuan yang khas
tentang latar belakang sejarah, tradisi, dan nilai dari kelompok yang ditanganinya. 3. Keterampilan konselor yang efektif secara kultural
a. Mereka mampu menggunakan gaya
konseling yang luas yang sesuai dengan
sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda
b. Mereka dapat memodifikasi dan
mengadaptasi pendekatan konvensional pada konseling dan psikoterapi untuk bisa
mengakomodasi perbedaan-perbedaan
kultural
c. Mereka mampu menyampaikan dan
menerima pesan baik verbal maupun non- verbal secara akurat dan sesuai
d. Mereka mampu melakukan intervensi “di
luar dinas” apabila perlu dengan
berasumsi pada peranan sebagai konsultan dan agen pembaharuan
Keterampilan Metakognitif
Metakognisi merupakan ranah paling
akhir dari pola pikir, menggarisbawahi
kebutuhan konselor untuk ikut serta dalam perenungan diri sesuai dengan skema kognitif serta strategi berpikir yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan informasi mengenai konseli.
Pokok-pokok pengertian tentang
metakognisi (Kuntjojo, 2009) sebagai berikut.
1. Metakognisi merupakan kemampuan jiwa
yang termasuk dalam kelompok kognisi.
2. Metakognisi merupakan kemampuan untuk
menyadari,mengetahui, proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri.
3. Metakognisi merupakan kemampuan untuk
mengarahkan proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri.
4. Metakognisi merupakan kemampuan belajar
bagaimana mestinya belajar dilakukan yang meliputi proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi.
5. Metakognisi merupakan aktivitas berpikir
tingkat tinggi. Dikatakan demikian karena aktivitas ini mampu mengontrol proses berpikir yang sedang berlangsung pada diri sendiri.
Proses metakognitif diperlukan untuk mengarahkan konselor dalam melaksanakan konseling yang berpusat pada masalah budaya.
Para ahli yang banyak mencurahkan
perhatiannya pada metakognisi, seperti John Flavel (Livington, 1997), Baker dan Brown, 1984,
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
176
dan Gagne 1993 (Nur, 2005), menyatakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif.
Sedang Flavell (Livingston, 1997)
mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu 1) pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan 1) pengalaman atau
regulasi metakognisi (metacognitive experiences or
regulation). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh. Huitt (1997) bahwa terdapat
dua komponen yang termasuk dalam
metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b) regulasi bagaimana kita belajar (Mulbar, 2008).
PEMBAHASAN
Keberagaman budaya yang di Indonesia merupakan suatu potensi yang dapat menjadi salah satu modal kemajuan bangsa. Bangsa Indonesia harus mampu menyadari keunikan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah. Hal ini disebabkan karena keunikan lokal yang ada akan saling menguatkan dan membangun kolaborasi yang indah dalam daya saing yang hebat
(Kartadinata, 2015). Untuk dapat
mengembangkan modal yang ada, perlu adanya upaya dalam membentuk suatu keutuhan bangsa. Salah satu upaya tersebut adalah melalui proses pendidikan. Pendidikan yang efektif adalah
pendidikan yang dapat mencapai tujuan
pendidikan berdasarkan UU No. 20 tahun 2003, bab 1 pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.”
Sesuai dengan ketentuan undang-
undang di atas, dapat diketahui bahwa pendidikan dapat mengembangkan potensi
individu untuk memiliki: (a) kekuatan spiritual
keagamaan, (b) pengendalian diri, (c)
kepribadian, (d) kecerdasan, (e) akhlak dan budi mulia, serta (f) keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Konsep pendidikan multikultural juga sudah menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO memuat empat seruan, meliputi; (1) pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, ras, etnik, dan kultur; (2) pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, dan solidaritas dalam masyarakat; (3) pendidikan
seyogyanya membangun kesadaran untuk
menyelesaikan konflik secara damai; dan (4)
pendidikan seyogyanya meningkatkan
pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.
Pendidikan secara garis besar terdiri dari tiga bagian penting, yaitu: manajemen dan supervisi, pembelajaran bidang studi, serta bimbingan dan konseling. Keseluruhan bagian penting pendidikan tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang terkait dengan program pemberian layanan
secara berkesinambungan dalam upaya
membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam segala aspek kehidupannya (pribadi, sosial, belajar, dan karir).
Peserta didik yang menjadi subjek layanan BK di sekolah merupakan individu yang beragam yang memiliki latar belakang beragam pula. Keragaman tersebut salah satunya adalah keragaman budaya. Keragaman budaya di sini dapat diartikan perbedaan budaya yang menjadi latar belakang kehidupan konselor dengan konselinya. Oleh karena itu, agar pelaksanaan BK berjalan dengan efektif dan bermuara pada tercapainya tujuan pendidikan nasional, maka
konselor diharapkan memiliki kompetensi
multikultural.
Kompetensi multikultural konselor,
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
177
layanan BK di sekolah. Prinsip bimbingan dan
konseling ini tercantum dalam lampiran
Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Terdapat 12 prinsip BK yang hendaknya dipegang teguh oleh guru BK/ konselor di satuan pendidikan dasar dan menengah, namun diantara prinsip tersebut
yang berkaitan erat dengan kompetensi
multikultural konselor adalah prinsip nomor 1 dan 8 yaitu:
1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan
bagi semua peserta didik/ konseli dan tidak diskriminatif. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan pada seluruh peserta didik/ konseli, baik yang tidak memiliki masalah maupun yang memiliki masalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa tanpa ada
diskriminasi (Prinsip Nomor 1).
2. Bimbingan dan konseling dilaksanakan
dalam bingkai budaya Indonesia. Interkasi antara guru BK dengan peserta didik haris selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana layanan tersebut dilaksanakan (Prinsip Nomor 8).
Berdasarkan pemaparan prinsip tersebut, maka konselor harus semakin menyadari pentingnya kompetensi multikultural dalam menyelenggarakan layanan BK. Selain itu, perlu digarisbawahi, menurut Supriyatna (2011: 170)
pendekatan konseling transcultural mencakup
komponen berikut.
1. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi
dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya
2. Pemahaman konselor tentang pengetahuan
budaya konselinya
3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk
mengembangkan pendekatan konseling
yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli
4. Kemampuan konselor untuk menghadapi
peningkatan kompleksitas lintas budaya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kompetensi multikultural konselor adalah dengan meningkatkan keterampilan metakognisi konselor. Metakognisi merupakan
ranah paling akhir dari pola pikir,
menggarisbawahi kebutuhan konselor untuk ikut serta dalam perenungan diri sesuai dengan skema kognitif serta strategi berpikir yang digunakan untuk memahami dan menafsirkan informasi mengenai konseli.
KESIMPULAN
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan
psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Interaksi sosial yang terbentuk dalam suatu keberagaman memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Mtsumoto, 1998). Dalam penyelenggaraan layanan BK di jalur formal ataupun nonformal, interaksi yang terjadi adalah interaksi antara konselor dan konselinya. Interaksi antara konselor dan konseli bukanlah suatu interaksi biasa yang tanpa makna, melainkan interaksi-interaksi yang berujung pada tercapainya tujuan layanan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, agar interaksi antara konselor dan konseli berajalan efektif, maka perlu adanya kompetensi multikultural konselor, karena pada dasarnya kebudayaan yang dimiliki oleh konselor dan konseli pasti berbeda, dan kebudayaan yang berbeda tersebut akan bertemu pada proses interaksi konseling antara konselor dan konseli.
Kompetensi multikultural konselor dapat ditingkatkan dengan meningkatkan keterampilan metakognisi konselor. Oleh karena itu, perlu adanya program-program untuk meningkatkan
keterampilan metakognisi konselor, agar
konselor dapat menyelenggarakan layanan BK yang efektif dan tidak menyampingkan katar belakang budaya konseli yang beragam.
REFERENSI
Harahap, T. 2015. Membangun Kesadaran Multikultural.
[Online]. Dapat diakses:
http://www.kompasiana.com/tamamharahap /membangun-kesadaran-
multikultural_551c06d2a33311fa29b65a48 (18 Desember 2015).
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015
178
Kuntjojo. 2009. Metakognisi dan Keberhasilan Belajar
Peserta Didik. [Online]. Dapat diakses:
https://ebekunt.wordpress.com/2009/04/12/ metakognisi-dan-keberhasilan-belajar-peserta- didik/. (18 Desember 2015).
Mahfud, C. 2011. Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Matsumoto, D. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Supriatna, M. 2011. Bimbingan dan Konseling Berbasis