• Tidak ada hasil yang ditemukan

125 meliputi managemen kelembagaan, managemen

kesiswaan, managemen kurikulum, managemen ketenagaan, managemen sarana prasarana, managemen pembiayaan, dan managemen pemberdayaan masyarakat. Ciri khas sekolah inklusi dapat dilihat dari sisi standar kurikulum, standar kompetensi lulusan, standar proses pembelajaran, standar tenaga pendidik, standar sarana prasarana, standar penilaian, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.

Kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian di sekolah inklusif pada dasarnya sama dengan kurikulum yang berlaku pada sekolah regular, namun dapat dalam bentuk persis (duplikasi), dalam bentuk modifikasi (bentuk lain), dalam bentuk subtitusi (diganti), atau dihilangkan (omisi) bagian tertentu. Artinya sekolah inklusi dapat melaksanakan kurikulum yang berlaku secara persis atau secara duplikasi, modifikasi, subtitusi, atau omisis. Artinya sekolah inklusif dapat melakukan modifikasi, subtitusi, atau omisi sesuai dengan keadaan ABK.

Contoh bagi tuna rungu wicara tingkat berat yang tidak memungkinkan menggunakan pendengarannya untuk berkomunikasi secara baik, maka pelajaran dan ujian listening dalam pelajaran Bahasa Inggris dapat dihilangkan atau omisi.

Hal-hal yang berkaitan kurikulum, proses pembejaran, dan penilaian di sekolah inklusi yang tidak boleh dimodifikasi, subtitusi dan omisi adalah yang berkaitan dengan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Alokasi Waktu. Sedangkan yang lain boleh dan disesuaikan dengan kondisi ABK.

Untuk tenaga pendidik di sekolah inklusif sama dengan standar yang diberlakukan pada sekolah regular, namun harus ada Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang berkualifikasi pendidikan minimal S1 PLB (Pendidikan Luar Biasa) atau PKh (Pendidikan Khusus). Artinya Jika di sekolah regular harus terdapat guru mata pelajaran, guru pembimbing, dan guru praktik yang memenuhi persyaratan, maka di sekolah inklusif kebutuhan guru sama seperti di sekolah reguler, namun dengan tambahan GPK. Jadi di SMP inklusif, harus ada guru mata pelajaran,

dan guru pembimbing sebagaimana di SMP regular, maka juga harus memiliki guru pembimbing khusus atau GPK.

Sarana prasarana serta pembiayaan di sekolah inklusif tentu lebih banyak dibanding sekolah regular. Contoh misalnya di sekolah inklusi yang memiliki gedung berlantai lebih dari satu, maka harus memiliki tangga berjalan (escalator) dan tangga darurat (konfensional), agar mereka yang berkelainan anggota badan dapat terfasilitasi. Sarana prasarana lain sesuai kebutuhan masing-masing ABK.

Pengelola sekolah inklusi utamanya Kepala Sekolah harus mendapatkan pelatihan penyelenggaraan sekolah inklusif, agar seluruh tenaga kependidikan dan Kepala Sekolah perlu

memahami macam-macam ABK berikut

pemberian layanan diklatnya.

PENDERITA TUNA RUNGU WICARA

Pada dekade sebelum diberlakukannya

Permendiknas nomor 70/2009 tentang

Pendidikan Inklusif, penderita tuna rungu menjadi satu rumpun dengan penderita tuna wicara. Hingga kini sekolah khusus bagi penderita tuna rungu wicara masih menjadi satu yakni SLB/B. Secara umum memang gangguan pendengaran berkaitan dengan wicara, demikian pula dalam dunia kedokteran, bahwa hidung, telinga, dan tenggorokan adalah saling berkait, maka ada dokter spesialis tht (telinga-hidung- tenggorokan).

Namun seiring dengan perkembangan zaman, dan iptek nampaknya perlu dikaji

kembangkan akan kekhususan penderita

gangguan wicara-komunikasi, untuk dipilah dari penderita gangguaan pendengaran. Pendek kata kalau dulu ada anggapan bahwa setiap anak dengan gangguan pendengaran kelas berat seperti tuli, maka dipastikan bisu; dan setiap anak bisu pasti tuli. Namun dalam perkembangan zaman dan iptek serta realita terdapat anak yang tuli tapi dapat dilatih dan mampu berbicara, sepanjang organ bicaranya bagus. Demikian pula ternyata tidak semua anak yang bisu pasti tuli.

Pengalaman di lapangan betul-betul terjadi, dimana rombongan pengunjung ke

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

126

SLB/B untuk mengadakan anjangsana,

silaturahmi, obseravasi, bakti sosial, mereka saling kelakar bicara: “Aduh cakep-cakep kok bisu; Andaikan nggak bisu saya jadikan menantu” atau omongan lainnya yang membicarakan kondisi anak-anak SLB/B. Tanpa disadari bahwa diantara sekian banyak siswa ada yang bisu, namun ternyata ia tidak tuli, sehingga dapat mendengar apa yang diperbincangkan pengunjung tsb.

Oleh sebab itu dapat di kelompokkan kondisi anak penderita tuna rungu wicara, yakni:

Pertama, penyandang gangguan

pendengaran tingkat ringan, namun tidak bisu. Mereka dapat berkomunikasi dan dapat mengikuti pendidikan di sekolah regular, walau harus berada dekat dengan sumber suara. Ciri diantaranya adalah sering minta diulang apa yang dikatakan lawan bicaranya, kecuali dalam kondisi konsentrasi atau saling berhadapan. Mereka sering di sebut HOH (Hard of Hearing) tingkat ringan; dan mereka tidak perlu hearing aid atau alat bantu dengar, dan tidak perlu masuk SLB/B.

Kedua, penyandang gangguan

pendengaran tingkat sedang, namun tidak bisu.

Mereka mengalami kesulitan dalam

berkomunikasi, sebab kesulitan menangkap pembicaraan lawan bicara, oleh sebab itu memerlukan alat khusus yakni hearing aid. Cirinya jika tanpa alat bantu dengar tampak kesulitan menerima pesan, dan gangguan

komunikasi. Biasanya orangtua enggan

memasukkannya ke SLB/B, namun jika masuk ke sekolah regular secara terpadu, anak mengalami kesulitan komunikasi dan belajar. Di sinilah perlunya sekolah inklusif bagi mereka.

Ketiga, penyandang gangguan

pendengaran tingkat berat, namun dengan organ bicara normal. Mereka mengalami kesulitan komunikasi sehingga secara umum dikatakan tuli bisu. Dikatakan tuli karena tidak mampu mendengar, dan dikatakan bisu karena tidak mampu bicara. Namun jika organ bicaranya normal dan terdeteksi secara dini yakni kurang dari 4 tahun, mereka dapat terapi dengan terapi bicara atau speech therapy, serta latihan berkomunikasi dengan cara membaca bibir

lawan bicara, yang biasa disebut lip reading. Semakin dini mereka terdeteksi dan menerima terapi dan latihan akan semakin bagus. Oleh sebab itu pada usia sekitar 1 smpai 2 tahun anak sudah dapat diketahui adanya gangguan pendengaran dan bicara.

Keempat, penyandang gangguan

pendengaran ringan-sedang, dan organ bicaranya rusak. Mereka mampu mendengar, namun tidak bisa berucap dalam komunikasi atau biasa disebut bisu. Mereka bisa sekolah di sekolah inklusif, maupun di sekolah terpadu. Mereka inilah yang sering mendengar obrolan orang lain termasuk obrolan pengunjung-pengunjung di SLB/B.

Kelima, penyandang gangguan

pendengaran berat dan organ bicaranya rusak, sehingga tidak mampu mendengar dan tidak mampu berucap dalam komunikasi. Mereka tidak dapat dilatih dan tidak dapat diterapi bicara. Mereka inilah yang disebut tuli bisu. Mereka umumnya kesulitan dalam sekolah inklusif, dan lebih banyak di SLB/B.

PRAKTIK KONSELING INDIVIDU BAGI PENDERITA TUNA RUNGU WICARA DI SEKOLAH INKLUSI

Praktik konseling bagi penderita tuna rungu wicara di sekolah inklusif, baik berkait dengan tujuan, prinsip, asas, ketrampilan, tahap dan prosedur, pada dasarnya sama dengan yang ada pada sekolah reguler. Namun diperlukan keterampilan konselor untuk memahami kondisi penderita tuna rungu wicara, dan mampu melaksanakan ketrampilan baca bibir atau lip reading, bahasa isyarat, dan pengetahuan berkait dengan ABK.

Kondisi penderita tuna rungu wicara harus dipahami secara utuh, baik pisik, maupun psikisnya. Kondisi pisik yang perlu dipahami diantaranya adalah tingkat ketunaannya, letak gangguan nya, misalnya gangguan sebelah kanan atau kiri, gangguang bagian tengah atau dalam, dll. Sedangkan memahami kondisi psikis

dimaksud diantaranya memahami emosi,

kemauan, dll. Konselor dalam wawancara konseling harus benar-benar menerapkan prinsip

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

127